Oleh Hieronimus Bokilia
Ende, Flores Pos
Dalam pelaksanaan eksekusi tanah di Kelurahan Paupire, Kecamatan Ende Tengah (Selasa (26/1) salah seorang warga yang mempertahankan lokasi tanah yang dieksekusi, Petrus Nai Lengo (28) terkena tembakan aparat. Akibat tembakan yang mengenai lengan kanan Lengo, serpihan peluru masih bersarang di lengan kanannya sedalam dua centimeter. Untuk mengeluarkan serpihan peluru ini, dokter ahli bedah yang menanganinya menyarankan agar dirujuk ke rumah sakit yang peralatannya lebih lengkap. Dokter tidak berani melakukan operasi guna mengeluarkan serpihan yang ada di dalam lengan korban karena khawatir dapat mengganggu saraf lengan.
Dokter Ahli Bedah, Nengah Raditha kepada wartawan di RSUD Ende, Rabu (27/1) mengatakan, berdasarkan pemeriksaan klinis dan radiologi terhadap lengan kanan korban, ada benda asing yang masuk ke bagian tubunya. Untuk memastikan benda tajam atau peluru tajam atau karet yang ada di dalam lengan korban maka harus dikeluarkan dan untuk itu harus dilakukan operasi. Tetapi, kata Nengah, dari hasil pemeriksaan radiologis menunjukan ada logam dan untuk pastinya harus dioperasi.
Namun untuk mengoperasi korban, fasilitas yang dimiliki rumah sakit terbatas sehingga sulit dilakukan operasi. Apalagi, logam yang diperkirakan ada di kedalaman dua entimeter dari kulit itu sangat kecil. Selain itu di bagian lengan ada saraf lengan yang jika dioperasi tanpa fasilitas lengkap dapat mengganggu syaraf di lengan. Untuk itu, kepada korban dan keluarganya disarankan untuk dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas lengkap. Sebagai dokter ahli bedah yang menaganni korban, dia menyarankan agar korban dirujuk ke Denpasar karena di sana memiliki sarana yang cukup lengkap. “Kita sangat sulit operasi karena logamnya sangat kecil.”
Dia mengatakan, secara anatomis fungsional pasien tidak terganggu dan tidak mengancam nyawa korban. Tetapi, lanjut Nengah, bhenda asing kalau tidak cocok sangat riskan dan dapat menimbulkan inveksi. Mengatasi kondisi ini, katanya, korban sudah diberikan antibiotik untuk mencegah terjadinya inveksi. Korban juga diijinkan untuk pulang pada Selasa dan jika ada persoalan dapat melakukan pengobatan jalan ke rumah sakit. Selanjutnya jika keluarga mengijinkan untuk dirujuk maka dia akan memberikan surat rujukan untuk operasi di Denpasar.
Korban penembakan, Petrus Nai Lengo di Ruang Bedah kepada wartawan mengatakan, dia baru menyadari terkena tembakan saat merasakan ada darah mengucur di lengannya. Dia juga tidak tahu pelaku yang menembaknya karena pada saat itu ada asap dari gas air mata yang dilontarkan polisi. Dia mengakui, saat itu dia sedang memegang parang namun tidak melakukan perlawanan dan hanya berdiri di pagar.
Saat tahu tangannya berdarah terkena tembakan, dia langsung keluar dari lokasi eksekusi dan menumpang ojek menuju ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Dia juga mengakui kalau polisi sudah ke rumah sakit melihatnya setelah keluarganya melaporkan bahwa dia terkena tembakan.
Petrus Nai Lengo saat ditemui hanya ditemani dua kerabatnya. Lengannya yang terkena tembakan telah diobati. Namun lengannya yang terkena tembakan sudah mulai membengkak. Dia mengeluhkan lengannya sangat sakit.
Elias Diwa, ayah korban kepada Flores Pos di rumah keluarganya yang terletak di dekat lokasi eksekusi mengatakan, dia tidak terima perlakuan penembakan yang terjadi terhadap anaknya. Saat terjadi penembakan mereka juga tidak tahu dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa terhadp kejadian yang menimpa anaknya itu.
Terhadap rencana rujukan ke Denpasar, Diwa mengatakan pihaknya tidak mau tahu. Menurutnya, karena aparat yang menembak maka mereka yang harus bertanggung jawab terhadap kondisi anaknya. Yang dia inginkan, anaknya kembali dalam keadaan sehat seperti sedia kala. “Kami dianggap seperti babi hutan. Mereka tembak. Kami tidak terima dengan penembakan itu. Saya tetap anggap anak saya itu sehat seperti biasa. Jadi untuk rujuk atau apa kami serahkan kepada mereka,” kata Elias Diwa dengan nada suara tinggi.
Tetap Bertahan
Diwa mengatakan, mereka semua yang menjadi korban penggusuran akan tetap mempertahankan lokasi tanah itu karena kebenaran. Tanah yang diperkarakan itu merupakan milik mereka sejak nenek moyang. Mereka tidak akan merelakannya untuk diambil begitu saja. Dia menyesalkan sikap aparat yang mengikuti kemauan pemenang perkara untuk menggusur rumah dan tanaman milik mereka di atas tanah itu. Diwa katakan, karena tidak memiliki tempat lain, semua keluarga yang memiliki rumah di lokasi tanah yang telah dieksekusi itu akan tetap kembali menempati dan membangun di lokasi itu. “Kami tidak mau pergi. Tempat kami hanya di sini. Kami akan tetap bertahan. Kalau ada yang masuk kami siap pertahankan. Siapa yang masuk bangun kami kasih hilang memang supaya pemerintah tahu,” kata Diwa.
Saat ini, kata Diwa, seluruh keluarga yang rumahnya digusur menginap di rumah keluarga yang ada di sekitar lokasi penggusuran. Saat ini mereka tidak memiliki apa-apa lagi namun dia berjanji akan kembali membangun di lokasi tersebut. “Itu otomatis,” katanya tandas. Saat ini, kata dia, tiga orang anaknya harus mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Ende karena diproses hukum setelah berjuang mempertahankan lahan tersebut. Saat ini, satu anaknya yang lain harus dirawat karena ditembak saat eksekusi. Dia sangat menyesalkan kejadian tersebut dan melihat proses eksekusi tidak sah karena pembacaan penetapan eksekusi tidak dilakukan di lokasi eksekusi namun dibacakan di loikasi lain di luar lokasi tanah yang dieksekusi.
Kepala Kepolisian Resor Ende, AKBPD Bambang Sugiarto di ruang kerjanya mengatakan, terkait penembakan yang terjadi pada saat pelaksanaan eksekusi semua aparat dari Polres Ende tidak menggunakan peluru tajam. Semua sudah diinstruksikan untuk menggunakan peluru hampa dan peluru karet. Karena itu dia kaget ketika dikatakan bahwa logam yang bersarang di tubuh korban penembakan adalah serpihan peluru. Dikatakan, sesuai hasil visum dokter juga mengatakan tidak ada proyektil di dalam luka yang ada di lengan kanan korban. Saat ini memang belum dapat dibuktikan loham oti proyektil apalagi pada saat pelaksanaan eksekusi tidak ada anggota Polres Ende yang menggunakan peluru tajam. Aparat dari satuan TNI juga menggunakan peluru hampa. Kapolres Sugiarto menduga, logam yang ada di lengan korban bisa saja seng atau logam lainnya dan bukan proyektil.
Dia mengakui, dalam menghadapi perlawanan masyarakat selalu ada protap. Dalam situasi seperti yang terjadi pada saat pelaksanaan eksekusi aparat memang sudah dapat menggunakan peluru tajam karena warga sudah menggunakan molotof, benda tajam dan bensin. Namun pada saat itu, aparat masih melalui protap pertama yakni melepaskan gas air mata dan tembakan peringatan, tembakan dengan peluru hampa dan tembakan dengan peluru karet. “Polres jelas tidak gunakan peluru tajam. Tapi untuk TNI kurang tahu karena mereka punya protap sendiri. Tapi karena mereka ikut dalam pengamanan dibawah pimpinan saya jadi harus ikuti protap Polri.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar