29 September 2008

Isi Liburan Sekolah Jadi Penggali Pasir

Oleh Hieronimus Bokilia

Matahari mulai bergerak. Sedikit lagi matahari akan berada tepat di atas kepala. Bunyi gemerisik sekop saat beradu dengan batu dan kerikil menjadi suara penghibur siang itu. Tiga orang anak manusia sedang serius. Sejurus mereka mengangkat kepala saat klakson sepeda motor saya bunyikan. Setelah tersenyum sejenak ke arahku ketiganya kembali serius menekuni pekerjaan masing-masing. Panas menyengat bukan penghalang. Mereka begitu asyik menikmati apa yang sedang mereka lakukan. Saya terhenyak seolah-olah disekiling mereka ada kipas angin yang membuat mereka bekerja tanpa henti dan tidak mempedulikan teriknya matahari. Siang itu panas begitu terik padahal penunjuk waktu di handphone saya baru menunjuk pukul 11.30.

Hari itu Sabtu (27/9). Tanpa sengaja saya menyusuri jalanan menuju tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di Rate. Sepanjang jalan menuju lokasi TPA sejak berada di ujung kampung, aroma sampah sudah mulai tercium. Sampah berserakan sepanjang jalan. Padahal TPA masih jauh. Tujuan saya waktu itu mau menghadiri kegiatan penyaluran bantuan paket ramadhan dari Yayasan Al Imam. Namun seperti orang tanpa tujuan saya terus menyusuri jalan menuju TPA Rate. Sekembalinya saya dari TPA Rate saya mencoba singgah di tempat mereka menggali pasir.

Hamdan Muhamad (30), Iksan dan Aladin masing-masing berusia sebelas tahun asyik menggaruk dan mengumpulkan pasir. Sejenak Iksan dan Aladin menghentikan kerja sejenak saat saya hampiri. Hamdan mengeluarkan sebatang surya 12 dari kantung plastik putih di dekat tumpukan batu. Dia lalu membakar dengan korek api dan menghirup asap surya 12 dan mengepulkan asapnya. Iksan dengan alat penggaruk di tangan kembali melanjutkan kerjanya. Mengenakan baju merah hitam khas klub bola Italia AC Milan, dia terus menggaruk kerikil dan batu kecil yang ada di pasir. Dia berupaya memisahkannya dari pasir yang baru dikoreknya. Setelah selesai disisir memisahkan kerikil bersama Aladin yang siang itu mengenakan baju tanpa lengan, Iksan mulai menyekop pasir dan memindahkannya perlahan-lahan ke tumpukan pasir yang sudah mulai tampak meninggi dua langkah dari tempat mereka mengorek pasir. Iksan dan Aladin dua siswa SDI Paupanda I Kecamatan Ende Selatan. Mereka dua sekarang duduk di kelas lima. Siang itu mereka tidak sekolah. Iksan bilang sekarang sedang libur lebaran. Untuk isi masa liburan mereka membantu Hamdan abang mereka menggali pasir.

Iksan dan Aladin sibuk kerja. Saat beberapa kali saya jepretkan kamera ke arah mereka, keduanya tidak berpaling. Iksan dengan penggaruk terus memisahkan kerikil. Aladin yang beberapa kali menggoda Iksan karena saya potret tapi dia hanya menyeringai dan terus melanjutkan kerja. Hamdan bilang pasir yang mereka kumpul itu untuk mereka dua. Tidak gabung degan yang dia kumpul. Kalau sudah banyak mereka jual sendiri. Uangnya untuk mereka. Saat saya tanya uangnya mau buat apa. Spontan Aladin bilang uang jual pasir mereka mau pakai untuk beli beras. Jawaban singkat Aladin itu membuat saya sempat termenung. Saat usia saya sebelas tahun 21 tahun silam, tidak pernah terbayang sedikitpun pikiran untuk cari uang bantu orang tua. Hal itu mungkin juga terjadi pada anak-anak Kota Ende lainnya yang sebaya dengan Iksan dan Aladin. Ada yang mengisi waktu libur dengan bermain playstation di rumah atau di rental-rental, ada juga yang bermain sepeda berkeliling Kota Ende. Ada anak seusia mereka juga hanya berpikir bagaimana menghabiskan jatah uang jajan yang diberikan orang tua mereka tiap hari.

Tapi kondisi itu sangat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan dua bocah ini. Mereka berdua sudah berpikir bagaimana mencari uang untuk beli beras. Dua sisi kehidupan yang berbeda sekali. Di satu sisi ada anak yang hanya mau menghabiskan uang dari orang tua. Di sisi yang lain ada anak seusia mereka yang banting tulang cari uang apalagi cari uang untuk beli beras. Beberapa kali saya memuji ketegasan sikap keduanya. Iksan dan Aladin hanya tersipu sambil melanjutkan kerja mereka menggaruk dan menyekop pasir.

Hamdan bilang, Iksan dan Aladin keponakanya baru dua hari kerja gali pasir. Kebetulan mereka sedang libur sekolah. Hamdan sebelumnya kerja sebagai buruh proyek bangunan. Bayaran per hari hanya Rp40 ribu. Kerjanya nonstop sampai sore. Hanya isirahat jam 12.00 untuk makan siang. Jam 12.30 atau jam 13.00 sudah harus lanjutkan pekerjaan. Dengan kerja penuh tapi penghasilan tidak seberapa Hamdan akhirnya berhenti dari buruh proyek dan memilih jadi penggali pasir. Tiap pagi dia berangkat dari rumahnya di Rate Kelurahan Tanjung. Kerja gali pasir dilakoni sampai pukul 10.00. tapi kadang sampai jam 12.00 baru dia pulang ke rumah untuk istirahat dan makan. Kerja baru dia lanjutkan sekitar pukul 16.00 atau jam empat sore. Hamdan bilang satu hari dia bisa kumpulkan pasir satu reit dum truk. Dia tidak tahu persis berapa kubik tapi dia kira-kira bisa sampai tiga atau empat meter kubik per hari. Satu reit pasir itu dia jual Rp150 ribu. Selain kumpulkan psir, Hamdan juga kumpul batu. Harga batu juga sama Rp150 ribu tiap reit. ”Tiap hari selalu ada truk yang datang muat. Kadang truk langsung muat biar saya tidak ada. Mereka sudah langganan.”

Dia bilang kalau satu hari ada truk yang muat pasir dan batu dia bisa dapat Rp300 ribu. Tapi kalau hanya muat pasir hanya dapat Rp150 ribu. Tapi dia bilang kerja sebagai penggali pasir malah lebih enak walau harus kuras banyak tenaga. Kerja jadi tukang gali pasir, Hamdan bilang lebih santai. ”Mau kerja, kerja. Mau istirahat, istirahat. Tidak ada yang perintah.” Penghasilan juga malah jauh lebih baik dibanding menjadi buruh proyek. Kalau pasir laku tiap hari, sudah dipastikan uang Rp150 ribu masuk kantung. Belum lagi kalau batu juga laku sudah pasti tiap hari Rp300 ribu dikumpulkan. Tapi dia bilang kerja gali pasir memang pekerjaan berat dan menguras tenaga namun dia menikmatinya.

Saat itu dua truk beriringan melintas di depan jalan tempat mereka kumpul pasir. Hamdan bilang truk itu mau pergi angkut pasir di langganan mereka yang agak jauh dari situ. Sepanjang jalan itu memang ada beberapa tempat galian pasir. Ada tumpukan pasir dan batu yang dionggok menunggu diangkut truk. Hamdan bilang, kendati banyak tempat galian pasir tapi dia selalu dapat jatah satu reit tiap hari. Penggali asir yang lain dia anggap bukan saingan. Rejeki tiap oang beda-beda. Dia optimis tiap hari pasti ada truk yang datang mengangkut pasir yang dia kumpul. Semula saya pikir lokasi dia menggali pasir itu milik orang. Dia hanya penyewa. Tapi Hamdan bilang lokasi menggali pasir itu miliknya sendiri jadi tidak perlu bayar ke orang lain lagi. Penghasilan dari menggali pasir murni untuknya sendiri.

Saya sempat membuat kalkulasi. Kalau satu hari Hamdan bisa jual satu reit pasir maka kalau satu minggu dia kerja enam hari maka dia sudah bisa kumpul Rp900 ribu. Kalau satu bulan maka dia sudah bisa kumpulkan Rp3,6 juta. Penghasilan yang fantastis menurut saya. Saya lalu bandingkan saat Hamdan jadi buruh proyek. Kalau satu hari kerja dia dapat upah Rp40 ribu, dalam seminggu dia hanya mengumpulkan Rp240 ribu dan sebulan dia baru mengumpulkan Rp960 ribu. Upahnya sebulan di buruh proyek sebanding dengan hasil dia menggali pasir selama satu minggu. Dan hasil itu baru bisa sebanding dengan penghasilan Hamdan sebulan kalau dia bekerja selama empat bulan lagi. Maka pilihan Hamdan banting setir jadi penggali pasir memang bukan keputusan sia-sia tapi sudah membuktikan hasil yang jauh lebih baik.

Saat saya tanya penghasilan dari gali pasir untuk apa, Hamdan hanya bilang untuk penuhi kebutuhan sehari-hari. Biaya anak sekolah belum ada karena anaknya masih kecil. Istrinya Erna hanya ibu rumah tangga. Tapi istrinya tidak bantu dia bekerja. Tiap hari dia sendiri yang kerja sedangkan istrinya di rumah menyiapkan makan siang dan mengurus rumah.

Hamdan bilang, kerja apa saja tidak jadi soal. Terpenting menurut dia adalah kemauan karena dia berprinsip kalau ada kemauan semuanya bisa diatasi. Benar juga apa ang dikatakan Hamdan. Sesulit apapun hidup ini tapi kalau tgar kita hadapi semua kesuitan bisa teratasi. Hamdan, Iksan dan Aladin poter hidup penggali pasir yang terus menghadapi kerasnya hidup ini. Menikmati kerja merupakan pelajaran dari Iksan dan Aladin yang diusia sebelas tahun tidak lagi menghiraukan teriknya matahari yang membakar tubuh. Hamdan, Iksan dan Aladin tersenyum saat saya pamit pulang. Saat saya starter motor mereka masih memandang ke arah saya. Ketika saya mulai membalikan motor mereka kembali asyik dengan pekerjaan mereka masing-masing tanpa menghiraukan teriknya mentari pukul 12.20 saat mentari mulai merayap di atas ubun-ubun siang itu.