09 November 2013

Naik Kelas di Tengah UN yang Amburadul

DI tengah hiruk pikuk dan kebingungan masyarakat soal pemenang Pilgub NTT 2013, menetes setitik embun yang menyegarkan dunia pendidikan NTT. Hasil ujian nasional (UN) tingkat SMA/MA/SMK, dan SMALB yang baru saja diumumkan menunjukkan bahwa NTT naik kelas dalam peringkat kelulusan. Jika sebelumnya NTT berada di nomor buncit 33 dari 33 provinsi, maka tahun ini naik ke posisi 29 untuk tingkat SMA dengan persentase kelulusan 98,11 persen dari 41.653 siswa peserta UN. Sementara untuk tingkat SMK, NTT menempati peringkat 27 dengan persentase 96,98 persen dari 16.254 siswa peserta UN.
Tahun ini NTT juga  boleh berbangga karena ada peningkatan jumlah kelulusan. Hanya 1.280 siswa SMA/SMK yang tidak lulus UN. Bahkan ada satu kabupaten yang seluruh sekolahnya lulus 100 persen untuk tingkat SMA yakni di Manggarai Barat. Sedangkan tingkat SMK, terdapat 11 kabupaten yang lulus 100 persen. Ini capaian yang luar biasa di tengah pelaksanaan UN yang amburadul.
Bergembira boleh-boleh saja, tapi kita tidak boleh menutup mata dengan  proses UN tahun ini yang sangat amburadul. Keterlambatan pencetakan dan pendistribusian naskah soal UN dari pusat ke provinsi, dan dari provinsi ke kabupaten/kota untuk dilanjutkan ke sekolah-sekolah telah berdampak pada penundaan pelaksanaan UN. Sebanyak 11 provinsi harus menunda UN gara-gara keterlambatan pendistribusian naskah UN, termasuk NTT. Bahkan saat UN pun, soal maupun lembaran jawaban komputer (LJK) UN masih kurang dan harus difotokopi.
Jika bercermin dari kesemrawutan itu, patut dipertanyakan apakah UN  telah dilaksanakan dengan jujur? Jujur dari sisi siswa saat mengerjakan soal, dan jujur dalam pemindaian dan pemeriksaan LJK. Jika kejujuran ini masih diperdebatkan, maka prestasi naik kelas NTT dalam peringkat kelulusan ini juga masih dapat disangsikan. Apakah benar-benar murni karena adanya kesiapan siswa yang matang menghadapi UN, ataukah ada tangan tak kentara yang membantu menaikkan kelas prestasi UN NTT tahun ini.
Namun terlepas dari semua itu, kita tentunya berharap prestasi UN ini menjadi momentum kebangkitan pendidikan di NTT. Prestasi ini harus dipertahankan bahkan ditingkatkan. Untuk itu, Pemerintah Provinsi NTT melalui Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO) NTT dan Dinas PPO kabupaten/kota tidak boleh tenggelam dalam euforia semu. Langkah-langkah antisipatif harus mulai dilaksanakan sedini mungkin.
Persiapan tidak lagi hanya jelang UN, tapi jauh-jauh hari. Ketersediaan guru yang trampil dan siswa yang andal, serta segala infrastruktur pendukung pendidikan harus terus ditingkatkan demi mengejar ketertinggalan. Kita tidak boleh berpuas diri dengan peringkat papan bawah. Ingat, NTT bukan bangsa kalahan. Ke depan harus ada target yang lebih ambisius, misalnya, pencanangan posisi 10 besar UN  di tahun 2018. Mari kita bebankan target ini ke pundak pemimpin NTT lima tahun ke depan.  

Terperosok di Jalan Pintas

Budaya instan ini juga merambah ke dunia pendidikan. Banyak siswa yang ingin lulus ujian nasional (UN) tapi bukan dengan belajar keras, melainkan membeli lembaran jawaban dan bocoran kunci jawaban. Lebih parah lagi, orangtua kerap proaktif memfasilitasi jalan pintas ini.

SEBULAN terakhir masyarakat Flores Timur dan sekitarnya dihebohkan dengan mangkirnya manajemen Lembaga Kredit Finansial (LKF) Mitra Tiara dari kewajiban membayar bunga dan pokok simpanan para nasabah. Ribuan warga mengantre tanpa kejelasan menunggu pembayaran. Namun, manajemen LKF Mitra Tiara tak kunjung membayar hak para nasabah.

Lembaga keuangan itu menjanjikan bunga menggiurkan kepada nasabah. Setiap bulan, nasabah  berhak atas 10 persen bunga dari pokok simpanan. Jika menabung Rp 5 juta, maka setiap bulan berhak menerima bunga sebesar Rp 500 ribu. Sepuluh bulan, modal simpanan sudah kembali dan bulan ke-11 sudah menikmati keuntungan. Sungguh menggiurkan. Tanpa butuh kerja keras, bisa menerima uang demikian besar setiap bulan.

Tak heran begitu  banyak masyarakat Flores Timur, Lembata, dan Sikka  berbondong-bondong menyimpan uangnya di LKF Mitra Tiara tanpa mempertimbangkan risiko. Namun apa yang terjadi belakangan ini menjawab kekhawatiran banyak kalangan. Manajemen raib menggondol uang nasabah.

Modus penipuan gaya LKF Mitra Tiara sesungguhnya bukan pola baru. Sudah terlalu banyak kasus seperti itu terjadi di banyak daerah. Sayangnya masyarakat tidak pernah belajar, bahwa meraup keuntungan besar dengan jalan pintas seperti itu senantiasa penuh risiko. Budaya instan yang ingin segalanya diraih serba cepat telah mematikan rasionalitas masyarakat. Ujung-ujungnya, masyarakat sendiri yang harus menanggung risiko dirugikan.  

Budaya instan yang menghalalkan jalan pintas memang menjadi penyakit masyarakat hari ini.  Hampir segala lini kehidupan dijajah dengan pola hidup serba gampang ini. Ambil contoh, di dalam kehidupan rumah tangga saja budaya instan ini sudah jauh merasuk. Ibu-ibu rumah tangga yang "malas" memasak, kerap memilih membeli makanan siap saji yang rentan berbagai bahan kimia berbahaya untuk sajian harian keluarga.

Budaya instan ini juga merambah ke dunia pendidikan. Banyak siswa yang ingin lulus ujian nasional (UN) tapi bukan dengan belajar keras, melainkan  membeli lembaran jawaban dan bocoran kunci jawaban. Lebih parah lagi, orangtua kerap proaktif memfasilitasi jalan pintas ini.

Budaya instan juga sudah jauh merambah di dunia politik. Untuk mencapai tujuan politik, para politisi sudah terbiasa menempuh jalan pintas. Politik uang dan jual beli suara pun dihalalkan demi meraih kursi idaman. Dampak ikutannya, begitu duduk di tampuk kekuasaan mereka memaknai jabatan itu sebagai alat memupuk kekayaan pribadi bukan sarana pengabdian kepada masyarakat.

Kasus LKF Mitra Tiara seharusnya membuka mata kita bahwa kesuksesan sejati hanya bisa diraih melalui proses dan kerja keras. Kesuksesan yang dicapai dengan cara instan dan jalan pintas tidak akan pernah langgeng. Percayalah!

Editorial HU Victory News edisi 31 Oktober 2013

Terobosan Fenomenal Universitas PGRI NTT

UNIVERSITAS PGRI NTT boleh dikatakan sebagai perguruan tinggi swasta yang fenomenal di NTT. Berbagai terobosan tak henti-hentinya dilahirkan. Setelah menabuh gong prestasi, Rektornya yang juga fenomenal Semuel Haning melahirkan terobosan Jaminan Kesehatan Mahasiswa (Jamkesmawa) untuk membantu mahasiswa kurang mampu yang sakit ataupun meninggal dunia. Lembaga ini sebelumnya juga memberikan beasiswa selama kuliah dan beasiswa S-2 bagi salah satu mahasiswanya yang berprestasi dan mengharumkan nama NTT dan Universitas PGRI NTT di ajang nasional dalam Kopertis Wilayah VIII.
Tidak berhenti pada terobosan itu. Dalam wisuda angkatan XIII tahun 2013 ini, Rektor Semuel Haning dengan lembaganya Universitas PGRI NTT kembali melahirkan terobosan fenomenal baru.
Kali ini, Semuel Haning kembali menggebrak dengan terobosan membayar honor lulusan/wisudawan terbaik angkatan XIII untuk bekerja sesuai bidang dan latar belakang pendidikan di lingkup pemerintah kabupaten asal wisudawan bersangkutan. Misalkan wisudawan terbaik seorang guru, maka pemerintah tempat asal wisudawan terbaik diminta memberikan tempat baginya untuk mengajar. Honor selama dua tahun akan ditanggung oleh Universitas PGRI NTT. Setelah dua tahun, pemerintah kabupaten di tempat wisudawan terbaik itu mengabdi diharapkan dapat mengakomodir yang bersangkutan untuk bekerja di daerah tersebut.
Ide ini sepintas memang biasa saja. Namun, ketika melihat banyak universitas di NTT yang lagi dipusingkan dengan izin operasional yang tak kunjung tuntas, Universitas PGRI NTT justru sudah jauh melangkah. Ia tidak sekadar memikirkan keberadaan lembaga. Ia tidak lagi sekadar berpikir izin operasional kampus, namun ia telah berpikir tentang nasib sarjana yang ia hasilkan. Ia tidak mau sarjana lulusan Universitas PGRI NTT menjadi pengangguran intelek. Karena itu, selain mendorong para sarjana membuka lapangan kerja sendiri atau berwirausaha, ia juga tak malu-malu membangun jaringan kerja sama dengan pemerintah kabupaten untuk maksud mulia tersebut.
Langkah fenomenal ini tentunya tidak saja untuk nama besar lembaga karena ia hadir bukan untuk sekadar meramaian pendidikan tinggi di NTT. Namun hadirnya adalah ingin menjadi salah satu universitas berkualitas di NTT.
Karena itu, terobosan ini tentunya akan menjadi daya pacu tersendiri bagi para mahasiswa untuk berprestasi. Karena mereka tahu, di Universitas PGRI NTT selalu memberikan reward kepada mereka yang benar-benar berbuat yang terbaik.

Editorial HU Victory News edisi 19 September 2013

ETMC mulai Kehilangan Makna

TURNAMEN dua tahunan El Tari Memorial Cup saat ini tengah bergulir di Labuan Bajo, Manggarai Barat. Hanya 14 kabupaten yang mengirimkan tim kebanggaannya untuk mengikuti perhelatan akbar sepakbola NTT ini diusianya yang XXVI. Keikutsertaan tim dalam setiap penyelenggaraan semakin berkurang. Greget ETMC kian tahun kian surut dan hampir kehilangan makna.

Turnamen ini semula bernama El Tari Cup. Namun dalam perjalanan, disempurnakan menjadi Turnamen El Tari Memorial Cup (ETMC). Turnamen yang digelar untuk mengenang tokoh pemimpin pemersatu mendiang El Tari. Maka, ETMC sebenarnya mau mengangkat dan mengingatkan persaudaran sejati yang merupakan bahasa pemersatu mendiang EL Tari.

Suasana keakraban dan kekeluragaan sesama warga Flobamora harus menjadi garda terdepan dalam setiap perhelatan. Memaknai bunga cinta berarti menjunjung tinggi sportivitas dalam meraih prestasi.

Flobamora yang dicetuskan mendiang El Tari berarti bunga cinta. Bunga cinta yang mempersatukan masyarakat NTT. Cinta ke dalam, cinta kepada sesama, sehingga di sana tidak ada lagi Sabu, Sumba, Rote, Timor, Alor, Flores, dan Lembata. Tetapi di sana adalah Flomabora, NTT.

Apalagi, di tengah krisis yang melanda sebagian besar wilayah di NTT seiring pelaksanaan pilkada, semisal Pilkada Sumba Barat Daya yang harus berujung pertumpahan darah, maka ajang ETMC harusnya menjadi ajang teduh. Ajang mempersatukan masyarakat NTT, masyarakat Flobamora.

Namun, ETMC sebagai ajang bertemunya pesepakbola NTT justru makin kehilangan makna. Persatuan dan kesatuan sebagai bunga cinta, tak lagi menjadi roh. Setiap laga selalu diakhiri kericuhan, tidak saja antarpemain, namun juga antar pendukung.

ETMC lebih dimaknai sebagai turnamen menjadi jawara sejati sepakbola Flobamora. Intrik dan trik dimainkan untuk mendapatkan trofi ETMC.

Karena itu, sudah saatnya semua kita bertanggung jawab mengembalikan ETMC pada makna sesungguhnya. Flobamora tanpa sekat, tanpa ada pembedaan Flores, Sumba, Timor, Rote, Sabu, Alor, dan Lembata. Kita adalah satu Flobamor, satu NTT. ETMC hanyalah wadah untuk semakin mengakrabkan, dan semakin menyatukan segala perbedaan sebagai satu kekuatan membangun NTT. Semoga.

Bahaya Politisasi Olahraga

YABES Roni Malaifani, putra Alor menjadi fenomenal dan terkenal dalam seminggu terakhir di Indonesia terutama di NTT. Gol yang diciptakannya ke gawang Filipina dalam debut perdananya di timnas U-19 Piala AFC U-19 membuat Yabes dielu-elukan ibarat selebriti.
Lolosnya Yabes masuk tim nasional U-19 di tengah lesunya kompetisi di NTT harus menjadi cambuk bagi semua pihak terkait dalam membangun olahraga terutama sepakbola NTT. Apalagi, jika prestasi yang belum seberapa yang diraih Yabes mulai dipolitisasi segelintir orang untuk mendongkrak ketenaran. itulah yang harus dihindarkan karena langkah panjang masih menanti Yabes. Apakah tenggelam di tengah euforia, ataukah terus berprestasi di timnas U-19.
Prestasi mengenakan kostum timnas dan menciptakan gol untuk seorang Yabes bolehlah dibanggakan. Namun, hendaknya kebanggaan itu tidak membuat Yabes lupa daratan. Ia harus terus giat berlatih untuk mengasah kemampuannya yang belum apa-apa itu. Prestasi masuk timnas dan mencetak gol di debut pertamanya jangan menjadi puncak prestasi bagi Yabes. Namun, ia harus tetap mengasah kemampuan mengolah bola, dan melatih ketajamannya membobol gawang lawan. Ia harus mempertahankan kepercayaan sang pelatih Indra Syafri agar tidak hanya sebagai kartu truf timnas Indonesia U-19, namun harus menjadi pilar utama di timnas U-19. Yabes tidak saja menjadi pemain pengganti, namun harus masuk line up utama dalam setiap laga.
Karena, jika terlena dengan euforia, pujian, dan banjir hadiah, maka selepas semua itu justru membuat Yabes tenggelam dan terlupakan. Belajar dari pengalaman seorang Irfan Bachdin yang setelah melejit dan tenar lalu tenggelam tak tahu rimbanya, maka jangan sampai nasib Yabes pun demikian. Apalagi, politisasi olahraga akan membuat Yabes terlena dan justru dicoret dari timnas U-19. Jangan sampai Yabes semakin tenggelam dan orang lain yang kian melejit karena numpang tenar di balik sukses Yabes. Sukses seorang Yabes membuat banyak orang menjadi pahlawan, dan untuk membayar itu semua, Yabes harus dikorbankan untuk mendongkrak nama besar dan popularitas mereka.
Bonus dan apapun namanya yang diberikan untuk Yabes bolehlah diberikan sebagai penghargaan atas prestasi yang diraih. Namun, hendaknya tidak berlebihan. Jangan sampai fokus perhatian hanya kepada Yabes seorang. Tetapi, yang paling utama adalah bagaimana menciptakan iklim olahraga yang kondusif untuk bisa melahirkan Yabes-Yabes yang lain yang mampu mengharumkan nama NTT di kancah nasional dan internasional.
Karena itu, siapapun yang berniat baik di balik suksesnya Yabes agar tidak pukul dada saat ini. Tapi, ia haruslah mampu membangun olahraga secara utuh mulai dari bawah. Ibarat seorang petani, agar hasil panennya melimpah, ia tidak mungkin mulai dengan memupuk. Tetapi ia harus memulai dengan menyiapkan lahan dan bibit yang unggul disertai perlakuan khusus selama proses tumbuh kembang tanaman baru bisa memanen hasil yang melimpah. Demikian pula sebuah prestasi, tidak dapat diraih hanya melalui pembinaan setengah-setengah, tetapi harus dibangun dari dasar yang kokoh yakni membentuk karakter diri seorang atlet lewat latihan rutin dan ditempa dalam sebuah kompetisi yang kondusif untuk melahirkan atlet handal di NTT. Semoga. (editorial HU Victory News edisi 17 Oktober 2013