05 September 2008

Resiko Bencana dan Kerja Kemanusiaan

Dari Workshop Peran Media dalam Pengurangan Risiko Bencana dan Tanggap Darurat (2)
Oleh Hieronimus Bokilia

Omong soal bencana, tentu semua kita akan ingat kesulitan dan kesusahan para korban. Semua kita tentu akan tergerak hati dan mau mengulurkan bantuan kepada para korban apapun bentuknya. Ada yang mau turun langsung ke lokasi ada pula yang mengumpulkan bantuan dari para donator dan menyerahkan langsng kepada para korban. Ada pula yang menyerahkannya melalui perantara. Media massa dalam kerja-kerja kemanusiaan dalam membantu korban bencana alam, juga tak jarang membuka dompet amal atau dompet peduli bencana. Bantuan yang dikumpulkan dari para donator lalu diserahkan kepada para korban.
Butu Ma’dika pada hari kedua workshop mencoba menggugah peserta dalam materinya tentang pengantar pengurangan resiko bencana sebagai bagian dari kerja kemanusiaan. Dia memaparkan kondisi kebencanaan dunia yang trennya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Banjir berada pada urutan pertama dengan total 152 kasus pada tahun 2007, menyusul angin topan dengan 75 kasus, kemudian tanah longsor dengan 56 kasus menyusul banjir dan tanah longsor beruntun sebanyak 45 kasus. Pada urutan berikutnya diikuti gelombang pasang atau abrasi dengan 12 kasus, gempa bumi 12 kasus, kegagalan teknologi enam kasus dan letusan gunung berapi empat kasus. Dari sekian jenis bencana itu, total korban yang menderita dan menungsi mencapai 1.941.597 dengan jumlah terbanyak akibat bencana banjir sebanyak 1.561.640 jiwa.
Ma’dika mengatakan, dalam penanganan bencana diperlukan adanya perubahan paradigma dimana bencana tidak lagi berfokus pada aspek tanggap darurat saja, tetapi lebih pada keseluruhan manajemen risiko. Perlindungan Masyarakat merupakan hak asasi rakyat, bukan semata-mata karena kewajiban pemerintah dan dalam penanganan bencana bukan lagi tanggungjawab pemerintah saja tetapi menjadi urusan bersama masyarakat ata menjadi urusan semua orang.
Membangun Ketahanan Negara dan Masyarakat terhadap Bencana menurut Kerangka Aksi Hyogo (HFA) 2005-2015, sesuai kesepakatan internasional antara 168 negara dan lembaga-lembaga multi-lateral yang mencakup tiga tujuan strategis, lima prioritas aksi dan beberapa saran implementasi serta aksi tindak lanjut dalam bidang pengurangan risiko bencana. Tiga tujuan strategis mencakup mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam kebijakan, rencana dan program-program pembangunan berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan, menganggap pengurangan risiko sebagai isu kemanusiaan sekaligus isu pembangunan – dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan fokus pada implementasi di tingkat negara, dengan kerjasama bilateral, multilateral, regional dan internasional. Lima prioritas antara lain, tata pemerintahan – memastikan pengurangan resiko bencana menjadi prioritas nasional dan lokal dengan basis kelembagaan yang kuat untuk pelaksanaan. Pengkajian Resiko – Identifikasi, mengkaji, dan memonitor resiko bencana dan meningkatkan peringatan dini. Pengetahuan dan Pendidikan – Menggunakan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun budaya aman dan ketahanan terhadap bencana di semua tingkat. Pengurangan Risiko – Mengurangi faktor- faktor berisiko yang mendasar. Kesipasiagaan dan Tanggap Darurat Bencana – Meningkatkan kesiapsiagaan bencana untuk response (tanggap bencana) yang efektif di semua tingkat.
Ma’dika menjelaskan, risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Tingkat sisiko bencana dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu ancaman/bahaya (Hazard), kerentanan (Vulnerability) dan kapasitas/kemampuan (Capacity). Sifat/karakter ancaman meliuti jenis ancaman, asal/penyebab/pemicu, tenaga perusak, tanda peringatan, kecepatan, frekwensi,
Durasi, intensitas, posisi terhadap kelompok rentan/Aset berisiko. Potensi Risiko terhadap masyarakat dan pemerintah.
Dikatakan, kerentanan merupakan suatu kumpulan maupun rentetan keadaan yang menurunkan daya tangkal suatu masyarakat terhadap bencana. Sedangkan kemampuan merupakan sumberdaya, kekuatan yang memungkinkan daya tangkal dan daya tahan suatu masyarakat terhadap bencana. Kajian kerentanan harus dilakukan untuk tiap ancaman jenis ancaman berupa elemen berisiko (Aset penghidupan), lokasi elemen berisiko dan uraian kerentanan pada tingkat individu, masyarakat dan pemerintah. Kerentanan dapat terjadi karena letak rumah penduduk, ladang/sawah, infrastruktur, sekolah, puskesmas dan pasar yang berada di daerah berbahaya, rancangan/kopnstruksi dan bahan bangunan tidak tahan ancaman, sumber penghidupan yang tak aman dan berisiko, sumber alam yang terlalu dieksploitasi, lemahnya organisasi masyarakat.
Selain itu, kerentanan juga dapat terjadi karena masyarakat tidak mempunyai akses dan kontrol terhadap sasaran produksi seperti tanah, sarana pertanian, ternak dan modal. Kurangnya pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, air minum yang aman, perumahan, sanitasi, jalan, listrik dan komunikasi. Adanya praktik yang tidak adil, tidak adanya akses ke proses politik serta adanya kabar bohong atau rumor, perbedaan, konflik suku, kelas, kepercayaan, kasta dan idiologi.
Terkait media dan penanggulangan darurat bencana, Ma’dika mengatakan, media harus berperan sebelum, saat bencan dan pascabencana. Peran media sebelum bencana terjadi pre-disaster phase antara lain melakukan analisis sumber-sumber risiko dan patterns, informasi public, peringatan dini, informasi kesiapsigaan, advokasi untuk pengurangan risiko dan mendorong partisipasi masyarakat. Peran media saat bencana terjadi (crisis phase) meliputi memberikan informasi yang fatual kepada publik pada saat yang tepat, memberikan saran kepada publik tentang aksi-aksi yang perlu dilakukan. Selain itu media perlu pula menginformasikan aksi-aksi yang sedang dilakukan oleh pemerintah dan kelompok-kelompok bantuan. Memberitakan pesan-pesan mengenai keselamatan kelompok-kelompok yang terisolasi/terjebak. Memfasilitasi komunikasi antara orang-orang terkena bencana dengan saudara, teman, keluarga di daerah lain, menyorot kebutuhan-kebutahan survivors/korban bencana, menyorot kebutuhan penerapan standar-standar minimum dan media juga perlu mengkomunikasikan potensi risiko-risiko sekunder untuk meminimalkan bencana atau kerugian lebih besar yang bakal terjadi. Sedangkan peran media setelah bencana (post-disaster phase) meliputi seruan/permohonan untuk bantuan dari semua pihak, memberitakan rencana-rencana rehabilitasi dan rekonstruksi, mendorong partisipasi masyarakat korban dalam pemulihan/recovery dan mempengaruhi untuk mengintegrasikan pengurangan risiko dan pencegahan bencana dalam pembangunan.
Memasuki hari ketiga workshop, seluruh peserta dibagi dalam tiga kelompok. Kelompok yang telah dibagi mengambil tiga pilihan focus peliputan lapangan antara lain banjir, kebakaran dan angin topan. Kelompok kami mendapatkan kebagian bencana banjir. Dalam kunjungan ke lapangan, kami mengunjungi Kecamatan Mariso di Desa Lette. Desa Lette merupakan kampung nelayan yang rentan terhadap banjir, kebakaran dan angin putting beliung. Memasuki desa yang berada di pinggir pantai ini, Nampak sangat miris. Rumah-rumah panggung yang didirikan di atas laut berjejer di sepanjang pinggir pantai. Laut yang kotor oleh sampah masih juga ada kehidupan. Ikan-ikan kecil hilir mudik mencari makan dan berusaha menghindar dari jala nelayan yang sesekali ditebar. Desa Lette memang sering kebanjiran dan warga di pesisir bilang itu sudah biasa. Mereka sudah tahu kalau-kalau banjir akan datang. Namun mereka tidak mau pindah dari lokasi karena belum ada kesepakatan soal ganti rugi tanah yang mau dibangun rumah susun. Warga juga mengeluhkan bagaimana pemerintah yang sudah tidak begitu memperhatikan mereka saat banjir karena banjir sudah sering terjadi. Sudah sebegitukah pemerintah melihat kesusahan masyarakat. Kita berharap apa yang dikatakan masyarakat itu tidak semuanya benar. Sebab bagaimanapun anggung jawab keselamatan masyarakat tetap di tangan pemerintah.

Indonesia Etalase Bencana

Dari Workshop Peran Media dalam Pengurangan Risiko Bencana dan Tanggap Darurat (1)
Oleh Hieronimus Bokilia

Melihat perkembangan Indonesia umumnya dan NTT khususnya pada lima tahun terakhir seakan tidak pernah lekang dari bencana. Banjir, tanah longsor, gelombang pasang, gempa bumi dan letusan gunung berapi seakan silih berganti menghampiri Indonesia. letak Indonesia yang berada pada pertemuan lempeng benua serta cincin gunung api dengan fariasi iklim yang mengalami perubahan tak menentu akibat pengaruh pemanasan global memberikan andil besar Indonesia dan NTT menjadi “etalase” bencana.
Melihat kondisi semacam ini tentu kita tidak boleh tinggal diam. Banyak pihak baik itu pemerintah, lembaga swadaya masyarakat baik dalam negeri maupun luar negeri serta masyarakat sendiri mulai bangkit memikirkan bagaimana bencana dan apa yang perlu dilakukan. Oxfam GB salah satu LSm internasional memiliki keprihatinan tersendiri terhadap kebencanaan dan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat di Indonesia. keprihatinan itu mendorong Oxfam GB dan mitra di beberapa daerah seperti di Jawa, Sumatera, Sulawesi, NTT dan Papua melakukan identifikasi terhadap 262 civil society organization di Jawa, Papua, Sulawesi dan NTT. Dari identifikasi itu salah satu yang menjadi perhatian adalah respon media terhadap bencana dalam skala kebutuhan informasi di mana media memainkan peran dalam penyebaran informasi bencana.
Media massa belum memberikan peran maksimal dalam konteks pengurangan resiko bencana dan kesiapsiagaan. Peran media besare di saat bencana dan sedikit pascabencana. JURnal Celebes menemukan adanya ketimpangan informasi di saat bencana di mana media yang diburu deadline akhirnya memperoleh informasi kurang akurat dari berbagai sumber. Selain itu, kondisi ini diakibatkan pula minimnya kapasitas jurnalis dalam pengetahuannya tentang bencana.
Melihat kondisi seperti ini, Oxfam GB emandang perlu adanya upaya peningkatan kapasitas jurnalis dalam kaitan degan pengetahuan tentang kebencanaan. Kegiatan yang digelar Oxfam GB bekerja sama dengan JURnal Celebes mengambil lokasi di Hotel The Banua Makassar selama tiga hari dari tangal 1-3 Agustus. Melalui mitra kerja Oxfam GB di daerah yang selama ini bekerja melakukan pemetaan terhadap CSO di Ende, Yayasan Tananua Flores mengundang saya sebagai Ketua Perhimpunan Wartawan Flores (PWF) bersama Frans Obon, Redaktur pelaksana Harian Umum Flores Pos mengikuti workshop dengan tema Peran Media dalam Pengurangan Resiko Bencana dan Tanggap Darurat. Hadir juga jurnalis dari Papua Yuven, dari Jawa Mas Agung, dari Palu ada Mas Iwan, dari Manado ada Stella dan Mba.... dari Makassar ada mas Noerdin, Bati, mba Rahmadani, mba Suriani dan dari Kupang ada bung Silver dan bung Ais.
Fasilitator dari Oxfam GB ada Mba Paramita Hapsari, Mba Rina yang suka motret peserta yang ngantuk dan ngelamun, Mas Aan si kurus berkacamata tapi masih tetap ganteng yang menjadi semacam moderator dalam setiap kegiatan, Mba Sukma yang cantik (maaf ya) yang urus keuangan dan tiketing, ada Acung yang selalu serius kalau sudah di muka laptop. Workshop ini menghadirkan beberapa pembicara antara lain, Buttu Ma’dika dari AHPO Oxfam GB, menampilkan materi pengurangan resiko bencana sebagai bagian dari kerja kemanusiaan, Nur Hidayati dari Forum Masyarakat untuk Keadilan mengangkat topik bencana ekologis resiko dan dampaknya, Ariani Soejoeti dari Oxfam GB membawakan materi media dan INGO dalam situasi tanggap darurat dan H.L. Arumahi, wakil ketua PWI Sulawesi Selatan dalam materi etika peliputan bencana. Selain mengikuti beberapa pemaparan materi kegiatan juga diisi dengan diskusi, penghayatan peran dan praktik lapangan.
Pda hari pertama sebelum memasuki penyajian materi, terlebih dahulu Paramitha atau Mba Mita menjelaskan alur workshop dan apa yang mau diharapkan dari kegiatan ini. Setelah Mba Mita mulailah Mba Rina yang centil dan (maaf) gemuk mulai berdiri dan meminta peserta saling kenal. Dia mengawali perkenalannya dan mengaku masih buajng (ah massa). Untuk leih saling memperkenalkan diri. Setiap peserta diminta menulis nama pada lakban dan ditempelkan pada salah satu bagian baju. Entah di saku, di lengan, di perut maupun ujung baju.
Nur Hidayati setelah memperkenalkan diri langsung didaulat menyampaikan materinya. Dia memetakan peta konsumsi dunia di mana 20 persen populasi dunia mengkonsumsi 80 persen sumberdaya alam. 80 persen sumberdaya alam yang ada di dunia dikonsumsi negara-negara industri. Sisanya 20 persen dibagi-bagi di negara miskin. Pola konsumsi ini mempengaruhi sumberdaya alam tersedot. Kondisi global yang terjadi itu turut berpengaruh terhadap model pembangun di Indonesia yang tidak memproduksi kebutuhan untuk dalam negeri tetapi lebih berorientasi ekspor. Orientasi ekspor ini menunjukan bahwa Indonesia lebih berorientasi mensuplai kebutuhan negara lain dan tidak melihat apa yang mejadi kebutuhan masyarakat Indonesia sendiri. Pengurasan SDA untuk kepentingan ekspor dilakukan tanpa memperhatikan SDA dan ekosistem. Pola pembangunan dengan orientasi ekspor ini menjadi sumber penyedotan SDA yang dilakukan tanpa memperhatikan SDA dan ekosistem yang ada. Eksploitasi SDA yang dilakukan berakibat terjadinya pemanasan global. Dampak pemanasan global menimbulkan berubahnya pola iklim dan curah hujan, jumlah hari hujan di ekuator berkurang dan intensitas hujan bertambah serta meningkatnya cuaca yang ekstrim. Kondisi ini akhirnya mengakibatkan Indonesia menjadi langganan bencana.
Dalam kaitan dengan bencana, Hidayati menegaskan bencana merupakan rangkaian antara kerentanan dan bahaya. Selama ini, banyak orang hanya menaruh perhatian pada saat bencana itu terjadi dan kuang melihat kerentanan yang terjadi sebelum terjadinya bencana. Hal yang sama juga terjadi pasca bencana di mana tidak ada yang terus melakukan monitoring dan terkadang kurang diberitakan oleh media. Di sini dibutuhkan peran staekholder dalam tanggap darurat di mana melakukan pengorganisasian masyarakat lokal, peran media massa lokal sangat dibutuhkan pada saat bencana dan pasca bencana, private sector dan harus dibuat konsep jurnalisme warga di mana masyarakat dilibatkan untuk melaporkan kondisi dan kebutuhan mereka. Ide yang digelindingkan Hidayati tentang jurnalisme warga ini menjadi diskusi hangat peserta workshop.
Hidayati juga mengkaitkan bencana dengan pembangunan. Menurutnya pembangunan yang gencar dilakukan dapat menignkatkan kerentanan dan dapat pula mengurangi kerentanan. Bencana di satu sisi dapat menghambat jalannya proses pembangunan. Namun di sisi lain, bencana juga dapat memicu pembangunan. Peran media dalam pengelolaan resiko bencana harus dapat dijalankan dengan memberikan pemahaman kepada publik bahwa bencana bukan merupakan takdir. Media juga hrus memahami hubungan bencana dengan pembangunan serta pemahaman hubungan bencana dengan perkembangan global. Media juga dapat menciptakan kata baru dari bencana yakni ‘bahaya ekologis’.
Pemanasan global yang terjadi akhir-akhir ini jika dibiarkan terus maka 10-20 tahun mendatang dunia akan menjadi hancur. Perubahan suhu yang ekstrim di wilayah utara dan selatan akan berpengaruh pada pola tanam. Wilayah NTT akan lebih basah pada 5-10 tahun mendatang. Upaya menghindari rawan pangan adalah langkah konkrit yang harus disikapi sebagai adaptasi terhadap perubahan yang demikian cepat ini. Diperlukan cara cepat membaca situasi alam yang berubah sangat cepat ini. Perubahan iklim yang ekstrim ini akan berpengaruh pada wilayah selatan yang selama ini dikenal sebagai lumbung beras akan beralih ke wilayah utara. Wilayah selatan akan terancam kekeringan hebat dan adanya ancaman rawan pangan.
Pada sesi kedua, Ariani Soejoeti yang kami lebih sering panggil Mba Rina memaparkan soal media dan INGO dalam situasi tanggap darurat. Mba Rina memaparkan beberapa masalah dalam situasi tanggap darurat antara lain manajemen penanganan bencana acap kedodoran, miskoordinasi, data dan Informasi yang membingungkan, media, INGO dan stakeholders lain bekerja sendiri-sendiri, korban terabaikan. Kondisi seperti itu mengakibatkan kesedihan dapat berubah menjadi kejengkelan bahkan kemarahan, Sinisme berkembang, rumor bergerak liar dan pada gilirannya korban menjadi frustrasi.
Rina juga memaparkan bagaimana hubungan media dan INGO di mana hubungan media dengan lembaga internasional seringkali tidak begitu baik. Menurut pengalaman, ada beberapa alasan sehingga hubungan tersebut terganggu, antara lain, INGO mempunyai kepentingan yang berbeda dengan media, media tidak tahu bagaiman mengakses informasi dari INGO, INGO tidak mengerti cara kerja media. Pengalaman Oxfam dengan media selama ini media merupakan salah satu nara sumber dalam pengumpulan data awal pada saat situasi tanggap darurat, akuntabilitas dan transparansi, Oxfam memfasilitasi wartawan/media dalam melakukan liputan (tanpa praktek uang).
Dalam sesi diskusi setelah Mba Rina menyampaikan bahannya, Rahmadani, dari RRI Makassar yang juga peserta dalam workshop ini bilang, saat ini karena bencana sudah menjadi kejadian yang sering terjadi sehingga tidak lagi menimbulkan empati lagi di kalangan masyarakat. “Saat dengar di Aceh diterjang tsunami masyarakat hanya bilang oh kasihan. Saat dengar di Yogyakarta kembali bencana masyarakat hanya bilang wah bencana lagi. Ini menyedihkan sekali.” Kondisi ini menurut dia menunjukan masyarakat sudah tidak melihat bencana sebagai sesuatu yang baru namun sudah dianggap biasa. Hal ini juga akhirnya berpengaruh pada media yang ahirnya melihat bencana hanya sebagai bahan berita yang sudah tidak asing lagi yang akhirnya dieksploitasi secara berlebihan dalam pemberitaan.
Pada hari pertama ini, para peserta juga diberikan kesempatan memainkan peran pda saat situasi bencana. Semua peserta kebagian peran. Ada yang sebagai wartawan, ada yang sebagai anak-anak korban, ada ibu hamil, lansia korban, lurah, NGO dalam negeri, NGO asing dan pengusaha. Saya sendiri kebagian peran sebagai lansia korban bencana yang terlambat diberi pertolongan. Kendati dalam suasana permainan namun setiap peserta menghayati perannya masing-masing dalam situasi bencana. Bagaiaman para korban merintih kesakitan dan kecewa karena bantuan tak kunjung dating, bagaiaman perebutan lahan antara NGO dalam negeri dan NGO asing, peran wartawan memberitakan bencana dan bagaimana pengusaha yang mau memberikan bantuan asal mendapatkan jatah pekerjaan pada saat recoveri dan produk yang diberikan kepada para korban harus dari produk perusahaannya. Kendati dari permainan yang sederhana yang ditampilkan namun syarat makna. Setiap kami mulai memaknai peran media dalam kaitan dengan kebencanaan. Kehadiran media memang merupakan domain penting dalam mengangkat fakta bencana dan dari situ memunculkan simpati dari masyarakat.

04 September 2008

Suara Minoritas dan Keberagaman

Catatan dari Lokakarya Pasca Konflik Antar Agama di Jakarta (2)
Oleh Hieronimus Bokilia

Din Kelilauw pria berperawakan agak tinggi dan kulitnya agak terang. Kepalanya mulai plontos namun selalu bersemangat. Dia Kepala LKBN Antara di Maluku. Bicara soal konflik dia teringat konflik Ambon yang terjadi beberapa tahun lalu. Padahal di Ambon, kata Din di sana ada tradisi pelagandong. Namun tradisi pelagandong mulai terkoyak sejak adanya kerusuhan Ambon tahun 1999 lalu. Mengingat kerusuhan Ambon, seakan membangkitkan kembali memori kecemasan. Ambon saat ini masih ada benih-benih konflik yang kalau tidak diatasi dengan baik bukan tidak mungkin akan menimbulkan konflik yang lebih parah lagi. Pengaruh dari luar ikut memberi andil memecah belah agama di Ambon. Namun dia bilang, konflik Ambon sebenarnya bukan karena soal agama tapi soal politik dan ekonomi yang akhirnya memecah belah masyarakat. Pola pembentukan dan tata letak kampung juga turut membantu memecah belah. Peninggalan penjajah di mana sudah memetakan ada kampung Kristen dan kampung Islam membuat sulut api konflik. Jika ada persoalan sepele antar kampung langsung diseret ke soal agama karena pemisahan kampung Kristen dan Islam yang begitu jelas. Kalau dulu, kenang Din, umat Islam dan Kristen saling membantu membangun rumah ibadah karena ada tradisi pelagandong. Tapi sekarang, rasanya sulit terwujud. Butuh waktu untuk mengembalikan suasana kembali seperti sebelum pecah konflik. ”Sekarang anak kecil waktu ditanya kau orang apa. Dijawab saya orang Islam. Konflik telah membuat orang menjadi sensitif soal agama.”
Diskusi Islam dan Kristen tidak lepas dari diskusi minoritas dan mayoritas dalam agama. Tapi Abdul Hanif, wartawan Radar Sulteng ini bilang, Islam boleh mayoritas dalam jumlah tetapi belum tentu mayoritas dalam bidang lain seperti ekonomi misalnya. Demikian halnya Kristen. Kendati minoritas dalam jumlah namun sebenarnya secara ekonomi merupakan mayoritas. Menurut dia, minoritas dan mayoritas sebenarnya tidak menjadi tolok ukur keberadaan suatu agama.
Ichsan Malik, Ketua Institut Titian Perdamaian dalam materinya Koreksi Terhadap NKRI memaparkan, sejak awal kemerdekaan, sudah disadari akan keberagaman dan kesadaran itu dimanifestasikan dalam Bhineka Tunggal Ika. Persatuan menjadi hakekat dari kebhinekaan itu. Namun sejak masa orde baru 1978-1999 telah diselewengkan dengan sempurna menjadi keseragaman (uniformity). Maka tidak menjadi aneh ketika menyadari perbedaan adalah bencana atau malapetaka bukan menjadi berkah atau kekuatan. Saat ini hubungan antar kelompok yang berbeda identitas di Indonesia masih diwarnai prasangka dan stereotip dan hal ini menjadi kecemasan masing-masing kelompok. Akibatnya kelompok tidak sanggup menghadapi perbedaan yang ada yang pada akirnya menimbulkan persengketaan. Dalam sengketa, masing-masing pihak mengklaim paling benar, paling suci, paling nasionalis, paling hebat dan paling NKRI. Di sini saling klaim paling benar dan pihak lain adalah salah jadi harus dihukum dan bila perlu dihabisi.
Ichsan Malik mengatakan, dari pengamatan selintas pada aksi yag mengarah pada kekerasan di jalanan dan merujuk pada berita media massa, dapat dibuat kesimpulan bahwa umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia justru merasa paling terancam eksistensinya dari segi agama, ekonomi, budaya dan politik oleh umat non Islam. Sedangkan kelompok agama non Islam yang minoritas justru merasa terancam dan terintimidasi keselamatan diri dan kelompoknya. Pada saat pecah konflik di Maluku, berkembang di masyarakat Maluku bahwa sejarah perang salib mengajarkan hubungan antara kelompok Islam dan kelompok Kristen tidak akan pernah damai dan akan selalu berperang. ”Sejarah perang salib ribuan tahun lalu seakan baru terjadi kemarin sore. Sejarah dikonteks ulang dan diberi muatan baru pada saat ini.” Sejarah abu-abu yang distortif inilah yang hidup subur sejak masa orde baru hingga saat ini.
Maluku mengalami segregasi total ketika konflik kekerasan terjadi. Kelompok masyarakat Maluku terbelah secara ekstrim menjadi kelompok masyarakat Islam dan kelompok masyarakat Kristen. Masuk ke daerah Islam atau Kristen ancamannya terbunuh. Dalam situasi ekstrim seperti apa yang harus dilakukan? Pertanyaan menggugah dari Ichsan Malik ini kembali menggugah alam bawa sadar para peserta lokakarya. Dia lalu menceritakan pengalamannya memediasi perdamaian di Maluku. Semula, dia menjadi fasilitator mempertemukan enam pimpinan perang Islam dan enam pimpinan perang Kristen. Selama 21 hari dudik bersama mencoba mencari jalan keluar namun hanya sedikit yang bisa dicapai. ”Mereka tidak mau omong kata damai tapai kalau baku bae mereka mau.” pertemuan lalu dilanjutkan dengan menghadirkan 20 pihak Islam dan 20 pihak Kristen. Di sini tidak hanya pemimpin perang tetapi sudah ada penungsi, perempuan, mahasiswa dan pimpinan adat. Titik temunya tetap menolak kata damai tetapi menerima kata baku bae yang secara harfiah menuju ke arah rekonsiliasi. Pertemuan ketiga berlanjut dengan masing-masing 50 utusan. Namun di sini belum ada kesepakatan bahkan lebih ekstrim dokumen analisis sumber konflik Maluku dirobek peserta. Namun sudah ada inisiatif baku bae untuk menghentikan kekerasan Maluku. Tetapi masih ada piha yang tidak ingin ada perdamaian. Rumah aktifis baku bae dilempari dan dibakar. Faktanya 35 mengundurkan diri dari baku bae. Kelompok baku bae akhirnya mendukung sepenuhnya upaya AJI Indonesia mempertemukan wartawan Islam dan Kristen di Bogor dan Poso. Titik ini menemukan kesepakatan. Kelompok yang diwarnai semangat profesionalisme mulai menemukan arah bersama soal jurnalisme damai. Kemudian mempertemukan kelompok pengacara gereja dan muslim Maluku. Titik temunya adalah kesepakatan untuk tidak saling memprovokasi.
Penghampiran paling signifikan adlah ketika mempertemukan para raja/kepala desa dari negeri-negeri Islam dan Kristen Maluku. Pertemuan antar budaya lokal, bahasa lokal dan mekanisme lokal berhasil menerobos semua kebekuan dan kebuntuan budaya lokal menjadi air sejuk yang membuat rumput-rumput Maluku menjadi hijau kembali sehingga api-api besar yang bisa membakar dan angin besar yang bisa memperbesar api konflik dapat dijinakan sehingga Maluku tidak dibakar konflik lagi.
Ichsan Malik mencatat, kemasan bahasa lokal, hubungan atas dasar profesionalisme, adanya tujuan bersama yang jelas untuk semua, penggunaan bahasa hati nurani, ternyata mampu menjadi isi atau pemberi arah bagi proses membangun relasi antar kelompok.
Abdullah Alamudi kemudian melanjutkan pemaparannya tentang daras-dasar meliput di daerah konflik. Alamudi sosok yang selama ini berkecimpung di Lembaga Pers Dr. Soetomo sebagai pengajar. Selain itu dia adalah anggota Dewan Pers dan dedengkot di Institut Pengembangan Media Lokal. Dikatakan, untuk bisa meliput di daerah konflik butuh beberapa persiapan antara lain informasi sebelum berangkat, persiapan mental, fisik dan dukungan manajemen media. Perusahaan pers, kata dia tidak boleh mengirim reporter atau wartawan ke daerah konflik tanpa dilengkapi fasilitas memadai. Informasi yang perlu didapat sebelum berangkat harus memadai seperti petabumi politik wilayah yang diliput, siapa, mengapa dan kekuatan kelompok-kelompok berkonflik. Pelajari pula jalur darat, laut dan udara yang bisa ditempuh untuk keluar dan masuk daerah konflik. Nomor kontak lokal juga sangat penting dimiliki dan tak kalah pentingnya adalah soal penginapan, keamanan barang bawaan serta adat istiadat penduduk di daerah konflik. Ketika tiba di daerah konflik, yang harus diperbuat adalah berkomunikasi dengan kantor dan membuat janji kapan berkomunikasi dan kapan mengirim naskah berita. Berhubungan dengan penguasa dan bekerja sama dengan wartawan lain di daerah konflik.
Saat meliput di daerah konflik, salah satu sumber berita adalah media lokal di daerah konflik namun jika mengutip, harus disebut atribusinya. Dalam membuat pemberitaan juga harus dihindari kesan memihak kelompok tertentu dan jika berita belum dapat diverifikasi hendaknya transparan menjelaskan vahwa informasi tersebut belum mendapat konfirmasi dari badan/lembaga independen. Terkait dukungan dari manajemen media, Alamudi menekankan bahwa karyawan/wartawan adalah merupakan aset yang paling penting dan tidak ternilai harganya. Jika wartawan belum memperoleh pelatihan jurnalistik dalam perekrutan maka perusahaan wajib memberikan. Selain itu, kata Alamudi, selama ini pimpinan media kurang sadar mengenai pentingnya HEFAT (hostile environment ang firts air training) atau pelatihan meliput daerah tidak bersahabat dan pertolongan pertama pada kecelakaan. ”Cara berpikir harga helm mahal harus diubah. Mana lebih mahal harga helm dibanding kepala?” Tapi, kata Alamudi, terkadang wartawan kurang memahami dan tidak tahu hak-hak mereka dalam melakukan peliputan. Wartawan kadang hanya berpikir dedikasi mereka terhadap profesi tanpa menyadari perlunya persiapan untuk kembali dengan selamat.
Endi Bayumi, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post pada hari ketiga kembali mengangkat topik jurnalisme damai dalam peliputan di daerah konflik. Dikatakan, jurnalisme damai bukan merupakan lawan dari jurnalisme perang. Jurnalisme damai dalam konflik adalah bagaimana menganalisa suatu konflik. Media massa dalam pemberitaan terkdang karena diburu dead line akhirnya melupakan analisa konflik. Padahal, analisa konflik sangat penting namun terkadang dikesampingkan karena memburu pemberitaan terbaru. Dalam analisa konflik, dapat dipaparkan konteks sejarah sampai terjadinya konflik. Jarangnya analisa konflik mengakibatkan masyarakat pembaca hanya menangkap kejadian yang terjadi tanpa tahu apa latar belakang smapai timbulnya konflik. Misalnya, selama ini banyak pemberitaan terkait gerakan radikal yang hanya diberitakan aktifitas radikalnya saja sehingga akhirnya orang hanya melihat tindak kekerasannya tanpa melihat apa yang terjadi sampai terjadi kekerasan. Pada akhirnya, masyarakat menilai kelompok ini brutal tanpa tahu kenapa sampai kelompok tertentu menadi brutal. Dia mengambil contoh konflik Timor-Timur. Masyarakat hanya melihat konflik itu sebagai perang antara TNI melawan Fretelin tanpa tahu latar belakang adanya konflik yang terjadi di Timor-Timur. Namun kalau dituliskan juga latar belakangnya, masyarakat tentunya akan tahu bahwa awal sampai Indonesia masuk ke Timor-Timur dulu pada masa perang dingin Amerika Serikat dan Rusia bersama sekutu mereka masing-masing.
Romo Muji Sutrisno mengatakan, dalam masyarakat pluralis dalam ruang dan subjek-subjek dewasa yang akal budinya kritis rasional dan nuraninya jernih menimbang, bagaimana kebenaran diukur. Berkembangnya peradaban kesadaran budi dan nurani yang semakin rendah hati mengakui berlapis-lapisnya tingkatan ukuan kebenaran berdasarkan sudut pandang dan sudut lihat mana ia diukur. Berkembangnya kesadaran peradaban untuk membuka ruang pencarian konsensu kebenaran karena konsekwensi dan pengaruh Jurgen Habermas yang memperbaiki kritik atas modernitas dan kebenaran rasional instrumental modernitas dalam teori kebenaran in the making. Artinya ukuran kebenaran atau apa kebenaran itu merupakan hasil kesepakatan terus menerus dialog bebas dan terbuka dari peserta komunikasi komunitas masyarakat bersangkutan. Dalam dialog terbuka yang tajam, saling mengasah dari semua sudut pandang, pengalaman dan persepsi konsepsi dan kebenaran disepakati.
Bila konsensus mengenai kebenaran dibahasakan hukum dan diukur dengan ukuran adil maka ukuran kepastian hukum dan keadilan enjadi kebenaran legal. ”Jadi kebenaran legal mempunyai ukuran hukum sebagai acuannya.” dengan analogi jalan logika serupa maka kebenaran agama ukurannya adalah sumber wahyu Ilahi yang menjadi legitimasinya. Keberan religius degan ukuran teks suci sabda wahyu Allah diacu sebaga ’truth’ karena suci, benar, berupa sabda Allah atau wahyu Allah sendiri. Romo Muji kembali mempertanyakan di mana sebenarnya orang harus menaruh sumber dan kriteria pokok kebenaran. Sumber itu, kata dia adalah kehidupan itu sendiri. Bila acuan untuk mengukur kebenaran adalah kehidupan itu sendiri dan di dalamnya kemanusiaan kita dipertaruhkan maka yang benar dalam kehidupan akan indah dalam estetika, akan baik secara etika nurani dan oleh khalayak orang biasa akan dirasakan masuk akan sehatnya serta bernuansa tulus menurut nuraninya. ”Dengan kata lain, yang benar akan sekaligus indah dan baik dalam kehidupan.”
Kegiatan lokakarya selama empat hari ini memang melelahkan. Namun guratan kelelahan serasa tidak ada artinya kalau melihat makna di balik semuanya itu. Kebenaran memang menjadi korban konflik dan di dalam konflik baru diketahui kepentingan mana yang menang dalam konflik. Pihak mana yang membuat konflik agama terus terjadi akan terlihat pada akhir konflik. Apakah kepentingan korban kemanusiaan yang berada di sana ataukah kepentingan orang lain atau pihak yang menyebabkan terjadinya konflik yang nampak di akhir konflik.
Dalam kelelahan lokakarya, masih ada pula selingan. Pada hari pertama rombongan peserta lokakarya dijamu makan malam Duta Besar New Zealand untuk Indonesia, Mr. Filliph Gibson yang sangat senang dengan kegiatan ini. Bahkan dia berhaarap agar kegiatan dan kerja sama jurnalis Indonesia dengan New Zealand terus berlanjut. Dubes yang pada hari itu merayakan ulang tahun menghadiahi peserta lokakarya masing-masing satu topi. Peserta lokakarya selain mengikut jamuan makan malam di kediaman Duta Besar New Zealand, juga berkesempatan mengunjungi Kantor Redaksi Harian Kompas. Di Kompas, semua peserta mendapatkan kenang-kenangan baju kaos dan topi bertuliskan Kompas.
Wakil Dubes New Zealand, Mr David saat acara penutupan mengakui tugas-tugas wartawan memang berat dan kadang mempertaruhkan nyawa. ”Saya tiadk bisa membayangkan kerja saya yang di dalam ruangan ber-AC dengan rekan-rekan jurnalis yang kadang pertaruhkan nyawa. Wartawan adalah pahlawan sesungguhnya dan pelindung demokrasi.” Dia juga menyatakan kebanggaannya terhdap perkembangan di Indonesia. Lima tahun lalu saat tiba di Indonesia dia melihat konflik terjadi di Ambon, Palu dan Poso dan saat hendak kembali ke New Zealand dia senang karena konflik-konflik itu sudah redah. November mendatang, kata Mr. David, pemerintah New Zealand bekerja sama dengan UNICEF dan Lembaga Pers Dr. Soetomo kembali menggelar workshop se-Asia. Terkait kegiatan yang dilaksanakan, Mr. David katakan tidak ada agenda terselubung dari semua itu. Yang diinginkan hanyalah adanya perlindungan terhadap kaum-kaum minoritas. Kedutaan hanya sebagai fasilitator semata.

Sulitnya Mencari dan Menemukan Kebenaran

Catatan dari Lokakarya Pasca Konflik Antar Agama di Jakarta (1)
Oleh Hieronimus Bokilia

Vintentius Lumintang bilang, sebelum jadi wartawan dia ikut berperang. Sekarang Vintentius wartawan Radio Swara Tani FM dari Poso. Dia satu dari 20 peserta lokakarya. Saat itu perang sedang merebak di Poso. Selama menjadi prajurit perang banyak hal yang dia lakukan. Namun ada satu hal yang mengganjal selama menjadi prajurit perang waktu itu. Pemberitaan di media dinilai tidak berimbang dan diangap mendiskreditkan serta mempersalahkan posisi mereka. Kondisi itu mendorong Lumintang melepaskan statusnya sebagai prajurit perang dan memilih menjadi wartawan. Dia bilang, waktu itu dia mau jadi wartawan agar bisa merubah pemberitaan menyangkut orang-orang Kristen yang selama ini didiskreditkan media agar lebih berimbang.
Sekelumit kisah yang diungkapkan Lumintang ini menunjukan sulitnya mencari dan menemukan kebenaran di dalam situasi konflik. Kebenaran yang disiarkan seakan hanya merupakan kebenaran semu karena korban dari konflik itu sendiri sebenarnya adalah kebenaran.
Pagi itu di ruangan Mawar lantai dua Hotel Santika Jakarta sudah ditata apik. Meja-meja diatur membentuk leter U dengan 25 kursi berjejer di balik meja. Satu meja dengan empat kursi berada di depan. Ada layar in focus terbentang di depan dan sebuah blacboard terpajang rapi. Pukul 08.30 satu persatu peserta mulai memasuki ruangan tenpat kegiatan dan langsung disodorkan buku tamu untuk diisi. Setiap peserta diberikan tas berisi beberapa buku. Atmakusumah dari Lembaga Pers Dr. Soetomo yang sudah mulai nampak tua degan rambutnya yang jarang tumbuh di kepala sudah menunggu dengan sabar menyambut dan menyapa setiap peserta yang masuk ruangan. Saling sapa dan salam mengisi menit-menit awal sua kami di ruang Mawar Hotel Santika. Hari itu Senin, 25 Agustus 2008. Hari pertama dimulainya lokakarya bertopik meningkatkan toleransi antar umat beragama; jurnalisme di daerah-daerah pascakonflik. Lokakarya ini diselenggarakan oleh Lembaga Pers Dr. Soetomo bekerja sama dengan Kedutaan Besar New Zealand di Jakarta.
Saya adalah salah satu peserta yang diundang Kedutaan Besar New Zealand untuk hadir dalam kegiatan ini bersama 19 peserta lainnya. Kendati Flores khususnya dan NTT umumnya bukan merupakan daerah pascakonflik namun Wakil Duta Besar New Zealand, Mr. David melihat bahwa Flores dan NTT umumnya merupakan daerah mayoritas di dalam minoritas yang harus menjadi perhatian. Menurut David dimensi demografi di Flores berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia. ”Mayoritas di daerah lain bisa menjadi minoritas di Flores,” kata David waktu itu. Melihat kondisi itu, Mr. David meminta agar dua wartawan dari Flores, Hieronimus Bokilia dari HU Flores Pos dan Romualdus Pius dari HU Pos Kupang hadir mengikuti kegiatan itu bersama rekan wartawan lainnya dari Maluku, Maluku Utara, Palu dan Poso yang merupakan daerah-daerah bekas konflik.
Bambang Harimurti, Direktur Lembaga Pers Dr. Soetomo diawal lokakarya langsung menggugah semua peserta yang berasal dari daerah pasca konflik seperti Ambon, Maluku Utara, Poso, dan Palu. Dalam setiap konflik, korban pertamanya adalah kebenaran. Kondisi ini membuat pers sulit mencari kebenaran karena kebenaran merupakan korban utama. Pers, kata Harimurti merasa kebenaran selalu dicari dan merasa belum ditemukan. Kalaupun ditemukanpun sifatnya sementara. Dalam setiap konflik kebenaran mana yang paling benar dan bagaimana pers memilih kebenaran-kebenaran yang berkonflik yang diyakini masing-masing pihak. Jika pers menjalankan tugasnya dengan baik dan yakin telah berjalan sesuai dengan kode etik jurnalistik maka pada akhirnya pers akan membawa kedamaian.
Mengikuti penjelasan singkat Bambang Harimurti di awal kegiatan ini menggugah semua peserta. Betapa sulitnya mencari kebenaran apalagi dalam situasi konflik seperti itu. Dalam situasi aman dan tenteram saja terkadang kebenaran seakan sulit ditemukan. Pers terkadang sulit mengungkap kebenaran muncul ke permukaan. Pers seringkali memainkan perannya yang bias dan bisa membawa dampak pada konflik. Pengakuan sesama rekan jurnalis dari Ambon, Maluku Utara, Poso dan Palu memang sulit mencari kebenaran dalam situasi konflik. Bahkan, agar tetap memberitakan konflik mereka terpaksa terbagi menjadi dua. Wartawan Islam meliput dan memberitakan kejadian di daerah Islam sedangkan yang wartawan Kristen meliput dan memberitakan konflik yang terjadi di wilayah Kristen. Kalau kondisinya seperti ini maka kebenaran yang menjadi korban konflik seperti yang dikatakan Bambang Harimurti akan semakin jauh dan sulit untuk diperoleh. Bagaimanapun, kebenaran versi Islam tentu akan menjadi hal yang tidak benar versi Kristen demikian sebaliknya.
Setelah Bambang Harimurti menggugah para wartawan dengan pasal kebenaran, sesi pertama di hari Senin sebagai hari pertama lokakarya ini diisi tiga pembicara. Sebelum pembicara menyampaikan materi, Tribuana Said dari Lembaga Pers Dr. Soetomo kembali menggugah para wartawan. Dia bilang, dalam meliput kekerasan ada dua hal penting yang harus diperhatikan yakni apa peristiwa yang terjadi dan kedua apa respon atau jawaban untuk mengatasi peristiwa. Menurut Tribuana Said, tidak ada yang menyebar lebih cepat dari ketidakpastian. Pada posisi ini, wartawan harus mengetahui secara pasti baru dapat memberitakan suatu peristiwa.
Norita Yudieth Tompah, Sekretaris Eksekutif Bidang Koinonia Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) memaparkan setelah 63 tahun kemerdekaan Indonesia, bangsa Indonesia masih disibukan dengan pembicaraan tentang toleransi beragama. Mengapa kita masih bicara tentang toleransi? Bukankah bangsa kita dikenal di dunia sebagai bangsa yang sangat toleran?” tanya Norita. Menurut dia, perbincangan tentang toleransi harus dibicarakan di bangsa yang terkenal di dunia dengan toleransi ini mungkin karena akhir-akhir ini timbul ketegangan diantara orang-orang berbeda agama. Bahkan, beberapa tahun lalu konflik berdarah terjadi di Maluku, Maluku Utara, Poso dan palu yang tidak bebas dari nuansa agama. Tentu saja konflik-konflik itu dipicu ebab lain di luar agama namun pada akhirnya agama di bawa-bawa sehingga persoalan makin runyam.
Selain ketegangan antar agama, Norita juga menyoroti persoalan yang juga kadang timbul di dalam agama yang sama. Manusia memang berbeda dan tidak bisa diharapkan untuk seragam dalam segala hal. Keberagaman, kata Norita adalah hakikat kemanusiaan yang terungkap dalam menginterpretasi agama dan menghayatinya. Yang perlu dikembangkan saat ini adalah kemampuan menghargai perbedaan-perbedaan yang ada. ”Perbedaan tidak selalu identik dengan kejahatan.” Agama-agama memang berbeda walau sebenarnya ada yang berasal dari satu akar yang sama. Yahudi, Kristen dan Islam misalnya biasanyadilihat sebagai berasal dari akar abrahamik artinya Abraham diangap sebagai nenek moyang agama-agama itu yang sama-sama mengakui Allah Yang Esa. Dalam perbedaan yang terkandung di dalam agama, terkandung nilai-nilai yang bermanfaat bagi kebersamaan untuk hidup dalam masyarakat seperti nilai keadilan dan kejujuran yang dijunjung tinggi dalam semua agama.
Di sisi lain, Norita juga mengatakan, setiap penganut berangapan agamanya yang paling benar dan hal itu enurutnya wajar-wajar saja. Tetaspi akan menjadi runyam jika klaim agama saya yang paling benar dipaksakan kepada penganut agama lain. Hal itu tentu tidak lagi wajar bahkan bisa menimbulkan ketegangan. Bagaimana menghormati perbedaan-perbedaan itu dibutuhkan kedewasaan dan kematangan dalam beragama dan bermasyarakat. Kecanggihan teknologi saat ini kerap menayangkan kesaksian orang yang berpindah agama. Dengan gamblang mereka menceritakan pengalaman spiritual mereka dan mengambil sikap pindah agama. Pda titik ini dibutuhkan kedewasaan menyimak kesaksian tersebut.
Lalu apa peran negara dalam kehidupan beragama? Negara harus mengayomi semua agama tanpa ada kesan diskriminatif. Negara membuka peluang bagi umatnya untuk mengungkapkan imannya di muka umum secara bebas tanpa dikekang. Setiap keputusan yang dibuat negara hendaknya juga tidak terpengaruh oleh lembaga di luar negara.
Romo Suyatno Hadiatmadja, Pr dari Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) Yogyakarta mengatakan, semua umat beragama dan bangsa Indonesia harus menghargai perbedaan. Perbedaan hendaknya dilihat bukan sebagai ancaman tetapi sebagai karunia. Menurut Romo Suyatno, perbedaan-perbedaan agama merupakan roh. Hal itu dijadikan pemahaman bersama dan menjadi tonggak didirikannya FPUB Yogyakarta dan mengajak semua orang yang mau menciptakan persaudaraan untuk bergabung. Dalam perbedaan itu dibangun komunikasi karena hanya dengan komunikasi dia yakin toleransi dapat terwujud. Bahkan, katanya, toleransi yang diciptakan di Yogyakarta begitu nyata. Dia mengambil contoh ketika hendak berkhotbah dia meminta ide khotbah dari kiai yang mengambil ide-ide khotbah dari Al-Qur’an. Toleransi juga bisa terwujud jika saling bersilaturahim dan bertemu satu sama lain. Romo Suyatno juga menceritakan bagaimana peran FPUB dalam menjalin hubungan antar agama dngan pendekatan budaya lokal yang turun temurun. Hal itu kata dia sudah diwariskan oleh Romo Mangun Wijaya yang pernah bilang ”kalau egkau mau membangun dunia mulailah dari diri sendiri.” hal itu akhirnya mendorong dimulainya membangun toleransi dari hal-hal kecil. Bila ada masyarakat muslim membangun masjid, umat Kristen, Hindu, Budha urunan membantu menyumbang semen dan bahkan bergotong royong. Demikian pula kalau ada umat Kristem yang membangun gereja maka umat lainnya juga membantu. Bahkan pada waktu bencana Yogyakarta, sesama umat saling membantu tanpa atas nama agama. ”Semen, beras, sarimi itu tidak ada agama.”
Omong soal toleransi dan kerukunan, kata Romo Suyatno harus lihat bahwa semua agama mengajarkan kebaikan dan tidak melihat perbedaan tetapi apa yang mau dibuat dengan perbedaan itu. Merukunkan agama memang sulit karena setiap agama punya akidah dan aturan yang berbeda namun ada yang sama yang harus dijadikan dasar dimulainya kerukunan dan toleransi.
Zuhairi Misrawi, inteltual muda Nahdhatul Ulama yang saat ini sebagai Koordinator Program Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta mengatakan, akhir-akhir ini dia merasa kian resah. Apa yang membuatnya resah karena media semakin banyak yang mengekspos kegiatan-kegiatan kelompok garis keras. Sedangkan hal-hal baik seperti yang dibuat Romo Suyatno bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam FPUB di Yogyakarta jarang bahkan tidak diekspos media. Media, menurut Misrawi memegang peranan penting dalam menciptakan kerukunan dan toleransi antar umat beragama. Upaya membangun toleransi, kata dia muncul karena fakta adanya intoleransi. Yogyakarta yang sudah memulai dengan FPUB menurutnya merupakan laboratorium toleransi tetapi kenyataan bahwa tidak semua daerah ada toleransi. Intoleransi menjadi tantangan serius akhir-akhir ini tidak saja dalam konteks antaragama tetapi juga intraagama.
Ajaran tentang kehanifan dan toleransi, kata Misrawi hakikatnya bukanlah ajaran baru yang dibawa Nabi Muhamad melainkan ajaran yang sudah lama dipraktekan oleh para nabi terdahulu. Nabi sendiri hanya melanjutkan apa yang sudah diamanatkan dan dipraktekan oleh Nabi Ibrahim. Bahkan dalam ayat lain menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan agar Ismail dan seluruh keturunannya nanti menjadi nabi-nabi yang mengamalkan ajaran tersebut, tunduk, patuh dan berserah diri kepada Tuhan. Toleransi telah dan harus menjadi nagian terpenting dalam lingkup intragama dan antaragama. Semua tidak bisa keluar dari komitmen membumikan toleransi karena jika keluar Islam akan kehilangan elan vitalnya. Memahami toleransi berarti memahami islam itu sendiri bahkan dapat dipahami sebagai memahami agama-agama lain yang juga mengajarkan tentang toleransi, cinta kasih dan kedamaian.
Satu hal yang tidak dapat dihindarkan dalam konteks toleransi adalah ketegangan antara idealisme dan realitas. Belakangan ini, tegas Misrawi intolerasni dalam prakteknya lebih banyak dipilih daripada toleransi. Krisis toleransi berada pada semua level kehidupan yasng ditimbulkan akibat kurangnya pengertian tentang toleransi. Abdul Husein Sya’ban menyampaikan otokritik, ”kita sesungguhnya tidak mengerti toleransi di antara kita, baik pada level indifidu maupun kolektif, kelompok, organisasi maupun partai politik. Bahkan pada tataran tertentu kita senantiasa memupuk perseteruan di antara kita, baik dalam satu aliran, satu partai, satu bangsa maupun golongan. Kita sudah menyanksikan degan saksama peperangan, pembantaian dan pembunuhan massal yang disebabkan krisis toleransi, pemberangusan kekebasan berpendapat dan peminggiran kelompok lain”. Menyimak pernyataan Sya’ban itu, nampak bahwa semakin sulit menemukan sebuah bangsa, agama dan suku yang tidak melakukan tindakan intoleran. ”Dunia serasa menjadi tempat yang nyaman untuk melanggengkan kekerasan. Di sinilah fakta meluasnya tindakan kekerasan membuka kesadaran kolektif perihal pentingnya mengubah intoleransi menjadi fakta toleransi.”
Dalam membangun toleransi dibutuhkan nilai (value), kebajikan dan nilai-nilai itu harus dihidupkan di dalam masyarakat. Berbicara soal toleransi hanya ada di Indonesia. Hal semacam ini di luar negeri tidak ada karena menurut mereka toleransi hanya ada di dalam agama. Membangun toleransi perlu emndorong kearifan lokal yang harus terus dikembangkan. Perlu diperhatikan dalam mebangun toleransi agar tetap hidup yakni membangun semangat keterbukaan. Inklusifisme bahwa hanya agama saya saja yang benar harus dihindari dan harus mengakui bahwa ada kebenaran pada agama yang lain. Dalam ajaran Islam, Al-Qur’an mengakui adanya kebenaran yang terdapat pada agama lain. Al-Qur’an mengakui adanya perjanjian lama dan perjanjian baru yang diyakini umat Kristen. ”Telah kami turunkan perjanjian lama yang di dalamnya ada petunjuk dan cahaya” dan ”telah kami turunkan perjanjian baru yang di dalamnya ada petunjuk dan cahayanya”.
Misrawi katakan, modal dasar membangun toleransi adalah toleransi embutuhkan interaksi sosial melalui percakapan dan pergaulan yang intensif. Di Inggris misalnya, semua kelompok didorong menggali nilai-nilai toleransi sebagai kebajikan. Masing-masing kelompok, terutama kelompok minoritas diperlakukan secara adil dan setara baik dalam ranah politik, ekonomi maupun agama. Mereka dilindungi oleh negara melalui sistem demokrasi dan bebas melakukan aktifitas prekonomian, peribadatan secara bebas dan otonom. Kelompok mayoritas tidak melakuka penetrasi politik terhadap kelompok minoritas. Kata kuncinya adalah kelompok minoritas mendapatkan hak otonom dalam pelbagai bidang kehidupan. Membangun saling percaya diri di antara pelbagai kelompok dan aliran (mutual trust). Salah satu caranya adalah menumbuhkembangkan keinginan untuk berbagi nilai tentang toleransi dan mengubur pelbagai kebencian, kecurigaan terutama yang berbasis paham keagamaan. Pada titik ini, semangat kebangsaan dapat membangun semangat saling percaya diri, baik kelompok mayoritas maupun minoritas. Apapun aliran dan golongannya mereka berada dalam satu payung bangsa yang sama.
Noor Huda Ismail yang sebelumnya menulis untuk The New York Time tampil menceritakan pengalamannya meliput di daerah-daerah konflik. Dia bilang, agar bisa meliput di daerah konflik hal yang penting dilakukan adalah meriset daerah konflik yang akan diliput. Dalam riset ini hendaknya jangan pernah ada asumsi. Selain itu, wartawan harus tahu istilah-istilah spesifik yang digunakan oleh narasumber. Selain hal lain yang perlu pula diperhatikan adalah menyangkut sudut pandang. Di sini, Huda bilang dalam setiap liputan konflik tentu wartawan beramai-ramai membidik jumlah korban, kerugian materil. Namun agar tulisan lebih berbeda, wartawan harus melihat dari sudut pandang berbeda dan di sini Huda lebih menekankan pada isu yang sederhana tetapi berbeda dan lain dari yang lain. Ada kesan keunikan hal yang mau diangkat menjadi bahan tulisan. Dalam membuat sebuah tulisan yang tidak kalah menariknya adalah tulisan juga harus menyajikan sebuah rekomendasi yang jelas.