Oleh Hieronimus Bokilia
Ende, Flores Pos
Ketua Fraksi Demokrat, Haji Pua Saleh mempertanyakan keberangkatan tiga anggota DPRD Ende ke lokasi panas bumi Garut untuk mengikuti studi banding. Tiga anggota Dewan masing-masing Philipus Kami, Damran I Baleti dan Maximus Deki merupakan tiga anggota Dewan yang selama ini begitu getol mempersoalkan rencana eksporasi dan eksploitasi panas bumi Mutubusa. Karena itu keberangkatan ketiganya apalagi dibiayai oleh pemerintah melalui Dinas Pertambangan dan Energi patut dipertanyakan. Apalagi, kata dia, informasi dari dinas menyebutkan bahwa keberangkatan mereka bukan untuk mengikuti studi banding ke Garut namun untuk menghadiri penandatanganan MoU jaminan keseriusan dari pihak investor dengan memberikan uang jaminan senilai Rp100 miliar.
Kepada Flores Pos di ruang kerja Komisi B, Rabu (30/12), Haji Pua Saleh mengatakan, keberangkatan ketiga anggota Dewan ini atas penunjukan dari pimpinan DPRD tanpa melalui mekanisme dan dinilai tidak transparan. Seharusnya, kata dia, jika ketiga anggota Dwan ii pergi mewakili lembaga Dewan maka seharusnya penunjukannya harus melalui mekanisme rapat Dewan untuk mengambil kesepakatan mengirim utusdan mengikuti kegiatan dimaksud apalagi kegiatan penandatanganan MoU jaminan keseriusan dari pihak investor.
Dikatakan, sebetulnya dia tidak keberatan atas keberangkatan ketiganya. Hanya saja tidak ada transparansi dalam penunjukan ketiganya. “Jadi pertanyaan apakah mereka mewakili lembaga atau berangkat secara indifidu atau pribadi,” kata Pua Saleh. Namun karena mereka sudah mengikuti kegiatan penandatanganan MoU tersebut maka setidaknya ketika mereka kembali nanti mereka mampu memberikan penjelasan atau sosialisasi terkait rencana eksporasi dan eksploitasi panas bumi Mutubusa kepada masyarakat. Hal yangperlu dijelaskan ketiganya, kata dia adalah menyangkut analisis dampak lingkungan (AMDAL), royalti yang diperoleh pemerintah dari kegiatan tersebut bagaimana langkah-langkah antisipasi ke depan mengingat proyek ini jangka waktunya cukup lama yakni mencapai 40 tahun.
Menurut Pua Saleh, selama ini masyarakat masih sangat awam soal kegiatan proyek panas bumi Mutubusa baik mengenai kajian AMDAL. Bahkan, kata dia, anggota DPRD Ende juga banyak yang belum memahami sejauh mana sosialisasi pemerintah daerah kepada masyarakat terutama masyarakat yang berada di sekitar lokasi panas bumi. Sejauh ini juga belum ada transparansi dari pemerintah terkait MoU dan kontrak kerja dengan pihak investor sehingga Dewan belum bisa menjadwalkan waktu melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Pua Saleh menilai, lokasi panas bumi Mutubusa yang letaknya di ketinggian dan dibawahnya terletak pemukiman warga memang sangat riskan. “Kita khawatir kejadian di Lapindo bisa berpindah ke Mutubusa. Jelas kalau terjadi pemukiman warga yang ada di bawah dataran akan menjadi korban,” kata Pua Saleh.
Karena itu dia berharap, tiga anggota yang ditunjuk pimpinan mewakil lembaga Dewan yang dinilainya selama ini cukup ngotot menolak rencana proyek panas bumi ini mampu menterjemahkan langkah-langkah lebih lanjut setelah mereka kembali ke Ende. Jika nanti ada protes dari masyarakat yang datang ke lembaga Dewan ketiganya juga harus tampil memberikan penjelasan. “Selama ini ngotot tolak. Tapi kalau sudah jalan itu berarti sama dengan menyetujui.”
Pua Saleh juga mempertanyakan pembiayaan yang dikeluarkan pemerintah untuk membiayai segala kegiatan menyangkut rencana proyek panas bumi Mutubusa. Padahal, kata dia, seharusnya segala biaya tersebut menjadi tanggung jawab pihak investor. Namun pemerintah dalam APBD mengusulkan sejumlah anggaran dan telah ditetapkan bersama DPRD untuk membiayai segala kegiatan dimaksud dana lebih kurang Rp600 juta lebih yang telah dimanfaatkan. “Kesimpulannya terjadi saling tumpang tindih dari pos anggaran yang berbeda. Diduga, ada indikasi penggunaan dana itu fiktif,” kata Pua Saleh.
Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Ende, Barnabas L Wangge kepada Flores Pos dari Surabaya mengatakan, keberangkatan mereka ke Garut bukan untuk penandatanganan MoU jaminan keseriusan. Namun merupakan kegiatan studi banding ke lokasi panas bumi Garut untuk melihat langsung dampak dari kegiatan eksploitasi dan pemanfaatan panas bumi di sana. Dampaknya sangat positif baik dari sisi pendidikan, ekoniomi, pertanian dan dari sisi pariwisata.
Terkait pendanaan, Wangge membantah dengan tegas jika dalam proses ini semua pendaan menjadi tanggung jawab pihak investor. Menurut dia, seluruh pembiayaan dalam proses ini masih menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Pihak investor baru membiayai semua kegiatan ketika ijin usaha pertambangan (IUP) dengan jaminan kesungguhan Rp100 miliar sudah diberikan. Jika sudah mulai dilakukan eksplorasi maka seluruh pembiayaan menjadi tanggung jawab investor. “Kita hanya bantu siapkan infrastruktur seperti jalan. Mereka (investor) juga harus siapkan jaminan sosial, pendidikan bagi masyarakat sekitar lokasi panas bumi.”
Sejauh ini, kata Wangge, IUP belum dapat dikeluarkan karena belum adanya kesepakatan harga jual per kwh antara pihak investor dengan PLN. Pihak investor menawarkan harga terlampau tinggi padahal patokan harga PLN hanya 9,7 sen per kwh sedangkan yang ditawarkan 12,5 sen per kwh. Untuk itu sedang diupayakan membuat usulan ke presiden agar poryek panas bumi Mutubusa masuk dalam perencanaan pengembangan kawasan timur Indonesia agar selisih harga bisa ditanggulangi oleh pemerintah dari APBN.
Anggota DPRD Ende, Philipus Kami yang dihubungi melalui telepon selularnya pada Rabu mengakui dia baru kembali dari Garut dan telah tiba di Kupang. Selanjutnya akan berangkat menuju Ende. Terkait keberangkatannya bersama dua anggota Dewan lainnya, Kami mengakui merupakan perjalanan dinas yang dibiayai oleh pemerintah dalam hal ini Dinas Pertambangan dan Energi. Namun Kami membantah jika keberangkatan mereka itu untuk menghadiri penandatanganan MoU jaminan keseriusan. Akan tetapi, kata Kami, keberangkatan mereka bersama Wakil Bupati Ende, Achmad Mochdar, Kadis Pertambangan dan Energi, Barnabas L Wangge, sejumlah warga dari Komunitas Sokoria, dan staf kecamatan adalah kegiatan semacam studi banding ke lokasi panas bumi Garut.
Kehadiran mereka di Garut untuk melihat dari dekat keberadaan panas bumi Garut baik dari sisi pengaruh ekonomi, pengaruh atau dampak terhadap lingkungan dan pelayanan kepada masyarakat. Sebelum turun ke lokasi panas bumi Garut, kata Kami, mereka terlebih dahulu mengikuti penjelasan teknis dari pihak pengelola panas bumi Garut. Dalam penjelasan teknis dari pihak pengelola terkait dengan kekhawatirannya akan adanya zat berbahaya yang dapat membahayakan masyarakat dijelaskan bahwa zat itu memang ada. Hanya saja dalam pelaksanaannya ada upaya khusus yang dilakukan untuk membuang zat tersebut ke udara sehingga tidak membahayakan masyarakat.
Setelah mendengar penjelasan teknis, selanjutnya mereka ke lokasi panas bumi. Dari hasil pemantauan di lapangan, kata Kami, ada banyak hal yang selama ini dikhawatirkan ternyata tidak terjadi di lokasi panas bumi. Dia mengambil contoh, kondisi lingkungan yang dikhawatirkan ketika dieksplorasi dan dieksploitasi akan merusak lingkungan ternyata kondisi di lokasi panas bumi Garut sangat bertolak belakang. Tanaman bisa hidup dengan subur di lokasi panas bumi Garut. Selain itu, keberadaan panas bumi Garut juga sangat berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat sekitar yang mulai membaik seiring dengan pengoperasian panas bumi Garut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar