03 Desember 2009

Pembantu Rumah Tangga Diperkosa Empat Pria Tak Dikenal

* Korban Alami Trauma dan Sulit Kenali Pelaku

Oleh Hieronimus Bokilia


Ende, Flores Pos

Seorang pembantu rumah tangga (PRT) berusia 20 tahun diperkosa empat pria tidak dikenal. Pemerkosaan yang menimpa korban terjadi pada Sabtu (28/11) malam sekitar pukul 23.00. sebelum diperkosa para pelaku, korban terlebih dahulu diajak minum hingga mabuk dan setelahnya dibawa para pelaku ke Pantai Bitta tepatnya dilokasi bekas Pub dan Karoke Bitta Beach yang terbakar beberapa waktu lalu. Setelah diperkosa, korban ditinggalkan tidak sadarkan diri di lokasi pemerkosaan. Naasnya lagi, pakaian korban di gantung para pelaku di beberapa tempat agak jauh dari lokasi pemerkosaan.

Demikian penjelasan Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Ende, Iptu Dewa Damianus kepada Flores Pos di Mapolsek Ende, Senin (30/11). Kapolsek Damianus mengatakan, korban adalah seorang pembantu rumah tangga yang berasal dari Boawae. Sebulan terakhir korban bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah Haji A Rasyid di Jalan Kelimutu.

Sesuai keterangan korban, kata Dewa Damianus, pada Sabtu sekitar pukul 15.00, korban pamit dari rumah hendak ke gereja. Saat pulang dari gereja dan kembali ke rumah keluarga Haji A Rasyid, pintu gerbang rumah sudah tertutup. Orban akhirnya pergi ke rumah tantanya yang terletak di Jalan El tari di belakang Kantor Urusan Agama Ende. Namun di rumah tantanya juga pintu sudah tertutup sehingga korban hendak kembali. Saat kembali korban bertemu dengan tukang ojek di dekat rumah makan Bangkalan di simpang lima. Korban lalu diajak naik motor dan berbonceng tiga orang. Korban duduk di tengah. Dari situ korban diajak ke Jalan Melati. Di sana korban diajak minum di salah satu rumah kos oleh dua orang yang telah membawanya ke situ. Mereka minum bersama dua orang lainnya. Korban juga diajak minum bersama para pelaku.

Setelah minum, korban lalu diajak naik motor dan dibawa ke Pantai Bitta. Setelah tiba di Pantai Bitta, dua orang disuruh menjaga korban sedangkan salah satu pelaku lainnya kembali menjemput satu teman mereka. Setelah itu keempatnya lalu memperkosa korban. Setelah selesai diperkosa, para pelaku pergi meninggalkan korban yang sudah tidak sadarkan diri. Korban yang mabuk muntah dan dibiarkan tidur begitu saja bersama muntahnya. Sedangkan pakaian korban tidak dibiarkan berada dekat korban. Namun oleh para pelaku dibuang agak jauh dari lokasi pemerkosaan dan dipisah dari celana, baju dan pakaian dalam korban.

Korban baru ditemukan salah seorang nelayan sekitar pukul 05.30 pagi. Nelayan bernama Akbar Pala saat itu hendak ke pantai untuk sesuatu urusan. Namun saat berada di dekat lokasi pemerkosaan, dia melihat tubuh korban yang tidur tak sadarkan diri tanpa sehelai benangpun menutupi tubuh korban. Melihat kondisi seperti itu, Akbar Pala panik dan berlari kembali ke rumahnya. Dia lalu memberitahukan apa yang dilihatnya itu kepada istrinya. Setelah itu, bersama istrinya, Akbar Pala kembali ke pantai dan melihat kondisi korban. Korban lalu dipapah kedua suami istri tersebut kembali ke rumah dan diberikan pakaian karena mereka tidak menemukan pakaian korban di lokasi pemerkosaan. Setelah itu, mereka langsung melaporkan hal itu kepada polisi.

Mendapatkan laporan tersebut, kata Damianus, polisi langsung turun ke lokasi dan melakukan identifikasi terhadap korban dan melakukan olah tempat kejadian perkara. Korban juga langsung di bawa ke rumah sakit untuk menjalani visum.

Untuk mengetahui para pelaku yang telah memperkosa korban, lanjut Damianus, polisi mencoba mengambil keterangan dari korban. Namun dari keterangan korban, banyak kejadian yang sudah tidak diingatnya lagi. Naasnya lagi, kata Damianus, korban sulit mengenali empat pelaku yang telah memperkosanya. “Dia hanya bisa identifikasi satu orang pelaku dan kita sudah upaya untuk cari pelaku.” Korban juga sulit untuk mengenali lokasi tempat mereka minum sebelum korban diperkosa. Polisi juga sempat mengajak korban menelusuri sejumlah lokasi yang dicurigai menajdi tempat mereka minum. Namun dari sejumlah tempat yang didatangi, korban belum juga dapat mengenali lokasinya. “Kita jadi sulit karena korban tidak bisa kenali lokasi. Kemungkinan korban trauma jadi kita minta penyidik Polwan untuk bantu. Tapi kondisinya sama saja.”

Dewa Damianus mengatakan, kendati korban sulit mengenali lokasi tempat minum di Jalan Melati dan sulit mengidentifikasi para pelaku, polisi akan terus berupaya melakukan pencarian. “Kita rencana sore nanti (Senin sore kemarin) lakukan penyisiran lagi. Kita coba bawa korban keliling siapa tahu dia bisa mengenali lokasi. Kita akan kejar terus para pelaku sampai ketemu.”

Ibu Hj. A. Rasyid kepada Flores Pos di kediamannya di Jalan Kelimutu mengatakan, korban baru bekerja di rumahnya sebagai pembantu rumah tangga sejak 3 Nopember 2009 yang lalu. “Dia baru kerja di sini. Belum genapsatu bulan.” Selama bekerja, korban diakui bekerja dengan baik dan bergerak cepat dalam melakukan setiap pekerjaan yang dipercayakan kepadanya. Hj. Rasyid mengakui, korban selama ini jarang keluar rumah. Dia hanya ijin keluar pada hari Sabtu atau Minggu untuk ke gereja. Hal yang sama dilaklukan pada Sabtu lalu. Sekitar pukul 15.00, aku Hj Rasyid, korban pamit ke gereja. Pada waktu itu, kepada korban diberi uang Rp5000 untuk bayar ojek. Namun hingga pukul 21.00 korban tak kunjung pulang.

Mengingat selama ini biasanya korban sering pulang dan menginap di rumah keluarganya, sehingga keluarga Hj Rasyid tidak khawatir. “Apalagi waktu itu dia ada batuk pilek jadi kami pikir dia pulang ke rumah tantanya.” Namun pada Minggu, korban kembali ke rumah ditemani polisi dan keluarga Hj rasyid baru mengetahui kejadian yang sebenarnya. “Kami kaget tiba-tiba dia datang dengan polisi.”




HIV/AIDS di NTT Telah Masuk Epidemi Tahap Akhir

* Sosialisasi HIV/AIDS Lingkup Pemkab Ende

Oleh Hieronimus Bokilia


Ende, Flores Pos

Kasus HIV/AIDS di wilayah Provinsi NTT hingga tahun 2009 ini telah memasuki epidemi tahap akhir. Kondisi tersebut dikarenakan HIV/AIDS telah masuk mengenai ibu rumah tangga dan anak-anak mereka. Gelombang epidemi terdiri atas lima tahap yakni tahap pertama homoseksual, tahap kedua narkotika suntikan, tahap ketiga melalui pekerja seks wanita dan pria, tahap keempat pelanggan WTS dan PTS dan tahap kelima atau tahap terakhir adalah ibu rumah tangga, bayi dan anak-anak mereka.

Hal itu ditegaskan Kepala Laboratorium patologi Klinik RSU Prof Dr Yohanes Kupang Unit Transfusi Darah PMI NTT, Samson Ehe Teron saat menyampaikan materi sosialisasi HIV/AIDS kepada para Pegawai Negeri Sipil (PNS) lingkup Pemerintah Kabupaten Ende di lantai dua kantor bupati, Selasa (1/12). Sosialisasi ini menghadirkan tiga narasumber yakni Husein Pancratius, Sekretaris KPA Provinsi NTT, Samson Ehe Teron dan Wakil Bupati Ende, Achmad Mochdar yang juga Ketua KPA kabupaten Ende. Moderator dalam kegiatan ini adalah John Th Ire, dari Yayasan Swabina Yasmine.

Samson Ehe Teron mengatakan, sejak kasus HIV di NTT ditemukan pertama kali di Adonara kabupaten Flores Timur tahun 1999 lalu, jumlah kasus HIV di NTT meningkat tidak terkendali seiring dengan semaraknya organisasi yang terlibat dalam penanganan HIV/AIDS baik pemerintah maupun non pemerintah.

Dikatakan, saat ini di Kabupaten Kupang, Belu, Sikka, Flores Timur, Ngada, Ende dan Alor dan kabupaten lainnya di NTT seakan berlomba memenangkan angka pertumbuhan HIV. Ditegaskan, jumlah kasus yang mencuat ke permukaan saat ini bukan merupakan sesuatu yang layak dijual dalam penanggulangan HIV/AIDS. Lagipula, melihat kondisi HIV/AIDS di NTT kondisi saat ini menunjukan bahwa telah memasuki epidemi tahap akhir. Hal itu dikarenakan HIV/AIDS telah masuk mengenai ibu rumah tangga dan anak-anak mereka. Gelombang epidemi AIDS, kata Teron terdiri atas homoseksual, narkotika suntikan, pekerja seks wanita dan pria, pelangan WTS dan PTS (PSK) dan ibu rumah tangga, bayi dan anak-anak mereka.

Teron mengatakan, di Amerika Serikat yang merupakan negara maju dan masyarakatnya berkesadaran tinggi akan penularan penyakit infeksi, juga kasus HIV menigkat tak terkendali. Angka estimasi orang yang tidak menyadari bahwa ia terinfek antara 24-27 persen dari total terinfeksi. Sedangkan kasus HIV baru dalam setiap tahun mencapai 40 ribu berturut-turut sejak 1990-2—5. penemuan kasus baru, kata Teron memperluas cakupan pemberian obat anti retro virus (ARV) sehingga menekan angka penularan HIV. Pemberian ARV yang baik angka kejadian penularan HIV baru tahun 1990-2005 menetap 40 ribu kasus pertahun dibandingkan sebelumnya yang mencapai 150 ribu pertahun karena tanpa pemberian ARV.

Pengalaman menunjukan angka penularan infeksi HIV pada rang yang menyadari dirinya tertular HIV hanya 1,7-2,4 persen dibandingkan angka penularan pada yang tidak mengetahui mengidap HIV positif yakni 8,8-10,8 persen. “45 persen HIV positif baru terdeteksi pertama kali saat sudah menderita AIDS,” kata Teron. Keterlambatan pemeriksaan darah meningkatkan angka kematian. Angka bertahan hidup 24,2 persen jika terapi awal sydah dimulai sebelum CD4 atau sel T penolong turun mencapai 200 per mikro liter.

Dokter Husein Pancratius, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi NTT pada kesempatan sosialisasi tersebut mengatakan, potensi penularan HIV di NTT disebabkan karena mobilitas penduduk yang tinggi ditunjang dengan srana transportasi yang kian lancar. Faktor lainnya disebabkan karena maraknya pelacuran di mana seks mudah dan murah, pengiriman TKI tanpa dibekali informasi HIV dan AIDS yang memadai. Selain itu, peredaran narkoba yang semakin meningkat termasuk narkoba suntik. Masalah kesehatan dasar lainnya termasuk praktek penggunaan alat suntik tidak steril dan donor darah yang tidak aman dan tradisi masyarakat yang berisiko seperti shifon/suhu.

Dari data epidemi HIV di NTT, kata Pancratius, dapat dilihat beberapa hal yakni kasus HIV/AIDS sudah dilaporkan hampir di seluruh wilayah NTT. Kasus ini juga dilaporkan dari wilayah pedalaman yang minim sarana dan prasarana kesehatan. Sumber penularan juga sudah ada di daerah. Selain itu telah dijumpai kasus HIV/AIDS pada populasi dengan resiko rendah seperti ibu rumah tangga, bayi danak-anak. Pola penularan HIV tidak hanya melalui hubungan seksual namun juga dijumpai melalui penggunaan narkoba suntikan. Adanya peningkatan trens kasus HIV dan AIDS di NTT dalam setiap tahun menurut deret ukur serta banyaknya temuan kasus sudah pada fase AIDS. “Ini mengindikasikan lemahnya deteksi dini,” kata Pancratius.

Salah satu langkah strategis yang dilakukan, katanya adalah dengan pembentukan Komisi Penanggulanan AIDS kabupaten. Telah pula dibuatkan komitmen Flobamora yang telah ditandatangani oleh gubernur, ketua DPRD provinsi, para bupati/walikota dan ketua DPRD kabupaten/kota. Tujuh butir komitmen Flobamora yakni pertama, meningkatkan komunikasi, informasi dan edukasi guna mempercepat upaya nyata dalam penanggulangan HIV/AIDS dan narkoba. Kedua, membentuk dan meningkatkan kemampuan Komisi Penanggulangan AIDS di provinsi dan kabupaten/kota serta Badan narkotika provinsi dan kabupaten/kota. Ketiga, mengupayakan dukungan peraturan perundanganan dan pendanaan yang memadai guna mendukung program penanggulangan HIV/AIDS dan narkoba. Keempat, mempromosikan pemakaian kondom pada aktifitas seksual berisiko dengan target 100 persen pada tahun 2010. kelima menerapkan pengurangan dampak buruk penggunaan NAPZA suntik. Keenam, mengupayakan penghapusan stigma dan kriminasi pada ODHA dan pemakai narkoba dan ketujuh meningkatkan jumlah dan mutu pelayanan kesehatan yang memadai kepada masyarakat khususnya penanganan IMS, HIV/AIDS dan narkotika.

Setelah KPA kabupaten/kota terbentuk, lanjut Pancratius, langkahyang harus dilakukan oleh pemerintah daerah melalui satuan kerja perangkat daerah adalah menganggarkan program dan kegiatan dalam rangka penanggulangan HIV/AIDS sesuai dengan urusan pemerintah daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD bersangfkutan ke dalam belanja langsung. Program da kegiatan terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS dituangkan dalam rekncana kerja anggaran SKPD. KPA provinsi dan kabupaten/kota mengajukan usulan dukungan dana yang bersumber dari APBD terkait dengan program dan kegiatan yang telah dikoordinasikan dengan pemerintah daerah.

Bupati Ende, Don Bosco M Wangge dalam sambutan saat membuka kegiatan sosialisasi ini menegaskan, sosialisasi HIV/AIDS ini merupakan kesempatan untuk membuka pemahaman tentang HIV/AIDS bagi segenap PNS lingkup Pemerintah Kabupaten Ende. Bupati Wangge menegaskan, pada beberapa waktu lalu ada kasus Aids yang menimpa PNS dan difonis sehingga kondisi ini menyebabkan korban malu hinga meninggal dunia. Wangge mengatakan, secara pribadi kurang setuju dengan program atau kampanye penggunaan kondom. Hal itu karena dengan kampanye penggunaan kondom sama dengan memberikan peluang. “Seolah-olah merestui perbuatan yang tidak bagus.” Tetapi, kata Wangge, kampanye penggunaan kondom tersebut merupakan pilihan terjelek dari yang terjelek artinya jika mau berenang harus menggunakan pakaian renang dan aklau ke kebun harus menggunakan pakaian kebun.

Wangge berharap, sosialisasi ini semakin membuat setiap orang mawas diri dan menjadi sumber informasi dan motor penggerak untuk bersama-sama mendukung program pemerintah dalam penaggulangan HIV/AIDS. Peserta yang hadir, kata Wangge dioharapkan setelah mendengarkan informasi dari para narasumber dapat menjadi narasumber bagi masyarakat dan bukan menjadi bagian dari HIV/AIDS.




Dinas Sosial Gelar Sosialisasi HIV/AIDS Bagi PNS

* Bertujuan Menjadikan PNS Agen Informasi

Oleh Hieronimus Bokilia


Ende, Flores Pos

Menurut rencana, Selasa (1/12) hari ini, Dinas Sosial Setda Ende menyelenggarakan sosialisasi HIV/AIDS kepada pra PNS lingkup Pemerintah Kabupaten Ende. Sosialisasi ini menghadirkan dua pembicara dari provinsi yakni Husen Pankratius (Sekretaris KPA Provinsi NTT) dan Samson E Teron. Pembicara lainnya adalah Wakil Bupati Ende, Achmad Mochdar selaku Ketua Komisi penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Ende.

Demikian dikatakan Sekretaris KPA Kabupaten Ende, Ayub Mithe kepada Flores Pos di ruang kerjanya, Senin (30/11). Ayub Mithe mengatakan, kegiatan ini diikuti oleh para PNS unit Pemda Ende, SKPD, para camat dan staf. Pemateri yang akan tampil dalam kegiatan sosialisasi ii, kata dia yakni Sekretaris KPA Provinsi NTT, Husen Panktratius, Samson E Teron dan Wakil Bupati Ende selaku ketua KPA Kabupaten Ende.

Kegiatan sosialisasi ini, kata Mithe bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan kelompok potensial para Pegawai Negeri Sipil (PNS) lingkup Setda Ende tentang HIV/AIDS serta peran serta mereka dalam upaya penanggulangan. Selain itu untuk membangun kepedulian eksekutif dan legislatif dalam upaya mendukung kebijakan anggaran yang mendukung program penanggulangan HIV/AIDS. Sosialisasi juga bertujuan untuk menjadikan kelompok potensial sebagai agen informasi yang dapat menyampaikan masalah HIV/AIDS kepada masyarakat serta menggalang komitmen bersama dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS.

Kepala bagian Sosial Setda Ende, Haris A. Madjid mengatakan, jumlah penderita HIV/AIDS terus mengalami penambahan setiap tahun. HIV, kata Madjid telah menjadi epidemi yang mengancam kesehatan dan kehidupan generasi penerus bangsa yang secara langsung membahayakan perkembangan sosial dan ekonomi serta keamanan negara. Sebagaian besar penderita HIV/AIDS adalah kelompok usia produktif dan separuh diantaranya adalah kaum muda. “Lebih menakutkan lagi adalah pola infeksi inter populasi dari ibu ke bayi sudah bukan menjadi hal baru lagi.”

Persoalan HIV dan AIDS, kata Madjid bukan sekedar persoalan kesehatan namun merupakan permasalahan yang sangat kompleks. Masyarakat harus dibuat paham dngan baik dan benar termasuk mereka yang bersentuhan langsung dengan pola hidup yang sangat berisiko. Kabupaten Ende sebagai kabupaten yang berada di tengah Flores merupakan daerah strategis. Peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS juga meningkat dari tahun ke tahun di Kabupaten Ende. Kasus yang berhasil dihimpun oleh KPA Kabupaten Ende dari tahun 2000-2009 tercatat sebanyak 35 kasus dengan perincian empat orang HIV, tiga orang AIDS dan 28 orang diantaranya telah meninggal.

Kondisi ini, kata dia tentu menggugah semua pihak termasuk PNS agar sedapat mungkin memperkecil atau menekan jumlah pendeita HIV/AIDS. Langkah ini tentu sulit jika hanya dibebankan kepada pemerintah. Masalah HIV/AIDS telah menajdi masalah dunia sehingga penanganannya juga membutuhkan kerja sama dari semua pihak. Penyuluhan dan pemberian informasi yang baik dan benar mutlak harus secara terus menerus dilakukan. Untuk itu, kata Madjid, Bagian Sosial Setda Ende memandang perlu untuk melakuykan sosialisasi HIV/AIDS dengan kelompok sasaran kali ini kepada kalangan PNS di lingkup Pemerintah Kabupaten Ende.

Untuk diketahui, sosialisasi yang sama tidak baru dilakukan saat ini. Namun, KPA Kabupaten Ende dan Dinas Sosial sudah beberapa kali melakukan sosialisasi di lima kecamatan yakni Nangapanda, Ende, Maurole, Lio Timur dan Kelimutu. Sosialisasi yang dilakukan di lima kecamatan tersebut antusias dari masyarakat cukup tinggi untuk mengikutinya.




Kasus PNPM-MP Desa Wonda, Suplayer Datangkan Tanah Bukan Pasir

* BPMD Turun ke Lokasi

Oleh Hieronimus Bokilia


Ende, Flores Pos

Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) di Desa Wonda Kecamatan Ndori masih menyimpan sejumlah persoalan. Saat ini, dari tiga item pekerjaan yang harus dikerjakan, pihak pelaksana hanya bisa mengerjakan satu item pekerjaan. Sedangkan dua item pekerjaan lainnya hingga kini belum dapat dilaksanakan karena belum diijinkan oleh masyarakat. Namun tidak diijinkannya dua item itu dikerjakan bukan karena masalah tanah namun masyarakat keberatan terhadap sejumlah persoalan yang hingga kini belum dapat diselesaikan. Masyarakat meminta Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (BPMD) Ende untuk segera turun ke lokasi guna menyelesaikan persoalan yang ada.

Hal itu dikatakan Tokoh Masyarakat Desa Wonda, YM Venny Sangu kepada Flores Pos, Kamis (12/11) lalu. Menurut Venny Sangu ada sejumlah masalah yang butuh penyelesaian secara arif dan bijaksana karena pelaksanaan PNPM-MP di Wonda masih menyimpang dari peraturan. Persoalan pertama yang terjadi saat ini di mana suplayer sudah mulai melakukan pendropingan pasir. “Tapi yang kita lihat fisik di lapangan yang mereka datangkan itu bukan pasir tapi tanah.”

Padahal, kata Sangu, masyarakat sebelumnya sudah menyiapkan pasir dan batu untuk dibeli namun karena harga yang ditawarkan terlampau rendah maka masyarakat tidak mau. “Bagaimana masyarakat mau jual pasir. Harga di RAB Rp140 ribu. Mereka tawar ke masyarakat dengan harga Rp80 ribu per kubik. Masyarakat bilang biar tidak usah beli di masyarakat yang penting pake pasir kali. Jangan macam yang didatangkan sekarang. Bukan pasir tapi tanah,” kata Sangu.

Persoalan lain yang diangkat Sangu adalah menyangkut semen. Pada saat dilakukan anwizing, Fasilitator Kecamatan (FK) berulang kali menekankan bahwa semen yang didatangkan hanya semen dengan kapasitas 40 kg per sak tidak boleh ukuran 50 kg. Tetapi, kenyataan sekarang saat didrop ternyata semen yang berkapasitas 50 kg. Selain dua persoalan ini, Sangu juga menyoroti keterlibatan ketua BPD dalam pelaksanaan. Menurutnya, sesuai aturan aparat desa dan BPD dilarang melaksanakan pekerjaan PNPM-MP. Apalagi, kata dia, ketua BPD ini sedang dalam permasalahan utang piutang sehingga tidak dibenarkan.

Akibat sejumlah persoalan yang belum diselesaikan ini, kata Sangu masyarakat melarang pelaksanaan dua jenis pekerjaan yakni pagar sekolah di SDK Wonda dan rabat beton jalan Hepudheke-Wolomari. Kedua item pekerjaan ini baru bisa diijinkan oleh masyarakat untuk dikerjakan jika semua persoalan yang ada diselesaikan. Masyarakat juga merelakan pengadan pasir oleh suplayer tidak perlu membeli pasir dari masyarakat asalkan pasir yang digunakan adalah pasir kali yang berkualitas bukan pasir tanah seperti yang didatangkan saat ini.

Masyarakat, kata Sangu juga sangat mengharapkan agar pemerintah melalui instansi teknis terkait yakni BPMD untuk segera turun menyelesaikan persoalan ini. Pihaknya, kata Sangu telah mendatangi Kantor BPMD dan bertemu kepala. Kepadanya dijanjikan akan turun ke lokasi untuk menyelesaikan pekerjaan. Namun hingga Kamis lalu, belum ada petugas dari BPMD yang turun ke lokasi. Dia mengancam jika dalam waktu dekat petugas tidak turun juga, mereka akan mengerahkan masyarakat untuk ke Ende mengadukan persoalan itu langsung ke bupati dan DPRD Ende.

Kepala BPMD Ende, Martinus Ndate kepada Flores Pos di ruang kerjanya, Jumad (13/11) mengatakan, persoalan itu sudah diketahui dan Venny Sangu sudah datang ke kantor. Kepada Sangu, kata Ndate sudah dijelaskan duduk perkara proyek tersebut di mana di setiap desa kegiatan dilaksanakan oleh TPK. Soal pengaduan yang disampaikan oleh Sangu, tidak serta merta diterima. akan tetapi perlu ditelusuri lebih jauh. Dari hasil konfirmasi dengan Ketua BPD Wonda, Jhoni yang disinyalir melaksanakan PNPM Desa Wonda, ternyata dia hanya dimintakan bantuan dan bukan sebagai pelaksana.

Menyangkut perhitungan di RAB hingga mendatangkan semen 50 kg, kata Ndate seharusnya semua itu dibicarakan secara jelas. Jika ada persoalan dan perlu dibicarakan hendaknya dibicarakan segera selama proses itu masih berjalan. “Jangan sudah jalan di pertengahan baru dipersoalkan. Kalau begini bisa berdampak pada kegiatan di lapangan,” tegas Ndate.

Terkait permintaan masyarakat agar BPMD segera turun ke lapangan, pada Jumad itu Ndate menjanjikan akan turun ke Desa Wonda. Dia bahkan sempat menelepon camat Ndori untuk berkoordinasi terkait rencana Sabtu (14/11) kemarin tim dari BPMD turun ke lokasi. Dikatakan, jika tim jadi ke Wonda maka diharapkan semua pihak dapat dipertemukan baik masyarakat, FK, TPK maupun Sangu yang berulang kali mempersoalkan pelaksanaan PNPM di Wonda. BPMD, kata Ndate turun langsung ke Wonda untuk mencaritahu akan persoalan dan membantu mencarikan solusi agar tidak menghambat proses pekerjaan di lapangan.