25 Mei 2011

Kericuhan Pasca Rapat Dewan, Sangat Memalukan Lembaga Dewan

· * Badan Kehormatan Segera Undang Anggota Dewan

Oleh Hieronimus Bokilia

Ende, Flores Pos

Kejadian kericuhan pasca pelaksanaan rapat Gabungan Komisi dengan pemerintah pada Senin (23/5) dinilai sangat mempermalukan lembaga Dewan. Kejadian itu bukan kejadian yang wajar karena sudah melanggar kode etik dan tata tertib lembaga dan telah mencederai wibawa dan kehormatan lembaga Dewan.

Hal itu dikatakan Ketua Badan Kehormatan DPRD Ende, Haji Mohamad Taher kepada Flores Pos di gedung DPRD Ende, Selasa (24/5). Haji Taher mengatakan, pada saat kejadian memang dia tidak hadir namun ketika mendengar informasi adanya kericuhan usai sidang Gabungan Komisi dirinya sangat kaget. Terhadap kejadian tersebut sangat disayangkan.

Secara kelembagaan, apa yang dilakukan oknum anggota Dewan hingga terjadi kericuhan bahkan sampai ada yang berlari ke luar gedung hingga ke jalan umum merupakan tindakan yang jelas-jelas telah melanggar kode etik dan tata tertib DPRD. Sebagai wakil rakyat dan orang-orang pilihan yang telah dipercayakan masyarakat Kabupaten Ende untuk duduk di lembaga terhormat ini, kejadian seperti itu seharusnya tidak perlu terjadi.

Sebagai orang pilihan, wakil rakyat terhormat dan pejabat publik, kata Haji Taher, anggota Dewan seharusnya mampu menjaga tutur kata, sikap dan sopan santun apalagi semua itu sudah diatur di dalam kode etik dan tata tertib DPRD Ende. Sebagai anggota Dewan, lanjutnya harusnya bisa saling menghormati dan menghargai tidak saja dengan sesama anggota Dewan tetapi juga dengan mitra kerja dan masyarakat.

Menyikapi persoalan ini, kata Haji Taher, Badan Kehormatan DPRD Ende akan mengundang pihak-pihak yang terlibat dalam kericuhan untuk dimintai klarifikasi langsung dari mereka. Badan Kehormatan akan menyelesaikan persoalan ini secara internal mengingat persoalan ini merupakan pelanggaran ringan. Persoalan ini, lanjut Haji Taher akan diselesaikan dalam nuansa kekeluargaan agar semua kesalahpahaman dapat diselesaikan.

Sebagai ketua Badan Kehormatan, kata Haji Taher, dia berharap agar kejadian memalukan seperti itu tidak lagi terulang di waktu-waktu mendatang. Kejadian seperti ini akan menimbulkan perseden buruk terhadap citra lembaga dan menjadi bahan tertawaan rakyat. “Tapi tetap kita pahami ini adalah tindakan manusiawi. Tapi kita tetap tekankan agar ini pertama dan terakhir kali terjadi di lembaga Dewan,” kata Haji Taher.

Diberitakan sebelumnya, rapat Gabungan Komisi dengan pemerintah membahas delapan buah rancangan peraturan daerah (Ranperda) yang berlangsung Senin (24/5) berakhir ricuh. Kericuhan terjadi usai pimpinan rapat menutup rapat. Namun dari informasi berkembang menyebutkan Fransiskus Taso, Wakil Ketua DPRD Ende yang memimpin rapat tersinggung dengan pernyataan anggota DPRD Gabriel Dala Ema sehingga memciu terjadinya kericuhan.

Seperti disaksikan, Fransiskus Taso dan Gabriel Dala Ema nyaris adu jotos namun berhasil dileraikan sejumlah anggota DPRD yang hadir. Terlihat Fransiskus Taso mengejar Gabriel Dala Ema yang berusaha melarikan diri ke luar ruang sidang.

Karena tidak berhasil mendapatkan Dala Ema, Fransiskus Taso yang tampak emosi, melempar Dala Ema dengan peralatan sound sistem yang diambilnya dari ruang sidang, namun tidak mengenainya. Dala Ema pun tampak berlari dengan sekuat tenaga sampai ke jalan raya El Tari dan seterusnya meninggalkan gedung DPRD hingga suasana kembali aman.

Masyarakat Desa Emburia Minta Pemasangan Jaringan Listrik

· * Selama ini Hanya Gunakan Lampu Pelita

Oleh Hieronimus Bokilia

Ende, Flores Pos

Masyarakat Desa Emburia Kecamatan Ende yang terdiri atas tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda dan tokoh perempuan mendatangi Kantor DPRD Ende. Mereka meminta Dewan memfasilitasi mereka membantu pemasangan jaringan listrik di desa tersebut. Sebelumnya mereka juga sudah mendatangi kantor PT PLN Cabang Flores Bagian Barat menyampaikan maksud yang sama.

Mosalaki Woropahda, Yakob Janggo di gedung DPRD Ende, Senin (23/5) mengatakan, masyarakat di sejumlah wilayah di Desa Emburia Kecamatan Ende seperti di Dusun Gaso belum dilayani listrik. Masyarakat pada malam hari hanya menggunakan lampu pelita. Sedangkan kalau ada kegiatan seperti kematian, pesta dan acara besar lainnya warga terpaksa meminjam genset dengan biaya yang cukup besar.

Padahal, kata Yakob Janggo, masyarakat begitu besar keinginannya agar secepatnya dilayani pemasangan jaringan listrik. Keinginan itu sudah disampaikan kepada pihak PLN sejak tahun 2002. Permohonan juga kembali diajukan pada tahun 2009. Bahkan, masyarakat sudah mengumpulkan uang sebesar Rp21 juta untuk pemasangan jaringan. Namun setelah permohonan diajukan dan tim dari PLN turun melakukan survei, hingga saat ini mereka belum terlayani juga. “Akhirnya uang yang sudah kami kumpul kami bagi kembali,” kata Janggo.

Kedatangan warga dari berbagai unsur ini, kata Janggo ingin meminta Dewan agar bisa memfasilitasi pemasangan listrik di Desa Emburia. “Kami harap paling lambat Juni ini sudah bisa terlayani,” kata Janggo. Dikatakan, mereka juga sudah bertemu pihak PLN dan dijanjikan tim akan turun melakukan survei.

Janggo juga mengatakan, masyarakat siap membantu pihak PLN dalam pemasangan jaringan. Bahkan, masyarakat sudah menyatakan untuk merelakan lahan mereka dilewati jaringan dan tanaman mereka dipotong untuk mempermudah pemasangan jaringan tanpa ada tuntutan ganti rugi. “Kami tidak persoalkan pembebasan lahan dan korbankan tanaman. Yang penting listrik bisa masuk,” katanya.

Polisi Tangkap Pengedar Ganja

· * Ganja Seberat 8,3 Gram Diamankan

Oleh Hieronimus Bokilia

Ende, Flores Pos

Tim Penyelidikan Narkotika Kepolisian Resor (Polres) Ende berhasil menangkap dan menagamankan Fadli alias Alen, mahasiswa semester V salah satu perguruan tinggi di Ende pemilik dan pengedar narkotika jenis ganja saat hendak melakukan transaksi ganja. Fadli alias Alen ditangkap Tim Lidik Narkotika di Kelurahan Paupanda dekat kediamannya saat berjalan kaki hendak melakukan transaksi ganja dengan pemesan yang diidentifikasi bernama Adnan ibrahim alias Nano. Dari tangan tersangka pelaku pemilik dan pengedar ganja Fadli alias Alen, Tim Lidik Narkotika berhasil mengamankan tiga paket ganja kering dengan total seberat 8,35 gram.

Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Ende, AKBP Darmawan Sunarko melalui Wakil Kepala Kepolisian Resor (Wakapolres) Ende, Kompol Albertus Neno didampingi Kepala Satuan Reserse dan Kriminal, AKP Alexander Aplunggi, senin (24/5) mengatakan, keberhasilan Tim Lidik Narkotika yang dibentuk Kapolres itu setelah mendapatkan informasi dari salah seorang warga. Informasi menyebutkan bahwa ada seorang warga Ende di Mataram Provinsi NTB yang hendak pulang ke Ende menumpang KM Awu membawa serta narkotika.

Dari informasi yang diterima itu, tim berupaya melakukan pemantauan di Pelabuhan Ipi saat KM Awu sandar pada Minggu (22/5). Sekitar pukul 11.00 saat KM Awu sandar di Pelabuhan Ipi, saat penumpang turun, pelaku diamankan. Polisi lalu melakukan penggeledahan namun tidak berhasil menemukan ganja. “Itu mungkin karena kurang teliti,” katanya.

Pelaku Fadli alias Alen lalu dibiarkan pulang ke rumahnya. Namun, polisi terus membuntuti. Saat melakukan komunikasi dengan pemesan dan saat hendak ke luar melakukan transaksi dengan pemesan, tersangka pelaku Fadli alias Alen langsung ditangkap. Saat itu, polisi menemukan barang bukti ganja yang diisi di dalam kantung plastik warna hitam. Tersangka pelaku dan barang bukti saat itu juga langsung digelandang menuju Mapolres Ende untuk dilakukan pemeriksaan.

Dari hasil pemeriksaan, kata Kapolres Sunarko melalui AKP Albertus Neno, Fadli alias Alen mengakui bahwa ganja itu dipesan oleh Adnan Ibrahim alias Nano. Diakuinya, pada tanggal 19 Mei lalu, Adnan Ibrahim alias Nano mentransfer uang sebesar Rp100 ribu kepada Fadli alias Alen melalui adiknya di Mataram-NTB . Tersangka mengakui, dia baru pertama kali ke Mataram dan kembali membawa ganja. Ganja tersebut merupakan pesanan dari Adnan Ibrahim alias Nano.

Sunarko melalui Albertus Neno mengatakan, dari keterangan Fadli alias Alen, polisi juga menangkap Adnan Ibrahim alias Nano. Semula saat diperiksa, dia mengakui uang yang dia kirim bukan untuk beli ganja namun untuk beli baju. Namun setelah diperiksa lebih lanjut, baru da mengakui bahwa uang itu dia kirim untuk membeli ganja.

Dikatakan, barang bukti ganja ini belum dapat dipastikan dan butuh pemeriksaan forensik dan laboratorium guna memastikan. “Tadi pak kapolres sudah perintahkan hari ini juga dibawa ke Kupang untuk diperiksa di Balai POM. Hari ini (Senin) dilakukan pemeriksaan urin dan darah dan akan dilakukan penggeledahan,” kata Neno.

Tersangka dijerat melanggar pasal 111 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman hukuman penjara maksimum empat tahun dan denda Rp800 juta.

Kapolres Sunarko mengatakan, dengan peredaran narkotika jenis ganja seperti ini kendatipun jumlahnya hanya satu gram atau banyak tetap dicurigai bahwa sudah banyak yang beredar. Peredaran narkotika ini, lanjutnya ibarat fenomena gunung es, di atas permukaan yang diketahui sedikit namun dibawahnya banyak. Karena itu, lanjut Sunarko, perlu diperketat jalan masuk atau jalur masuknya baik melalui udara, darat, pelabuhan laut maupun pelabuhan-pelabuhan rakyat. Koordinasi lintas sektor, kata Sunarko perlu dilakukan agar jalur peredaran dan jalan masuknya narkotika ke Ende dapat dicegah sedini mungkin.

Dengan beredarnya narkotika jenis ganja ini, kendati baru merupakan kasus pertama semenjak dia menjabat kapolres namun ini perlu diwaspadai. Sosialisasi harus terus digalakan baik kepada siswa SLTP, SMA dan perguruan tinggi. Kepada pemerintah juga diminta untuk memperhatikan persoalan ini dan didorong untuk membentuk Badan Narkotika Kabupaten.

Terjadi Kericuhan Usai Sidang Gabungan Komisi

· * Gabungan Komisi Hentikan Pembahasan Ranperda

Oleh Hieronimus Bokilia

Ende, Flores Pos

Rapat gabungan Komisi dengan pemerintah membahas delapan buah rancangan peraturan daerah (Ranerda) berakhir ricuh. Kericuhan terjadi usai setelah pimpinan rapat menutup rapat. Pokok permasalahan hingga terjadinya kericuhan masih simpang siur. Namun dari informasi berkembang menyebutkan Fransiskus Taso, Wakil Ketua DPRD Ende yang memimpin rapat tersinggung dengan pernyataan Gabriel Dala Ema sehingga memciu terjadinya kericuhan.

Rapat di ruang rapat gabungan Komisi DPRD Ende, Senin (24/5) sejak awal berjalan cukup alot. Saling interupsi kerap terjadi dalam pembahasan tersebut di mana mayoritas anggota Gabungan Komisi masih mempersoalkan dan meminta penjelasan dari pemerintah terkait penarikan atau pembatalan dua dari 10 Ranper.

Rapat yang dihadiri Asisten III, Abdul Syukur Muahad, Kepala Bagian Hukum, Petrus guido No, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Yoseph Lele, Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, M S Thamrin dan sejumlah staf tidak sampai membahas rapnerda yang diajukan. Pembahasan masih pada permintaan penjelasan terkait penarikan dua ranperda.

Abdul Kadir Hasan Mosa Basa pada kesempatan itu mengatakan, jawaban pemerintah yang disampaikan dalam rapat paripurna VII DPRD Ende terkait alasan penarikan dua ranperda belum menjawab substansi pertanyaan dari fraks-fraksi Dewan. Apalagi merujuk pada penjelasan bupati dan wakil bupati dalam paripurna lalu sangat kontradiktif.

Menurutnya, penarikan ranperda baru dapat dilakukan jika belum masuk dalam proses pembahasan di lembaga Dewan. Sementara dalam persoalan ini, pembahasan atau pra pembahasan sudah dilakukan di Badan Musyawarah di mana Badan Musyawarah bersama pemerintah telah membahas dan menetapkan jadwal waktu pembahasan sepuluh buah ranperda yang diajukan pemerintah. Dengan demikian, pembahasan sudah dilakukan. Penarikan dapat dilakukan kalau belum ditetapkan jadwal namun jika sudah ditetapkan maka harus atas persetujuan lembaga Dewan.

Fransiskus Taso yang memimpin sidang mengatakan, Badan Musyawarah sudah menetapkan jadwal sidang untuk membahas 10 buah ranperda dan itu berarti sudah masuk dalam tahapan pra pembahasan. Namun setelah Badan Musyawarah sudah menetapkan jadwal sidang untuk 10 ranperda, ternyata yang diajukan Cuma delapan ranperda. “Kalau dinyatakan ditarik harusnya ditarik sebelum pembahasan dan penetapan jadwal tapi ini dilakukan setelah Bamus sudah susun jadwal,” katanya.

Haji Pua Saleh menegaskan, dengan penarikan dua buah ranperda setelah Badan Musyawarah menetapkan jadwal sidang pembahasan ranperda menunjukan bahwa pemerintah tidak menghargai lembaga Dewan. Badan Musyawarah, lanjutnya tetap merujuk pada penetapan jadwal awal yakni pembahasan 10 ranperda dan tidak dilakukan perubahan jadwal. Kondisi yang terjadi, lanjut Haji Pua menunjukan tingkat koordinasi di pemerintahan yang kurang bagus sehingga ada pendapat yang berbeda-beda baik dari bupati, wakil bupati dan kepala bagian hukum.

Kondisi yang terjadi, kata Haji Pua sudah masuk dalam unsur politik dan sudah ada kaitan dengan pemilu kada mendatang. Jawaban-jawaban yang diberikan pemerintah sangat tidak mendasar dan seperti jawaban anak kecil apalagi sampai mengatakan ada oknum anggota Dewan yang mempersoalkan penarikan ranperda untuk mencari prestise.

Simlisius Mbipi mengatakan, sejak paripurna penjelasan pemerintah tentang pengajuan delapan ranperda sudah diterima dan sudah ada serahterima dari pemerintah kepada pimpinan Dewan. Dengan demikian, lanjutnya, lembaga Dewan sudah menerima pengajuan delapan buah ranperda dari pemerintah. Karena itu menurutnya tidak perlu lagi dipersoalkan penarikan dua ranperda dan dilakukan pembahasan delapan buah ranpreda di mana dalam pembahasan oleh Badan Legislasi hanya empat ranperda yang dibahas.

Fransiskus taso pada akhir sidang menegaskan Gabungan Komisi tidak lagi melanjutkan pembahasan ranperda. Kepada sekretaris komisi dipersilahkan untuk membuat laporan Gabungan Komisi. Selanjutnya keputusan terkait kelanjutan pembahasan dan penetapan delapan ranperda diserahkan sepenuhnya kepada fraksi-fraksi. Rapat kemudian ditutup oleh pimpinan sidang.

Usai persidangan ini terjadi kericuhan. Kericuhan bermula di dalam ruang rapat Gabungan Komisi. Ada yang melempar menggunakan mike duduk di ruang sidang dan ada pula yang melempar menggunakan air kemasan di dalam botol. Frans taso yang tidak terima dengan penryataan Gabriel Dala Ema mencoba menyerang namun ditahan sejumlah anggota Dewan. Ema yang merasa terpojok lalu lari ke luar ruang sidang dan terus di kejar Frans Taso. Anwar Liga yang tidak terima salah satu wakil ketua Dewan diperlakukan demikian berupaya mengejar Dala Ema. Dala Ema berupaya menghindar dan berlarti hingga ke jalan di depan gedung Dewan dan kembali ke kediamannya.

Hingga berita ini diturunkan, Flores Pos belum berhasil mengkonfirmasi keduanya terkait insiden kericuhan yang terjadi pasca rapat gabungan Komisi tersebut.

Rayakan HUT ke-72, Gereja Syalom Gelar Seminar

· * Hadirkan Pembicara, Mgr Sensi Potokota dan Pendeta Eben Nubantimo

Oleh Hieronimus Bokilia

Ende, Flores Pos

Dalam rangka perayaan hari ulang tahun (HUT) ke-72 Gereja Syalom Ende, panitia menggelar seminar membenah format ulang paham beragama dalam konteks pluralitas agama demi membangun kerukunan. Seminar ini menghadirkan dua pemibacara masing-masing Ketua Majelis Sinode GMIT, Pendeta Ebenheser Imanuel Nubantimo dan Uskup Agung Ende, Mgr Vincentius Sensi Potokota.

Seminar dilangsungkan di Gereja Syalom Ende, Sabtu (21/5) dihadiri peserta dari jemaat gereja syalom dan peserta lainnya yang diundang. Tampil sebagai moderator dalam seminar ini adalah Pendeta Markus O Raga.

Pendeta Ebenheser Imanuel Nubantimo dalam pemaparannya tentang tiga tipologi hubungan gereja dengan yang lain mengatakan, dalam kehidupan keseharian, tentunya kita tidak hidup sendiri melainkan hidup berdampingan dengan orang lain yang memiliki perbedaan baik cara pandang, agama yang berbeda. Terhadap perbedaan ini, lanjutnya muncul pertanyaan bagaimana harus bersikap terhadap sesama yang memiliki perbedaan tersebut.

Gereja, kata Pendeta Eben tidak hidup di ruang kosong. Gereja ada dalam masyarakat bersama-sama dengan yang lain, bahkan berinteraksi dengan yang lain untuk bisa terus hidup. Sebut saja misalnya, warga gereja membeli bahan-bahan kebutuhan hidup dari saudara-saudara yang lain itu. Bahkan gedung gereja sendiri juga iktu dibangun oleh saudara-saudara yang lain.

Pendeta Eben mengatakan, ada tiga sikap warga gereja terhadap saudara-saudara yang lain. Sikap pertama adalah sikap mengkafirkan. Sikap ini menurutnya paling dominan pada abad pertengahan yakni dari tahun tahun 500-1500 M. Namun, sikap seperti itu masih juga ditemukan di pertengahan abad ini. Hubungan antara umat beragama pada periode ini didominasi oleh sikap saling mengkafirkan. Sikap ini dipilih agar yang lain itu bisa ditobatkan. Dengan demikian jumlah pengikut menjadi bertambah. Hasrat untuk berperang bagi Allah mengemuka secara kuat. Lembaga-lembaga misi dibentuk oleh gereja, begitu juga lembaga dakwah. Banyak orang yang memberi diri untuk pergi ke negeri yang jauh untuk menyebar agama. Mereka menjadi pembela iman, defensor fidei yang dengan gagah berani menggunakan semua yang ada padanya untuk membela imannya (apologia). Julukan martir atau shuhada diberikan kepada mereka yang mengorbankan hidupnya bagi perluasan agama.

Sikap kedua, lanjut Pendeta Eben adalah saling membandingkan. Hasrat saling mengkafirkan diikuti dengan kesediaan untuk mengetahui yang lain, bukan pertama-tama untuk belajar sesuatu dari yang lain, juga bukan untuk mengetahui kedudukan mereka, melainkan untuk membandingkan agamanya dengan agamaku. Yang namanya perbandingan harus ada alat ukur. Maka dibuatlah kriteria agama yang benar dan agama yang salah. Betapapun baiknya kriteria itu, tetap saja ada masalah subyetifitas dari pihak yang merumuskan kriteria itu.

Sikap saling membandingkan itu, kata Pendeta Eben baik karena membuka kesempatan untuk umat dari agama yang berbeda itu dapat mengenal yang lain itu. Ini berguna untuk memperkaya pengetahuan dan pengenalan akan yang lain, dan serentak dengan itu mengenal dengan lebih jelas identitas agama sendiri. Hanya saja, hasrat mengetahui yang lain itu biasanya dijalani untuk tujuan menonjol-nonjolkan keunggulan agama sendiri. Sikap ini pun masih ditemukan dalam kekinian hidup gereja dalam hubungan dengan yang lain.

Sikap ketiga, katanya meskipun relatif baru dalam rentangan sejarah kehidupan gereja tetapi sebenarnya sudah pula ditunjukkan Alkitab. Selama masa hidup dan pelayanan yang singkat, Yesus sangat bergiat mempelopori sikap ini, yakni dialog. Yesus lakukan itu dengan Nikodemus, dengan Perempuan Samaria, dengan Ahli Taurat Yahudi, dengan dua orang murid di jalan ke Emaus dan masih banyak fragmen lain. Yesus yang bangkit bahkan juga membawa Petrus dalam ruang dialog dengan yang lain waktu Ia menuntun Petrus ke rumah Kornelius sebagaimana disaksikan dalam kitab Kisah Para Rasul. Yesus menjadikan dialog sebagai medium untuk mengeksplorasi kekayaan makna yang terkandung dalam Injil untuk diterapkan pada hidup pendengarNya. Lewat dialog lahirlah berbagai gagasan dan hikmat yang berfungsi memandu kedua pihak yang ambil bagian dalamnya untuk menjalani kehidupan secara baru, lebih baik, adil dan berpengharapan.

Dikatakan, dalam berbicara sejarah keselamatan dan keselamatan adalah Kristus. Sejak peristiwa reinkarnasi, Allah menjadi manusia, sejarah Allah masuk dalam sejarah manusia untuk merubah dan menghancurkan. Tugas gereja tidak saja berbicara keselamatan tetapi juga keselamatan dalam sejarah. Selama ini, banyak yang lebih suka omong soal keselamatan dengan berdoa terus sampai Tuhan datang, bernyanyi terus sampai Tuhan datang dan tidak suka omong soal keselamatan dalam sejarah.

Mgr. Vincentius Sensi Potokota dalam materinya mengatakan, melihat tema yang dipaparkan panitia, muncul asumsi ada latar belakang tertentu di balik tema seminar yang bernada himbauan atau ajakan imperatif. Latar belaang itu adalah ada yang salah dengan urusan kerukunan pada bangsa ini. Apa yang salah dalam kerukunan ada tiga hal mendasar yakni ada warga bangsa yang menganggap realitas pluralitas yang mengakui keberagaman, keunikan dan perbedaan lebih sebagai tantangan yang merugikan ketimbang sebagai peluang yang memperkaya dan menyempurnakan. Secara khusus, ada warga bangsa yang memahami realitas keberagaman agama sebagai perintang bagi jalan yang diajarkan, agamanya menuju menuju keselamatan karena agama adalah jaminan menuju keselamatan. Selain itu, rupanya ada bibit-biit fanatisme radikal dalam tubuh bangsa yang secara sistematis kreatif terus menebarkan rasa risau, saling curiga, kebencian, fitnah, cekcok, pengrusakan dan bahkan pembunuhan.

Beberapa hal ini yang dibiarkan hidfup dalam tubuh bangsa ini. Kerusuhan-kerusuhan berbau SARA di tahun-tahun belakangan sesungguhnya adalah buah dari pembiaran dimaksud. “Asumsi-asumsi tersebut terkait amat erat dengan paham beragama yang salah yang harus diformat ulang kalau kerukunan sejati mau dicapai,” kata Mgr Sensi.

Dikatakan, orang membangun kerukunan pasti karena ada makna di balik kerukunan dan makna itu dibutuhkan. Kerukunan, kata Mgr. Sensi merupakan sebuah nilai yang bersifat universal yang artinya berlaku untuk semua dimana dan kapan saja. Sebagai suatu nilai, kerukunan tidak pantas dikebiri oleh pemahaman atau anggapan bahwa itu hanya suatu prasyarat untuk mencapai tujuan lain. Karena, kerukunan adalah nilai itu sendiri yang mesti dikejar dan diraih. Nilai kerukunan bersama nilai-nilai lainnya turut menentukan mutu atau kualitas kesejatian manusia bermartabat, ciptaan tuhan.

Mgr Sensi mengatakan, NKRI adalah harga mati dan slogan ini mengandaikan secara logis dan substansial pengakuan dan penegasan tentang segala hal yang merupakan identitas nyata dari NKRI. Pluralitas, keberagaman dan kebhinekaan adalah realitas NKRI maka semetinya pengakuan akan kebhinekaan adalah juga harga mati. Pengakuan dan penghargaan terhadap realitas keberagaman yang tahan uji dan konstruktif haruslah merupakan buah atau hasil dari proses pendidikan tentang nilai-nilai yang ebrharga dari pluralitas.

Pemicu problem yang paling berdaya destruktif terhadap upaya-upaya membangun kerukunan ialah sentimen agama. Agama merupakan wilayah yang amat sensitif. Sentimen agama akan semakin berbahaya ketika didasari pada paham beragama yang salah. Membangun kerukunan dalam konteks pluralitas NKRI mensyaratkan paham yang cerdas tentang hidup beragama dari setiap warganya. Peristiwa kerusuhan bernuansa agama dengan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang terkesan dibiarkan adalah bukti kerapuhan landasan paham hidup beragama kita sendiri.

Karena itu, kata Mgr Sensi perlu ada penerahan baru dengan cara-cara yang dibarui yang melibatkan semua pemangku kepentingan minus kepentingan politik dan kepentingan yang tidak agamawi.