02 Desember 2013

Post Power Syndrom Umbu Datta

Post power syndrom bolehlah melanda. Namun, setiap langkah yang diambil hendaknya tetap merujuk pada peraturan. Jangan menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan.

Hiero Bokilia

BANYAK orang mengatakan jabatan adalah amanah. Jabatan merupakan sebuah kepercayaan. Jabatan yang diemban tidak akan abadi. Karena itu, setiap pejabat baik di lembaga pemerintahan, swasta, dan di lembaga mana pun selalu memberikan yang terbaik selama menjabat dan mempersiapkan dirinya secara matang saat hendak melepas jabatan. Pejabat yang memndang jabatan sebagai panggilan hidup dan amanah akan melepaskan jabatan yang dipercayakan itu secara sadar dan tanpa beban apapun. Apalagi, selama masa menjabat, ia telah memberikan yang terbaik.
Namun, tak jarang ada pula orang yang memandang jabatan sebagai tampuk kekuasaan yang harus dipertahankan. Jabatan yang diemban dipandang sebagai tampuk kekuasaan dan alat meraup keuntungan bagi diri dan kroni-kroninya. Melepas jabatan sama dengan tidak lagi berkuasa. Akibatnya, berbagai cara dan upaya akan dilakukan untuk mempertahankan jabatan. Tak peduli, apakah langkah yang dilakukan itu sesuai atau tidak dengan aturan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Terpenting, hasrat untuk tetap berkuasa dalam jabatan bisa dimiliki.
Kekhawatiran bakal kehilangan jabatan atau yang akrab dikenal dengan istilah post power syndrom inilah yang kini tengah dialami Rektor Undana Prof Dr Frans Umbu Datta. Hasrat itulah yang saat ini sedang tergambar dalam masa kepemimpinan Umbu Datta. Masa jabatannya yang telah berakhir pada 6 November lalu dan diperpanjang sampai pelantikan Prof Dr Fred Benu sebagai Rektor Undana terpilih, ternyata menuai masalah. Di saat dipercayakan memimpin Undana dalam masa perpanjangan jabatan itu, Umbu Data justru mengambil langkah mempersiapkan dirinya agar tetap menjadi pejabat di lingkungan Undana. Sebagai Penjabat Rektor Undana, Umbu Datta telah mengangkat dirinya sendiri untuk jabatan di lingkup Undana yakni Kepala Laboratorium Terpadu.
Langkah tidak umum itu diambil Umbu Datta di penghujung masa kepemimpinannya. Ia mengeluarkan Surat Keputusan (SK) yang mengangkat dirinya sendiri sebagai Kepala Laboratorium Terpadu Undana.
Langkah itu diambil sebelum menerima SK perpanjangan jabatan Rektor hingga pelantikan Prof Fred Benu sebagai Rektor Undana baru periode 2013-2017.
Langkah tak biasa yang diambil Umbu Datta itu disinyalir sebagai upaya mengamankan posisinya. Apalagi, khabar merebak bahwa Laboratorium Terpadu Undana tengah kebanjiran proyek pengadaan alat-alat laboratorium dari Kemendikbud yang mencapai ratusan miliar rupiah.
Pembantu Rektor (Purek) Bidang Administrasi Umum dan Keuangan Undana Roy Nendissa yang dikonfirmasi VN Senin (11/11) menjelaskan, Laboratorium Terpadu Undana baru selesai dibangun dan peralatannya baru dirampungkan. Sehingga, untuk sementara Umbu Datta yang memegang jabatan tersebut.
"Peralatan-peralatan itu kan baru di-setting. Jadi, sementara Pak Rektor yang pegang. Selanjutnya untuk mengisi posisi itu menjadi kewenangan Rektor terpilih yang akan menentukan siapa figur yang tepat mengisi jabatan itu," ujar Nendisa.
Terkait pelantikan beberapa pejabat Undana baru-baru ini, Roy menegaskan mutasi dilakukan untuk mengisi beberapa jabatan yang telah lowong akibat ditinggalkan pejabat lama yang telah pensiun.
"Kan saat ini Prof Frans Umbu Datta masih menjabat sebagai Rektor Undana. Apalagi dalam SK perpanjangan tidak disebut apa-apa. Hanya perpanjangan masa jabatan rektor saja," jelasnya.
Guru Besar Undana Prof August Benu menilai, pengangkatan diri sendiri oleh Umbu Datta sebagai Kepala Lab keliru karena harus dilakukan melalui prosedur baku, yaitu kesepakatan bersama antarfakultas.
"Harus ada kesepakatan bersama dari semua Dekan yang memiliki keterkaitan langsung dengan lab. Sebab SDM yang mau ditempatkan adalah SDM yang benar-benar paham benar soal lab," kata mantan Rektor Undana ini.
Dari sisi etika, tidak sepantasnya Umbu Datta merangkap sebagai kepala laboratorium. Semestinya penentuan pejabat kepala lab itu melalui seleksi dari baperjakat sesuai kompetensi SDM laboratorium.

Tinjau Ulang
Pengamat Hukum Tata Negara Undana Dr John Tuba Helan secara gamblang melihat kejanggalan yang terjadi dalam prosedur pengangkatan Umbu D|atta sebagai kepala laboratorium. Ia melihat apa yang dilakukan Umbu Datta itu jelas-jelas menyalahi ketentuan dan cacat hukum. Karena itu, harus ditinjau kembali. Secara hukum administrasi, tidak bisa seorang pejabat yang sama mengangkat dirinya sendiri untuk menduduki jabatan tertentu. Langkah Umbu Datta tersebut dinilai sebagai ekspresi ketakutan kehilangan kekuasaan (post power syndrome) setelah Prof Fred Benu dalam waktu dekat akan dilantik menjadi  Rektor Undana baru periode 2013-2017.
Umumnya, sebuah SK pengangkatan harus ditindaklanjuti melalui proses pelantikan. "Lucu kan kalau Pak Rektor mengambil sumpah atas dirinya sendiri saat pelantikan," ujarnya.
Jika pengangkatan jabatan kepala laboratorium menjadi kewenangan rektor, maka lebih tepat jika pengangkatan itu dilakukan oleh rektor terpilih. Umbu Datta disarankan membangun komunikasi yang baik dengan rektor terpilih agar dapat dipercayakan menempati jabatan itu.
Pembantu Rektor III Undana OS Eoh mengatakan, secara etika organisasi, langkah yang diambil Umbu Datta tidak dibenarkan. Tiga bulan sebelum masa jabatan berakhir, tidak boleh mengambil keputusan yang prinsip dalam arti mengangkat atau memberhentikan orang dari jabatan. Apalagi, langkah teranyar yang dilakukan Umbu Datta dengan mengangkat dirinya sendiri menjadi Kepala Laboratirium Terpadu. Langkah yang diambil Umbu Datta ini merupakan ekspresi ketakutan kehilangan kekuasaan (post power syndrome). Sehingga, untuk mengamankan posisinya pascapelantikan rektor baru, Umbu Datta mengangkat dirinya sendiri.
Jabatan kepala laboratorium terpadu bagi seluruh fakultas ini seyogyanya harus melalui pertimbangan seluruh dekan fakultas. Bukannya lewat keputusan sendiri. "Langkah beliau ini semacam ada ketakutan kehilangan kekuasaan. Kelihatan beliau ini tidak siap turun," tegas Eoh.

Letakkan Jabatan
Post power syndrom yang kini tengah melanda Umbu Datta memang dapat dibaca dari berbagai sisi. Selain sebagai upaya mempertahankan jabatan, dapat pula diduga sebagai upaya menutupi masalah di masa kepemimpinannya. Bukan tidak mungkin, karena ia juga pernah dipanggil KPK untuk memberikan kesaksian terkait proyek Kemendikbud yang digelontorkan di Undana. Dugaan itu akan semakin menguat karena mega proyek yang diterima Undana diduga kuat juga untuk kepentingan pembangunan laboratorium.
Karena itu, sebelum semua dugaan-dugaan itu semakin menyeretnya maka sebagai seorang pejabat yang berjiwa besar, Umbu Datta harus mendengar masukan dan kritikan dari semua pihak. Sebagai seorang cendekiawan, Umbu Datta bahkan harus berjiwa besar mau meletakan jabatan yang dibuatnya untuk dirinya itu. Akan lebih terhormat jika sebelum diturunkan, ia sendiri yang menurunkan dirinya dari jabatan itu.
Akan lebih terhormat jika ia secara sadar mau mencabut kembali SK pengangkatannya itu agar tidak terus menjadi polemik.
Karena jika tidak, akan sangat memalukan jika ia tetap mempertahankan jabatan itu, dan pada akhirnya digantikan setelah pelantikan Rektor Undana terpilih Prof Dr Fred Benu.
Post power syndrom bolehlah melanda. Namun, setiap langkah yang diambil hendaknya tetap merujuk pada peraturan. Jangan menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan. Semoga. *

09 November 2013

Naik Kelas di Tengah UN yang Amburadul

DI tengah hiruk pikuk dan kebingungan masyarakat soal pemenang Pilgub NTT 2013, menetes setitik embun yang menyegarkan dunia pendidikan NTT. Hasil ujian nasional (UN) tingkat SMA/MA/SMK, dan SMALB yang baru saja diumumkan menunjukkan bahwa NTT naik kelas dalam peringkat kelulusan. Jika sebelumnya NTT berada di nomor buncit 33 dari 33 provinsi, maka tahun ini naik ke posisi 29 untuk tingkat SMA dengan persentase kelulusan 98,11 persen dari 41.653 siswa peserta UN. Sementara untuk tingkat SMK, NTT menempati peringkat 27 dengan persentase 96,98 persen dari 16.254 siswa peserta UN.
Tahun ini NTT juga  boleh berbangga karena ada peningkatan jumlah kelulusan. Hanya 1.280 siswa SMA/SMK yang tidak lulus UN. Bahkan ada satu kabupaten yang seluruh sekolahnya lulus 100 persen untuk tingkat SMA yakni di Manggarai Barat. Sedangkan tingkat SMK, terdapat 11 kabupaten yang lulus 100 persen. Ini capaian yang luar biasa di tengah pelaksanaan UN yang amburadul.
Bergembira boleh-boleh saja, tapi kita tidak boleh menutup mata dengan  proses UN tahun ini yang sangat amburadul. Keterlambatan pencetakan dan pendistribusian naskah soal UN dari pusat ke provinsi, dan dari provinsi ke kabupaten/kota untuk dilanjutkan ke sekolah-sekolah telah berdampak pada penundaan pelaksanaan UN. Sebanyak 11 provinsi harus menunda UN gara-gara keterlambatan pendistribusian naskah UN, termasuk NTT. Bahkan saat UN pun, soal maupun lembaran jawaban komputer (LJK) UN masih kurang dan harus difotokopi.
Jika bercermin dari kesemrawutan itu, patut dipertanyakan apakah UN  telah dilaksanakan dengan jujur? Jujur dari sisi siswa saat mengerjakan soal, dan jujur dalam pemindaian dan pemeriksaan LJK. Jika kejujuran ini masih diperdebatkan, maka prestasi naik kelas NTT dalam peringkat kelulusan ini juga masih dapat disangsikan. Apakah benar-benar murni karena adanya kesiapan siswa yang matang menghadapi UN, ataukah ada tangan tak kentara yang membantu menaikkan kelas prestasi UN NTT tahun ini.
Namun terlepas dari semua itu, kita tentunya berharap prestasi UN ini menjadi momentum kebangkitan pendidikan di NTT. Prestasi ini harus dipertahankan bahkan ditingkatkan. Untuk itu, Pemerintah Provinsi NTT melalui Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO) NTT dan Dinas PPO kabupaten/kota tidak boleh tenggelam dalam euforia semu. Langkah-langkah antisipatif harus mulai dilaksanakan sedini mungkin.
Persiapan tidak lagi hanya jelang UN, tapi jauh-jauh hari. Ketersediaan guru yang trampil dan siswa yang andal, serta segala infrastruktur pendukung pendidikan harus terus ditingkatkan demi mengejar ketertinggalan. Kita tidak boleh berpuas diri dengan peringkat papan bawah. Ingat, NTT bukan bangsa kalahan. Ke depan harus ada target yang lebih ambisius, misalnya, pencanangan posisi 10 besar UN  di tahun 2018. Mari kita bebankan target ini ke pundak pemimpin NTT lima tahun ke depan.  

Terperosok di Jalan Pintas

Budaya instan ini juga merambah ke dunia pendidikan. Banyak siswa yang ingin lulus ujian nasional (UN) tapi bukan dengan belajar keras, melainkan membeli lembaran jawaban dan bocoran kunci jawaban. Lebih parah lagi, orangtua kerap proaktif memfasilitasi jalan pintas ini.

SEBULAN terakhir masyarakat Flores Timur dan sekitarnya dihebohkan dengan mangkirnya manajemen Lembaga Kredit Finansial (LKF) Mitra Tiara dari kewajiban membayar bunga dan pokok simpanan para nasabah. Ribuan warga mengantre tanpa kejelasan menunggu pembayaran. Namun, manajemen LKF Mitra Tiara tak kunjung membayar hak para nasabah.

Lembaga keuangan itu menjanjikan bunga menggiurkan kepada nasabah. Setiap bulan, nasabah  berhak atas 10 persen bunga dari pokok simpanan. Jika menabung Rp 5 juta, maka setiap bulan berhak menerima bunga sebesar Rp 500 ribu. Sepuluh bulan, modal simpanan sudah kembali dan bulan ke-11 sudah menikmati keuntungan. Sungguh menggiurkan. Tanpa butuh kerja keras, bisa menerima uang demikian besar setiap bulan.

Tak heran begitu  banyak masyarakat Flores Timur, Lembata, dan Sikka  berbondong-bondong menyimpan uangnya di LKF Mitra Tiara tanpa mempertimbangkan risiko. Namun apa yang terjadi belakangan ini menjawab kekhawatiran banyak kalangan. Manajemen raib menggondol uang nasabah.

Modus penipuan gaya LKF Mitra Tiara sesungguhnya bukan pola baru. Sudah terlalu banyak kasus seperti itu terjadi di banyak daerah. Sayangnya masyarakat tidak pernah belajar, bahwa meraup keuntungan besar dengan jalan pintas seperti itu senantiasa penuh risiko. Budaya instan yang ingin segalanya diraih serba cepat telah mematikan rasionalitas masyarakat. Ujung-ujungnya, masyarakat sendiri yang harus menanggung risiko dirugikan.  

Budaya instan yang menghalalkan jalan pintas memang menjadi penyakit masyarakat hari ini.  Hampir segala lini kehidupan dijajah dengan pola hidup serba gampang ini. Ambil contoh, di dalam kehidupan rumah tangga saja budaya instan ini sudah jauh merasuk. Ibu-ibu rumah tangga yang "malas" memasak, kerap memilih membeli makanan siap saji yang rentan berbagai bahan kimia berbahaya untuk sajian harian keluarga.

Budaya instan ini juga merambah ke dunia pendidikan. Banyak siswa yang ingin lulus ujian nasional (UN) tapi bukan dengan belajar keras, melainkan  membeli lembaran jawaban dan bocoran kunci jawaban. Lebih parah lagi, orangtua kerap proaktif memfasilitasi jalan pintas ini.

Budaya instan juga sudah jauh merambah di dunia politik. Untuk mencapai tujuan politik, para politisi sudah terbiasa menempuh jalan pintas. Politik uang dan jual beli suara pun dihalalkan demi meraih kursi idaman. Dampak ikutannya, begitu duduk di tampuk kekuasaan mereka memaknai jabatan itu sebagai alat memupuk kekayaan pribadi bukan sarana pengabdian kepada masyarakat.

Kasus LKF Mitra Tiara seharusnya membuka mata kita bahwa kesuksesan sejati hanya bisa diraih melalui proses dan kerja keras. Kesuksesan yang dicapai dengan cara instan dan jalan pintas tidak akan pernah langgeng. Percayalah!

Editorial HU Victory News edisi 31 Oktober 2013

Terobosan Fenomenal Universitas PGRI NTT

UNIVERSITAS PGRI NTT boleh dikatakan sebagai perguruan tinggi swasta yang fenomenal di NTT. Berbagai terobosan tak henti-hentinya dilahirkan. Setelah menabuh gong prestasi, Rektornya yang juga fenomenal Semuel Haning melahirkan terobosan Jaminan Kesehatan Mahasiswa (Jamkesmawa) untuk membantu mahasiswa kurang mampu yang sakit ataupun meninggal dunia. Lembaga ini sebelumnya juga memberikan beasiswa selama kuliah dan beasiswa S-2 bagi salah satu mahasiswanya yang berprestasi dan mengharumkan nama NTT dan Universitas PGRI NTT di ajang nasional dalam Kopertis Wilayah VIII.
Tidak berhenti pada terobosan itu. Dalam wisuda angkatan XIII tahun 2013 ini, Rektor Semuel Haning dengan lembaganya Universitas PGRI NTT kembali melahirkan terobosan fenomenal baru.
Kali ini, Semuel Haning kembali menggebrak dengan terobosan membayar honor lulusan/wisudawan terbaik angkatan XIII untuk bekerja sesuai bidang dan latar belakang pendidikan di lingkup pemerintah kabupaten asal wisudawan bersangkutan. Misalkan wisudawan terbaik seorang guru, maka pemerintah tempat asal wisudawan terbaik diminta memberikan tempat baginya untuk mengajar. Honor selama dua tahun akan ditanggung oleh Universitas PGRI NTT. Setelah dua tahun, pemerintah kabupaten di tempat wisudawan terbaik itu mengabdi diharapkan dapat mengakomodir yang bersangkutan untuk bekerja di daerah tersebut.
Ide ini sepintas memang biasa saja. Namun, ketika melihat banyak universitas di NTT yang lagi dipusingkan dengan izin operasional yang tak kunjung tuntas, Universitas PGRI NTT justru sudah jauh melangkah. Ia tidak sekadar memikirkan keberadaan lembaga. Ia tidak lagi sekadar berpikir izin operasional kampus, namun ia telah berpikir tentang nasib sarjana yang ia hasilkan. Ia tidak mau sarjana lulusan Universitas PGRI NTT menjadi pengangguran intelek. Karena itu, selain mendorong para sarjana membuka lapangan kerja sendiri atau berwirausaha, ia juga tak malu-malu membangun jaringan kerja sama dengan pemerintah kabupaten untuk maksud mulia tersebut.
Langkah fenomenal ini tentunya tidak saja untuk nama besar lembaga karena ia hadir bukan untuk sekadar meramaian pendidikan tinggi di NTT. Namun hadirnya adalah ingin menjadi salah satu universitas berkualitas di NTT.
Karena itu, terobosan ini tentunya akan menjadi daya pacu tersendiri bagi para mahasiswa untuk berprestasi. Karena mereka tahu, di Universitas PGRI NTT selalu memberikan reward kepada mereka yang benar-benar berbuat yang terbaik.

Editorial HU Victory News edisi 19 September 2013

ETMC mulai Kehilangan Makna

TURNAMEN dua tahunan El Tari Memorial Cup saat ini tengah bergulir di Labuan Bajo, Manggarai Barat. Hanya 14 kabupaten yang mengirimkan tim kebanggaannya untuk mengikuti perhelatan akbar sepakbola NTT ini diusianya yang XXVI. Keikutsertaan tim dalam setiap penyelenggaraan semakin berkurang. Greget ETMC kian tahun kian surut dan hampir kehilangan makna.

Turnamen ini semula bernama El Tari Cup. Namun dalam perjalanan, disempurnakan menjadi Turnamen El Tari Memorial Cup (ETMC). Turnamen yang digelar untuk mengenang tokoh pemimpin pemersatu mendiang El Tari. Maka, ETMC sebenarnya mau mengangkat dan mengingatkan persaudaran sejati yang merupakan bahasa pemersatu mendiang EL Tari.

Suasana keakraban dan kekeluragaan sesama warga Flobamora harus menjadi garda terdepan dalam setiap perhelatan. Memaknai bunga cinta berarti menjunjung tinggi sportivitas dalam meraih prestasi.

Flobamora yang dicetuskan mendiang El Tari berarti bunga cinta. Bunga cinta yang mempersatukan masyarakat NTT. Cinta ke dalam, cinta kepada sesama, sehingga di sana tidak ada lagi Sabu, Sumba, Rote, Timor, Alor, Flores, dan Lembata. Tetapi di sana adalah Flomabora, NTT.

Apalagi, di tengah krisis yang melanda sebagian besar wilayah di NTT seiring pelaksanaan pilkada, semisal Pilkada Sumba Barat Daya yang harus berujung pertumpahan darah, maka ajang ETMC harusnya menjadi ajang teduh. Ajang mempersatukan masyarakat NTT, masyarakat Flobamora.

Namun, ETMC sebagai ajang bertemunya pesepakbola NTT justru makin kehilangan makna. Persatuan dan kesatuan sebagai bunga cinta, tak lagi menjadi roh. Setiap laga selalu diakhiri kericuhan, tidak saja antarpemain, namun juga antar pendukung.

ETMC lebih dimaknai sebagai turnamen menjadi jawara sejati sepakbola Flobamora. Intrik dan trik dimainkan untuk mendapatkan trofi ETMC.

Karena itu, sudah saatnya semua kita bertanggung jawab mengembalikan ETMC pada makna sesungguhnya. Flobamora tanpa sekat, tanpa ada pembedaan Flores, Sumba, Timor, Rote, Sabu, Alor, dan Lembata. Kita adalah satu Flobamor, satu NTT. ETMC hanyalah wadah untuk semakin mengakrabkan, dan semakin menyatukan segala perbedaan sebagai satu kekuatan membangun NTT. Semoga.

Bahaya Politisasi Olahraga

YABES Roni Malaifani, putra Alor menjadi fenomenal dan terkenal dalam seminggu terakhir di Indonesia terutama di NTT. Gol yang diciptakannya ke gawang Filipina dalam debut perdananya di timnas U-19 Piala AFC U-19 membuat Yabes dielu-elukan ibarat selebriti.
Lolosnya Yabes masuk tim nasional U-19 di tengah lesunya kompetisi di NTT harus menjadi cambuk bagi semua pihak terkait dalam membangun olahraga terutama sepakbola NTT. Apalagi, jika prestasi yang belum seberapa yang diraih Yabes mulai dipolitisasi segelintir orang untuk mendongkrak ketenaran. itulah yang harus dihindarkan karena langkah panjang masih menanti Yabes. Apakah tenggelam di tengah euforia, ataukah terus berprestasi di timnas U-19.
Prestasi mengenakan kostum timnas dan menciptakan gol untuk seorang Yabes bolehlah dibanggakan. Namun, hendaknya kebanggaan itu tidak membuat Yabes lupa daratan. Ia harus terus giat berlatih untuk mengasah kemampuannya yang belum apa-apa itu. Prestasi masuk timnas dan mencetak gol di debut pertamanya jangan menjadi puncak prestasi bagi Yabes. Namun, ia harus tetap mengasah kemampuan mengolah bola, dan melatih ketajamannya membobol gawang lawan. Ia harus mempertahankan kepercayaan sang pelatih Indra Syafri agar tidak hanya sebagai kartu truf timnas Indonesia U-19, namun harus menjadi pilar utama di timnas U-19. Yabes tidak saja menjadi pemain pengganti, namun harus masuk line up utama dalam setiap laga.
Karena, jika terlena dengan euforia, pujian, dan banjir hadiah, maka selepas semua itu justru membuat Yabes tenggelam dan terlupakan. Belajar dari pengalaman seorang Irfan Bachdin yang setelah melejit dan tenar lalu tenggelam tak tahu rimbanya, maka jangan sampai nasib Yabes pun demikian. Apalagi, politisasi olahraga akan membuat Yabes terlena dan justru dicoret dari timnas U-19. Jangan sampai Yabes semakin tenggelam dan orang lain yang kian melejit karena numpang tenar di balik sukses Yabes. Sukses seorang Yabes membuat banyak orang menjadi pahlawan, dan untuk membayar itu semua, Yabes harus dikorbankan untuk mendongkrak nama besar dan popularitas mereka.
Bonus dan apapun namanya yang diberikan untuk Yabes bolehlah diberikan sebagai penghargaan atas prestasi yang diraih. Namun, hendaknya tidak berlebihan. Jangan sampai fokus perhatian hanya kepada Yabes seorang. Tetapi, yang paling utama adalah bagaimana menciptakan iklim olahraga yang kondusif untuk bisa melahirkan Yabes-Yabes yang lain yang mampu mengharumkan nama NTT di kancah nasional dan internasional.
Karena itu, siapapun yang berniat baik di balik suksesnya Yabes agar tidak pukul dada saat ini. Tapi, ia haruslah mampu membangun olahraga secara utuh mulai dari bawah. Ibarat seorang petani, agar hasil panennya melimpah, ia tidak mungkin mulai dengan memupuk. Tetapi ia harus memulai dengan menyiapkan lahan dan bibit yang unggul disertai perlakuan khusus selama proses tumbuh kembang tanaman baru bisa memanen hasil yang melimpah. Demikian pula sebuah prestasi, tidak dapat diraih hanya melalui pembinaan setengah-setengah, tetapi harus dibangun dari dasar yang kokoh yakni membentuk karakter diri seorang atlet lewat latihan rutin dan ditempa dalam sebuah kompetisi yang kondusif untuk melahirkan atlet handal di NTT. Semoga. (editorial HU Victory News edisi 17 Oktober 2013

16 September 2013

Kekuatan Rakyat Kalahkan Nafsu Naikan Tarif RSUD

Hiero Bokilia

SEJAK draf Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Kenaikan Tarif Layanan Kesehatan RSUD WZ Johannes Kupang disosialisasikan awal Juli lalu, penolakan publik datang bertubi-tubi. Penolakan atas rencana kenaikan tarif pelayanan itu dilakukan atas alasan mendasar yakni rencana menaikkan tarif dilakukan di tengah minimnya upaya perbaikan kualitas layanan kesehatan di rumah sakit milik Pemerintah Provinsi NTT itu. Alasan mendasar lainnya yakni, momentumnya tidak tepat, di mana masyarakat sedang kesulitan memikul beban kebutuhan hidup akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Namun, reaksi penolakan publik itu tak menyurutkan langkah Pemprov NTT dan manajemen RSUD Kupang mendorong dibahasnya Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) di DPRD NTT.
Dinamika pembahasan di Dewan sepertinya tak memberi harapan bahwa Ranperda kenaikan tarif itu bakal ditolak oleh wakil rakyat. Sangat mungkin terjadi, Dewan dengan menutup mata dan telinga terhadap kondisi sosial masyarakat, mengetuk palu setuju.
Kabar mengenai pasien ditolak, pasien ditelantarkan, dan buruknya pelayanan kesehatan yang terus saja dikeluhkan pasien, adalah buah dari semua amburadulitas itu. Menaikkan tarif di tengah semua kebobrokan tersebut jelas merupakan pilihan yang sakit.
Namun desakan rakyat agar Pemprov NTT membatalkan rencana kenaikan tarif pelayanan di RSUD WZ Johannes Kupang, akhirnya mendapat respons positif.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT dr Stef Bria Seran secara mengejutkan mengeluarkan pernyataan yang bertentangan dengan manajemen RSUD WZ Johannes dan Gubernur NTT Frans Lebu Raya. Secara tegas Bria Seran mengatakan, tarif RSUD WZ Johannes Kupang tidak akan dinaikkan sebelum pelayanan di rumah sakit milik Pemprov NTT tersebut diperbaiki dan ditingkatkan. "Perbaiki dulu pelayanan, baru bisa naikkan tarif. Tarif belum bisa dinaikkan," tegas Bria Seran kala itu.
Pernyataan Bria Seran memang tidak pernah disangka-sangka. Di tengah nafsu manajemen RSUD WZ Johannes dan Pemprov NTT mendorong penaikan tarif, dia malah bersuara berbeda. Pernyataan Bria Seran seakan menampar muka manajemen RSUD WZ Johannes dan Pemprov NTT. Pernyataan itu disambut gembira masyarakat yang selama ini tak henti-hentinya mengeluhkan buruknya pelayanan rumah sakit. Pernyataan itu seakan menjadi harapan baru masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dengan tarif terjangkau dari rumah sakit plat merah tersebut.
Pernyataan Bria Seran seakan membuka tabir kebobrokan pelayanan di RSUD WZ Johannes selama ini. Ini menggambarkan bahwa RSUD WZ Johannes sebetulnya sedang sakit parah. Intitusi ini sakit karena kebijakan politik birokrasi yang mengandalkan rumah sakit sebagai salah satu sumber pemasukan daerah. Maka kinerja para pejabat yang ditempatkan di rumah sakit itu antara lain diukur dari seberapa besar pendapatan asli daerah (PAD) yang bisa mengalir ke kas daerah, bukan pada seberapa sukses ia meningkatkan kualitas layanan kesehatan.

Tanpa Kepentingan Politik
Namun di tengah pujian atas sikap Bria Seran ini, perlu pula diwanti-wanti apakah pernyataan itu tulus demi membela rakyat, atau ada maksud politis terselubung lainnya di balik itu. Jika sikap itu murni dan berdiri tanpa ada kepentingan tertentu maka itulah sikap pejabat publik yang benar-benar mau berjuang untuk kepentingan rakyat.
Beda pendapat Gubernur Lebu Raya dan Kepala Dinas Kesehatan Bria Seran ini mendapat perhatian DPRD NTT. Wakil Ketua Komisi D Jimmy Sianto mempersoalkan mengapa di saat Ranperda tentang Kenaikan Tarif Layanan RSUD Kupang sedang dibahas di Dewan, masih ada perbedaan sikap di tingkat eksekutif. Ranperda tersebut diusulkan oleh Gubernur dan Kadis Kesehatan NTT melontarkan pernyataan yang bertentangan, yakni tarif RSUD belum bisa naik sebelum kualitas layanan kesehatan ditingkatkan.
Padahal, sebelum diusulkan, Ranperda itu sudah dibahas di tingkat ekskeutuf, dan kadis Bria Seran ada di dalamnya sebelum akhirnya dibawa ke Dewan.
Komisi C DPRD NTT yang membidangi masalah kesejahteraan sosial, memutuskan untuk menunda pembahasan Ranperda tentang tarif layanan RSUD WZ Johannes Kupang karena tidak ingin penetapan Perda tarif rumah sakit milik Pemprov NTT tersebut, dibahas terburu-buru yang nantinya akan membebani dan menyusahkan masyarakat.
Namun, terlepas dari pro kontra di dalam tubuh Pemprov NTT, penundaan kenaikan tarif layanan itu setidaknya membuat lega masyarakat yang tengah dihimpit krisis pasca kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Aktivis PMKRI Cabang Kupang Yuvensius Tukung mengatakan, tarif rumah sakit tidak layak untuk dinaikkan. Pemprov harus memahami benar kondisi atau keadaan ekonomi masyarakat, khususnya warga Kota Kupang dan sekitarnya yang bersentuhan langsung dengan pelayanan.
Rerencana menaikkan tarif pelayanan secara tidak langsung akan membatasi hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan terutama pasien yang tidak mampu.
Jika membedah kualitas pelayanan, Tukung melihat pelayanan di RSUD ini masih jauh dari harapan dan masuk kategori rumah sakit berpelayanan buruk.
Ia mengatakan, selama ini anggaran yang dikucurkan untuk sektor kesehatan sangat besar. Pengalokasiannya pun dominan di RSUD WZ Johannes ketimbang RSUD tingkat kabupaten/kota di NTT. Untuk itu,  Pemprov NTT harus memfokuskan perbaikan kualitas dan sistem pelayanan. “Perbaiki dulu kualitas pelayanannya. Jangan dulu omong soal kenaikkan tarif,” tegas Tukung.
Anita Gah, anggota DPR RI dari NTT yang membidangi kesehatan juga menyambut antusias penundaan kenaikan tarif layanan itu mengingat pelayanan sangat memprihatinkan. Pasien terkadang  masih mengalami penolakan karena RSUD tidak memiliki dokter spesialis dan terbatasnya infrastruktur rumah sakit.
Dengan kondisi seperti itu, masyarakat yang menderita. Padahal, masyarakat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal dari pemerintah. Untuk itu, dia meminta Pemprov NTT sebagai pemilik RSUD WZ Johannes agar membenahi kualitas pelayanannya.

hiero
@victorynews-media.com

31 Agustus 2013

Alih Kelola RSUD Johannes di Tengah Riak Kenaikan Tarif

Hiero Bokilia

MANAJEMEN RSUD WZ Johannes, Kupang mengajukan rancangan kenaikan tarif rumah sakit yang drafnya sudah diserahkan kepada Gubernur NTT dalam bentuk rancangan peraturan gubernur (Ranpergub) untuk kenaikan tarif umum, dan rancangan peraturan daerah (Ranperda) khusus bagi ruang  kelas III.
Namun rencana manajemen RSUD WZ Johannes menaikkan tarif pelayanan 40 persen dari tarif lama dikecam banyak kalangan. Sejumlah aktivis menilai, rencana kenaikan tarif tersebut tidak tepat karena kualitas pelayanan di rumah sakit Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT tersebut juga masuk kategori buruk dari standar operasional rumah sakit.
Alasan kenaikan tarif tak masuk akal karena hanya untuk menyesuaikan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Aktivis PIAR Adi Nange mengatakan, RSUD WZ Johannes tak pantas mengkaji kenaikan tarif dengan kualitas layanan rumah sakit hingga saat ini yang masuk kategori buruk. “Kenapa mereka tidak perbaiki dulu kualitas layanan. Kualitas layanan itu telah menjadi keluhan warga sejak lama,” tegas Nange.
Memang, menilik pelayanan di rumah sakit ini, memang sangat memprihatinkan. Ada sejumlah kasus yang bisa dijadikan contoh. Kematian yang merenggut Gregorius Seran, pasien rujukan RSUD Atambua. Demikian pula cerita pilu yang menimpa Polce Victoria Teon, pasien kanker payudara yang ditolak dan kemudan dipanggil kembali untuk dirawat hingga ajal menjemput. Juga kisah kematian Sherly Goru Lolu, ibu hamil yang hendak melahirkan namun meninggal karena terlambat mendapatkan penanganan dokter. Kisah terakhir yang sempat direkam media adalah kematian Abraham Hanas, pasien cuci darah yang menunggu proses cuci darah selama empat hari baru dilayani. Setelah dilayani, pasien cuci darah ini meninggal dunia.
Melihat sejumlah kasus di atas, semuanya disebabkan karena buruknya pelayanan di RSUD WZ Johannes.
Maka, jelaslah kengototan manajemen RSUD WZ Johannes menaikkan tarif pelayanan ditentang masyarakat. Karena itu, sebelum mengusulkan kenaikan tarif layanan, manajemen RSUD WZ Johannes dapat memperbaiki kualitas layanan dengan melengkapi berbagai sarana, ketersediaan tenaga medis, dan memperkuat mekanisme pelayanan. Karena itu, sebelum mengusulkan kenaikan tarif, manajemen RSUD WZ Johannes harus terlebih dahulu memperbaiki kualitas layanan. Jangan sampai manajemen rumah sakit menaikkan tarif di saat pelayanan sedang buruk.

Alih Kelola
Namun di tengah pertentangan soal rencana menaikkan tarif pelayanan rumah sakit tersebut, muncul wacana untuk mengalihkan pengelolaan RSUD WZ Johannes, Kupang menjadi Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP).
Usulan ini bukan hal baru. Seruan alih kelola sudah disuarakan sejak tahun 2006. Lembaga Ombudsman NTT telah menyuarakan agar RSUD Kupang diserahkan ke Pusat saja sehingga menjadi RSUP. Kini, desakan alih kelola itu kembali dimunculkan Darius Beda Daton, ketua lembaga yang sama.
Usulan alih kelola itu bukan tanpa dasar. RSUD Kupang terbelit persoalan menahun yang tidak kunjung selesai. Padahal setiap tahun selalu saja anggaran mengalir deras untuk rumah sakit ini atas nama berbagai proyek kesehatan.
Standar mutu pelayanan tidak beranjak baik. Jumlah dokter dan tenaga paramedis tetap saja kurang. Prasarana dan infrastruktur rumah sakit semakin tidak memadai. Ruang UGD dan rawat inap serta fasilitas parkir selalu saja dikeluhkan.
Padahal anggaran Provinsi maupun APBN untuk sektor kesehatan setiap tahun sebagian besar tersedot untuk rumah sakit ini. Proyek-proyeknya selalu saja menimbulkan bisik-bisik tentang korupsi dan kolusi.
Menjadi RSUP bukan hanya sekadar dorongan tanpa manfaat. Menjadi RSUP akan membawa banyak manfaat.
Wadir Umum dan Keuangan RSUD Johannes, dr Yudith M Kota mengatakan, secara pribadi ia sangat mendukung rumah sakit tersebut dikelola Pusat. Namun, untuk mengusulkan hal itu adalah kewenangan Gubernur NTT.
Ia mengungkapkan, sebagai RSUD provinsi, RSUD Johannes mengalami kesulitan  mendatangkan dokter spesialis karena NTT bukan daerah yang diminati dokter spesialis. "Sekarang kita punya uang saja mau ajak orang ke sini orang tidak mau. Tetapi, kalau dijadikan rumah sakit vertikal, Kemenkes dengan sistemnya dapat menempatkan dokter spesialis di sini," ujarnya.
Ia mencontohkan, daerah lain seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Bali telah mengalihkan status RSUD-nya ke Pusat. Sehingga, dari sisi anggaran, SDM, serta sarana prasarana dapat disubsidi langsung oleh Pusat.

Banyak Manfaat
Darius Beda Daton mengatakan, jika menjadi RSUP, akan disubsidi APBN dan pengelolaan selanjutnya akan diserahkan kepada Depertemen Kesehatan RI. Dengan demikian, seluruh pelayanan  menggunakan standar Depertemen Kesehatan RI. Jika menggunakan standar Depkes RI, kualitas pelayanan akan semakin baik dan sangat membantu masyarakat NTT yang membutuhkan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
SDM berupa dokter spesialis dan tenaga tekhnis lainnya akan disiapkan oleh Depertemen Kesehatan RI yang tentu saja akan mengacu kepada standar SDM rumah sakit tipe B non pendidikan. Penyediaan peralatan medis dan non medis akan lebih lengkap karena akan disesuaikan dengan standar Depertemen Kesehatan RI. (RS Rujukan dan RS Pendidikan).
Menjadikan RSUD WZ JOhannes RSUP akan mempercepat menjadi rumah sakit pendidikan yang tentu saja membantu Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana mencetak sarjana kedokteran yang berkualitas dan professional.
Alih kelola ini juga akan berimplikasi pada dana APBD NTT. Jika selama ini APBD disubsidi ke RSUD WZ Johannes Kupang, maka selanjutnya dapat disistribusikan ke rumah sakit lain di kabupaten/kota di NTT yang lebih membutuhkan.
Menilik pada kemampuan keuangan daerah, NTT tentu jauh dari kaya. Padahal, daerah-daerah lain yang lebih kaya dari NTT saja sudah mengalihkan RSUD-nya menjadi RSUP. Tilik saja RSUP H Adam Malik di Medan, RSUP Dr M Djamil (Padang), RSUP Dr M Hoesin (Palembang), RSUP Dr Cipto Mangunkusumo, RSUP Fatmawati, RSUP Persahabatan, RS Anak dan Bunda Harapan Kita, RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, RS Kanker Dharmais (Jakarta), RSUP Dr Hasan Sadikin (Bandung), RSUP Dr Sardjito (Yogyakarta), RSUP Dr Kariadi (Semarang), RSUP Sanglah (Denpasar), RSUP Dr Wahidin Sudiro Husodo (Makassar), dan RSUP Dr R Kandow (Manado).
Aktivis GMKI Cabang Kupang Decky Benggu mengatakan, untuk  meningkatkan kualitas SDM serta sarana prasarana pada RSUD Johannes, alangkah baiknya rumah sakit itu menjadi RSUP. "RSUD ini kan milik provinsi. Kenapa statusnya tidak diusulkan menjadi milik Pusat? Supaya RSUD mendapat subsidi langsung dari Pusat, baik keuangan maupun SDM tenaga medis. Apalagi, Menkes kan istri mantan Gubernur NTT," tegasnya.
Karena itu, sudah saatnya alih kelola itu dilakukan. Kapasitas belajar tentang mutu pelayanan dan kemandirian tidak cukup berkembang di lingkungan RSUD WZ Johannes, Kupang.
Warga Kupang dan warga NTT patut dilayani oleh sebuah rumah sakit berstandar pusat dengan mutu pusat. Cukup sudah warga dijajah oleh standar kompetensi kesehatan yang rendah di NTT.

hiero
@Victorynews-media.com

18 April 2013

Bom Waktu di Unwira Akhirnya Meledak Jua

Oleh Hiero Bokilia

ISU mogok mengajar para dosen Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang yang sempat mencuat awal bulan September lalu yang dipelihara ibarat bom waktu, akhirnya meledak juga. Mahasiswa merasa dirugikan atas aksi mogok mengajar, mogok konsultasi nilai, dan mogol konsultasi mata kuliah oleh  para dosen. Mahasiswa yang merasa telah memenuhi kewajibannya membayar biaya perkuliahan di kampus swasta termegah di Kota Kupang dan NTT ini namun haknya diabaikan mengambil sikap. Bom waktu pertama meledak di FKIP Unwira.

Dimotori koordinator lapangan Siprianus RK Ama, mahasiswa FKIP menggelar aksi demonstrasi di kampus, Senin (8/10). Aksi demo dimulai pukul 08.00 Wita hingga 14.00 Wita. Mereka long march dari kantor FKIP menuju kantor pusat Unwira yang berjarak sekitar 200 meter. Mereka diterima Rektor Unwira Pater Yulius Yasinto, SVD dan Bendahara Yayasan Pendidikan Arnoldus (Yapenkar) Pater Didi, SVD.

Pada kesempatan itu, Ayu Solah, perwakilan mahasiswa dari Program Studi Kimia, mengeluhkan masalah dosen yang mogok mengajar serta persoalan konsultasi nilai dan konsultasi mata kuliah yang belum dilaksanakan sampai saat ini.  Selain itu, persoalan fasilitas laboratorium dan ruangan kuliah yang terbatas.
Para dosen yang selama ini terkesan malu-malu menuntut kesejahteraan melalui penaikan gaji setara dengan PNS akhirnya berani menentukan sikap. Mogok mengajar dan tidak melayani konsultasi nilai dan mata kuliah merupakan langkah yang mereka lakukan. Langkah itu secara tidak langsung, telah menyulut amarah mahasiswa yang merasa diabaikan padahal sudah memenuhi segala kewajibannya. Aksi mogok para dosen tentunya bukan tanpa sebab. Berbagai upaya negosiasi dengan rektorat dan yayasan sudah dilakuan.

Tuntutan perubahan kesejahteraan dengan menaikan gaji setara PNS hanya dijawab yayasan dengan menaikan gaji 10 persen dari gaji pokok. Penaikan gaji 10 persen sangat minim, sehingga para dosen tidak puas. Mereka tetap berjuang menuntut penyetaraan gaji. Yayasan bergeming, dengan alasan, yayasan hanya pelaksana bukan sebagai pengambil kebijakan. Akibatnya, mogok mengajar, konsultasi KRS tidak dilayani, demikian pula konsultasi mata kuliah.

Selain menuntut perbaikan kesejahteraan setara dengan PGPNS berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2011, para dosen dan karyawan Unwira juga menuntut diselenggarakan rapat umum anggota (RUA) luar biasa untuk memberhentikan pengurus Yapenkar dari jabatan, pengurus Yapenkar diminta memperhatikan tiga komponen pendiri Unwira, dan transparansi dalam pengelolaan keuangan oleh Yapenkar dan universitas.

Rektor Unwira Yulius Yasinto secara gamblang memang telah mengakui persoalan mendasar yang terjadi di Kampus Unwira. "Masalah utama yang terjadi di Unwira saat ini adalah persoalan tuntutan kenaikan gaji dari dosen. Para dosen meminta kenaikan gaji yang disetarakan dengan PNS sehingga sejauh ini belum ada kesepakatan antara dosen dan yayasan. Yayasan hanya mengabulkan kenaikan 10 persen dari gaji pokok. Ya, dari perhitungan yayasan sesuai dengan keuangan yang ada maka per 1 Oktober gaji dinaikkan 10 persen," katanya.

Jika melihat standar gaji yang ada di Unwira saat ini, memang memrihatinkan. Bila disandingkan dengan gaji yang diperoleh para dosen Unwira dengan gaji dosen dengan pangkat dan golongannya sama di lembaga perguruan tinggi lainnya terutama perguruan tinggi negeri, maka perbedaannya sangat mencolok, ibarat langit dan bumi. Persoalan gaji memang tidak dapat dipungkiri memberikan dampak ikutan lainnya terutama terhadap kinerja para dosen. Dengan gaji yang rendah, jelas sangat mengganggu persiapan para dosen untuk memberikan kuliah kepada para mahasiswa. Dengan gaji yang rendah, dosen juga terpaksa harus mencari pendapatan lain di luar gaji dosen yang sah dari yayasan. Misalnya menerima job mengajar di universitas atau sekolah lain di luar jam kerja di Unwira. Bahkan praktik-praktik penjualan diktat dan modul seperti yang terjadi di lembaga lainnya bisa saja terjadi walau itu selama ini belum ada mahasiswa yang mengeluhkannya.
Kenaikan 10 persen gaji para dosen jelas belum mampu menyamai gaji dosen PNS. Itu yang membuat belum ada kesepakatan antara Yayasan yang menaungi Unwira dengan para dosen. Dosen masih bersikap belum mau mengajar. Mahasiswa tetap dirugikan.
Karena itu, sesuai janji rektor yang memberi waktu penyelesaian sampai Senin (15/10), maka mahasiswa juga mengambil sikap akan terus menggelar aksi sampai ada kejelasan keputusan. Mahasiswa akan melakukan mimbar bebas di depan kampus sampai hari Senin pekan depan.  "Kami sangat kecewa dengan jawaban pihak Yayasan dan Rektor yang meminta waktu hingga Senin pekan depan," kata Siprianus RK Ama.

Menurutnya, jika hingga Senin (15/10) apa yang dijanjikan tidak terselesaikan, maka mahasiswa akan kembali melakukan demonstrasi dengan jumlah yang lebih besar dengan tuntutan yang lebih tajam.
Ketua Yapenkar Pater Gregor Neon Basu mengatakan, meski selaku pengelola Unwira, Yapenkar tidak berwenang memutuskan kenaikan gaji dosen/karyawan. Kenaikan gaji merupakan keputusan Badan Pembina Yapenkar. "Itu keputusan Badan Pembina. Kami ini hanya badan pengurus, jadi kami tidak bisa untuk memutuskan kenaikan gaji. Kami hanya menyampaikan saja tuntutan kenaikan gaji kepada Badan Pembina," katanya.
Meski demikian, sebelumnya Yapenkar telah menaikkan gaji sebesar lima persen. Namun karena ada gejolak, kembali menaikkan sebesar 10 persen. Bahkan, untuk kenaikan gaji itu, keputusan Badan Pembina tidak ada tetapi karena ada tuntutan, maka dinaikkan.
Kenaikan gaji 10 persen itu, tambahnya, telah diumumkan namun tetap menimbulkan gejolak. Karena itu telah melakukan pendekatan persuasif melaui rektor dan para dekan. Yayasan dan seluruh badan pengurus tengah melakukan rapat dan proses negosiasi.

Ditanya mengenai uang kuliah yang mahal namun tidak sebanding dengan gaji yang diberikan kepada para dosen, dia membantah. Menurut dia, selama beberapa tahun terakhir uang kuliah tidak dinaikkan.
Mantan dosen FKIP Unika John Dekresano yang kini menjabat Rektor Universitas San Pedro mengatakan, selama ini yayasan mengabaikan  kesejahteraan dosen dan karyawan. Padahal, ini sangat penting demi meningkatkan mutu dan kualitas di Kampus. "Jika dosen tidak diperhatikan maka ini menjadi masalah bagi dosen dalam menjalankan tugas, misalnya, dalam mempersiapkan bahan-bahan perkuliahan," katanya.
Menurutnya, yang menjadi penyebab utama dari masalah yang terjadi, pengelolaan keuangan dari yayasan yang kurang memberikan perhatian terhadap kesejahteraan dosen. "Ini adalah masalah lama yang menjadi pemicu dari semua persoalan di Unika. Perhatian yayasan terhadap kesejahteraan dosen dan karyawan sangat kurang. Pengelolaan keuangan tidak memihak pada karyawan dan dosen," katanya.

Miris memang mencermati kasus di Unwira ini. Perhitungan gaji para dosen, masih merujuk pada PGPNS tahun 2003. Itu pun hanya 68 persen dari PGPNS tahun 2003.
Kasus yang menimpa Unwira mendapat simpati banyak kalangan. Sekretaris Kopertis Wilayah VIII Bali-NTB-NTT Anom Sukarta meminta kepada para dosen dan yayasan untuk berdialog mencari solusi terbaik. "Apapun persoalannya, saya imbau kepada para dosen untuk tetap menjalankan tugas dan tanggung jawab mengajar sehingga tidak merugikan mahasiswa yang membutuhkan ilmu dan suasana yang kondusif untuk belajar," pintanya.

Sekretaris Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Provinsi NTT Godlif Neonufa mengharapkan pengelola dan para dosen dapat segera menemukan jalan keluar untuk mengatasi kemelut yang ada agar tidak merugikan mahasiswa.
Sementara itu, Divisi Pendidikan PIAR NTT Yusak Bilaut mengatakan, yayasan pengelola Unwira harus memperhatikan kesejahteraan dosen dan pegawai agar tidak berpengaruh pada layanan perkuliahan kepada  mahasiswa. "Pihak yayasan dan rektorat harus terbuka kepada para dosen mengenai kondisi yang ada agar mahasiswa tidak dirugikan," katanya.

Pertemuan tertutup yang digelar Badan Pemina, Yayasan dan Dekan juga belum ada kata sepakat. Mogok masih terus berlanjut. Bahkan, mahasiswa telah membangun tenda di depan gerbang masuk kampus. Mogok makan dalam aksi demonstrasi juga dilakoni mahasiswa sampai ada titik terang penyelesaian kasus.
Kita tentunya berharap, kemelut di Unwira secepatnya diselesaikan. Badan Pembina, Provinsial SVD Timor, dan Yayasan hendaknya terketuk hatinya mendegar tuntutan dan jeritan hati para dosen yang telah mengabdikan diri bekerja di ladang Tuhan, ladang pendidikan. Tuntutan perbaikan kesejahteraan yang dilontarkan para dosen dan karyawan tentunya bukan tanpa dasar. Ada ahli-ahli ekonomi di Fakultas Ekonomi yang tentunya sudah membuat perhitungan-perhitungan ekonomis, besaran pemasukan yang diterima Unwira, besaran pembiayaan yang dikeluarkan untuk membiayai seluruh roda pendidikan di Unwira. Dan berapa keuntungan yang diterima. Karena itu, perhitungan menaikan gaji setara dengan gaji PNS, tentunya bukan lahir begitu saja, tetapi jelas dari kajian yang sangat matang.
Namun patut dipikirkan pula, bahwa peningkatan kesejahteraan para dosen dan karyawan, jangan sampai mengorbankan mahasiswa. Mogok harus dihentikan, sambil negosiasi terus berjalan. Badan pertimbangan, Yapenkar, dan Provinsial SVD Timor dalam menjawab tuntutan dosen dan karyawan, jangan lagi mengobarkan mahasiswa. Tuntutan peningkatan kesejahteraan, jangan diikuti kebijakan kenaikan biaya kuliah kepada mahasiswa. Jangan memuaskan satu pihak dengan mengorbankan pihak lain.
Tentunya, dengan kebesaran hati, Badan Pembina dan Yayasan dapat mengambil langkah bijak menuntaskan persoalan, agar mahasiswa sebagai penopang utama keberadaan kampus tidak lagi dirugikan. Para pengambil kebijakan di Unwira tidak hanya memikirkan upah surgawi para karyawannya, namun hendaknya upah duniawi para pekerja di ladang Tuhan pun diperhatikan.




Kebanggan itu Kian Sirnah
SETIAP orang pasti bangga menjadi dosen Unwira. Apalagi dengan komitmen dan prinsip pengabdian terhadap lembaga pendidikan yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Komitmen menjadi dosen sesungguhnya telah tertanam bagi para dosen yang menyatakan diri mengabdi di Unwira.
Kebanggan menjadi dosen Unwira begitu nyata dirasakan. Betapa tidak, selain karena komitmennya yang begitu mulai untuk mencerdaskan bangsa, juga karena pada masa itu, kesejahteraan para dosen dan karyawan sangat diperhatikan. Pada masa kejayaannya, gaji dosen Unwira bahkan melampaui gaji dosen-dosen negeri di Universitas Nusa Cendana (Undana).

Kebanggaan itu yang tertanam di dalam sanubari Alfon Bunganaen, Dekan FKIP Unwira kala awal memantapkan pilihannya mengabdi di Unwira tahun 1986.
Kepada VN, Jumat (12/10), Bunganaen mengisahkan, memilih mengabdi di Unwira sebagai kampus sewasta dengan label Universitas Katholik merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Nilai kekatholikannya yang di kejar dalam pengabdian tersebut, sehingga dia menetapkan hati melabuhkan pilihannya di Unwira, dan bukan universitas negeri seperti Undana misalnya. "Ada nilai lain yang saya kejar yaitu nilai kekatholikan," katanya.

Namun kebanggan itu kini hanya tinggal kenangan. Setelah mengabdi 26 tahun, perhatian yayasan kepada para dosen dan karyawan mulai bergeser. Jika pada awal kiprah, yayasan begitu memberikan perhatian terhadap kesejahteraan dosen dan karyawan,  perhatian itu kian berbeda jauh dalam perjalanan kampus Unwira hingga saat ini. Jika para dosen Undana yang dulunya gaji lebih rendah dari gaji para dosen di Unwira, kini justru gaji para dosen di Unwira yang tertinggal jauh dari para Dosen PNS yang segolongan. "Dari tingkat kesejahteraan kami sangat tertinggal jauh dari teman-teman pegawai negeri," katanya.
Gaji dosen dan karyawan di Unwira saat ini sangat memprihatinkan. Sebab gaji yang diterima para dosen saat ini hanya 68 persen dari PGPNS tahun 2003. Inilah yang membuat dia berani untuk menyimpulkan, bahwa dosen-dosen Unwira tertinggal jauh dari aspek kesejahteraan.

Namun, dalam segala kekurangan dan gaji yang minim, Bunganaen akui, selalu ada rahmat untuk memperjuangkan dan memenuhi hidup keluarga. Dengan pengabdian yang tulus kepada lembaga yang begitu dibanggakan sejak awal pengabdian, berkat diperoleh di tempat lain. Kerja sama dengan instansi pemerintah diperolehnya untuk melakukan sejumlah penelitian. Jadi, untuk menopang hidup dan keluarganya, selain gaji yang minim dari Unwira, dana penelitian juga sangat membantunya.
Tentunya melalui perjuangan yang kini tengah dilakukan, dia dan seluruh dosen serta karyawan yang telah mengabdikan hidup dan kehidupannya di Unwira tetap berharap Yayasan, Badan Pertimbangan, dan Provinsial SVD Timor dapat terketuk hatinya meluluskan jeritan hati para pekerja di ladang pendidikan, Unwira. Semoga.

hiero@victorynews-media.com

Optimisme UN di Tengah Keterpurukan

Oleh Hiero Bokilia




DUNIA pendidikan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam dua tahun terakhir terus mengalami keterpurukan. Dalam ujian nasional (UN) tahun ajaran 2010-2011, tingkat kelulusan 94,43 persen untuk UN SMA/SMK dan merupakan persentase tertinggi pertama yang diraih NTT. Namun, hasil ini masih paling bontot di peringkat nasional. Selanjutnya pada Tahun Ajaran 2011-2012, NTT masih menjadi daerah dengan tingkat kelulusan terendah UN tingkat SMA/SMK. Dari jumlah peserta 36.228, yang tidak lulus 1.994 orang atau 94,50 persen dan menempatkan NTT tetap berada di peringkat ke-33 dari 33 provinsi di Indonesia.

Keterpurukan pendidikan di NTT ini tak pelak menjadi sorotan banyak kalangan mengingat pada saat prestasi pendidikan NTT menurun, di saat yang sama, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT sedang gencar-gencarnya menggaungkan Gong Belajar. Gong Belajar ibarat hanya besar di bunyi tanpa ada aksi nyata di lapangan. Gong Belajar hanya indah di kertas tapi buruk dalam implementasi.

Menyikapi melorotnya mutu dan persentase UN di NTT, Pemprov dan Dinas PPO NTT tidak tinggal diam. Sejak pertengahan 2012, Dinas PPO telah mendorong Dinas PPO tingkat kabupaten/kota untuk mulai membangun koordinasi dengan sekolah-sekolah di masing-masing wilayah mempersiapkan para siswa menghadapi pelaksanaan UN. Imbauan itu disambut baik Dinas PPO kabupaten/Kota. Para kepala sekolah pun dikumpulkan dan bersama membangun komitmen mulai melakukan segala persiapan untuk menyiapkan para siswa menghadapi UN. Target-taget mulai ditetapkan dengan indikator keberhasilan masing-masing. Sekolah-sekolah penyelenggara UN pun menyambut baik imbauan dan mulai melakukan persiapan berupa bedah standar kompetensi lulusan (SKL), les tambahan, dan latihan soal-soal UN tahun-tahun sebelumnya.

Kepala Dinas PPO NTT Klemens Meba mengatakan, menjelang pelaksaan UN khususnya untuk tingkat SMA dan SMK pada 15 April mendatang, berbagai kesiapan yang telah dan akan dilakukan oleh Dinas PPO NTT untuk menyelenggarakan UN. Kesiapan yang sudah dilaksanakan adalah bedah SKL dan tryout untuk SMA/SMK. Sedangkan terkait pelaksanaan UN, mulai 6 April, Dinas PPO NTT akan mendistribusikan soal ke kabupaten untuk kemudian didistribusikan ke sekolah-sekolah penyelenggara UN. Dalam bedah SKL tersebut, mengambil berbagai materi dari lima tahun terakhir untuk mengetahui persentase penguasaan soal pada seluruh sekolah di kabupaten/kota.

Dari hasil bedah SKL tersebut, diketahui kelebihan dan kekurangan dari masing-masing sekolah. "Apakah kekurangan itu datang dari siswa atau kekurangan itu datangnya dari guru, sehingga sekolah-sekolah dapat mengaturnya dengan melakukan rapat bersama orangtua dan meminta dukungan dari kabupaten/kota. Seperti di kecamatan-kecamatan di pedalaman disarankan agar kelompok-kelompok belajar dilakukan pemondokan agar mudah dikoordinir," jelasnya.

Dari sejumlah persiapan itu, kemudian untuk menguji kemampuan dan pemahaman siswa terhadap materi UN, dilakukan tryout. Tryout diselenggarakan oleh Dinas PPO NTT, Dinas PPO kabupaten/kota, dan oleh sekolah sendiri. Dari tryout tersebut, kemudian dianalisis oleh tim analisis di Dinas PPO NTT untuk melihat sejauh mana capaian yang diperoleh para siswa. Memang pada tryout pertama, rata-rata belum mencapai standar nilai secara nasional. Banyak siswa meraih nilai di bawah lima. Namun dalam tryout kedua dan ketiga, tim analisis mengakui ada peningkatan.


Tidak Efektif
Walau diakui ada peningkatan hasil tryout berdasarkan hasil analisis, namun sejumlah pengamat tetap menilai, les tambahan yang digalakkan akhir-akhir ini menjelang pelaksanaan UN April mendatang, tidak efektif meningkatkan persentase dan kualitas kelulusan.

Dominikus Waro Sabon, pengamat pendidikan dari Undana Kupang mengatakan, karena pelaksanaan les tambahan pasca dilaksanakan kegiatan belajar mengajar (KBM) sehingga les tambahan tidak efektif.

Menurutnya, salah satu penghambat peningkatan mutu pendidikan karena para guru belum memahami psikologi siswa. Les tambahan yang dilaksanakan pada siang hari setelah KBM berakhir membuat siswa jenuh. Mereka sudah sejak pagi hingga siang telah dipaksa belajar, sehingga les tambahan tidak memberikan banyak manfaat karena tidak akan banyak materi yang mampu diserap para siswa.

Hal seperti itu, kata Waro Sabon, harus menjadi pertimbangan para guru. "Les tambahan siang hari sia-sia karena siang hari siswa sudah lelah dan mengantuk, sehingga membuat para siswa hilang konsentrasi belajar," jelasnya.

Kehadiran seluruh siswa saat les tambahan, lanjutnya, tidak menjamin mereka dapat memahami apa yang dijelaskan guru. Karena itu, guru-guru perlu menguasai ilmu pedagogi sehingga bisa mengetahui kelemahan siswa, begitu juga jika siswa tidak konsentrasi saat guru mengajar. Seorang guru harus menciptakan cara mengajar efektif, dan menarik perhatian siswa.

Pengamat pendidikan Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang Agus Mani berpendapat, untuk dapat menyukseskan pelaksanaan UN dan bisa meningkatkan mutu dan persentase lulusan, maka Dinas PPO NTT perlu memahami potensi sumber daya manusia (SDM) guru di setiap kabupaten. Keberhasilan UN tidak hanya diukur dari kemampuan dan kualitas para siswa saja. Jika hanya memahami dan mengukur kemampuan siswa saja maka akan sulit mewujudkan kesuksesan UN dan meningkatkan mutu lulusan. Kemampuan dan kualitas siswa ditentukan pula oleh SDM guru. Apabila guru dalam proses belajar mengajar hanya menggunakan sistim menghafal, maka akan menjadi permasalahan bagi para murid. Karena, untuk mendalami dan memahami ilmu tidak hanya bisa dilakukan melalui menghafal.

Karena itu, Pemprov NTT melalui Dinas PPO NTT harus secepatnya melakukan pendekatan ke setiap sekolah terutama sekolah-sekolah sasaran Program Gong Belajar. Jika Pemprov NTT tidak serius, maka akan menggagalkan Program Gong Belajar.

Sekretaris Dinas PPO NTT Johanis Mau mengatakan, untuk dapat menyukseskan pelaksanaan UN di semua tingkatan baik SD, SMP, dan SMA/SMK, diharapkan masing-masing sekolah dapat membentuk kelompok belajar. Para guru juga harus membimbing para siswa dengan menjadwalkan kegiatan jam belajar siswa dan kelompok belajar tersebut.

Apalagi, pelaksanaan UN kali ini sedikit berbeda dengan sistem pelaksanaan UN lalu dimana, 20 siswa di dalam satu kelas mendapatkan soal yang berbeda satu dengan lainnya. " mekanisme ini saya yakin hasilnya akan lebih baik," katanya.

Dengan metode demikian, dapat pula dijadikan indikator mengukur kemampuan anak. Hal mana tidak akan menimbulkan kecurigaan adanya kecurangan.



Pesimistis Mutu Meningkat
Ketua Dewan Pembina Pendidikan NTT Simon Riwu Kaho mengatakan, mutu pendidikan di NTT tidak akan meningkat, apabila hanya bedah SKL dan tryout yang dipakai. Karena, akar persoalan mutu pendidikan NTT yang merosot disebabkan karena manajemen sekolah tidak dibenahi. Selain itu disebabkan pula karena kesejahteraan guru masih kurang diperhatikan. Bahkan, para kepala sekolah dan guru pada sekolah yang kurang bermutu sering ditekan oleh pemerintah. "Bagaimana kalau manajemen Sekolah tidak searah. Guru tidak disiplin, begitu pula siswa. Dapat dipastikan bahwa mutu tidak bisa meningkat," tegasnya.

Apabila kesejahteraan guru diabaikan, di mana gaji selalu terlambat dibayar, tunjungan pun demikian, maka faktor ini dapat menyebabkan guru malas mengajar, yang pada akhirnya berdampak pada kemerosotan mutu pendidikan.

Demikian halnya, jika tekanan dari pimpinan wilayah untuk mencopot kepala sekolah yang kelulusan sekolahnya rendah atau tidak mencapi 100 persen. "Kepala sekolah bukan seperti anak buah Kodim yang begitu ada kesalahan langsung dicopot dari jabatan," katanya.

Ancaman dan tekanan bukan saatnya lagi. Untuk itu, jika ada sekolah yang mutunya merosot, mestinya para guru dimotifasi untuk lebih semangat dan mau mengajar dengan baik sehingga ada peningkatan mutu.

Pengamat pendidikan Undana Wara Sabon Dominikus mengatakan, sejauh ini berbagai upaya telah dilakukan pemerintah melalui dinas teknis baik Dinas PPO NTT maupun di kabupaten/kota untuk meningkatkan mutu pendidikan. Hanya saja, jika upaya tryout dan bedah SKL tidak sungguh-sunguh, maka tidak akan membuahkan hasil. Namun jika upaya itu sungguh-sungguh dilakukan, maka dipastikan bisa berhasil dan mutu pendidikan akan meningkat.

Dia melihat, jika semua elemen memiliki kemauan untuk meningkatkan mutu dengan memberikan motifasi bagi guru, maka pasti ada perubahan karena salah satu hal yang mendukung adalah sebanyak 21.011 orang dari 82 ribu guru di NTT telah lulus sertifikasi atau dapat dikatakan sudah 25 persen dari total guru memiliki kualitas dan kemampuan baik. "Saya tidak terlalu pesimis karena data menujukkan banyak guru profesional sudah ada di NTT," katanya.

Sementara itu, pengamat pendidikan Universitas San Pedro Paul Bataona mengharapkan tahun ini ada perubahan dan peningkatan mutu mengingat merupakan harapan seluruh masyarakat NTT agar wajah pendidikan di NTT lebih baik.

Tetapi, semua itu akan tercapai apabila ada kerja sama baik antarkomponen terkait seperti pemerintah, lembaga pendidikan, guru, orangtua, dan siswa.

Walau banyak kritik terhadap persiapan yang telah dilakukan Dinas PPO NTT bersama Dinas PPO kabupaten/kota, para kepala sekolah, dan para guru dalam menyiapkan siswa menghadapi UN, namun kita tidak boleh pesimistis terhadap semua upaya dan perjuangan yang telah dilakukan. Semua kerja keras yang ada akan sia-sia jika para siswa sendiri tidak mampu menyiapkan diri mereka sendiri. Karena bagaimana pun, pada saat UN, siswalah yang mengerjakan soal-soal UN. Karena itu, langkah terakhir menjelang hari-hari pelaksanaan UN adalah mempersiapkan mental dan psikologis para siswa saat mengikuti UN. karena selama ini fakta membuktikan bahwa pada hari pertama UN, para siswa gugup mengerjakan soal-soal UN. Karena itu, agar kegugupan itu tidak terjadi, mental mereka harus dipersiapkan.

Jika semua lini telah berjuang dan bersiap diri, maka kita tentunya banyak berharap bahwa UN tahun ini, posisi NTT bisa merangkak ke posisi angka yang lebih mudah. Setidaknya, kalau tahun 2011 dan 2012 NTT berada di urutan ke-33 dari 33 provinsi, maka tahun ini NTT bisa berbangga berada di posisi 32 dari 33 provinsi. Namun, untuk mencapai itu, janganlah menghalalkan segala cara. Kecurangan harus dijauhkan. Para siswa jangan lagi bergerilya mencari bocoran kunci jawaban. Namun harus percayta diri dengan segala persiapan yang telah dilakukan selama ini, setidaknya mampu memberikan peningkatan prestasi tidak hanya pada persentase kelulusan, namun yang paling penting adalah mutu lulusan yang bisa bersaing di perguruan tinggi negeri dan swasta ternama yang ada di Indonesia. Dan, yang tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, dngan kemampuan yang dimiliki setidaknya mampu diserap di dunia kerja. Semoga. 

hiero@victorynews-media.com

Tragedi Pelayanan Rumah Sakit tak Pernah Pupus

Oleh Hiero Bokilia

BELUM hilang dari ingatan kita, kematian yang merenggut Gregorius Seran, pasien rujukan RSUD Atambua. Demikian pula cerita pilu yang menimpa Polce Victoria Teon, pasien kanker payudara yang ditolak dan kemudan dipanggil kembali untuk dirawat hingga ajal menjemput. Juga kisah kematian Sherly Goru Lolu, ibu hamil yang hendak melahirkan namun meninggal karena terlambat mendapatkan penanganan dokter. Kisah terakhir yang sempat direkam media ini adalah kematian Abraham Hanas, pasien cuci darah yang menunggu proses cuci darah selama empat hari baru dilayani. Setelah dilayani, pasien cuci darah ini meninggal dunia.

Banyak kisah tragis yang terjadi di RSUD WZ Johannes Kupang, mungkin juga terjadi di rumah sakit lain yang tersebar di Provinsi NTT.

Jika pada dua kejadian terdahulu, pasiennya ditolak dan kemudian baru dipanggil kembali untuk dirawat. Sedangkan dua kejadian terakhir karena dokter yang melayani tidak ada di tempat. Ketika pasien masuk dan menjalani perawatan, hanya ditangani oleh perawat. Dokter piket dan dokter ahlinya tidak ada di tempat. Diagnosa terhadap pasien hanya dilakukan melalui telepon. Sistem on call seakan sudah menjadi hal biasa di rumah sakit. Tanpa melihat kondisi pasien secara langsung, dokter ahli dan dopkter piket sudah mampu mendiagnosa penyakit apa yang diderita pasien dan memberikan petunjuk tindakan medis yang harus dilakukan. Sistem on call atau diagnosa jarak jauh ini memiliki dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, diagnosa yang disampaikan dokter benar dan petunjuk tindakan medis yang diberikan juga tepat sehingga membawa keselamatan bagi pasien. Kemungkinan kedua adalah, biasa saja karena tidak melihat langsung kondisi pasien, diagnosa yang dibuat dokter bisa salah. kalau diagnosa sudah salah, maka jelas, petunjuk tindakan mediknya juga tidak sesuai dengan penyakit yang diderita pasien.

Jika kemungkinan kedua ini yang terjadi, maka jelas nyawa pasien terancam bahkan dapat berdampak fatal, meninggal dunia.
Sistem on call marak terjadi di rumah sakit karena banyak dokter yang berprofesi ganda. Mencari tambahan penghasilan setelah jam dinas. Mayoritas dokter umum dan dokter spesialis yang bertugas di NTT dan Kota Kupang umumnya memiliki klinik praktik. Bahkan, ada yang memiliki sampai dua klinik atau tempat praktik. Akibatnya, energi mereka terkuras melayani klien mereka di tempat praktik, dan ketika kembali bekerja pada jam dinas di rumah sakit, mereka sudah loyo. Pasien yang berobat di rumah sakit menjadi korban karena tidak mendapatkan pelayanan maksimal.



Sangat Berisiko
Aktivis PIAR NTT Sevan Aome mengecam pelayanan kesehatan di RSUD WZ Johannes, Kupang yang menggunakan sistem on call. Dokter ahli/spesialis mendiagnosa atau memberi petunjuk tindakan medis tanpa melihat langsung kondisi pasien. Cara pelayanan kesehatan seperti ini, sangat berisiko. "Secara etika, tidak dibenarkan dokter mendiagnosa pasien melalui telepon. Ini tidak dibenarkan. IDI harus turun tangan untuk menghentikan cara-cara pelayanan kesehatan seperti ini," tegasnya.

Kepala Sub Bidang Keperawatan RSUD Kupang Yosias Here mengatakan, mekanisme tersebut sudah sesuai standar operasional prosedur (SOP). On call baru dilakukan pada jam-jam di luar jam dinas, di mana dokter ahli tidak berada di rumah sakit. Juga diperbolehkan di saat dokter yang dibutuhkan sedang menangani operasi. "Dan sejauh ini para dokter melakukan pelayanan on call ini sesuai dengan mekanisme yang ada," katanya.

Koordinator divisi anti korupsi PIAR NTT Paul SinlaeloE mengkritisi Gubernur Frans Lebu Raya yang tidak berdaya melakukan perombakan manajemen RSUD. Bagi dia, gubernur tidak peka terhadap sejumlah kasus kemanusiaan yang melilit RSUD.
Paramedis RSUD juga dituntut memberikan pelayanan maksimal penuh keiklasan tanpa melihat strata sosial pasien. "Jadi pasien darurat yang datang harus ditangani sesegera mungkin oleh dokter yang stand by. Tidak perlu dihambat terlalu banyak urusan administrasi," paparnya.

Koordinator Koalisi Akar Rumput NTT Jan Piter Windy menilai, buruknya pelayanan RSUD WZ Johannes Kupang tidak cukup diatasi dengan merombak manajemen, namun kultur penanganan kedaruratan pun harus diperbaiki.
Pengamat sosial Soraya Balqis kepada VN, Minggu (10/3) menilai, para dokter PNS tersebut bekerja hanya memenuhi kebutuhan mereka sendiri tanpa melihat profesi sebagai seorang dokter berstatus PNS yang harusnya melayani masyarakat dalam keadaan apapun. Untuk itu, jam kerja para dokter PNS harus diatur sehingga pelayanan kepada pasien bisa maksimal.
Menurutnya, sistem kerja para dokter yang baru ditelepon setelah pasien butuh pertolongan darurat menyalahi aturan. "Itu berarti mereka selama ini bermain-main dengan aturan sehingga pemerintah harus memberi sanksi tegas bagi dokter yang berpaling dari tugas piketnya dan lebih mementingkan praktik luar," ujarnya.

Namun, kita tentunya tidak hanya memfonis kesalahan hanya ada pada para dokter. Kita juga harus melihat dari sisi para dokter. Apakah selama ini hak-hak mereka sudah dipenuhi, ataukah ada pengebirian hak para dokter di sana.
Salah seorang dokter RSUD WZ Johannes yang tidak mau namanya dikorankan kepada VN akhir pekan ini menjelaskan, banyak dokter merasa diperlakukan tidak adil oleh manajemen sehingga memunculkan penolakan terhadap kebijakan manajemen. "Tunjangan rawat kamar sesuai SK Menkes harusnya Rp 1 juta, namun SK yang dibuat Direktur dipotong Rp 500 ribu. Ini yang membuat para dokter marah," ungkap sumber itu.
Bahkan, lanjut dia, penetapan Wadir Pelayanan yang bukan seorang dokter menjadi pemicu lain terciptanya blok-blok dalam RSUD. "Ibu Damita (Palalangan) itu bukan dokter tapi bidan. Masa bidan yang atur dokter," tambahnya.

Plt Gubernur NTT Frans Salem yang dihubungi terpisah meminta Direktur RSUD WZ Johannes untuk tidak asal potong tunjangan bagi dokter maupun pegawai biasa.
Apapun persoalan yang terjadi, pasien tidak boleh ditelantarkan. Dokter yang telah disumpah dan memiliki kode etik kedokteran, hendaknya tidak melakukan penolakan terhadap kebijakan manajemen rumah sakit dengan menelantarkan tugas utamanya menyelamatkan manusia dan mengedepankan pelayanan. Apapun yang terjadi, keselamatan nyawa manusia haruslah menjadi yang utama dalam pelayanan. Untuk itu, dibutuhkan komitmen bersama baik Pemerintah Provinsi NTT, manajemen RSUD WZ Johannes, para dokter, dan seluruh pemangku kepentingan untuk terus mendorong pembenahan. Sekali lagi pembenahan bila perlu reformasi di tubuh RSUD WZ Johannes, agar segala macam persoalan tidak lagi terjadi. Agar tidak ada lagi nyawa manusia mati sia-sia karena salah diagnosa, akibat dari sistem on call, diagnosa jarak jauh yang terjadi selama ini.

hiero@victorynews-media.com