18 April 2013

Bom Waktu di Unwira Akhirnya Meledak Jua

Oleh Hiero Bokilia

ISU mogok mengajar para dosen Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang yang sempat mencuat awal bulan September lalu yang dipelihara ibarat bom waktu, akhirnya meledak juga. Mahasiswa merasa dirugikan atas aksi mogok mengajar, mogok konsultasi nilai, dan mogol konsultasi mata kuliah oleh  para dosen. Mahasiswa yang merasa telah memenuhi kewajibannya membayar biaya perkuliahan di kampus swasta termegah di Kota Kupang dan NTT ini namun haknya diabaikan mengambil sikap. Bom waktu pertama meledak di FKIP Unwira.

Dimotori koordinator lapangan Siprianus RK Ama, mahasiswa FKIP menggelar aksi demonstrasi di kampus, Senin (8/10). Aksi demo dimulai pukul 08.00 Wita hingga 14.00 Wita. Mereka long march dari kantor FKIP menuju kantor pusat Unwira yang berjarak sekitar 200 meter. Mereka diterima Rektor Unwira Pater Yulius Yasinto, SVD dan Bendahara Yayasan Pendidikan Arnoldus (Yapenkar) Pater Didi, SVD.

Pada kesempatan itu, Ayu Solah, perwakilan mahasiswa dari Program Studi Kimia, mengeluhkan masalah dosen yang mogok mengajar serta persoalan konsultasi nilai dan konsultasi mata kuliah yang belum dilaksanakan sampai saat ini.  Selain itu, persoalan fasilitas laboratorium dan ruangan kuliah yang terbatas.
Para dosen yang selama ini terkesan malu-malu menuntut kesejahteraan melalui penaikan gaji setara dengan PNS akhirnya berani menentukan sikap. Mogok mengajar dan tidak melayani konsultasi nilai dan mata kuliah merupakan langkah yang mereka lakukan. Langkah itu secara tidak langsung, telah menyulut amarah mahasiswa yang merasa diabaikan padahal sudah memenuhi segala kewajibannya. Aksi mogok para dosen tentunya bukan tanpa sebab. Berbagai upaya negosiasi dengan rektorat dan yayasan sudah dilakuan.

Tuntutan perubahan kesejahteraan dengan menaikan gaji setara PNS hanya dijawab yayasan dengan menaikan gaji 10 persen dari gaji pokok. Penaikan gaji 10 persen sangat minim, sehingga para dosen tidak puas. Mereka tetap berjuang menuntut penyetaraan gaji. Yayasan bergeming, dengan alasan, yayasan hanya pelaksana bukan sebagai pengambil kebijakan. Akibatnya, mogok mengajar, konsultasi KRS tidak dilayani, demikian pula konsultasi mata kuliah.

Selain menuntut perbaikan kesejahteraan setara dengan PGPNS berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2011, para dosen dan karyawan Unwira juga menuntut diselenggarakan rapat umum anggota (RUA) luar biasa untuk memberhentikan pengurus Yapenkar dari jabatan, pengurus Yapenkar diminta memperhatikan tiga komponen pendiri Unwira, dan transparansi dalam pengelolaan keuangan oleh Yapenkar dan universitas.

Rektor Unwira Yulius Yasinto secara gamblang memang telah mengakui persoalan mendasar yang terjadi di Kampus Unwira. "Masalah utama yang terjadi di Unwira saat ini adalah persoalan tuntutan kenaikan gaji dari dosen. Para dosen meminta kenaikan gaji yang disetarakan dengan PNS sehingga sejauh ini belum ada kesepakatan antara dosen dan yayasan. Yayasan hanya mengabulkan kenaikan 10 persen dari gaji pokok. Ya, dari perhitungan yayasan sesuai dengan keuangan yang ada maka per 1 Oktober gaji dinaikkan 10 persen," katanya.

Jika melihat standar gaji yang ada di Unwira saat ini, memang memrihatinkan. Bila disandingkan dengan gaji yang diperoleh para dosen Unwira dengan gaji dosen dengan pangkat dan golongannya sama di lembaga perguruan tinggi lainnya terutama perguruan tinggi negeri, maka perbedaannya sangat mencolok, ibarat langit dan bumi. Persoalan gaji memang tidak dapat dipungkiri memberikan dampak ikutan lainnya terutama terhadap kinerja para dosen. Dengan gaji yang rendah, jelas sangat mengganggu persiapan para dosen untuk memberikan kuliah kepada para mahasiswa. Dengan gaji yang rendah, dosen juga terpaksa harus mencari pendapatan lain di luar gaji dosen yang sah dari yayasan. Misalnya menerima job mengajar di universitas atau sekolah lain di luar jam kerja di Unwira. Bahkan praktik-praktik penjualan diktat dan modul seperti yang terjadi di lembaga lainnya bisa saja terjadi walau itu selama ini belum ada mahasiswa yang mengeluhkannya.
Kenaikan 10 persen gaji para dosen jelas belum mampu menyamai gaji dosen PNS. Itu yang membuat belum ada kesepakatan antara Yayasan yang menaungi Unwira dengan para dosen. Dosen masih bersikap belum mau mengajar. Mahasiswa tetap dirugikan.
Karena itu, sesuai janji rektor yang memberi waktu penyelesaian sampai Senin (15/10), maka mahasiswa juga mengambil sikap akan terus menggelar aksi sampai ada kejelasan keputusan. Mahasiswa akan melakukan mimbar bebas di depan kampus sampai hari Senin pekan depan.  "Kami sangat kecewa dengan jawaban pihak Yayasan dan Rektor yang meminta waktu hingga Senin pekan depan," kata Siprianus RK Ama.

Menurutnya, jika hingga Senin (15/10) apa yang dijanjikan tidak terselesaikan, maka mahasiswa akan kembali melakukan demonstrasi dengan jumlah yang lebih besar dengan tuntutan yang lebih tajam.
Ketua Yapenkar Pater Gregor Neon Basu mengatakan, meski selaku pengelola Unwira, Yapenkar tidak berwenang memutuskan kenaikan gaji dosen/karyawan. Kenaikan gaji merupakan keputusan Badan Pembina Yapenkar. "Itu keputusan Badan Pembina. Kami ini hanya badan pengurus, jadi kami tidak bisa untuk memutuskan kenaikan gaji. Kami hanya menyampaikan saja tuntutan kenaikan gaji kepada Badan Pembina," katanya.
Meski demikian, sebelumnya Yapenkar telah menaikkan gaji sebesar lima persen. Namun karena ada gejolak, kembali menaikkan sebesar 10 persen. Bahkan, untuk kenaikan gaji itu, keputusan Badan Pembina tidak ada tetapi karena ada tuntutan, maka dinaikkan.
Kenaikan gaji 10 persen itu, tambahnya, telah diumumkan namun tetap menimbulkan gejolak. Karena itu telah melakukan pendekatan persuasif melaui rektor dan para dekan. Yayasan dan seluruh badan pengurus tengah melakukan rapat dan proses negosiasi.

Ditanya mengenai uang kuliah yang mahal namun tidak sebanding dengan gaji yang diberikan kepada para dosen, dia membantah. Menurut dia, selama beberapa tahun terakhir uang kuliah tidak dinaikkan.
Mantan dosen FKIP Unika John Dekresano yang kini menjabat Rektor Universitas San Pedro mengatakan, selama ini yayasan mengabaikan  kesejahteraan dosen dan karyawan. Padahal, ini sangat penting demi meningkatkan mutu dan kualitas di Kampus. "Jika dosen tidak diperhatikan maka ini menjadi masalah bagi dosen dalam menjalankan tugas, misalnya, dalam mempersiapkan bahan-bahan perkuliahan," katanya.
Menurutnya, yang menjadi penyebab utama dari masalah yang terjadi, pengelolaan keuangan dari yayasan yang kurang memberikan perhatian terhadap kesejahteraan dosen. "Ini adalah masalah lama yang menjadi pemicu dari semua persoalan di Unika. Perhatian yayasan terhadap kesejahteraan dosen dan karyawan sangat kurang. Pengelolaan keuangan tidak memihak pada karyawan dan dosen," katanya.

Miris memang mencermati kasus di Unwira ini. Perhitungan gaji para dosen, masih merujuk pada PGPNS tahun 2003. Itu pun hanya 68 persen dari PGPNS tahun 2003.
Kasus yang menimpa Unwira mendapat simpati banyak kalangan. Sekretaris Kopertis Wilayah VIII Bali-NTB-NTT Anom Sukarta meminta kepada para dosen dan yayasan untuk berdialog mencari solusi terbaik. "Apapun persoalannya, saya imbau kepada para dosen untuk tetap menjalankan tugas dan tanggung jawab mengajar sehingga tidak merugikan mahasiswa yang membutuhkan ilmu dan suasana yang kondusif untuk belajar," pintanya.

Sekretaris Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Provinsi NTT Godlif Neonufa mengharapkan pengelola dan para dosen dapat segera menemukan jalan keluar untuk mengatasi kemelut yang ada agar tidak merugikan mahasiswa.
Sementara itu, Divisi Pendidikan PIAR NTT Yusak Bilaut mengatakan, yayasan pengelola Unwira harus memperhatikan kesejahteraan dosen dan pegawai agar tidak berpengaruh pada layanan perkuliahan kepada  mahasiswa. "Pihak yayasan dan rektorat harus terbuka kepada para dosen mengenai kondisi yang ada agar mahasiswa tidak dirugikan," katanya.

Pertemuan tertutup yang digelar Badan Pemina, Yayasan dan Dekan juga belum ada kata sepakat. Mogok masih terus berlanjut. Bahkan, mahasiswa telah membangun tenda di depan gerbang masuk kampus. Mogok makan dalam aksi demonstrasi juga dilakoni mahasiswa sampai ada titik terang penyelesaian kasus.
Kita tentunya berharap, kemelut di Unwira secepatnya diselesaikan. Badan Pembina, Provinsial SVD Timor, dan Yayasan hendaknya terketuk hatinya mendegar tuntutan dan jeritan hati para dosen yang telah mengabdikan diri bekerja di ladang Tuhan, ladang pendidikan. Tuntutan perbaikan kesejahteraan yang dilontarkan para dosen dan karyawan tentunya bukan tanpa dasar. Ada ahli-ahli ekonomi di Fakultas Ekonomi yang tentunya sudah membuat perhitungan-perhitungan ekonomis, besaran pemasukan yang diterima Unwira, besaran pembiayaan yang dikeluarkan untuk membiayai seluruh roda pendidikan di Unwira. Dan berapa keuntungan yang diterima. Karena itu, perhitungan menaikan gaji setara dengan gaji PNS, tentunya bukan lahir begitu saja, tetapi jelas dari kajian yang sangat matang.
Namun patut dipikirkan pula, bahwa peningkatan kesejahteraan para dosen dan karyawan, jangan sampai mengorbankan mahasiswa. Mogok harus dihentikan, sambil negosiasi terus berjalan. Badan pertimbangan, Yapenkar, dan Provinsial SVD Timor dalam menjawab tuntutan dosen dan karyawan, jangan lagi mengobarkan mahasiswa. Tuntutan peningkatan kesejahteraan, jangan diikuti kebijakan kenaikan biaya kuliah kepada mahasiswa. Jangan memuaskan satu pihak dengan mengorbankan pihak lain.
Tentunya, dengan kebesaran hati, Badan Pembina dan Yayasan dapat mengambil langkah bijak menuntaskan persoalan, agar mahasiswa sebagai penopang utama keberadaan kampus tidak lagi dirugikan. Para pengambil kebijakan di Unwira tidak hanya memikirkan upah surgawi para karyawannya, namun hendaknya upah duniawi para pekerja di ladang Tuhan pun diperhatikan.




Kebanggan itu Kian Sirnah
SETIAP orang pasti bangga menjadi dosen Unwira. Apalagi dengan komitmen dan prinsip pengabdian terhadap lembaga pendidikan yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Komitmen menjadi dosen sesungguhnya telah tertanam bagi para dosen yang menyatakan diri mengabdi di Unwira.
Kebanggan menjadi dosen Unwira begitu nyata dirasakan. Betapa tidak, selain karena komitmennya yang begitu mulai untuk mencerdaskan bangsa, juga karena pada masa itu, kesejahteraan para dosen dan karyawan sangat diperhatikan. Pada masa kejayaannya, gaji dosen Unwira bahkan melampaui gaji dosen-dosen negeri di Universitas Nusa Cendana (Undana).

Kebanggaan itu yang tertanam di dalam sanubari Alfon Bunganaen, Dekan FKIP Unwira kala awal memantapkan pilihannya mengabdi di Unwira tahun 1986.
Kepada VN, Jumat (12/10), Bunganaen mengisahkan, memilih mengabdi di Unwira sebagai kampus sewasta dengan label Universitas Katholik merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Nilai kekatholikannya yang di kejar dalam pengabdian tersebut, sehingga dia menetapkan hati melabuhkan pilihannya di Unwira, dan bukan universitas negeri seperti Undana misalnya. "Ada nilai lain yang saya kejar yaitu nilai kekatholikan," katanya.

Namun kebanggan itu kini hanya tinggal kenangan. Setelah mengabdi 26 tahun, perhatian yayasan kepada para dosen dan karyawan mulai bergeser. Jika pada awal kiprah, yayasan begitu memberikan perhatian terhadap kesejahteraan dosen dan karyawan,  perhatian itu kian berbeda jauh dalam perjalanan kampus Unwira hingga saat ini. Jika para dosen Undana yang dulunya gaji lebih rendah dari gaji para dosen di Unwira, kini justru gaji para dosen di Unwira yang tertinggal jauh dari para Dosen PNS yang segolongan. "Dari tingkat kesejahteraan kami sangat tertinggal jauh dari teman-teman pegawai negeri," katanya.
Gaji dosen dan karyawan di Unwira saat ini sangat memprihatinkan. Sebab gaji yang diterima para dosen saat ini hanya 68 persen dari PGPNS tahun 2003. Inilah yang membuat dia berani untuk menyimpulkan, bahwa dosen-dosen Unwira tertinggal jauh dari aspek kesejahteraan.

Namun, dalam segala kekurangan dan gaji yang minim, Bunganaen akui, selalu ada rahmat untuk memperjuangkan dan memenuhi hidup keluarga. Dengan pengabdian yang tulus kepada lembaga yang begitu dibanggakan sejak awal pengabdian, berkat diperoleh di tempat lain. Kerja sama dengan instansi pemerintah diperolehnya untuk melakukan sejumlah penelitian. Jadi, untuk menopang hidup dan keluarganya, selain gaji yang minim dari Unwira, dana penelitian juga sangat membantunya.
Tentunya melalui perjuangan yang kini tengah dilakukan, dia dan seluruh dosen serta karyawan yang telah mengabdikan hidup dan kehidupannya di Unwira tetap berharap Yayasan, Badan Pertimbangan, dan Provinsial SVD Timor dapat terketuk hatinya meluluskan jeritan hati para pekerja di ladang pendidikan, Unwira. Semoga.

hiero@victorynews-media.com

Optimisme UN di Tengah Keterpurukan

Oleh Hiero Bokilia




DUNIA pendidikan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam dua tahun terakhir terus mengalami keterpurukan. Dalam ujian nasional (UN) tahun ajaran 2010-2011, tingkat kelulusan 94,43 persen untuk UN SMA/SMK dan merupakan persentase tertinggi pertama yang diraih NTT. Namun, hasil ini masih paling bontot di peringkat nasional. Selanjutnya pada Tahun Ajaran 2011-2012, NTT masih menjadi daerah dengan tingkat kelulusan terendah UN tingkat SMA/SMK. Dari jumlah peserta 36.228, yang tidak lulus 1.994 orang atau 94,50 persen dan menempatkan NTT tetap berada di peringkat ke-33 dari 33 provinsi di Indonesia.

Keterpurukan pendidikan di NTT ini tak pelak menjadi sorotan banyak kalangan mengingat pada saat prestasi pendidikan NTT menurun, di saat yang sama, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT sedang gencar-gencarnya menggaungkan Gong Belajar. Gong Belajar ibarat hanya besar di bunyi tanpa ada aksi nyata di lapangan. Gong Belajar hanya indah di kertas tapi buruk dalam implementasi.

Menyikapi melorotnya mutu dan persentase UN di NTT, Pemprov dan Dinas PPO NTT tidak tinggal diam. Sejak pertengahan 2012, Dinas PPO telah mendorong Dinas PPO tingkat kabupaten/kota untuk mulai membangun koordinasi dengan sekolah-sekolah di masing-masing wilayah mempersiapkan para siswa menghadapi pelaksanaan UN. Imbauan itu disambut baik Dinas PPO kabupaten/Kota. Para kepala sekolah pun dikumpulkan dan bersama membangun komitmen mulai melakukan segala persiapan untuk menyiapkan para siswa menghadapi UN. Target-taget mulai ditetapkan dengan indikator keberhasilan masing-masing. Sekolah-sekolah penyelenggara UN pun menyambut baik imbauan dan mulai melakukan persiapan berupa bedah standar kompetensi lulusan (SKL), les tambahan, dan latihan soal-soal UN tahun-tahun sebelumnya.

Kepala Dinas PPO NTT Klemens Meba mengatakan, menjelang pelaksaan UN khususnya untuk tingkat SMA dan SMK pada 15 April mendatang, berbagai kesiapan yang telah dan akan dilakukan oleh Dinas PPO NTT untuk menyelenggarakan UN. Kesiapan yang sudah dilaksanakan adalah bedah SKL dan tryout untuk SMA/SMK. Sedangkan terkait pelaksanaan UN, mulai 6 April, Dinas PPO NTT akan mendistribusikan soal ke kabupaten untuk kemudian didistribusikan ke sekolah-sekolah penyelenggara UN. Dalam bedah SKL tersebut, mengambil berbagai materi dari lima tahun terakhir untuk mengetahui persentase penguasaan soal pada seluruh sekolah di kabupaten/kota.

Dari hasil bedah SKL tersebut, diketahui kelebihan dan kekurangan dari masing-masing sekolah. "Apakah kekurangan itu datang dari siswa atau kekurangan itu datangnya dari guru, sehingga sekolah-sekolah dapat mengaturnya dengan melakukan rapat bersama orangtua dan meminta dukungan dari kabupaten/kota. Seperti di kecamatan-kecamatan di pedalaman disarankan agar kelompok-kelompok belajar dilakukan pemondokan agar mudah dikoordinir," jelasnya.

Dari sejumlah persiapan itu, kemudian untuk menguji kemampuan dan pemahaman siswa terhadap materi UN, dilakukan tryout. Tryout diselenggarakan oleh Dinas PPO NTT, Dinas PPO kabupaten/kota, dan oleh sekolah sendiri. Dari tryout tersebut, kemudian dianalisis oleh tim analisis di Dinas PPO NTT untuk melihat sejauh mana capaian yang diperoleh para siswa. Memang pada tryout pertama, rata-rata belum mencapai standar nilai secara nasional. Banyak siswa meraih nilai di bawah lima. Namun dalam tryout kedua dan ketiga, tim analisis mengakui ada peningkatan.


Tidak Efektif
Walau diakui ada peningkatan hasil tryout berdasarkan hasil analisis, namun sejumlah pengamat tetap menilai, les tambahan yang digalakkan akhir-akhir ini menjelang pelaksanaan UN April mendatang, tidak efektif meningkatkan persentase dan kualitas kelulusan.

Dominikus Waro Sabon, pengamat pendidikan dari Undana Kupang mengatakan, karena pelaksanaan les tambahan pasca dilaksanakan kegiatan belajar mengajar (KBM) sehingga les tambahan tidak efektif.

Menurutnya, salah satu penghambat peningkatan mutu pendidikan karena para guru belum memahami psikologi siswa. Les tambahan yang dilaksanakan pada siang hari setelah KBM berakhir membuat siswa jenuh. Mereka sudah sejak pagi hingga siang telah dipaksa belajar, sehingga les tambahan tidak memberikan banyak manfaat karena tidak akan banyak materi yang mampu diserap para siswa.

Hal seperti itu, kata Waro Sabon, harus menjadi pertimbangan para guru. "Les tambahan siang hari sia-sia karena siang hari siswa sudah lelah dan mengantuk, sehingga membuat para siswa hilang konsentrasi belajar," jelasnya.

Kehadiran seluruh siswa saat les tambahan, lanjutnya, tidak menjamin mereka dapat memahami apa yang dijelaskan guru. Karena itu, guru-guru perlu menguasai ilmu pedagogi sehingga bisa mengetahui kelemahan siswa, begitu juga jika siswa tidak konsentrasi saat guru mengajar. Seorang guru harus menciptakan cara mengajar efektif, dan menarik perhatian siswa.

Pengamat pendidikan Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang Agus Mani berpendapat, untuk dapat menyukseskan pelaksanaan UN dan bisa meningkatkan mutu dan persentase lulusan, maka Dinas PPO NTT perlu memahami potensi sumber daya manusia (SDM) guru di setiap kabupaten. Keberhasilan UN tidak hanya diukur dari kemampuan dan kualitas para siswa saja. Jika hanya memahami dan mengukur kemampuan siswa saja maka akan sulit mewujudkan kesuksesan UN dan meningkatkan mutu lulusan. Kemampuan dan kualitas siswa ditentukan pula oleh SDM guru. Apabila guru dalam proses belajar mengajar hanya menggunakan sistim menghafal, maka akan menjadi permasalahan bagi para murid. Karena, untuk mendalami dan memahami ilmu tidak hanya bisa dilakukan melalui menghafal.

Karena itu, Pemprov NTT melalui Dinas PPO NTT harus secepatnya melakukan pendekatan ke setiap sekolah terutama sekolah-sekolah sasaran Program Gong Belajar. Jika Pemprov NTT tidak serius, maka akan menggagalkan Program Gong Belajar.

Sekretaris Dinas PPO NTT Johanis Mau mengatakan, untuk dapat menyukseskan pelaksanaan UN di semua tingkatan baik SD, SMP, dan SMA/SMK, diharapkan masing-masing sekolah dapat membentuk kelompok belajar. Para guru juga harus membimbing para siswa dengan menjadwalkan kegiatan jam belajar siswa dan kelompok belajar tersebut.

Apalagi, pelaksanaan UN kali ini sedikit berbeda dengan sistem pelaksanaan UN lalu dimana, 20 siswa di dalam satu kelas mendapatkan soal yang berbeda satu dengan lainnya. " mekanisme ini saya yakin hasilnya akan lebih baik," katanya.

Dengan metode demikian, dapat pula dijadikan indikator mengukur kemampuan anak. Hal mana tidak akan menimbulkan kecurigaan adanya kecurangan.



Pesimistis Mutu Meningkat
Ketua Dewan Pembina Pendidikan NTT Simon Riwu Kaho mengatakan, mutu pendidikan di NTT tidak akan meningkat, apabila hanya bedah SKL dan tryout yang dipakai. Karena, akar persoalan mutu pendidikan NTT yang merosot disebabkan karena manajemen sekolah tidak dibenahi. Selain itu disebabkan pula karena kesejahteraan guru masih kurang diperhatikan. Bahkan, para kepala sekolah dan guru pada sekolah yang kurang bermutu sering ditekan oleh pemerintah. "Bagaimana kalau manajemen Sekolah tidak searah. Guru tidak disiplin, begitu pula siswa. Dapat dipastikan bahwa mutu tidak bisa meningkat," tegasnya.

Apabila kesejahteraan guru diabaikan, di mana gaji selalu terlambat dibayar, tunjungan pun demikian, maka faktor ini dapat menyebabkan guru malas mengajar, yang pada akhirnya berdampak pada kemerosotan mutu pendidikan.

Demikian halnya, jika tekanan dari pimpinan wilayah untuk mencopot kepala sekolah yang kelulusan sekolahnya rendah atau tidak mencapi 100 persen. "Kepala sekolah bukan seperti anak buah Kodim yang begitu ada kesalahan langsung dicopot dari jabatan," katanya.

Ancaman dan tekanan bukan saatnya lagi. Untuk itu, jika ada sekolah yang mutunya merosot, mestinya para guru dimotifasi untuk lebih semangat dan mau mengajar dengan baik sehingga ada peningkatan mutu.

Pengamat pendidikan Undana Wara Sabon Dominikus mengatakan, sejauh ini berbagai upaya telah dilakukan pemerintah melalui dinas teknis baik Dinas PPO NTT maupun di kabupaten/kota untuk meningkatkan mutu pendidikan. Hanya saja, jika upaya tryout dan bedah SKL tidak sungguh-sunguh, maka tidak akan membuahkan hasil. Namun jika upaya itu sungguh-sungguh dilakukan, maka dipastikan bisa berhasil dan mutu pendidikan akan meningkat.

Dia melihat, jika semua elemen memiliki kemauan untuk meningkatkan mutu dengan memberikan motifasi bagi guru, maka pasti ada perubahan karena salah satu hal yang mendukung adalah sebanyak 21.011 orang dari 82 ribu guru di NTT telah lulus sertifikasi atau dapat dikatakan sudah 25 persen dari total guru memiliki kualitas dan kemampuan baik. "Saya tidak terlalu pesimis karena data menujukkan banyak guru profesional sudah ada di NTT," katanya.

Sementara itu, pengamat pendidikan Universitas San Pedro Paul Bataona mengharapkan tahun ini ada perubahan dan peningkatan mutu mengingat merupakan harapan seluruh masyarakat NTT agar wajah pendidikan di NTT lebih baik.

Tetapi, semua itu akan tercapai apabila ada kerja sama baik antarkomponen terkait seperti pemerintah, lembaga pendidikan, guru, orangtua, dan siswa.

Walau banyak kritik terhadap persiapan yang telah dilakukan Dinas PPO NTT bersama Dinas PPO kabupaten/kota, para kepala sekolah, dan para guru dalam menyiapkan siswa menghadapi UN, namun kita tidak boleh pesimistis terhadap semua upaya dan perjuangan yang telah dilakukan. Semua kerja keras yang ada akan sia-sia jika para siswa sendiri tidak mampu menyiapkan diri mereka sendiri. Karena bagaimana pun, pada saat UN, siswalah yang mengerjakan soal-soal UN. Karena itu, langkah terakhir menjelang hari-hari pelaksanaan UN adalah mempersiapkan mental dan psikologis para siswa saat mengikuti UN. karena selama ini fakta membuktikan bahwa pada hari pertama UN, para siswa gugup mengerjakan soal-soal UN. Karena itu, agar kegugupan itu tidak terjadi, mental mereka harus dipersiapkan.

Jika semua lini telah berjuang dan bersiap diri, maka kita tentunya banyak berharap bahwa UN tahun ini, posisi NTT bisa merangkak ke posisi angka yang lebih mudah. Setidaknya, kalau tahun 2011 dan 2012 NTT berada di urutan ke-33 dari 33 provinsi, maka tahun ini NTT bisa berbangga berada di posisi 32 dari 33 provinsi. Namun, untuk mencapai itu, janganlah menghalalkan segala cara. Kecurangan harus dijauhkan. Para siswa jangan lagi bergerilya mencari bocoran kunci jawaban. Namun harus percayta diri dengan segala persiapan yang telah dilakukan selama ini, setidaknya mampu memberikan peningkatan prestasi tidak hanya pada persentase kelulusan, namun yang paling penting adalah mutu lulusan yang bisa bersaing di perguruan tinggi negeri dan swasta ternama yang ada di Indonesia. Dan, yang tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, dngan kemampuan yang dimiliki setidaknya mampu diserap di dunia kerja. Semoga. 

hiero@victorynews-media.com

Tragedi Pelayanan Rumah Sakit tak Pernah Pupus

Oleh Hiero Bokilia

BELUM hilang dari ingatan kita, kematian yang merenggut Gregorius Seran, pasien rujukan RSUD Atambua. Demikian pula cerita pilu yang menimpa Polce Victoria Teon, pasien kanker payudara yang ditolak dan kemudan dipanggil kembali untuk dirawat hingga ajal menjemput. Juga kisah kematian Sherly Goru Lolu, ibu hamil yang hendak melahirkan namun meninggal karena terlambat mendapatkan penanganan dokter. Kisah terakhir yang sempat direkam media ini adalah kematian Abraham Hanas, pasien cuci darah yang menunggu proses cuci darah selama empat hari baru dilayani. Setelah dilayani, pasien cuci darah ini meninggal dunia.

Banyak kisah tragis yang terjadi di RSUD WZ Johannes Kupang, mungkin juga terjadi di rumah sakit lain yang tersebar di Provinsi NTT.

Jika pada dua kejadian terdahulu, pasiennya ditolak dan kemudian baru dipanggil kembali untuk dirawat. Sedangkan dua kejadian terakhir karena dokter yang melayani tidak ada di tempat. Ketika pasien masuk dan menjalani perawatan, hanya ditangani oleh perawat. Dokter piket dan dokter ahlinya tidak ada di tempat. Diagnosa terhadap pasien hanya dilakukan melalui telepon. Sistem on call seakan sudah menjadi hal biasa di rumah sakit. Tanpa melihat kondisi pasien secara langsung, dokter ahli dan dopkter piket sudah mampu mendiagnosa penyakit apa yang diderita pasien dan memberikan petunjuk tindakan medis yang harus dilakukan. Sistem on call atau diagnosa jarak jauh ini memiliki dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, diagnosa yang disampaikan dokter benar dan petunjuk tindakan medis yang diberikan juga tepat sehingga membawa keselamatan bagi pasien. Kemungkinan kedua adalah, biasa saja karena tidak melihat langsung kondisi pasien, diagnosa yang dibuat dokter bisa salah. kalau diagnosa sudah salah, maka jelas, petunjuk tindakan mediknya juga tidak sesuai dengan penyakit yang diderita pasien.

Jika kemungkinan kedua ini yang terjadi, maka jelas nyawa pasien terancam bahkan dapat berdampak fatal, meninggal dunia.
Sistem on call marak terjadi di rumah sakit karena banyak dokter yang berprofesi ganda. Mencari tambahan penghasilan setelah jam dinas. Mayoritas dokter umum dan dokter spesialis yang bertugas di NTT dan Kota Kupang umumnya memiliki klinik praktik. Bahkan, ada yang memiliki sampai dua klinik atau tempat praktik. Akibatnya, energi mereka terkuras melayani klien mereka di tempat praktik, dan ketika kembali bekerja pada jam dinas di rumah sakit, mereka sudah loyo. Pasien yang berobat di rumah sakit menjadi korban karena tidak mendapatkan pelayanan maksimal.



Sangat Berisiko
Aktivis PIAR NTT Sevan Aome mengecam pelayanan kesehatan di RSUD WZ Johannes, Kupang yang menggunakan sistem on call. Dokter ahli/spesialis mendiagnosa atau memberi petunjuk tindakan medis tanpa melihat langsung kondisi pasien. Cara pelayanan kesehatan seperti ini, sangat berisiko. "Secara etika, tidak dibenarkan dokter mendiagnosa pasien melalui telepon. Ini tidak dibenarkan. IDI harus turun tangan untuk menghentikan cara-cara pelayanan kesehatan seperti ini," tegasnya.

Kepala Sub Bidang Keperawatan RSUD Kupang Yosias Here mengatakan, mekanisme tersebut sudah sesuai standar operasional prosedur (SOP). On call baru dilakukan pada jam-jam di luar jam dinas, di mana dokter ahli tidak berada di rumah sakit. Juga diperbolehkan di saat dokter yang dibutuhkan sedang menangani operasi. "Dan sejauh ini para dokter melakukan pelayanan on call ini sesuai dengan mekanisme yang ada," katanya.

Koordinator divisi anti korupsi PIAR NTT Paul SinlaeloE mengkritisi Gubernur Frans Lebu Raya yang tidak berdaya melakukan perombakan manajemen RSUD. Bagi dia, gubernur tidak peka terhadap sejumlah kasus kemanusiaan yang melilit RSUD.
Paramedis RSUD juga dituntut memberikan pelayanan maksimal penuh keiklasan tanpa melihat strata sosial pasien. "Jadi pasien darurat yang datang harus ditangani sesegera mungkin oleh dokter yang stand by. Tidak perlu dihambat terlalu banyak urusan administrasi," paparnya.

Koordinator Koalisi Akar Rumput NTT Jan Piter Windy menilai, buruknya pelayanan RSUD WZ Johannes Kupang tidak cukup diatasi dengan merombak manajemen, namun kultur penanganan kedaruratan pun harus diperbaiki.
Pengamat sosial Soraya Balqis kepada VN, Minggu (10/3) menilai, para dokter PNS tersebut bekerja hanya memenuhi kebutuhan mereka sendiri tanpa melihat profesi sebagai seorang dokter berstatus PNS yang harusnya melayani masyarakat dalam keadaan apapun. Untuk itu, jam kerja para dokter PNS harus diatur sehingga pelayanan kepada pasien bisa maksimal.
Menurutnya, sistem kerja para dokter yang baru ditelepon setelah pasien butuh pertolongan darurat menyalahi aturan. "Itu berarti mereka selama ini bermain-main dengan aturan sehingga pemerintah harus memberi sanksi tegas bagi dokter yang berpaling dari tugas piketnya dan lebih mementingkan praktik luar," ujarnya.

Namun, kita tentunya tidak hanya memfonis kesalahan hanya ada pada para dokter. Kita juga harus melihat dari sisi para dokter. Apakah selama ini hak-hak mereka sudah dipenuhi, ataukah ada pengebirian hak para dokter di sana.
Salah seorang dokter RSUD WZ Johannes yang tidak mau namanya dikorankan kepada VN akhir pekan ini menjelaskan, banyak dokter merasa diperlakukan tidak adil oleh manajemen sehingga memunculkan penolakan terhadap kebijakan manajemen. "Tunjangan rawat kamar sesuai SK Menkes harusnya Rp 1 juta, namun SK yang dibuat Direktur dipotong Rp 500 ribu. Ini yang membuat para dokter marah," ungkap sumber itu.
Bahkan, lanjut dia, penetapan Wadir Pelayanan yang bukan seorang dokter menjadi pemicu lain terciptanya blok-blok dalam RSUD. "Ibu Damita (Palalangan) itu bukan dokter tapi bidan. Masa bidan yang atur dokter," tambahnya.

Plt Gubernur NTT Frans Salem yang dihubungi terpisah meminta Direktur RSUD WZ Johannes untuk tidak asal potong tunjangan bagi dokter maupun pegawai biasa.
Apapun persoalan yang terjadi, pasien tidak boleh ditelantarkan. Dokter yang telah disumpah dan memiliki kode etik kedokteran, hendaknya tidak melakukan penolakan terhadap kebijakan manajemen rumah sakit dengan menelantarkan tugas utamanya menyelamatkan manusia dan mengedepankan pelayanan. Apapun yang terjadi, keselamatan nyawa manusia haruslah menjadi yang utama dalam pelayanan. Untuk itu, dibutuhkan komitmen bersama baik Pemerintah Provinsi NTT, manajemen RSUD WZ Johannes, para dokter, dan seluruh pemangku kepentingan untuk terus mendorong pembenahan. Sekali lagi pembenahan bila perlu reformasi di tubuh RSUD WZ Johannes, agar segala macam persoalan tidak lagi terjadi. Agar tidak ada lagi nyawa manusia mati sia-sia karena salah diagnosa, akibat dari sistem on call, diagnosa jarak jauh yang terjadi selama ini.

hiero@victorynews-media.com