Oleh Hiero Bokilia
MUDIK atau pulang kampung tidak hanya terjadi di kalangan warga Pulau Jawa
saat merayakan hari raya Lebaran. Di kalangan warga Nusa Tenggara Timur
saat-saat merayakan "Hari Bae" semisal Natal dan Tahun Baru atau hari
raya Paskah, mudik pun sering dilakukan. Banyak warga NTT yang bermukim
di ibu kota provinsi. Kupang menjadi pusat segalanya. Tidak saja sebagai
pusat pemerintahan, tetapi Kupang juga menjadi pusat pendidikan. Warga
di belahan Pulau Flores, Lembata, Alor, Sumba, Sabu, dan Rote
berbondong-bondong menuntut ilmu di kota karang ini.
Sebagai
pusat perekonomian, saat ini Kota Kupang bertumbuh demikian pesat.
Pusat-pusat perbelanjaan terus dibangun, dan menjadi daya tarik
tersendiri bagi para pencari kerja.
Dan sebagai pusat
pemerintahan, banyak warga dari pulau-pulau di NTT juga bekerja di
sejumlah lembaga pemerintahan dan swasta yang ada di Kota Kupang.
Maka,
menjelang "Hari Bae" seperti ini, arus mudik tentu saja terjadi.
Sejumlah moda transortasi udara dan laut ramai dimanfaatkan warga
pemudik. Salah satu moda transportasi laut yang paling banyak disasar
para pemudik adalah kapal motor penyeberangan (KMP) Ferry di bawah
naugan PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) dan PT Flobamor
milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT. Moda transportasi ini menjadi
pilihan utama karena selain berbiaya murah, ia juga dapat mengangkut
kendaraan baik roda dua, roda empat, dan roda enam atau lebih. Selain
itu, penumpang dapat membawa banyak barang tanpa dibebani biaya tambahan
seperti yang diberlakukan moda transportasi udara. Di sini, feri
menjadi alternatif pilihan utama warga pemudik.
Sebagaimana
pantauan VN pada Kamis (18/12) lalu, warga pemudik asal Flores dan Sumba
berjubel membeli tiket KMP Inerie 2 di Pelabuhan Penyeberangan Bolok,
Kabupaten Kupang. Antrean panjang para calon penumpang tanpa
mempedulikan teriknya sinar mentari pagi menjelang siang saat itu. Kapal
yang dijadwalkan diberangkatkan pukul 11.00 Wita, molor sampai Pukul
12.00 Wita karena padatnya penumpang yang mengantre membeli tiket dan
sulitnya pengaturan di atas kapal.
Setelah harus mengantre di
tempat penjualan tiket, pemudik kembali harus mengantre dan
berdesak-desakan saat hendak menaiki kapal. Ratusan kendaraan roda dua
yang sudah padat berbaris rapi di dek satu KMP Inerie 2 semakin
menyulitkan penumpang memasuki kapal. Padat benar arus mudik kali ini.
Setelah sulit memasuki kapal, ternyata kesulitan baru datang menjelang.
Tempat sulit didapatkan. Dek satu yang sudah disesaki ratusan kendaraan
roda dua, dan puluhan kendaraan roda empat dan enam, membuat penumpang
kesulitan mendapatkan ruang kosong sekadar untuk menggelar tikar.
Sutuasi
yang sama juga ditemui di dek dua. Sejumlah tempat duduk dan tempat
tidur yang tersedia di kelas ekonomi sudah penuh terisi. Lorong-lorong
sepanjang jalan menuju kelas ekonomi di pintu masuk pun sudah disesaki
penumpang. Seakan tak ada ruang kosong lagi untuk ditempati. Bahkan, di
dek tiga pun situasinya tak jauh berbeda.
Pemudik kebanyakan
tujuan Aimere, Ngada, Nagekeo, Manggarai, dan Sumba. Berjubel dan
berlomba mendapatkan tempat. Muatan boleh dikatakan sudah melampaui
kapasitas muat kapal.
Essy, mahasiswi Politani Kupang, pemudik
asal Sumba Barat Daya mengaku memilih menumpang feri karena ongkosnya
murah. Sebagai mahasiswa, tentu saja ia tak punya uang lebih untuk
membeli tiket pesawat yang harganya selangit. Bersama dua rekannya Maya
dan Fen mereka menggelar tikar di belakang mobil pick up. Satu tikar
seukuran 1,2 x 0,5 meter mereka gelar untuk tidur bertiga. Separuh badan mereka
harus rela langsung mengenai besi dek kapal. Tapi tidur mereka pulas.
"Biar setengah mati, tapi yang penting bisa pulang rayakan Natal dengan
keluarga," kata Essy diamini Maya.
Perjuangan tidak berhenti di
situ. Ada satu perjuangan yang harus dilalui lagi. Ini yang boleh
dikatakan cukup seru terutama bagi penumpang di dek satu. Perjuangan
menuju toilet KMP Inerie 2 yang ada di dek dua. Perjalanan ke sana harus
melewati jejeran sepeda motor yang hanya memberi ruang sempit yang
begitu sulit untuk dilewati. Belum lagi di ruang-ruang dan celah sempit
itu, sudah ada penumpang yang membentang tikar dan tidur di sana. Sudah
susah lewati celat barisan motor, harus hati-hati agar tidak menginjak
atau jatuh menimpa penumpang yang tidur di sela-sela barisan motor.
"Permisi dan minta maaf tak henti-hentinya harus kita lontarkan. Untung
sesama orang susah jadi saling mengerti," kata Fen, mahasiswa Politani
asal SBD mengisahkan sulitnya menuju toilet kapal.
Itu baru di
dek satu. Saat tiba di dek dua, dari pintu masuk saja sudah membuat
gentar. Kalau tidak berani sebaiknya mundur. Tapi hasrat membuang yang
lagi kebelet memaksa keberanian harus dimunculkan. Permisi dan minta
maaf berulang kali diucapkan. "Silakan kaka, silakan om," jawaban para
penumpang yang kebagian tempat di sepanjang lorong menuju toilet kapal.
Sampai di toilet, perjuangan menahan hasrat harus kembali
terjadi. Sabar mengantre menunggu giliran hanya untuk kencing atau buang
air besar. Panas dan bau pesing jadi teman setia di toilet pria. Tempat
kencing berdiri bagi laki-laki yang disediakan empat buah tak bisa
digunakan. Karton bertulisan "Rusak, tak bisa digunakan" dipampang pada
empat tempat itu. Maka, penumpang harus sabar menunggu giliran pada
empat toilet yang disediakan. "Kalau sudah rasa lebih baik langsung ke
toilet. Jangan pake tahan lagi. Kalau tahan bisa-bisa kencing celana
karena perjuangan panjang ke toilet dan harus antre tunggu giliran,"
kata Fen.
Air di toilet memang cukup untuk mandi dan kebutuhan di
toilet. Hanya saja, panasnya tak ketulungan. Mandi air dan keringat.
Selesai mandi sama dengan tidak mandi. Badan tetap berkeringat.
Perjuangan
ternyata tak habis di situ. Saat kapal sandar pukul 08.00 Wita, Jumat (1912) di
Pelabuhan Penyeberangan Aimere, Kabupaten Ngada, perjuangan kembali
harus dilakukan. Untuk turun dari kapal, juga butuh perjuangan dan
kesabaran. Budaya antre lagi-lagi harus berlaku. Yang di depan harus
didahulukan, baru yang di belakang. Petugas kapal dan pelabuhan mengatur
dengan baik, sehingga saat turun kali ini perjuangannya tak seberat saat
naik. Perlahan-lahan kendaraan turun diikuti penumpang.
Itulah
sekelumit cerita mudik menggunakan moda angkutan laut kita yang murah
dan menjadi alternatif pilihan masyarakat. Namun, masih banyak yang
perlu dibenahi. Muatan baik barang dan orang harus bisa dibatasi, agar
menghindari kejadian yang tidak diinginkan. Apalagi, menjelang hari raya
keagamaan seperti ini. Mudah-mudahan, kondisi ini terus dibenahi dari
hari ke hari, agar penumpang tidak lagi sulit dan berjuang menjual beli
kata permisi dan maaf hanya untuk kencing dan buang air besar. Semoga.