02 Desember 2013

Post Power Syndrom Umbu Datta

Post power syndrom bolehlah melanda. Namun, setiap langkah yang diambil hendaknya tetap merujuk pada peraturan. Jangan menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan.

Hiero Bokilia

BANYAK orang mengatakan jabatan adalah amanah. Jabatan merupakan sebuah kepercayaan. Jabatan yang diemban tidak akan abadi. Karena itu, setiap pejabat baik di lembaga pemerintahan, swasta, dan di lembaga mana pun selalu memberikan yang terbaik selama menjabat dan mempersiapkan dirinya secara matang saat hendak melepas jabatan. Pejabat yang memndang jabatan sebagai panggilan hidup dan amanah akan melepaskan jabatan yang dipercayakan itu secara sadar dan tanpa beban apapun. Apalagi, selama masa menjabat, ia telah memberikan yang terbaik.
Namun, tak jarang ada pula orang yang memandang jabatan sebagai tampuk kekuasaan yang harus dipertahankan. Jabatan yang diemban dipandang sebagai tampuk kekuasaan dan alat meraup keuntungan bagi diri dan kroni-kroninya. Melepas jabatan sama dengan tidak lagi berkuasa. Akibatnya, berbagai cara dan upaya akan dilakukan untuk mempertahankan jabatan. Tak peduli, apakah langkah yang dilakukan itu sesuai atau tidak dengan aturan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Terpenting, hasrat untuk tetap berkuasa dalam jabatan bisa dimiliki.
Kekhawatiran bakal kehilangan jabatan atau yang akrab dikenal dengan istilah post power syndrom inilah yang kini tengah dialami Rektor Undana Prof Dr Frans Umbu Datta. Hasrat itulah yang saat ini sedang tergambar dalam masa kepemimpinan Umbu Datta. Masa jabatannya yang telah berakhir pada 6 November lalu dan diperpanjang sampai pelantikan Prof Dr Fred Benu sebagai Rektor Undana terpilih, ternyata menuai masalah. Di saat dipercayakan memimpin Undana dalam masa perpanjangan jabatan itu, Umbu Data justru mengambil langkah mempersiapkan dirinya agar tetap menjadi pejabat di lingkungan Undana. Sebagai Penjabat Rektor Undana, Umbu Datta telah mengangkat dirinya sendiri untuk jabatan di lingkup Undana yakni Kepala Laboratorium Terpadu.
Langkah tidak umum itu diambil Umbu Datta di penghujung masa kepemimpinannya. Ia mengeluarkan Surat Keputusan (SK) yang mengangkat dirinya sendiri sebagai Kepala Laboratorium Terpadu Undana.
Langkah itu diambil sebelum menerima SK perpanjangan jabatan Rektor hingga pelantikan Prof Fred Benu sebagai Rektor Undana baru periode 2013-2017.
Langkah tak biasa yang diambil Umbu Datta itu disinyalir sebagai upaya mengamankan posisinya. Apalagi, khabar merebak bahwa Laboratorium Terpadu Undana tengah kebanjiran proyek pengadaan alat-alat laboratorium dari Kemendikbud yang mencapai ratusan miliar rupiah.
Pembantu Rektor (Purek) Bidang Administrasi Umum dan Keuangan Undana Roy Nendissa yang dikonfirmasi VN Senin (11/11) menjelaskan, Laboratorium Terpadu Undana baru selesai dibangun dan peralatannya baru dirampungkan. Sehingga, untuk sementara Umbu Datta yang memegang jabatan tersebut.
"Peralatan-peralatan itu kan baru di-setting. Jadi, sementara Pak Rektor yang pegang. Selanjutnya untuk mengisi posisi itu menjadi kewenangan Rektor terpilih yang akan menentukan siapa figur yang tepat mengisi jabatan itu," ujar Nendisa.
Terkait pelantikan beberapa pejabat Undana baru-baru ini, Roy menegaskan mutasi dilakukan untuk mengisi beberapa jabatan yang telah lowong akibat ditinggalkan pejabat lama yang telah pensiun.
"Kan saat ini Prof Frans Umbu Datta masih menjabat sebagai Rektor Undana. Apalagi dalam SK perpanjangan tidak disebut apa-apa. Hanya perpanjangan masa jabatan rektor saja," jelasnya.
Guru Besar Undana Prof August Benu menilai, pengangkatan diri sendiri oleh Umbu Datta sebagai Kepala Lab keliru karena harus dilakukan melalui prosedur baku, yaitu kesepakatan bersama antarfakultas.
"Harus ada kesepakatan bersama dari semua Dekan yang memiliki keterkaitan langsung dengan lab. Sebab SDM yang mau ditempatkan adalah SDM yang benar-benar paham benar soal lab," kata mantan Rektor Undana ini.
Dari sisi etika, tidak sepantasnya Umbu Datta merangkap sebagai kepala laboratorium. Semestinya penentuan pejabat kepala lab itu melalui seleksi dari baperjakat sesuai kompetensi SDM laboratorium.

Tinjau Ulang
Pengamat Hukum Tata Negara Undana Dr John Tuba Helan secara gamblang melihat kejanggalan yang terjadi dalam prosedur pengangkatan Umbu D|atta sebagai kepala laboratorium. Ia melihat apa yang dilakukan Umbu Datta itu jelas-jelas menyalahi ketentuan dan cacat hukum. Karena itu, harus ditinjau kembali. Secara hukum administrasi, tidak bisa seorang pejabat yang sama mengangkat dirinya sendiri untuk menduduki jabatan tertentu. Langkah Umbu Datta tersebut dinilai sebagai ekspresi ketakutan kehilangan kekuasaan (post power syndrome) setelah Prof Fred Benu dalam waktu dekat akan dilantik menjadi  Rektor Undana baru periode 2013-2017.
Umumnya, sebuah SK pengangkatan harus ditindaklanjuti melalui proses pelantikan. "Lucu kan kalau Pak Rektor mengambil sumpah atas dirinya sendiri saat pelantikan," ujarnya.
Jika pengangkatan jabatan kepala laboratorium menjadi kewenangan rektor, maka lebih tepat jika pengangkatan itu dilakukan oleh rektor terpilih. Umbu Datta disarankan membangun komunikasi yang baik dengan rektor terpilih agar dapat dipercayakan menempati jabatan itu.
Pembantu Rektor III Undana OS Eoh mengatakan, secara etika organisasi, langkah yang diambil Umbu Datta tidak dibenarkan. Tiga bulan sebelum masa jabatan berakhir, tidak boleh mengambil keputusan yang prinsip dalam arti mengangkat atau memberhentikan orang dari jabatan. Apalagi, langkah teranyar yang dilakukan Umbu Datta dengan mengangkat dirinya sendiri menjadi Kepala Laboratirium Terpadu. Langkah yang diambil Umbu Datta ini merupakan ekspresi ketakutan kehilangan kekuasaan (post power syndrome). Sehingga, untuk mengamankan posisinya pascapelantikan rektor baru, Umbu Datta mengangkat dirinya sendiri.
Jabatan kepala laboratorium terpadu bagi seluruh fakultas ini seyogyanya harus melalui pertimbangan seluruh dekan fakultas. Bukannya lewat keputusan sendiri. "Langkah beliau ini semacam ada ketakutan kehilangan kekuasaan. Kelihatan beliau ini tidak siap turun," tegas Eoh.

Letakkan Jabatan
Post power syndrom yang kini tengah melanda Umbu Datta memang dapat dibaca dari berbagai sisi. Selain sebagai upaya mempertahankan jabatan, dapat pula diduga sebagai upaya menutupi masalah di masa kepemimpinannya. Bukan tidak mungkin, karena ia juga pernah dipanggil KPK untuk memberikan kesaksian terkait proyek Kemendikbud yang digelontorkan di Undana. Dugaan itu akan semakin menguat karena mega proyek yang diterima Undana diduga kuat juga untuk kepentingan pembangunan laboratorium.
Karena itu, sebelum semua dugaan-dugaan itu semakin menyeretnya maka sebagai seorang pejabat yang berjiwa besar, Umbu Datta harus mendengar masukan dan kritikan dari semua pihak. Sebagai seorang cendekiawan, Umbu Datta bahkan harus berjiwa besar mau meletakan jabatan yang dibuatnya untuk dirinya itu. Akan lebih terhormat jika sebelum diturunkan, ia sendiri yang menurunkan dirinya dari jabatan itu.
Akan lebih terhormat jika ia secara sadar mau mencabut kembali SK pengangkatannya itu agar tidak terus menjadi polemik.
Karena jika tidak, akan sangat memalukan jika ia tetap mempertahankan jabatan itu, dan pada akhirnya digantikan setelah pelantikan Rektor Undana terpilih Prof Dr Fred Benu.
Post power syndrom bolehlah melanda. Namun, setiap langkah yang diambil hendaknya tetap merujuk pada peraturan. Jangan menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan. Semoga. *