05 Februari 2010

Pembunuhan Akbar Amir, Polisi Tangkap Empat Pelaku

* Salah Satu Pelaku Diduga Sebagai Otak Pembunuhan

Oleh Hieronimus Bokilia


Ende, Flores Pos

Setelah melakukan pengejaran selama lebih kurang dua hari, Tim Buser yang dibentuk Kapolres Ende akhirnya berhasil membekuk empat orang pelaku yang diduga telah melakukan tindakan pembunuhan terhadap korban Akbar Amir. Keempat tersangka pelaku masing-masing berinisial CT, RN, YB dan MD berhasil dibekuk di Kuruone Kecamatan Kelimutu. Salah satu dari empat orang pelaku ini diduga kuat sebagai otak atau aktor intelektual di balik aksi pembunuhan terhadap Akbar Amir.


Hal itu dikatakan Kepala Kepolisian Resor Ende, AKPB Bambang Sugiarto di ruang kerjanya, Jumad (29/1). Kapolres Sugiarto mengatakan, keempat pelaku yang berhasil dibekuk Tim Buser tersebut merupakan pelaku-pelaku yang langsung bersentuhan dengan korban. Keempatnya juga sudah positif terlibat karena sesuai pengakuan istri Umar Hasan Kota, salah seorang korban lainnya yang jarinya terputus katakan bahwa keempatnya yang melakukan teror dengan bolak-balik di lokasi pada saat kejadian pengeroyokan dan pembunuhan itu. Para pelaku saat ini diamankan di sel Polres Ende dan menjalani pemeriksaan intensif oleh tim penyidik Polres Ende. Terkait peran para pelaku, kata Sugiarto baru dapat didalami setelah para pelaku diperiksa.


Selain menahan empat tersangka pelaku ini, polisi juga akan terus memburuh pelaku lainnya. Hal itu karena berdasarkan keterangan saksi mengatakan bahwa ada sekitar 10 orang yang melakukan pengeroyokan pada saat itu. Untuk itu, kata dia, jumlah pelaku akan terus berkembang setelah dilakukan pemeriksaan terhadap para tersangka dan saksi-saksi lainnya.


Motif pembunuhan terhadap Akbar Amir, kata Sugiarto, sesuai keterangan awal para pelaku dipicu sengketa tanah di mana pada lokasi yang dikuasi oleh pihak keluarga almarhum Yohanes Djou yang telah dijual kepada Fakultas Pertanian Uniflor dipagari dengan batu oleh Akbar Amir. Dia juga memasang tanda larangan (te’o tipu) di lokasi tersebut. Tanda larang yang dipasang Akbar Amir tersebut dicabut sehingga menimbulkan perselisihan yang berbuntut pembunuhan terhadap Akbar Amir.


Diberitakan sebelumnya, sengketa tanah antara pihak almarhum Yohanes Djou dengan pihak almarhum Amir Nggase sejak tahun sejak tahun 1973 terus berlanjut hingga tahun 2010. Sengketa berkepanjangan itu, berbuntut pengeroyokan yang telah menewaskan Akbar Amir (64) anak dari almarhum Amir Nggase pada Selasa (26/1) sekitar pukul 10.00.


Akbar Amir meninggal saat melakukan perlawanan terhadap pihak keluarga almarhum Yohanes Djou di Dusun Watumbawu Kelurahan Lokoboko Kecamatan Ndona. Korban meninggal dengan luka bacok di kepala. Selain Akbar Amir, korban lain juga menimpa Umar Hasan Kota (37) keponakan kandung Akbar Amir. Dua jari tangan kanan (jari kelingking dan jari manis) Umar Hasan pun terpotong dalam aksi peneroyokan tersebut.


Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Ndona, Iptu Abubakar Sumby mengatakan, tanah yang disengketakan sudah ada putusan MA. Meski dibagi namun pembagiannya belum jelas dan masih ribut sampai sekarang. Perkara tanah ini, kata Iptu Abubakar, telah dilakukan pendekatan terhadap kedua belah untuk kembali berkoordinasi dengan pihak Pengadilan Negeri Ende dan DPRD Kabupaten Ende.




Soal Logam di Tubuh Korban, Pihak RSUD Nyatakan Ada Kekeliruan Diagnosa

* Polisi Akan Periksa Bagian Radiologi

Oleh Hieronimus Bokilia


Ende, Flores Pos

Pihak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ende menyatakan ada kekeliruan diagnosa yang dilakukan oleh Nengah Raditha, Dokter Ashli Bedah yang melakukan doagnosa. Keterangan adanya logam di dalam daging pada lengan Petrus Nai Lengo yang diduga merupakan korban penembakan pada saat eksekusi terdapat kekeliruan dan terjadi akibat diskomunikasi antara Bagian Radiologi dengan dokter ahli bedah. Logam yang dinyatakan berada di dalam tubuh korban sebenarnya merupakan marker atau logam yang diletakan untuk menunjukan titik luka pada saat dilakukan foto rontgent.


Hal itu dikatakan Direktur RSUD Ende, Yayik Prawitha Gati kepada wartawan di ruang rapat RSUD Ende, Jumad (29/1). Yayik Prawita Gathi mengatakan, dalam proses foto rintgen oleh bagian radiologi, terlebih dahulu dipasang marker. Marker meruakan logam yang dipasang untuk memberi tanda pada bagian luka saat dilakukan rontgent untuk memudahkan pembacaan. Pemasangan marker ini, kata Yayik, tidak disampaikan kepada dokter yang mendiagnosa hasil rontgent tersebut. Akhirnya marker tersebut yang dibaca oleh dokter sebagai logam atau benda asing yang terdapat di dalam luka korban. “Sebenarnya diagnosa yang dilakukan dokter benar hanya saja ada diskomunikasi antara bagian radiologi dan dokter ahli bedah. Jadi ada masalah diskomunikasi,” kata Yayik.


Apalagi, kata Yayik, dokter Nengah adalah dokter baru yang baru bertugas di RSUD Ende sehingga kurang tahu kebiasaan penggunaan marker pada saat foto rontgen dilakukan. Selain itu, pada saat pelaksanaan foto rontgent dilakukan menyamping sehingga marker yang nampak seperti berada di dalam luka korban. Diakui, kondisi saat pembuatan foto rontgent juga kurang tepat logam. Pihak bagian radiologi juga tidak memberitahukan kepada dokter ahli bedah terkait penggunaan marker tersebut. Hal itu baru diketahui setelah ada pemberitaan di media massa. Terhadap kekeliruan ini, pihak rumah sakit akan memberikan sanksi internal.


Terhadap hasil diagnosa dokter ahli bedah teresbut, kata Yayik, pada Kamis (28/1) Kapolres Ende AKBP Bambang Sugiarto sudah meminta klarifikasi baik kepada dokter ahli bedah yang melakukan diagnosa maupun kepada pihak rumah sakit. Pihak rumah sakit juga telah melakukan rontgen ulang. Dari hasil rontgent ulang itu, ternyata tidak ada logam atau benda asing yang terdapat di dalam luka korban. “yang bisa kita katakan adalah sebuah luka yang terjadi dan hanya merupakan luka terbuka. Jadi di dalamnya tidak ada logam dan tidak perlu dirujuk dan hanya dirawat di sini saja. Bengkaknya juga sudah turun dan hanya dirawat di sini saja.”


Ditanya penyebab terjadinya luka pada lengan kanan korban, Yayik mengatakan, pihaknya belum dapat memastikan penyebab luka. Untuk bisa mengetahui hal itu, perlu dilakukan visum. Namun untuk dilakukan visum perlu ada surat permohonan b\visum dari polisi. Namun diakuinya, polisi belum mengajukan permohonan visum kepada pihak rumah sakit.


Kepala Kepolisian Resor Ende, AKBP Bambang Sugiarto di ruang kerjanya mengatakan, sudah dapat dipastikan bahwa dalam proses pelaksanaan evakuasi itu tidak ada aparat baik dari Polres, Brimob maupun TNI yang menggunakan peluru tajam. Hal itu juga telah diklarifikasikan dengan Dandim 1601 Ende. Saat dicek ke Dandim, kata Sugiarto, Dandim juga katakan tidak ada anggota TNI yang menggunakan peluru tajam karena semua peluru tajam sudah diambil. Apalagi, katanya, TNI hanya memback up Polres.


Dikatakan, mengingat tidak ada aparat yang menggunakan peluru tajam dalam proses pelaksanaan evakuasi maka jelas luka itu bukan karena tembakan peluru tajam. Dia memperkirakan karena kejadian pada saat gelap karena asap dari gas air mata sehingga bisa saja karena tergores kayu atau benda lainnya. Apalagi saat dicek oleh polisi, ada melihat serpihan kayu pada luka korban. “Tapi tidak bisa katakan itu karena dokter yang lebih berwenang.”


Diakui Kapolres Sugiarto, persoalan itu juga telah diklarifikasikan dengan Dokter Nengah terkait diagnosa yang disampaikan kepada wartawan. Dokter nengah, kata Sugiarto mengakui bahwa dia tidak bicara seperti itu kepada wartawan. Sesuai penjelasan dokter ahli bahwa dia belum tahu kebiasaan penggunaan marker di RSUD Ende. Namun, kata Sugiarto, apa yang dilakukan itu sudah sangat riskan dan cukup sensisitf karena menyangkut dengan kemanusiaan dan terkait penegakan hukum.


Menurut Sugiarto, hasil diagnosa dokter itu telah memojokan pihaknya. Padahal, dari hasil klarifikasi dan penjelasan daro dokter ahli dan pihak rumah sakit jelas mengatakan bahwa tidak ada logam atau proyektil yang bersarang di dalam luka korban. Terhadap hal ini, katanya, semua dia berpikir mungkin ada unsur kesengajaan atau karena kelalaian dari pihak medis di RSUD Ende. Untuk itu, kata dia, Bagian Radiologi akan diperiksa. Selanjutnya akan dibuat laporan polisi. Namun dia enggan melanjutkan proses ini ke masalah pidana. “Kalau soal ada unsur sengaja belum bisa ngomong dan perlu periksa pihak radiologi dan BAP wajib dilakukan tapi belum ke arah pidana,” kata Kapolres Sugiarto.


Terkait permintaan visum, Sugiarto katakan pihaknya telah mengajukan surat permohonan visum pada Kamis (28/1). Namun sejauh ini hasil visum belum diterima. Permintaan visum tersebut menurutnya merupakan sesuatu hal yang wajib.


Diberitakan sebelumnya, Dokter Ahli Bedah, Nengah Raditha kepada wartawan di RSUD Ende, Rabu (27/1) mengatakan, berdasarkan pemeriksaan klinis dan radiologi terhadap lengan kanan korban, ada benda asing yang masuk ke bagian tubunya. Untuk memastikan benda tajam atau peluru tajam atau karet yang ada di dalam lengan korban maka harus dikeluarkan dan untuk itu harus dilakukan operasi. Tetapi, kata Nengah, dari hasil pemeriksaan radiologis menunjukan ada logam dan untuk pastinya harus dioperasi.


Namun untuk mengoperasi korban, fasilitas yang dimiliki rumah sakit terbatas sehingga sulit dilakukan operasi. Apalagi, logam yang diperkirakan ada di kedalaman dua centimeter dari kulit itu sangat kecil. Selain itu di bagian lengan ada saraf lengan yang jika dioperasi tanpa fasilitas lengkap dapat mengganggu syaraf di lengan. Untuk itu, kepada korban dan keluarganya disarankan untuk dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas lengkap. Sebagai dokter ahli bedah yang menaganni korban, dia menyarankan agar korban dirujuk ke Denpasar karena di sana memiliki sarana yang cukup lengkap. “Kita sangat sulit operasi karena logamnya sangat kecil.”


Korban penembakan, Petrus Nai Lengo di Ruang Bedah kepada wartawan mengatakan, dia baru menyadari terkena tembakan saat merasakan ada darah mengucur di lengannya. Dia juga tidak tahu pelaku yang menembaknya karena pada saat itu ada asap dari gas air mata yang dilontarkan polisi. Dia mengakui, saat itu dia sedang memegang parang namun tidak melakukan perlawanan dan hanya berdiri di pagar.




Korban Penembakan Saat Eksekusi Harus di Rujuk

* Polisi Bantah Gunakan Peluru Tajam

Oleh Hieronimus Bokilia


Ende, Flores Pos

Dalam pelaksanaan eksekusi tanah di Kelurahan Paupire, Kecamatan Ende Tengah (Selasa (26/1) salah seorang warga yang mempertahankan lokasi tanah yang dieksekusi, Petrus Nai Lengo (28) terkena tembakan aparat. Akibat tembakan yang mengenai lengan kanan Lengo, serpihan peluru masih bersarang di lengan kanannya sedalam dua centimeter. Untuk mengeluarkan serpihan peluru ini, dokter ahli bedah yang menanganinya menyarankan agar dirujuk ke rumah sakit yang peralatannya lebih lengkap. Dokter tidak berani melakukan operasi guna mengeluarkan serpihan yang ada di dalam lengan korban karena khawatir dapat mengganggu saraf lengan.


Dokter Ahli Bedah, Nengah Raditha kepada wartawan di RSUD Ende, Rabu (27/1) mengatakan, berdasarkan pemeriksaan klinis dan radiologi terhadap lengan kanan korban, ada benda asing yang masuk ke bagian tubunya. Untuk memastikan benda tajam atau peluru tajam atau karet yang ada di dalam lengan korban maka harus dikeluarkan dan untuk itu harus dilakukan operasi. Tetapi, kata Nengah, dari hasil pemeriksaan radiologis menunjukan ada logam dan untuk pastinya harus dioperasi.


Namun untuk mengoperasi korban, fasilitas yang dimiliki rumah sakit terbatas sehingga sulit dilakukan operasi. Apalagi, logam yang diperkirakan ada di kedalaman dua entimeter dari kulit itu sangat kecil. Selain itu di bagian lengan ada saraf lengan yang jika dioperasi tanpa fasilitas lengkap dapat mengganggu syaraf di lengan. Untuk itu, kepada korban dan keluarganya disarankan untuk dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas lengkap. Sebagai dokter ahli bedah yang menaganni korban, dia menyarankan agar korban dirujuk ke Denpasar karena di sana memiliki sarana yang cukup lengkap. “Kita sangat sulit operasi karena logamnya sangat kecil.”


Dia mengatakan, secara anatomis fungsional pasien tidak terganggu dan tidak mengancam nyawa korban. Tetapi, lanjut Nengah, bhenda asing kalau tidak cocok sangat riskan dan dapat menimbulkan inveksi. Mengatasi kondisi ini, katanya, korban sudah diberikan antibiotik untuk mencegah terjadinya inveksi. Korban juga diijinkan untuk pulang pada Selasa dan jika ada persoalan dapat melakukan pengobatan jalan ke rumah sakit. Selanjutnya jika keluarga mengijinkan untuk dirujuk maka dia akan memberikan surat rujukan untuk operasi di Denpasar.

Korban penembakan, Petrus Nai Lengo di Ruang Bedah kepada wartawan mengatakan, dia baru menyadari terkena tembakan saat merasakan ada darah mengucur di lengannya. Dia juga tidak tahu pelaku yang menembaknya karena pada saat itu ada asap dari gas air mata yang dilontarkan polisi. Dia mengakui, saat itu dia sedang memegang parang namun tidak melakukan perlawanan dan hanya berdiri di pagar.


Saat tahu tangannya berdarah terkena tembakan, dia langsung keluar dari lokasi eksekusi dan menumpang ojek menuju ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Dia juga mengakui kalau polisi sudah ke rumah sakit melihatnya setelah keluarganya melaporkan bahwa dia terkena tembakan.


Petrus Nai Lengo saat ditemui hanya ditemani dua kerabatnya. Lengannya yang terkena tembakan telah diobati. Namun lengannya yang terkena tembakan sudah mulai membengkak. Dia mengeluhkan lengannya sangat sakit.

Elias Diwa, ayah korban kepada Flores Pos di rumah keluarganya yang terletak di dekat lokasi eksekusi mengatakan, dia tidak terima perlakuan penembakan yang terjadi terhadap anaknya. Saat terjadi penembakan mereka juga tidak tahu dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa terhadp kejadian yang menimpa anaknya itu.


Terhadap rencana rujukan ke Denpasar, Diwa mengatakan pihaknya tidak mau tahu. Menurutnya, karena aparat yang menembak maka mereka yang harus bertanggung jawab terhadap kondisi anaknya. Yang dia inginkan, anaknya kembali dalam keadaan sehat seperti sedia kala. “Kami dianggap seperti babi hutan. Mereka tembak. Kami tidak terima dengan penembakan itu. Saya tetap anggap anak saya itu sehat seperti biasa. Jadi untuk rujuk atau apa kami serahkan kepada mereka,” kata Elias Diwa dengan nada suara tinggi.


Tetap Bertahan

Diwa mengatakan, mereka semua yang menjadi korban penggusuran akan tetap mempertahankan lokasi tanah itu karena kebenaran. Tanah yang diperkarakan itu merupakan milik mereka sejak nenek moyang. Mereka tidak akan merelakannya untuk diambil begitu saja. Dia menyesalkan sikap aparat yang mengikuti kemauan pemenang perkara untuk menggusur rumah dan tanaman milik mereka di atas tanah itu. Diwa katakan, karena tidak memiliki tempat lain, semua keluarga yang memiliki rumah di lokasi tanah yang telah dieksekusi itu akan tetap kembali menempati dan membangun di lokasi itu. “Kami tidak mau pergi. Tempat kami hanya di sini. Kami akan tetap bertahan. Kalau ada yang masuk kami siap pertahankan. Siapa yang masuk bangun kami kasih hilang memang supaya pemerintah tahu,” kata Diwa.


Saat ini, kata Diwa, seluruh keluarga yang rumahnya digusur menginap di rumah keluarga yang ada di sekitar lokasi penggusuran. Saat ini mereka tidak memiliki apa-apa lagi namun dia berjanji akan kembali membangun di lokasi tersebut. “Itu otomatis,” katanya tandas. Saat ini, kata dia, tiga orang anaknya harus mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Ende karena diproses hukum setelah berjuang mempertahankan lahan tersebut. Saat ini, satu anaknya yang lain harus dirawat karena ditembak saat eksekusi. Dia sangat menyesalkan kejadian tersebut dan melihat proses eksekusi tidak sah karena pembacaan penetapan eksekusi tidak dilakukan di lokasi eksekusi namun dibacakan di loikasi lain di luar lokasi tanah yang dieksekusi.


Kepala Kepolisian Resor Ende, AKBPD Bambang Sugiarto di ruang kerjanya mengatakan, terkait penembakan yang terjadi pada saat pelaksanaan eksekusi semua aparat dari Polres Ende tidak menggunakan peluru tajam. Semua sudah diinstruksikan untuk menggunakan peluru hampa dan peluru karet. Karena itu dia kaget ketika dikatakan bahwa logam yang bersarang di tubuh korban penembakan adalah serpihan peluru. Dikatakan, sesuai hasil visum dokter juga mengatakan tidak ada proyektil di dalam luka yang ada di lengan kanan korban. Saat ini memang belum dapat dibuktikan loham oti proyektil apalagi pada saat pelaksanaan eksekusi tidak ada anggota Polres Ende yang menggunakan peluru tajam. Aparat dari satuan TNI juga menggunakan peluru hampa. Kapolres Sugiarto menduga, logam yang ada di lengan korban bisa saja seng atau logam lainnya dan bukan proyektil.


Dia mengakui, dalam menghadapi perlawanan masyarakat selalu ada protap. Dalam situasi seperti yang terjadi pada saat pelaksanaan eksekusi aparat memang sudah dapat menggunakan peluru tajam karena warga sudah menggunakan molotof, benda tajam dan bensin. Namun pada saat itu, aparat masih melalui protap pertama yakni melepaskan gas air mata dan tembakan peringatan, tembakan dengan peluru hampa dan tembakan dengan peluru karet. “Polres jelas tidak gunakan peluru tajam. Tapi untuk TNI kurang tahu karena mereka punya protap sendiri. Tapi karena mereka ikut dalam pengamanan dibawah pimpinan saya jadi harus ikuti protap Polri.”




Diadang Warga, Aparat Terpaksa Lepaskan Gas Air Mata dan Tembakan

* Proses Eksekusi Lahan di Paupire

Oleh Hieronimus Bokilia

Ende, Flores Pos

Proses pelaksanaan eksekusi lahan yang menjadi lokasi sengketa antara pihak penggugat Naipani melawan pihak tergugat Susu Sara di mana perkara ini kemudian dilanjutkan anak cucu Naipani hingga tahun 2009 berlangsung alot. Pihak tergugat yang kalah dalam perkara ini tetap berupaya menguasai lokasi yang akan dieksekusi. Mereka mendirikan pagar guna menghalangi masuknya kendaraan penggusur ke lokasi. Di dalam lokasi sengketa, warga dari pihak tergugat tetap bersikeras tidak mau meninggalkan lokasi eksekusi. Bahkan sejumlah ibu nekat membuka baju dan tidur di balik pagar. Salah seorang ibu sampai nekad membuka pakaiannya dan tidur menghalau loder yang akan menggusur 11 bangunan rumah yang ada di lokasi sengketa tersebut.


Setelah upaya negosiasi yang coba dibangun aparat keamanan menemui jalan buntu dan warga di dalam lokasi sengketa tetap bersikeras mempertahankan lokasi tanah agar tidak digusur, aparat terpaksa melepaskan gas air mata ke arah warga di dalam lokasi eksekusi. aparat juga melepaslkan tembakan beruntun menggunakan peluru hampa dan peluru karet ke arah warga Gas air mata membuat mereka akhirnya berhasil diamankan dan aparat keamanan dari Polres Ende, Brimob Kompi C Ende, Kodim 1602 Ende, Kompi C Ende dan dari Satpol PP berhasil masuk ke lokasi tanah sengketa. Polisi bahkan berhasil mengamankan sejumlah warga yang melakukan perlawanan.


Aparat keamanan yang berhasil menguasai lokasi tanah sengketa langsung menggerebek dan menyisir warga yang ada di rumah-rumah yang akan digusur. Sejumlah warga yang tetap bertahan tidak mau keluar diminta untuk keluar dari rumah. Aparat yang telah berhasil menguasai lokasi tanah sengketa kemudian membantu mengeluarkan barang yang ada di dalam rumah. Setelah seluruh barang berhasil dikeluarkan, penggusuran langsung dilakukan.


Drama eksekusi lahan sengketa seluas lebih kurang 3.912 meter persegi pada Selasa (26/1) kemarin diawali dengan apel persiapan yang digelar di halaman kantor KPUD Ende di jalan Melati sekira pukul 07.30.

Kapolres Ende, AKBP Bambang Sugiarto pada kesempatan itu mengatakan, apa yang dilakukan merupakan pelaksanaan operasi pelayanan kepada masyarakat. Pelaksanaan dilaksanakan berdasarkan rencana yang telah dibuat yakni rencana pengamanan dengan melibatkan semua unsur terkait. Dalam pelaksanaan pengamanan eksekusi lokasi sengketa ini, kata Kapolres Sugiarto ditekankan sejumlah hal yakni dalam pelaksanaan pengamanan supaya membutuhkan ikatan kelompok. “Jiwanya menghalau bukan mengepung dan menangkap agar mereka meninggalkan apa yang bukan hak milik mereka. Mereka tidak punya hak tapi masih tetap di sana untuk pertahankan haknya,” kata Kapolres Sugiarto.


Dikatakan, langkah yang dilakukan adalah berupaya menjaga keselamatan mereka. Dia mengingatkan untuk berhati-hati dengan warga yang akan tetap berupaya mempertahankan dengan menggunakan bom molotof dan senjata tajam lainnya. Selama melakukan tindakan pengamana, kata Sugiarto, jelas akan ada ancaman dan untuk itu harus melakukan tindakan melindungi, membela diri baik untuk diri sendiri dan orang lain. Untuk tembakan, katanya, menunggu perintah dan harus mengikuti protap dan tembnakan peringatan. Jika mereka melakukan tindakan pidana, tim buser dapat menangkap para pelaku. Dia berharap, kegiatan eksekusi berjalan aman dan lancar tanpa ada korban baik dari masyarakat maupun dari pihak aparat. ”Jaga keselamatan sebaik-baiknya,” pesarn Kapolres Sugiarto.


Usai mendengarkan arahan Kapolres, sekira pukul 08.48, pasukan dipimpin Kepala Bagian Bina Mitra, AKP Paulus Conye mulai bergerak ke lokasi tanah sengketa. Didahului tim negosiasi, Satuan Polisi Pamong Praja, Tim Buser, Dalmas Polres Ende, menyusul Brimob, TNI dari Kodim dan Kompi C. Alat berat loder juga langsung diturtunkan dari tronton dan bergerak menuju lokasi sengketa. Saat hendak memasuki lahan warga yang sudah diminta untuk menjadi jalan masuk menuju jalan sengketa, warga telah memagarinya. Warga juga memasang sejumlah poster pada kertas manila putih dan ditempel di pagar yang berbunyi ‘selamat datang mafia peradilan. Bosan hidup masuk saja. Kubur sudah siap’, ‘kami dari saksi perbatasan tidak mengijinkan satu setan dua binatang yang masuk di wilayah kami’.


Warga yang marah tetap berdiri sepanjang pagar yang telah dibuta. Mereka mengeluarkan kata-kata hujatan terhadap aparat penegak hukum terutama pengadilan. Mereka meminta agar aparat yang lebih tahu aturan untuk menegakan hak asasi manusia dan memperhatikan masyarakat di lapis bawah. “Bapak yang tahu aturan jangan lakukan penyerobotan,” teriak warga yang kian marah. Mereka juga meminta aparat untuk tidak bertindak sewenang-wenang terhadap masyarakat kecil hanya karena kekuasaan. “Alat berat yang dibeli untuk bangun jalan bukan untuk gusur rakyat,” teriak salah seorang warga dari balik pagar.


Sekira pukul 09.00 pasukan Dalmas mencoba bergerak maju merapat di pagar. Namun pada saat bersamaan, dari dalam berlari dua orang pemuda berikat kepala merah putih dan ditangan keduanya ada sebilah parang. Namun warga lainnya mencoba menenangkan keduanya dan menyuruh mereka kembali. Pukul 09.08 loder mulai merapat ke pagar. Namun kondisi ini tidak membuat warga surut. Mereka bahkan semakin merapat di pagar dan terus mengamuk. Satu lemparan batu berhasil menghancurkan kaca loder. Namun tiga menit kemudian, loder mulai meringsek masuk dan berhasil merubuhkan pagar. Warga yang kian marah terus berupaya mempertahankan posisi. Bahkan disaat bersamaan, satu ledakan yang berasal dari bom molotof terjadi. Aparat semakin bersiaga.


Pukul 09.41 setelah aparat berhasil masuk dan merapat ke lokasi tranah sengketa dan tetap dilarang oleh warga, Panitera dari Pengadilan Negeri Ende akhirnya membacakan penetapan pelaksnaaan eksekusi di luar pagar tanah lokasi sengketa. Setelah selesai membacakan penetapan, aparat keamanan semakin merapat ke pagar. Namun warga yang kian marah tetap bertahan di balik pagar. Sejumlah ibu yang kecewa membuka baju dan tidur di tanah dekat pagar. Bahkan pukul 10.30 saat loder berhasil mendekati pagar lokasi yang akan digusur, seorang ibu nekat membuka baju dan celananya dan tidur di roda loder. Sejumlah Polwan berupaya mengenakan kembali pakaiannya dan membawanya keluar dari lokasi.


Sekira pukul 10.43, setelah upaya negosiasi yang dilakukan aparat terhadap waga yang ada di dalam lokasi sengketa tidak membuahkan hasil, aparat akhirnya melemparkan gas air mata ke arah warga yang ada di dalam lokasi tanah sengketa. Lontaran gas air mata ini membuat warga panik dan berlari menyelamatkan diri. Aparat keamanan langsung bergerak masuk ke lokasi tanah sengketa. Sejumlah warga yang tetap ngotot mempertahankan lokasi itu diamankan aparat dan diungsikan ke Kantor Polres Ende. Aparat keamanan akhirnya berhasil menguasai lokasi tanah sengketa sekira pukul 10.49. Aparat langsung menyisir sejumlah rtumah yang ada di dalam lokasi untuk mencari warga yang sebelumnya melakukan perlawanan. Namun polisi hanya berhasil mengamankan lima orang saja. Sedangkan yang lainnya berhasil keluar dari lokasi.


Aparat langsung mengeluarkan barang yang masih ada di dalam rumah yang akan digusur dan diletakan di halaman rumah. Setelah semua barang berhasil dikeluarkan, penggusuran langsung mulai dilaksanakan. Pukul 11.05, rumah pertama mulai diruntuhkan. Hanya dalam waktu empat menit, rumah yang hanya berdinding pelupuh ini sudah rata dengan tanah. Usai meruntuhkan rumah pertama, loder langsung bergerak menuju rumah kedua. Sekira pukul 12.35, seluruh rumah telah berhasil digusur. Loder juga menumbangkan pohon kelapa, nangka, pisang dan bambu yang ada di dalam lokasi tanah sengketa. Dalam proses ini, ada sejumlah warga pemilik rumah yang berupaya menyelamatkan barang mereka yang ada di dalam rumah dan di luar rumah. Sejumlah piringan parabola berhasil diangkat dan dipindahkan mereka. Warga juga berupaya membongkar sendiri atap rumah dan memindahkannya.


Usai penggusuran, AKP Paulus Conye mempersilahkan kepada pemilik rumah untuk memindahkan barang milik mereka dari lokasi eksekusi. Kepada warga, Conye katakan jika membutuhkan bantuan kendaraan, aparat siap membantu memindahkan barang ke tempat yang diinginkan warga.


Diberitakan sebelumnya, tanah yang terletak di Jalan Prof. W.Z. Yohanes dieksekusi berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Ende Nomor: 3 tahun 1999. Ketua Pengadilan Negeri Ende, Marulak Purba mengatakan, perkara ini antara Naipani dan Susu Sara namun mereka sudah meninggal. Perkara ini dilanjutkan oleh anak cucu Naipani.. Dari pihak penggugat yakni Samsudin Nai dan Vitaslis sementara dari pihak tergugatnya Susu Sara’Cs diantaranya Saali Wasa, Arnoldus, Ahmad Li, Elias Diwa dan Nggae.


Purba mengatakan perkara ini berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Ende maupun tingkat banding di Pengadilan Tinggi di Kupang hingga ke tingkat Kasasi MA bahkan Peninjauan Kembali (PK) putusan MA, adalah milik penggugat yakni Naipani. Diuraikan Purba di lokasi yang hendak dieksekusi itu terdapat sembilan buah rumah. Tujuh diantaranya rumah tergugat.