05 Agustus 2011

Bukan Kutukan, Dia Anak Saya

Oleh Hieronimus Bokilia

Wartawan HU Flores Pos

Siang itu, Sabtu, 25 Juni 2011 sudah sekira pukul 13.15 namun udara dingin masih menyelimuti dataran Ndetundora dan Randotonda di Nuabosi Kecamatan Ende Utara. Di atas para-para berukuran 1,5 x 1 meter dekat bak penampung air hujan (PAH), terbaring seorang anak tanpa sehelai benangpun di badannya. Sesekali dia menyeringai sendiri dan kemudian asyik menggoyangkan badannya. Dia lalu bangun dan duduk acuh sambil bersandar di dinding bak. Sesekali menengadah menatap kosong ke langit yang sedang mendung. Nampaknya dia baru selesai buang air besar. Di kaki dan pahanya masih menempel kotoran. Neneknya datang dengan seember air dan tempat sabun untuk memandikannya. Dia lalu dipakaikan baju dan rok putih lusuh. Tanpa sepatah katapun, dia langsung berjalan menuju halaman depan rumah. Duduk bermain di atas tanah berdebu tanpa peduli bahwa dia baru selesai dimandikan neneknya.

Kristina Wonga, anak perempuan yang usianya kira-kira delapan tahun ini mengalami cacat mental berat. Anak perempuan buah kasih pasangan Aloysius Sema, seorang pedagang dan Stefania R S Sera, aparat di Desa Randotonda yang lahir pada 22 Desember 2003 di Randotonda, Nuabosi ini mengalami kecacatan mental. Sebenarnya Kristina saat lahir, kondisinya normal-normal saja. Tidak ada tanda-tanda adanya kelainan. Namun saat memasuki usia enam bulan, petaka itu mulai datang. Lehernya tidak bisa ditegakan.

Kondisi anaknya yang demikian, Stefania langsung membawanya ke bidan desa. Dari pemeriksaan dan konsultasi dengan bidan, dia disarankan membawa anaknya ke dokter spesialis anak. Mendapatkan saran demikian, bersama suaminya langsung membawa Kristina ke dokter spesialis anak untuk berkonsultasi. Dokter mengatakan,Kristina menderita keterbelakangan mental. Tumbuh kembangnya bakal terhambat. Tidak tingal diam, Stefania terus membawa Kristina ke para pendoa dan juga dukun kampung. Sejumlah ramuan diperolehnya untuk mewujudkan kesembuhan bagi putrinya. Pengobatan demi pengobatan terus diupayakan untuk putrinya tercinta. Dari berbagai upaya itu, leher Kristina akhirnya bisa tegak kembali. Tetapi, dia belum bisa duduk.

Saat itu, kata Stefania, pengetahuannya tentang penyakit yang diderita anaknya dan upaya membantu mengatasi kondisi anaknya sangat minim. Semula dia dan suaminya hanya pasrah menerima kondisi itu. Namun pengetahuannya mulai terbuka ketika mulai diperkenalkan sejumlah pengetahuan baru mengatasi kondisi kecacatan yang dialami Kristina. Semula, dia mendudukkan Kristina di dalam ember bak dan meletakan bantal untuk menahan lehernya agar bisa duduk. Namun itupun tidak terlalu banyak membantu.

Pengetahuan berarti yang tidak pernah akan dilupakannya walaupun sempat mendapatkan cemoohan dari tetangga adalah membuat palang sejajar sebagai alat bantu jalan bagi anaknya pada tahun 2006. Sejumlah tiang bambu dibuat dan diikat belahaan bambu disekelilingnya untuk digunakan Kristina melatih berjalan. Agar tidak kotor, di tanah dibentangkan ferlag sebagai alas. Palang sejajar yang dibuat seperti kandang itu yang membuat para tetangga mencemoohnya. Mereka menilai pasangan Stefania dan Aloysius memperlakukan anak mereka seperti binatang.

“Walau mereka terus cemooh saya dan bilang saya buat anak saya seperti binatang, tapi saya tidak peduli. Mereka tidak tahu apa yang kami buat,” kata Stefania.

Dari ketabahan dan ketegarannya menerima cemoohan dari warga tetangga rumahnya itu, perlahan-lahan mulai membuahkan hasil. Anaknya yang sebelumnya hanya bisa merangkak dan tidak bisa berdiri mulai bisa belajar berdiri. Palang sejajar yang dibuat mulai membantu Kristina yang mulai berdiri belajar jalan. Dibantu palang sejajar yang dibuat itu, Kristina perlahan mulai meniti jalan sambil berpegang pada palang sejajar yang dibuat orangtuanya itu. Diusianya yang genap enam tahun pada tahun 2009, Kristina mulai bisa berjalan. Upaya dan kerja keras itu akhirnya berbuah keberhasilan. Walaupun dicemooh dan dituding memperlakukan anak seperti binatang, namun apa yang dibuatnya dengan penuh kesadaran dan kasih saying itu telah membuat anaknya bisa berjalan.

Namun, di sini pula awal muncul masalah baru. Kristna yang mulai pintar berjalan, sulit diatur. Pakaian yang dipakaikan kepadanya hanya bertahan sebentar. Rok atau celana yang dipakaikan kepadanya tak berapa lama kemudian langsung dibukanya lagi. Bajupun bernasib sama. Walau agak lama dikenakan namun akhirnya dibukannya juga. Naasnya lagi, dengan bertelanjang, Kristina lalu berjalan keliling kampung. Ini yang semakin mengkhawatirkan Stefania dan suaminya Aloysius. Soal kebiasaannya tidak mau berpakaian ini, suami istri ini tidak bisa berbuat banyak. Sedangkan untuk mengatasi kebiasaannya berjalan keliling kampung, suami-istri ini terpaksa membuat para-para setinggi satu meter lebih. Di atas para-para ini-lah Kristina melewati hari-harinya.

Dia hanya bisa tidur dan terkadang bangun dan duduk di atas para-para yang hanya dilindungi atap seng bekas yang mulai berlubang. Saat jam makan tiba baru diberi makan. Kalau terlambat dia akan marah dan makanan yang ditaruh didekatnya akan dibuang. Stefania mengatakan, dia sudah tahu dan sangat memahami anaknya, karena itu jika jam makan dia harus cepat diberi makan. Saat diberi makan dia juga sering berulah. Kadang mau menggunakan senduk namun kadang pula senduk tidak mau dia gunakan. “Sekarang kalau dia dengar bunyi piring, dia langsung ambil piring dan minta makan,” kata Stefania. Dia melanjutkan, sebagai orangtua, kami sudah bisa menerima kondisi ini sehingga saat makan, tanpa harus dia minta, mereka langsung memberikan makan untuknya.

Walaupun kondisinya seperti itu, dia tetap berharap suatu saat nanti Kristina bisa mandiri. Setidaknya dia bisa mengurus dirinya terutama hal-hal kecil untuk dirinya sendiri seperti buang air dan mandi. Upaya ke arah itu terus dia lakukan. Dia terus berupaya mencari tahu tempat-tempat yang bisa menampung dan mendidik Kristina. Pilihan ke Cancar, tempat rehabiliasi anak cacat di Kabupatn Manggarai sempat diupayakan. Hanya saja terkendala karena syaratnya yang mengharuskan anak sudah bisa mengurus diri sendiri baru diterima. Padahal saat ini Kristina dalam usianya delapan tahun belum bisa melakukan apapun walaupun hanya untuk dirinya sendiri. Tapi itu tidak membuatnya patah semangat. “Saya akan tetap berusaha agar suatu saat nanti dia bisa mandiri dan punya keterampilan. Sekarang yang saya pikir bagaimana cari tempat yang baik supaya dia bisa dijaga dan dididik,” kata Stefania.

Kecacatan yang dialami anaknya, disadari memang berat. Namun dia tidak pernah menganggap itu sebagai kutukan, karma atau aib yang harus disembunyikan. Kondisi yang dialami anaknya itu mungkin terjadi karena perkawinan dengan suaminya yang masih bertalian keluarga dekat. Namun, kondisi itu tidak dia sesali. “Mau bagaimana lagi. Namanya juga sudah saling suka dan sudah menikah jadi harus kami jalani,” katanya.*

Tangisnya mengagetkan seisi kampung. Suaranya yang kecil seperti suara kucing membuat semua warga ingin melihatnya dari dekat. Ketika melihat tubuhnya yang mungil semua orang yakin dia tidak akan selamat. Usiany pasti tidak sampai setahun. “Kalau dia binatang mungkin kita tinggal bunuh kasih mati, tapi dia ini anak saya dan saya akan rawat dia. Saya percaya Tuhan yang kasih pasti Tuhan yang jaga. Kalau memang Tuhan mau ambil pasti Dia sudah ambil.”

Sekelumit kisah pilu ini diungkapkan Elisabeth Gerha, ibunda Angelina Nake. Putri keduanya ini semula terlahir normal. Namun saat baru berusia delapan bulan, Angel kecil tiba-tiba panas tinggi dan kejang-kejang. Khawatir anaknya kenapa-kenapa, Elisabeth bersama suaminya Donatus Da segera melarikan Angel ke rumah sakit. Di rumah sakit, selama enam malam Angel di rawat di ruang ICU. Setelah itu baru dipindahkan ke ruang perawatan anak selama tiga malam. Dari hasil pemeriksaan, dokter mendiagnosa Angel menderita inveksi otak atau mengalami kerusakan otak berat.

Selama dirawat di rumah sakit, para perawat terheran-heran. Angel kecil tidak pernah menangis. Untuk asupa makanan, harus menggunakan selang. Ditangannya juga terpasang selang infuse dan selang oxygen tidak pernah lepas dari tubuhnya. Kondisinya sangat memrihatinkan. Hari kesembilan, Angel diijinkan pulang. Kondisinya tidak berubah banyak. Bahkan tanda-tanda kesakitan terus membayang di depan mata.

Ketika tiba di rumah, kondisinya terus memrihatinkan. Bahkan kian hari kian memburuk. Berbagai upaya pengobatan alternative dilakukan. Beberapa pendoa untuk mendoakan kesembuhan Angel. Namun kondisinya tak kunjung membaik. Dukun kampung pun didatangi untuk mengobati sakitnya Angel. Namun semua usaha yang dilakukan Elisabeth dan Donatus Da suaminya tak kunjung membuahkan hasil. Oleh dukun malah dikatakan Angel tidak lumpuh. Dia akan sembuh setelah dilakukan upacara memberi makan nenek moyang. Saran dukun itupun dilakukan. Namun kondisi Angel tidak banyak berubah. Lumpuh dan pertumbuhannya benar-benar terhambat. Kini Elisabeth dan suaminya hanya pasrah menerima kondisi Angel yang kian hari kian memburuk. Angel yang pada usianya delapan bulan sudah mulai belajar merangkak dan belajar memanggil mama tak lagi menampakkan keceriaan seperti hari-hari sebelumnya.

Sakitnya semakin parah higga tubuh Angel semakin tidak berdaya. Dalam kepasrahan, Elisabth dan suaminya merawat buah hati tercinta mereka Angel. Perasaan malu memang sempat hinggap di hatinya ketika warga berbondong mendatangi rumahnya. Tetangganya sering menangis saat melihat kondisi Angel. Namun mereka tidak menitikan air mata dihadapannya. Mereka baru menangis setelah keluar dari rumah. Namun semuanya itu dia dan suaminya berusaha terima dengan pasrah. Angel setiap hari hanya bisa menangis dan terkadang tertawa.

Namun, kata Elisabeth walau dalam kepasrahan, dia tetap merawat anaknya dengan kasih sayang. Menurutnya, walau dengan kondisi memrihatinkan seperti itu namun Angel benar-benar membawa kebahagiaan tersendiri. Warga kampung yang semula tidak yakin akan keselamatan Angel mulai memberikan peneguhan bagi keluarga Elisabeth. Angel juga semakin mendapat perhatian luas. Bahkan, Angel sering mendapat kunjungan dari warga asing yang datang di Ndetundora 3, Kecamatan Nuabosi Kabupaten Ende.

Kehadiran Angel membawa berkah tersendiri. Walaupun dalam kondisinya yang memrihatinkan, namun Tuhan berkehendak lain baginya. Elisabeth menceritakan, saat dia sedang pusing memikirkan biaya pendaftaran anaknya yang sulung ke sekolah menengah pertama (SMP), hingga terpaksa meminjam barang milik tetangga untuk digadaikan, tiba-tiba keesokan harinya petugas dari Dinas Sosial datang membawa uang Rp1 juta lebih untuk Angel.

Uang itu merupakan bantuan Departemen Sosial dalam program jaminan social bagi penyandang cacat berat yang diberikan setiap bulan sebesar Rp300 ribu per anak. Pencairannya dilakukan setiap semester namun terkadang juga dicairkan sekaligus untuk satu tahun. Elisabeth mengakui, uang bantuan itu sangat mendukung pemeriksaan dan pengobatan rutin bagi Angel. Uang itu juga untuk membiayai hidup Anggel. Sisanya disimpam di koperasi yang dapat diambil jika Angel sakit dan membutuhkan biaya pengobatan. Bantuan yang diterima ini sudah berjalan selama dua tahun terakhir.

Saat menerima bantuan seperti itu, dia terkadang merasa sedih. Air matanya tidak dapat dibendung. “Saya sedih karena terima bantuan bukan dari keringat saya tapi karena anak saya yang kondisinya seperti ini,” Katanya.

Perasaan malu memiliki anak seperti Angel kian hari kian sirna. Banyaknya bimbingan dan pertemuan dengan anak-anak lain yang kondisinya seperti Angel membuatnya sadar bahwa bukan hanya anaknya saja yang mengalami kondisi seperti itu. Masih banyak anak lain yang kondisinya seperti Angel. Apalagi, setelah mengikuti pelatihan yang dilaksanakan Flores Institute for Resources Development (FIRD) yang memberikan perhatian khusus bagi aak-anak penyandang cacat pengetahuannya mulai terbuka. Apalagi dari lima anaknya, hanya Anggel yang mengalami kondisi kecacatan seperti itu. Bayangan bahwa anak cacat merupakan kutukan tidak ada lagi. Bahkan dia mulai mempelajari cara merawat dengan baik anaknya yang sakit itu. Dia juga tidak lagi bersedih walaupun kini anaknya hanya bisa menangis dan sesekali tertawa.*

Faktor Genetika dan Lingkungan

Dokter Sumekto, seorang dokter spesialis dari Laboratorium/UPF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya mengatakan, berbicara soal kecacatan dan penyebab kecacatan pada anak sebaiknya diketahui terlebih dahulu sedikit tentang pertumbuhan dan perkembangan anak. Menurutnya, ada dua faktor utama yang berpengaruh pada tumbuh kembang anak yaitu faktor genetika yang memberikan peran sebesar 40 persen dan faktor Lingkungan (Biopsikososial) berperan sebesar 60 persen.

Berbicara soal faktor genetika dapat dikemukakan secara sederhana, misalnya anak yang dilahirkan dari ayah dan ibu yang fisiknya tinggi besar, akan tumbuh menjadi tinggi dan besar juga. Sebaliknya, bayi yang lahir dari ayah dan ibu yang ada hubungan darah atau ibu yang lanjut usia punya resiko menjadi bayi yang cacat. Sementara terkait faktor lingkungan sedikit lebih besar pengaruhnya oleh karena lebih banyak macamnya. Antara lain, gizi dan makan minum anak, penyakit yang kronis atau penyakit yang sering kambuh. Kekurangan hormon pertumbuhan, keadaan sosial dan ekonomi, stimulasi dan rangsangan.

Semua hal tersebut yang termasuk dalam faktor lingkungan, apabila dapat dipenuhi atau dapat dihindari secara logis pasti pertumbuhan dan perkembangan anak akan lebih baik. Juga sebaliknya, apabila ada faktor gangguan dan tak dapat terpenuhinya faktor di atas, akan terjadi pertumbuhan dan perkembangan anak yang tak sempurna, bahkan bisa terjadi kecacatan.

Dokter Sumekto mengatakan, gangguan tumbuh dan Kembang yang mengakibatkan Kecacatan apabila digolongkan menurut kejadiannya gangguan tersebut dapat terjadi pada masa-masa pranatal (sebelum lahir). Ada wanita yang punya resiko tinggi (factor genetic) akan punya bayi cacat antara lain punya penyakit keturunan dalam keluarga, bersuami yang ada hubungan darah, pekerjaan suami atau istri yang ada kaitannya dengan terjadinya perubahan genetic, misal bahan radioaktif, industri logam berat, zat beracun. Setelah itu, yang berbahaya adalah gangguan pada kehamilan terutama pada trimester pertama, karena pada saat ini pertumbuhan janin pada tahap embryogenesis sehingga bila terjadi gangguan sedikit saja, bisa terjadi cacat ganda. Gangguan pada masa ini bisa berupa obat (jamu), infeksi, virus, bahan radioaktif, keracunan logam berat, ibu merokok, kecanduan obat atau penyakit ibu.

Kelainan yang bisa terjadi berupa cacat bawaan pada otak oleh karena obat/ jamu, virus, cacat tuna rungu, mata, jantung oleh infeksi virus, lahir premature atau berat lahir rendah dengan segala risikonya oleh karena ibu merokok, kecanduan obat, penyakit ibu. Penyebab kecacatan pada masa prenatal/ genetic ini punya andil sebesar 70 persen dari seluruh kecacatan pada anak.

Kedua adalah masa natal (lahir). Gangguan pada masa lahir ini adalah bayi lahir kecil premature, bayi lahir tak menangis (asfiksia), infeksi otak, trauma kelahiran sehingga terjadi kerusakan otak, syaraf. Semua ini dapat menyebabkan terjadinya cacat yang sifatnya tunggal maupun ganda. Masa lahir ini punya andil sebesar delapan persen sebagai penyebab cacat pada anak.

Dan ketiga adalah pada pasca natal (Postnatal). Dikataka, yang berperan terbanyak sebagai gangguan pada masa ini adalah kurang gizi, infeksi yang kronis dan berulang, juga infeksi otak. Selain itu juga akibat kecelakaan, penyakit dengan kejang, kekurangan hormon tiroid (hipotiroidi) dan kurangnya stimulasi atau pemenuhan emosi oleh orang tua. Bentuk cacat yang terjadi pada gangguan masa pascanatal ini bisa banyak/multiple, bisa juga tunggal, termasuk juga gangguan perilaku.

Dokter Sumekto mengatakan, pada umumnya cacat yang sudah nampak pada usia 0-3 tahun, biasanya tergolong cacat mental yang berat misalnya kelumpuhan otak (cerebral palsy). Sedangkan cacat yang diketemukan pada usia 3-6 tahun (prasekolah) biasanya cacat ringan seperti cacat mental ringan, cacat wicara/rungu dan gangguan perilaku.

Secara garis besar gangguan perkembangan atau cacat dapat dibagi dalam 3 golongan besar yaitu pertama sejak awal perkembangan lambat tapi ada perkembangan meskipun dibawah normal (static congenital brain damage). Misalnya kelainan genetika seperti syndrome down. Kedua, awalnya perkembangan baik kemudian terhenti total (development arrest) dan ketiga, sejak awal tak ada perkembangan bahkan melorot, karena terjadi kerusakan otak makin parah (degenerative brain disease). Umumnya golongan pertama hanya memerlukan penanganan edukatif, sedangkan pada golongan kedua dan ketiga memerlukan penanganan secara medik.

Deteksi dini terhadap gangguan tumbuh kembang balita menurut Dokter Sumekto merupakan upaya untuk menemukan gangguan tumbuh kembang/kecacatan balita, sehingga pencegahan, pemulihan dapat dilaksanakan secara tepat dan terarah, untuk membantu balita cacat berkembang secara optimal sesuai kemampuannya. Sasaran adalah anak usia 0-6 tahun yang dideteksi adalah kelainan ukuran tubuh, fungsi serta bentuk alat/organ tubuh yang berperan dalam pertumbuhan serta perkembangan anak. *

Anak Terlahir Bersih

Qullu Lau Muddin Alal Fitrah” yang artinya setiap anak yang lahir itu bersih, suci dan fitrah, tanpa dosa. Yang berdosa adalah orangtua mereka. Nukilan ayat Al Qur’an ini mau mengatakan bahwa, anak cacat sekalipun yang dilahirkan ke dunia adalah fitrah, bersih dan suci. Mereka terlahir tanpa dosa walaupun mereka terlahir dalam keadaan cacat. Kecacatan yang mereka alami bukan karena dosa mereka tetapi karena perbuatan menyimpang dan nakal orangtua mereka yang pada saat menikah kemungkinan sudah menderita penyakit kelamin. Di dalam ajaran Islam, anak-anak yang dilahirkan cacat adalah anak-anak yang tidak berdosa.

Pendapat ini dikemukakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Ende, Haji Abdulrahman Aroeboesman. Ajaran Islam sangat tidak mentolerir perendahan terhadap derajat para penyandang cacat. Para penyandang cacat justru harus dilindungi. Islam mengajarkan bahwa yang kaya membantu yang miskin, orang mampu menolong yang lemah dan orang pintar membantu membuat orang bodoh menjadi pintar. Karena itu, keberadaan para penyandang cacat wajib hukumnya untuk diperhatikan. Derajatnya sama di mata Allah dengan orang normal lainnya. Rasullulah Muhamad Darasullulah sangat menyayangi anak-anak cacat dan yatim piatu. Mereka adalah kecintaan Allah.

Para penyandang cacat, kata Abdulrahman Aroeboesman harus didudukan sesuai ketentuan-ketentuan agama. Mereka harus dihormati dan dihargai sebagaimana manusia-manusia normal lainnya. Islam merupakan agama yang membawa rahmat bagi semua ciptaan. Selama ini ada pemahaman keliru di masyarakat yang mengatakan bahwa anak yang lahir di luar nikah tidak boleh menjadi imam di masjid. Daging yang berasal dari hewan yang disembelih oleh mereka tidak boleh dimakan. Pemahaman seperti itu adalah pemahaman yang keliru karena tidak sesuai dengan ajaran agama. Karena anak yang lahir itu suci dan anak adalah rahmat. “Kalau umat Muslim memperlakukan anak cacat tidak sebagai rahmat maka mereka sudah melanggar sunah Rasullulah,” kata Abdulrahman Aroeboesman. Umat muslim hukumnya wajib untuk menghargai seluruh ciptaan-NYA termasuk para penyandang cacat. “Jangan dilihat cacatnya tetapi lihat dia sebagai ciptaan Allah dan kemuliaannya ada pada ketaqwaannya kepada Allah.” Allah memberikan kelebihan di dalam kondisi kecacatan yang dialami para penyandang cacat. Allah menunjukan kebesaran-NYA kepada mereka yang cacat. Walau mereka cacat namun masih mampu berbuat sesuatu yang tidak saja berguna bagi diri mereka sendiri, tetapi juga dapat dinikmati manusia normal lainnya. Walau tanpa tangan atau kaki, para penyandang cacat masih mampu berbuat sesuatu. Ada yang mampu melukis walau menggunakan kaki. Mereka mampu menghasilkan karya yang dapat diberikan kepada yang lain. Ada yang matanya buta namun mampu menyumbangkan karya seni melalui alunan lagu yang merdu dan dapat dinikmati semua ciptaan-NYA di dunia ini. *

Belum Sepenuhnya Disentuh

Keberadaan para penyandang cacat di Kabupaten Ende memang belum sepenuhnya dilirik. Kepala Dinas Sosial Kabuaten Ende,Siprianus Reda Lio yang selama ini mengurus para penyandang cacat mengatakan, hingga saat ini, baru 163 penyandang cacat berat yang mendapatkan bantuan rutin setiap bulan. Padahal, jumlah penyandang cacat berat yang ada di Kabupaten Ende saat ini mencapai 264 orang. Masih terdapat sebanyak 101 penyandang cacat berat yang sama sekali belum mendapatkan perhatian dari pemerintah. Kondisi yang sangat memprihatinkan namun hal itu karena kondisi keuangan daerah yang belum memungkinkan. Bantuan yang diterima para penyandang cacat tetap itu juga merupakan bantuan dari pemerintah pusat melalui Departemen Sosial dalam program jaminan social bagi penyandang cacat berat. Sedangkan dari pemerintah kabupaten sendiri belum ada alokasi dana untuk membantu para penyandang cacat. Dinas sudah berupaya mengusulkan ke pemerintah pusat untuk mengakomodasi para penyandang cacat berat yang hingga saat ini belum kebagian bantuan. Namun usulan itu belum terjawab. Usulan juga diajukan ke APBD kabupaten namun mengingat keterbatasan anggaran sehingga sejauh ini belum ada bantuan rutin bagi para penyandang cacat berat.

Sedangkan untuk penyandang cacat ringan, kata Sipri Reda Lio, pemerintah daerah melalui dinas telah berupaya memberikan pelatihan keterampilan bagi mereka. Selain pelatihan keterampilan seperti menjahit, otomotif dan pertukangan di kabupaten, para penyandang cacat juga dikirim mengikuti pelatihan keterampilan di luar daerah. Baru-baru ini, dinas mengirim delapan orang penyandang cacat untuk mengikuti kursus menjahit dan elektronik di Ujung Pandang. Ada juga yang dikirim mengikuti pelatiha keterampilan di Kupang dan Naibonat.

Selain memberikan pelatihan keterampilan kepada mereka, para penyandang cacat juga diberikan bantuan berupa peralatan kerja untuk membantu mereka mengembangkan usaha dari keterampilan yang sudah mereka dapat selama pelatihan. Dari pelatihan keterampilan yang diberikan kepada mereka, kata Sipri Reda Lio, para penyandang cacat diharapkan bisa memanfaatkan keterampilan yang diperoleh agar bisa mandiri dalam usaha. “Mereka yang sudah ikut pelatihan sekarang ada yang sudah bisa bangun usahanya sendiri seperti usaha menjahit dan usaha tambal ban,” kata Sipri Reda Lio.

Dia mengakui, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah belum sepenuhnya memberikan sentuhan kepada semua penyandang cacat. Bantuan bagi penyandang cacat berat saja hanya sebagiannya saja. Sedangkan bagi penyandang cacat ringan, pemerintah baru mampu membantu mereka yang sudah dewasa untuk diberikan pelatihan-pelatihan keterampilan. Sedangkan untuk anak penandang cacat usia sekolah 0-18 tahun belum sepenuhnya diperhatikan.

Untuk pendidikan anak-anak penyandang cacat, di Kabupaten Ende hanya memiliki satu sekolah luar biasa yang mendidik anak penyandang cacat mulai dari jenjang sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Karena hanya memiliki satu sekolah luar biasa dan letaknya di ibukota kabupaten, akses anak-anak penyandang cacat di desa-desa terpencil menjadi sulit. Kondisi ini menyebabkan, belum seluruh anak cacat usia sekolah mengenyam pendidikan. Pemerintah daerah sejauh ini, kata Siri Reda Lio memang belum memikirkan untuk membangun sekolah negeri yang khusus untuk mendidik anak penyandang cacat ini.

Dina, katanya, memang berkeinginan untuk memberikan perhatian khusus bagipenyandang cacat. Namun, keterbatasan dana menjadi kendala. Bantuan yang diberikan kepada penyandang cacat yang dialokasikan pemerintah pusat sebesar Rp3000 per anak per hari dan bantuan Rp300 ribu per anak per bulan bagi penyandang cacat berat serta pelatihan keterampilan bagi para penyandang cacat sebenarnya belum mampu menyentuh semua penyandang cacat yang ada di Kabupaten Ende. Namun, kata Reda Lio, setidaknya pemerintah sudah berbuat sesuatu bagi penyandang cacat.

Terkait minimnya sarana pendidikan, tidak dapat dipungkirinya. Masih banyak anak cacat usia sekolah yang belum bisa mengenyam pendidikan. Dia merencanakan untuk bekerjasama dengan sejumlah panti asuhan yang ada di Ende agar bisa mengintegrasikan pendidikan sehingga anak-anak penyandang cacat yang ditampung di panti bisa mendapatkan hak atas pendidikan.

Berdasarkan data, Jumlah penyandang cacat di Kabupaten Ende saat ini sebanyak 4.212 jiwa. Dari jumlah ini, cacat berat sebanyak 264 orang, cacat tubuh sebanyak 2.139 orang, tuna netra sebanyak 477 orang, tuna rungu wicara sebanyak 582 orang dan cacat mental sebanyak 419 orang. Eks penyakit kronis sebanyak 122 orang dan bibir sumbing sebanyak 10 orang. *

FIRD Bangun PAUD

Masalah-masalah yang dihadapi oleh orang tua dan kaum penyandang cacat di antaranya masalah kesehatan, ekonomi keluarga, pendidikan dan budaya.Sebagian besar orang tua dan masyarakat pada umumnya, tidak serius dalam menangani masalah kesehatan anak-anak mereka yang cacat. Masalah ini juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi keluarga yang sulit menjangkau biaya kesehatan. Terhadap faktor pendidikan, anak-anak penyandang cacat sulit mendapatkan akses pendidikan sebagaimana dialami oleh anak-anak normal lainnya. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kemauan orang tua untuk mengantarkan anak mereka ke lembaga pendidikan. Selain itu, hal ini dipengaruhi juga oleh ketiadaan sekolah yang menangani khusus anak-anak cacat. Kalaupun ada sekolah, adanya hanya di ibukota kabupaten sehingga membuat akses anak-anak cacat di daerah pedesaan semakin sulit.

Masalah lain yang dijumpai, adalah stigma masyarakat terhadap penyandang cacat sebagai orang yang tidak memiliki potensi sama sekali dan menghubungkan kecacatan dengan penyakit keturunan sebagai akibat kesalahan orang tua pada masa lalu. Padahal, bila melihat dari sisi keterampilan, banyak anak cacat mampu berkompetisi dengan orang lain. Bahkan karya-karya anak cacat itu dinikmati oleh orang banyak. Dan masalah kecacatan, sesungguhnya tidak ada hubungan sama sekali dengan kesalahan orangtua atau turunan masa lalu, tetapi ini murni karena masalah gizi ibu hamil dan bayi.

Kondisi ini masih ditambah lagi dengan masih kurangnya perhatian bagi para penyandang cacat dari pemerintah. Kondisi ini mendorong Flores Institute for Resources Development (FIRD), sebuah konsorsium lembaga swadaya masyarakat di Pulau Flores, yang berkedudukan di Kabupaten Ende mulai memberikan perhatian dan peran penting dalam membantu para penyandang cacat di daerah ini. Pendampingan, pelatihan dan mendorong pembuatan alat bantu bagi penyandang cacat dilakukan FIRD di 11 desa dampingan yang tersebar di sejumlah kecamatan.

Mersiana Bhara, Koordinator Program Pendampingan Penyandang Cacat FIRD mengatakan, semula banyak orangtua yang masih enggan berkumpul dan membawa anak mereka yang cacat untuk bergabung bersama. Namun setelah terus menerus diberikan pemahaman, mereka akhirnya mau bergabung. Bersama orangtua penyandang cacat diuapayakan berbagai cara untuk mengatasi kondisi kecacatan yang dialami anak-anak penyandang cacat. FIRD, kata Mersiana lebih konsen mendampingi anak-anak penyandang cacat karena anak-anak cacat selain masih kurang mendapatkan sentuhan, juga karena dengan mendampingi anak-anak cacat mereka akan lebih mudah dilatih dan dibimbing untuk belajar mandiri.

Selama proses pendampingan, kepada orangtua anak cacat, diberikan pemahaman dan tambahan pengetahuan terkait kondisi kecacatan yang dialami anak mereka. Menurut Mersiana, dengan lebih tahu kondisi kecacatan yang anak mereka alami, para orangtua perlahan mampu memahami keadaan anak mereka dan semakin hari mereka akhirnya mampu memberikan perhatian dan perawatan bagi anak mereka. Bahkan, dengan pendampingan dan pertemuan rutin yang dilakukan, para orangtua yang semula malu terhadap kondisi kecacatan yang dialami anak mereka dan hanya berpasrah terhadapa keadaan, akkhirnya perlahan mulai keluar dari kungkungan itu. Para orangtua anak penyandang cacat mulai berjuang keras agar anak mereka bisa mandiri.

Perkembangan menggembirakan ini juga terus mendorong para orangtua penyandang cacat untuk membuat berbagai alat bantu untuk menolong anak mereka. Sejumlah alat bantu seperti kursi khusus untuk anak cacat, kloset duduk buatan sendiri khusus untuk anak cacat dan pembuatan palang sejajar untuk membantu anak cacat beajar berjalan. Upaya-upaya tersebut memang tidak mudah dilakukan. Semula saat diperkenalkan sejumlah alat bantu dan dicoba untuk membuatnya, orangtua penyandang cacat awalnya hanya melihat dan tidak berniat untuk membuatnya. Namun setelah mereka mulai melihat hasil dan manfaatnya bagi anak cacat, akhirnya para orangtua penyandang cacat juga terdorong untuk membuatnya sendiri.

FIRD juga terus mendorong terbentuknya wadah penyandang cacat. Menurutnya, wadah khusus bagi penyandang cacat sangat dibutuhkan. Melalui wadah ini, para penyandang cacat bisa berkumpul dan saling berbagi pengalaman. Melalui wadah itu pula mereka bisa bersama-sama memperjuangkan pemenuhan hak-hak para penyandang cacat. Namun, perjuangan kea rah itu selalu terkendala. Dinas teknis terkait terkadang belum terlalu memberikan perhatian terhadap perjuangan pembentukan wadah bagi penyandang cacat ini. Kondisi ini menurut Mersiana juga disebabkan pejabat yang sebelumnya dipercayakan menduduki jabatan yang konsen mengurus para penyandang cacat dan sudah memiliki perspektif terhadap para penyandang cacat kemudian dipindahkan. Masuknya pejabat baru yang dipercaya menggantikan, belum benar-benar memahami sehingga harus memulai dari awal lagi. Kondisi seperti itulah yang membuat perjuangan mewujudkan satu wadah bagi para penyandang cacat menjadi terkatung-katung.

Dalam proses perjalanan, setelah mencermati bahwa di Kabupaten Ende terdapat sebanyak 4.557 orang penyandang cacat yang berusia 0-18 tahun dan dari jumlah ini masih banyak yang belum menikmati pendidikan. Konsorsium ini akhirnya memutuskan untuk membangun dua buah sekolah di Ende untuk penyandang cacat, yakni di Nuabosi, Kecamatan Ende dan Wolosambi di Kecamatan Lio Timur, Kabupaten Ende. Sekolah yang dibangun tersebut menjadi sekolah model yang sifatnya terbuka, tidak hanya untuk anak-anak yang cacat, tetapi juga mereka yang normal, terutama dari kalangan keluarga yang tidak mampu.

Munculnya gagasan pembangunan sekolah ini, katanya, karena sekolah-sekolah umum tidak mau menerima anak-anak penyandang cacat. Pemisahan seperti inilah yang mendorong FIRD untuk memfasilitasi pembangunan sekolah bagi penyandang cacat dan terbuka untuk umum. Pembangunan sekolah usia dini bagi penyandang cacat itu berawal dari pelaksanaan program pendampingan yang dilakukan oleh konsorsium terhadap orangtua
dan anak penyandang cacat yang ada di Nuabosi dan Wolosambi. Setelah mencermati dan mendalami masalah dan tantangan yang dihadapi oleh para orangtua di dua wilayah itu, pada Juli 2009 atas fasiltasi FIRD, masyarakat bersepakat untuk mendirikan sebuah sekolah usia dini.

Sekolah yang dibangun ini, diberi nama Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan menjadi sekolah model, karena selain menjadi milik masyarakat, juga mengembangkan sistem pendidikan bagi mereka yang berkebutuhan khusus atau penyandang cacat. Sesuai hasil pertemuan bersama antara pemerintahan desa, orangtua, masyarakat, dan FIRD, kegiatan belajar di sekolah itu efektif mulai 24 Juli 2009. Kegiatan belajar mengajar dilaksanakan setiap Rabu dan Sabtu dengan meminjam ruangan Puskemas Pembantu meningat program pendidikan ini juga diintegrasikan dengan program kesehatan bagi para penyandang cacat. Terkait insentif guru dan kelengkapan sarana dan prasarana PAUD, pemerintah desa, orangtua murid dan masyarakat menyiasatinya dengan dana iuran, dana wajib bulanan, dan dana pendaftaran murid.

Keberadaan lembaga pendidikan khusus bagi anak cacat memang masih sangat minim. Untuk pendidikan anak usia dini saja baru mulai dirintis oleh FIRD. Sekolah luar biasa (SLB) pun hanya satu di Kabupaten Ende. Sekolah untuk anak berkebutuhan khusus ini didirikan dan mulai beroperasi sejak September 1986. Waktu itu masih bernama Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri Ende. Dalam perjalanan selama lebih kurang 17 tahun, pada tahun 2003, SDLB Negeri Ende berubah nama menjadi Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Ende.

Perubahan nama dari SDLB Negeri Ende menjadi SLB Negeri Ende, menurut penjelasan Kepala SLB Negeri Ende, Yosef Koda dilakukan hanya untuk menjamin keberlangsungan pendidikan anak yang sekolah di lembaga tersebut. Jika hanya dinamakan sekolah dasar luar biasa maka jenjang pendidikannya hanya untuk anak sekolah dasar. Itu berarti setamat SDLB mereka harus melanjutkan ke SMPLB dan SMALB di tempat lain. Atau bahkan mereka harus putus sekolah. Demi menjamin para anak cacat ini tetap memiliki kesempatan menimba pendidikan sampai ke jenjang SMP dan SMA, bahkan bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, SDLB kemudian dirubah menjadi SLB. Saat ini, setelah mnamatkan SD, para siswa dapat melanjutkan ke jenjang SMP dan kemudian ke jenjang SMA. Hasilnya cukup menggembirakan. Tahun 2011 ini, baik tinkat SD dan SMP para siswanya lulus 100 persen. Sedangkan jenjang SMA baru memasuki tahun ketiga dan baru tahun depan bisa menggelar ujian nasional.

SLB Negeri Ende saat ini tengah membina 107 siswa dari jenjang SD, SMP dan SMA. Kebanyakan mereka mengalami tuna grahita yakni sebanyak 84 orang. Tuna rungu wicara 18 orang, tuna netra ada empat orang, tuna daksa satu orang sedangkan tuna laras tidak ada. Yang duduk di bangku sekolah dasar sebanyak 80 orang, sekolah menengah pertama ada 22 orang dan lima orang lainnya duduk di sekolah menengah atas.

Dari 107 anak cacat yang dibina di SLB Negeri Ende ini, mereka tidak saja diajarkan belajar membaca, menulis dan menghitung. Namun, konsentrasinya lebih pada keterampilan. Mereka diajarkan beberapa jenis keterampilan seperti tata boga, tata busana dan tat arias. Bahkan dari pendampingan dan pembelajaran keterampilan yang diberikan itu, para siswa sudah menunjukan kemampuan. Misalkan untuk keterampilan tata boga, para siswa sudah bisa membuat aneka kue yang kemudian dijual kepada para guru. Keterampilan tata busana, para siswa dibawah bimbingan para guru sudah mulai mampu menjahit dan menggambar pola baju. Bidang keterampilan tat arias pun demikia. Mereka sudah mampu merias dan meluruskan rambut dengan fasilitas yang cukup memadai.*

Mengabdi Sebagai Orangtua Kandung

Di SLB Negeri Ende, kata Yosef Koda dia sudah mengabdi sejak sekolah ini dioperasikan awal pda tahun 1986. Saat ini, terdapat 26 orang guru yang mengabdi dan membimbing para anak cacat ini. Dari jumlah ini, 13 guru PNS, enam guru kontrak provinsi dan empat lainnya guru kontrak komite. Keberadaan para guru di sekolah ini sangat membantu para siswa. Dengan kondisi anak didik yang serba terbatas, para guru harus bisa lebih sabar dalam menanganinya. Keberadaan anak didik yang masih sangat membutuhkan perhatian dan pendampingan, para guru harus bertindak juga sebagai orangtua dari para siswa. Terkadang, para guru harus membantu membersihkan diri mereka saat buang air besar. “Kalau tidak sabar tidak bisa. Guru-guru di sini mengabdi bukan karena profesi tapi karena pengabdian. Hadapi anak-anak dengan keterbatasan seperti ini butuh ketabahan,” kata Yosef Koda.

Dia mengakui,walau dalam keterbatasan sarana dan prasana di sekolah harapannya adalah anak didiknya bisa mandiri di kemudin hari dan tidak hanya bergantung pada orang lain. Di SLB Negeri Ende, kata Yosef Koda, ruangan kelas masih sangat terbatas untuk diisi oleh 107 siswa. Apalagi dengan kondisi mereka seperti itu yang membutuhkan penanganan khusus, sangat dibutuhkan ruagan yang banyak untuk ditempati sebagai ruangan belajar. Satu ruangan tidak bisa diisi terlalu banyak sisiwa. Dengan kondisi ruangan saat ini yang terbatas, terpaksa ruangan kelas yang sudah kecil karena sudah disekat dibagi lagi. Ruangan hanya bisa disusun dua baris meja tidak bisa lebih. Ruangan yang kecil itu jelas sangat tidak mendukung kegiatan belajar. Pelajaran yang diberikan diruangan sebelah akan sangat mengganggu pelajaran di ruangan sebelahnya. Namun itu tidak menyurutkan kegigihan para guru dalam mendampingi para siswa.

Bantuan pemerintah Provinsi NTT dan pemerintah kabupaten Ende memang ada. Dari provinsi setiap tahun memang mengalokasikan bantuan dana untuk sarana prasarana namun belum bisa menjawab semua kebutuhan. Demikian juga bantuan pemerintah kabupaten, ada bantuan biaya operasional sekolah (BOS) dan tahun 2010 kemarin ada bantuan pembangunan ruang perpustakaan. Tetapi semua bantuan yang diterima lagi-lagi belum menjawab kekurangan ruangan kelas yang masih dialami di sekolah tersebut.

Pegabdian tanpa pamriah ditunjukan Yulita Delima Dambho. Selain mengabdi sebagai guru, dia juga dipercaya pihak Yayasan Karya Dharma yang menaungi Panti Anak Cacat Pati Ji’e Pama Pawe sebagai koordinator panti. 24 jam dia mengabdikan hidupnya di SLB dan di panti. Wanita lajang ini setiap hari hidup bersama para penyandang cacat di panti. Selain sebagai guru dia juga sebagai orangtua anak-anak di panti. Orangtua anak panti yang jarang mengunjungi anak mereka akhirnya lebih dekat dengannya. Itu terjadi juga di sekolah. Walau mereka sudah duduk di kelas dua, namun anak-anak lebih dekat dengannya dan sering kembali ke kelas satu. Dengan ketabahan dia mendampingi dan mengajarkan anak-anak tuna rungu wicara melafal angka fan huruf. Betapa sulitnya dia harus menguang setiap huruf dan angka yang dilafalkan. Satu angka atau huruf harus diulang berulang kali sampai anak mampu melafalkannya. Itu pun belum sempurna seperti yang diharapkan.

Sebagai koordinator panti, dia harus mampu mengurus seluruh kebutuhan 50 anak asuhnya. Anak-ana panti yang diwajibkan menyetor uang Rp25 ribu dan 20 kg beras setiap bulan kadang juga tidak dipebuhi orangtua mereka. Bahkan ada anak yang selama setahun hanya menerima 20 kg beras dari orangtua mereka. Selebihnya menjadi tanggungjawab panti. “Kadang orangtua yang sudah menyerahkan anaknya ke pantai melepas sepenuhnya. Tidak pernah lagi mereka datang mengunjungi anak mereka. Itu berarti kebutuhan mereka sehari-hari jadi tanggungjawab panti,” katanya. Bantuan dari pemerintah yang dialokasikan Rp3000 per anak per hari sangat tidak mencukupi kebutuhan anak-anak. Kadang, dia dan dua rekannya di panti harus berbagi uang gaji mereka untuk memenuhi kebutuhan anak-anaka. Donator luar pun terkadang sulit didapatkan. Memang ada bantuan dari donator namun itu pun tidak rutin. Ditambahlagi tanggungjawab pihak yayasan yang sama sekali tidak ada membuat mereka harus berjuang sendiri demi anak-anak asuhnya di panti.

Eva dan Venta, dua dari 107 siswa di SLB Negeri Ende. Venta, menderita tuna daksa sedangkan Eva mnderita tuna netra. Eva yang banyak omong membuat suasana lebih akrab. Sabtu, 9 Juli 2011, keduanya sedang menonton TV di anti usai menyiapkan makan siang. Eva berasal dari Wewaria. Sat liburan sekolah ini, dia tidak pulang karena tidak dijemput orangtuanya. Ibu tirinya sering memukulinya sehingga ayahnya membawanya masuk panti. Dia jarang dikunjungi sehingga kurang mendapatkan perhatian. Tapi Eva bilang, dia senang tinggal di panti karena banyak teman. Dia juga mendapatkan perhatian dari pengurus pantai. Sekarang dia duduk di kelas V sekolah dasar dan ingin bisa selesaikan sekolahnya. Walau belum tahu apa cita-citanya, Eva ingin terus bersekolah.

Saat liburan usai, Eva begitu bahagia bisa bertemu dan bersama lagi dengan teman-temannya yang sudah pulang dari berlibur. Sambil asyik menikmati permen, Eva bilang dia mau punya keterampilan. Walau matanya kurang jelas melihat, Eva tidak mau hanya pasrah terhadap keadaan. Dia mau maju.

Berbeda dengan Eva, Venta agak malu-malu. Dia bicara seadanya. Dia juga tidak pulang berlibur karena tidak dijemput orangtua. Walau daya tangkapnya sangat rendah, namun Venta ingin terus belajar. Dia tidak mau dianggap sepele karena bodoh dan tidak berpendidikan. Bahkan, Venta bertekad untuk terus sekolah karena cita-citanya ingin menjadi biarawati. *

Dari Menjahit Hingga Ketua Forum Penyandang Cacat

Dua tongkat di kiri dan kanan tangannya tak dapat dilepaskannya ketika dia berjalan. Kedua alat bantu jalan itu baru dia lepaskan ketika duduk. Kaki kirinya terserang polio saat usianya genap setahun. Ahmad Yani Tahir, pria kelahiran 1968 ini pernah menjadi transmigran di Kecamatan Muara Wahau, Kalimantan Timur pada tahun 1987 setamatnya dari MAN Ende. Namun di Muara Wahau, Yani, sapaan keseharian pria ini mengambil keputusan untuk pulang ke Ende pada tahun 1989 karena merasa tidak cocok dengan situasi di sana apalagi, waktu dia tidak punya apa-apa. Sekembalinya di Ende, tidak bertahan lama. Dia lalu memutuskan untuk berangkat ke Bima Provinsi NTB untuk mencari kerja. Di sana dia bekerja pada percetakan penyandang cacat di Monggonao NTB. Saat bekerja di percetakan penyandang cacat itulah membuat pikirannya terbuka. Dia menyadari bahwa penyandang cacat juga bisa bangkit dan berjuang dengan kemampuan yang ada dan dimiliki.

Setahun bekerja di percetakan penyandang cacat Monggonao, Yani kemudian memutuskan untuk pulang lagi ke tanah kelahiran. Berbekal keberanian dan tekad, dia menemui pihak Dinas Sosial Kabupaten Ende dan meminta agar dikirim ke salah satu panti untuk bisa belajar keterampilan. Tahun 1992, hasratnya memiliki keterampilan khusus sesuai minatnya terwujud. Dia diberangkatkan menuju Panti Sosial Bina Daksa Wirajaya di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Selama dua tahun di sana, Yani menekuni keterampilan menjahit hingga mahir dan akhirnya pulang lagi ke Ende tahun 1994.

Yani kecil memang anak yang berprestasi di sekolah. Walau dengan kondisi kaki kirinya yang kurang normal akibat polio mendera, dia tetap menjadi anak berprestasi. Di SDN Arubara Kecamatan Ende, Yani kecil menjalani masa-masa sekolahnya. Dengan keterbatasan yang ada padanya, tidak membuatnya minder dan rendah diri karena merasa didukung sepenunya oleh kedua orangtuanya yang selalu berpesan agar dia harus mengenyam pendidikan. Pergaulan bersama sesama teman di sekolahnya berjalan normal. Dai juga diterima dengan baik oleh teman-temannya. Kekurangan yang ada pada fisiknya tidak menjadi baha olokan namun dia diterima apa adanya. Hingga menamatkan sekolah dasarnya tahun 1987 dan melanjutkan studinya ke Mts Negeri Ende, prestasi tetap ditorehnya. Setamat SMP, Yani lalu melanjutkan sekolah di MAN Ende. Tidak ada kesulitan apapun yang dia alami di sekolah regular seperti itu hingga menamatkan seluruh jenjang pendidikan.

Di Panti Sosial Bina Daksa Ujung Pandang, Yani mulai belajar menjahit. Berbekal keterampilan yang dipelajari di Panti Sosial Bina Daksa, Yani kembali lagi ke Ende tahun 1994. Merintis usaha hanya berbekal keterampilan memang sulit. Waktu kembali dari Ujung Pandang, dia tidak dibekali peralatan. Untuk bisa menjalankan usaha dari bekal keteramilan menjahit yang sudah diperoleh, Yani mencoba meminta satu unit mesin jahit milik Dinas Sosial yang sudah rusak. Berbekal mesin jahit rongsokan itu, Yani merintis usaha menjahitnya. Satu-satunya bantuan yang dia terima dari pemerintah daerah adalah mesin jahit rongsokan yang digunakannya merintis usaha menjahit. Selebihnya hingga saat ini belum ada sentuhan dari pemerintah.

Sejalan dengan rintisan usaha menjahitnya yang mulai maju, Yani pun berani maju ke pelaminan. Dia mempersunting Fulkan Bara, gadis manis asal Ngaluroga Kecamatan Ndona Kabupaten Ende di tahun 1996 dan masih di tahun yang sama, pasangan suami istri ini dikaruniai Irwan yang saat ini duduk di bangku kelas 3 SMPN Ende Selatan. Empat tahun kemudian, mereka kembali dikaruniai Sang Ilahi seorang putrid yang diberi nama Lisnawati yang kini berada di kelas 5 SDN Rodja III. Kebahagiaan keluarga ini dilengkapi Allah pada tahun 2005 melalui kehadiran putra bungsu mereka Rifki, siswa kelas 1 SDN Rodja III.

Namun kebahagiaan keluarga sakinah ini seiring kemajuan usaha menjahit sang ayah seakan pupus ketika sang ibu mulai jatuh sakit. Berbagai daya upaya dilakukan Yani demi kesembuhan sang istri. Jerihpayah dan kerja keras selama ini dia upayakan demi kesembuhan sang istri. Namun, rupanya Sang Khalik berkehendak lain. Sang istri dan ibu dari anak-anaknya dipanggil menghadap hadirat-NYA di bulan Mei 2009. Rumah tangga yang dibangunnya seakan hilang dalam sekejap. Rumah yang coba dia bangunpun tidak dapat dilanjutkan. Usahanya juga mulai seret. Modal usahanya Rp30 juta lebih sudah habis dipakai berobat sang istri. Dia harus memulai dari nol lagi.

Mesin jahit bekas dari Dinas Sosial sudah lama rusak sejak 1997 dan dia sudah kembali membeli mesin jahit bekas. Bodi mesin lama dari Dinas Sosial digunakan untuk mbekas yang baremasang mesin jahit bekas yang baru dibelinya. Usahanya semula mengontrak di seputaran Jalan Melati Kota Ende. Namun sejak istrinya meninggal dan dia harus mengurus sendiri anak-anaknya, Yani memutuskan menjalakan usaha menjahit di rumah kakaknya di Arubara Kelurahan Tetandara Kecamatan Ende Selatan. Mesin obras dan mesin pelubang kancing yang dibelinya dari hasil usahanya itu dipindahkan seluruhnya ke rumah. Mesin obras miliknya juga sudah rusak. Walau berpindah lokasi yang sangat jauh dari lokasi usaha sebelumnya, namun para pelanggan setianya selalu membawa bahan yang mau dijahit ke rumahnya di Arubara. “Tidak tahu kenapa mereka semua mau datang cari saya sampai di Arubara,” kata Yani. Walau sempat terpuruk semenjak kepergian sang istri, namun Yani kembali bangkit menjalankan usahanya dan mendidik serta membesarkan ketiga anaknya.

Mengingat pesan instrukturnya saat di Ujung Pandang agarselalu berusaha untuk dapat mengidupi diri sendiri dan setelah itu baru untuk anak-anak dan orang lain, perlahan namun pasti, akhirnya usaha menjahitnya kembali berjalan baik. Walau dengan kaki kananya saja mengenjot mesin jahit, order yang dipercayakan selalu diusahakan diselesaikan tepat waktu. Setiap hari selalu ada order menjahit yang dia terima seperti saat ini ketika menjelang tahun ajaran baru, banyak order menjahit seragam siswa. Ada yang sudah diselesaikan dan ada yang sedang dalam proses penyelesaian. Order lain juga sering didapat dari anggota Kodim 1602 Ende. Kadang orderan menjahit diantar langsung, namun kadang juga dia ditelepon dan mengambilnya di rumah orang yang menelepon. Biasanya mereka mengganti ongkos ojek.

Penghasilannya dari usaha menjahit juga lumayan. “Mau bilang besar tidak juga, tapi cukuplah untuk makan dan bisa biayai sekolah anak-anak,” katanya. Bahkan saat ini, selain menjalankan usaha menjahitnya itu, oleh Dinas Sosial, Yani dipercayakan sebagai salah satu instruktur bagi sesama penyandang cacat lainnya saat dinas melaksanakan kursus menjahit bagi para penyandang cacat. Kepercayaan dinas itu menurut Yani merupakan salah satu bentuk bantuan dari dinas secara tidak langsung yang dia terima. Upah yang dia terima saat menjadi instruktur menurutnya cukup membantu. Upah yang diterima sebesar Rp50 ribu perjam. Dalam sekali masa kursus, dia bisa memberikan kursus selama 80 jam hingga 120 jam. Namun, kursus menjahit itupun tidak setiap saat dilaksanakan. Paling-paling sekali dalam setahun. Menurutnya, usaha menjahit sebenarnya bentuk usaha yang sangat baik bagi penyandang cacat. Menjahit tidak butuh banyak bergerak, tidak membutuhkan banyak tenaga, tidak perlu modal yang terlalu besar. Usaha menjahit juga tidak menguras pikiran.

Sekarang, kata Yani, banyak permintaan untuk bordir. Namun keterampilan membordir belum dimilkinya demikian juga peralatan bordrr. Dia pernah meminta FIRD untuk memfasilitasi pelatihan membordir namun terkendala karena di NTT belum ada tempat yang membuka pelatihan untuk keterampilan membordir dan harus ke Surabaya sehingga belum terlaksana. Dia berharap ke depan ada peluang untuk meningkatkan keterampilannya terutama untuk membordir.

Satu kebahagiaan yang dia rasakan hingga saat ini adalah dari kerja kerasnya itu walaupun sedikit namun sudah mampu membuat kedua orang tuanya bahagia. Tahir Ahad ayahnya dan Umi ibunya sudah merasakan dan menikmati jerih payahnya dari usaha menjahit itu.

Dalam kesehariannya, selain menjalankan usaha menjahit, Yani tidak tinggal diam. Dia juga bergabung bersama FIRD yang mengorganisir para penyandang cacat untuk membentuk wadah penyandang cacat. Perjuangan akan hak-hak penyandang cacat tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri karena akan diabaikan. Namun jika perjuagan itu dilakukan secara bersama apalagi dalam satu wadah yang sah, jelas daya dorong dan dobraknya akan jauh lebih efektif. Semenjak bergabung bersama FIRD dari tahun 2008, hasrat memiliki wadah penyandang cacat itu kian tumbuh subur. FIRD akhirnya membantu memfasilitasi dam Yani dipercayakan sebagai ketua tim penginisiatif pembentukan Forum Penyandang Cacat Kabupaten Ende. Bersama unsur terkait baik organisasi mahasiswa, pemerintah melalui dinas teknis terkait, media massa dan perorangan yang peduli terhadap para pennyandang cacat, berbagai pertemuanpun dilakukan. Hingga bersepakat untuk membentuk Forum Penyandang Cacat Kabupaten Ende. Dalam komposisi kepengurusannya, sepenuhny diisi sesama saudara penyandang cacat dan Ahmad Yani Tahir kembali dipercayakan memimpin biduk organisasi diperjalanan awalnya ini. Forum itu, kata Yani diharapkan nantinya menjadi kekuatan para penyandang cacat dalam memperjuangkan hak-hak kaum penyandang cacat. Dia juga berharap, melalui forum itu pula, mereka nantinya dapat berjuang memperoleh bantuan dana demi kemajuan usaha mereka yang sudah dirintis tersebut.

Namun, kata Yani, di tengah upaya membentuk forum itu, ada saja rintangan yang dihadapi terutama ketika berhubungan dengan birokrasi pemerintah. Organisasi yang diimpikan itu belum juga terwujud walau pertemuan demi pertemuan hingga kompisisi kepengurusan sudah diisi. Berhubungan dengan pemerintah apalagi terkait dengan pendanaan juga gampang-gampang susah. Terkadang, saat mendapatkan informasi adanya bantuan dana bagi penyandang cacat, namun saat didekati untuk mendapatkan kucuran dana bantuan, ternyata jawaban kecewa yang diperoleh.

Kendati bergerak dengan modal sendiri yang pas-pasan, usahanya tetap berjalan maju. Walau demikian, dia merasa saat ini belum waktunya untuk menambah mesin jahit baru. Kebutuhannya belum terlalu mendesak apalagi hanya dia sendiri yang bekerja. Mimpinya ke depan adalah usaha menjahitnya itu bisa berkembang dengan baik dan bisa menjadi satu lapangan kerja terutama bagi sesama saudaranya yang senasib. Saat mengikuti pelatihan di Ujung Pandang, banyak hal yang dia pelajari. Pengorganisasian penyandag cacat di sana sudah berjalan bagus. Koordinasi dengan pemerintah setempat juga berjalan baik sehingga para penyandang cacat mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.

Kepedulian terhadap penyandang cacat diakuinya masih kurang. Di semua fasilitas umum yang ada di Kabupaten Ende, belum ada satupun yang menyiapkan fasilitas khusus bagi para penyandang cacat. Kondisi-kondisi seperti itu sebenarnya dapat diperjuangkan jika para penyandang cacat sudah bergabung dan terhimpun dalam satu wadah. Perjuangan bersama-sama dalam satu wadah organisasi diyakini akan sangat membantu tercapainya cit-cita perjuangan pemenuhan hak-hak bagi penyandang cacat. “Dalam setiap doa, saya hanya memohon, Tuhan berikanlah saya kesehatan agar bisa terus berusaha,” kata Yani. ***


OSPEK, Pengenalan Kampus Bukan Pengenalan Jalan

(Sebuah Refleksi terhadap Pelaksanaan OSPEK)

Oleh Hieronimus L Bokilia

Wartawan HU Flores Pos

Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) seiring waktu telah mengalami banyak perubahan. Jika dulu sebelum jaman reformasi, OSPEK tidak berbeda jauh dengan proses pembinaan di ABRI yang militeristik. Namun sejalan dengan gaung reformasi, ketika mahasiswa berteriak di jalan menghendaki ABRI kembali ke barak dan stop militerisme di lingkungan kampus , perlahan-lahan system dan tata acara pelaksanaan OSPEK pun mulai mengalami perubahan. Resimen Mahasiswa yang semula gencar digalakan di kamus-kampus juga mulai kurang diminati para mahasiswa. Namun, kendati telah mengalami paradigma baru, toh OSPEK bagi mahasiswa baru, ternyata masih menjadi momok yang sangat menakutkan. Tak jarang para calon mahasiswa berusaha sebisa mungkin untuk tidak mengikuti acara ini.

Secara umum, masa orentasi siswa (MOS) atau OSPEK diartikan sebagai masa dimana siswa atau mahasiswa baru dikenalkan kepada lingkungan tempat belajar yang baru, staf pengajar dan kakak kelas tau para senior. Tapi pada prakteknya, tak jarang kegiatan dijadikan sebagai kegiatan perploncoan dan mengerjai para pendatang baru ketimbang sebagai pengenalan atau orientasi.

Fatalnya lagi, karena OSPEK bukan menjadi ajang pengenalan dan orientasi, sudah banyak terdapat fakta bahwa kegiatan ini dimanfaatkan oleh kakak kelas atau senior sebagai ajang balas dendam. Para senior dan kakak kelas yang pernah mengalami hal yang sama di awal mereka masuk sekolah atau masuk kampus dilampiaskan kembali kepada para siswa dan mahasiswa baru. OSPEK tidak lagi berjalan di atas rel yang sebenarnya yakni pengenalan dan orientasi. Unsur pendidikan dan pembelajaran semakin jauh. OSPEK tidak lagi menjadi tempat pembelajaran tetapi malah dijerumuskan menjadi ajang pembodohan para pendatang baru di dunia kampus.

Lihat saja penampilan para mahasiswa baru. Dandanan dan tampilan para muka baru di dunia kampus ini dibuat seaneh-anehnya. Bagi peserta perempuan rambut harus dikepang sebanyak-banyaknya. Diikat dengan tali bukan dengan pita yang cantik. Lipstick yang menjadi penghias wajah diganti arang membuat penampilan mereka tak ubahnya seperti orang gila baru. Belum lagi ditambah topi dari belahan bola plastik. Sementara yang laki-laki, kepalanya dibuat plontos ala calon tentara atau polisi yang lagi mengikuti pendidikan. Dengan alasan untuk membuat acara semakin semarak, diinstruksikanlah kepada setiap siswa baru untuk memakai pakaian yang sangat tidak masuk akal.

Mahasiswa yang selalu merepresentasikan diri sebagai sosok idealis, pembebas atau pembela kaum tertindas, tiba-tiba berubah ketika melaksanakan OPSPEK. Mahasiswa yang dalam orasinya di setiap aksi-aksi demonstrasinya selalu berteriak anti militerisme ternyata lebih bertindak militer ketimbang anggota militer itu sendiri. Walau telah ada perubahan mendasar di kampus-kampus tertentu, akan tetapi, di sebagian besar kampus, OSPEK masih diwarnai unsur kekerasan, penindasan dan militerisme sebagaimana tercermin dalam tindakan membentak-bentak dan penciptaan suasana yang anti dialog. Pemberian sanksi yang cenderung bersifat fisik semata seperti push-up, lari jongkok, berdiri dengan satu kaki, lari keliling lapangan dan hal-hal lainnya yang tidak masuk akal namun datang dari kesenangan si pemberi perintah yang tentunya merasa bangga ketika perintahnya dilaksanakan. Hukuman semacam itu dipilih tanpa ada kaitan sama sekali dengan pembentukan karakter dan idealisme mahasiswa. Namun, hal itu diangap sebagai bentuk pembinaan mental kepribadian para mahasiswa baru.

Tahun 2010 lalu saat semua kampus di Kota Ende ramai-ramai menggelr OSPEK, saya sempat menyaksika aksi seorang senior perempuan yang membimbing adik-adiknya para calon mahasiswa baru yang perempuan. Mereka berbaris di sepanjang jalan kira-kira sepuluh orang dalam satu barisan. Senior ini menoleh kiri kanan, lalu mulai membentak mereka yang ada di dalam barisan. Saat melihat dia menoleh kiri kanan saya sempat berpikir mungkin dia melihat kiri kanan jalan apakah ada masyarakat yang memperhatikan aksinya atau tidak. Saat melihat banyak mata yang memandang ke barisannya pertanda ada yang memperhatikan aksinya, dengann suara lantang senior perempuan ini seperti seorang yang lagi emosi langsung membentak kepada mereka yang sedang berbaris menyusuri jalan-jalan di dalam Kota Ende. OSPEK seolah menjadi ajang balas dendam senior terhadap junior karena ketika masuk awal mereka juga diperlakukan demikian. Bentak dan bahkan terkadang makian dilontarkan para senior kepada para calon mahasiswa baru.

OSPEK yang dilaksanakan di Ende saat ini semakin banyak mengambil lokasi kegiatan di jalan-jalan. Kalau seperti ini, OSPEK yang adalah orientasi studi dan pengenalan kampus pada suatu saat dapat membias dan bergeser menjadi orientasi studi dan pengelanan jalan (OSPEJ). Para mahasiswa baru tidak lagi dikenalkan pada dunia kampus tetapi justru lebih dikenalkan pada dunia jalan. Apakah karena para mahasiswa baru ini banyak yang datang dari kampung-kampung atau dari kabupaten lain di luar Ende sehingga harus dikenalkan pada jalan-jalan dalam Kota Ende agar tidak tersesat saat ke kampus. Ataukah ada alasan pedagogis lainnya yang membenarkan itu.

Bahkan, para dosen dan pembimbing OSPEK tidak pernah menegur dan terkesan membiarkan OSPEK terjadi di jalan-jalan kota. OSPEK laksana sebuah megaproyek tahunan yang tidak bisa tidak harus tetap dilaksanakan. Mahasiswa baru yang sudah dibebankan dengan biaya besar masuk tahun pertama, dieksploitasi karena OSPEK sepenuhnya dibiayai oleh para mahasiswa baru. Apakah ini mau memperkenalkan kampus atau mau mempertontonkan kepada masyarakat bahwa beginilah gaya pembinaan mahasiswa baru di era pasca reformasi?

Melihat fenomena OSPEK yang terjadi di Kota Ende kota pelajar ini, seakan menimbulkan kekhawatiran di benak saya. Masa depan mahasiswa akan lebih banyak dibawa ke jalanan. Entah menjadi penganggur yang sering duduk di jalanan, preman intelektual di jalanan atau bahkan mati sia-sia di jalanan karena berlagak seperti pembalap saat mengendarai kendaraan di jalan. Ditambah lagi gaya pembinaan menggunakan metode bentak-bentak dan sedikit kekerasan fisik. OSPEK yang demikian itu justru menimbulkan “situasi penindasan”. Mahasiswa lama yang merasa diri sebagai senior di kampus bertindak sebagai penindas dan mahasiswa baru (peserta OSPEK) sebagai kaum tertindas. Padahal di mana-mana kalau mahasiswa menggelar aksi demo, selalu berteriak “mahasiswa agen perubahan pembela kaum tertindas”. Gaya bentak-bentak dan mengekang apresiasi para mahasiswa baru ini pada akhirnya menghasilkan anak bangsa yang tidak kreatif. Anak bangsa yang ketika selesai kuliah hanya berharap menjadi PNS. Tidak ada kreatifitas mengimplementasikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dia peroleh selama masa kuliah.

Sebenarnya, pelaksanaan OSPEK yang ditengarai banyak diwarnai kekerasan, penindasan dan nuansa militer seperti itu adalah hal-hal yang sesungguhnya sangat dibenci dan ingin dihapuskan oleh mahasiswa dari permukaan bumi Indonesia. Mahasiswa selalu berteriak tolak militerisme kampus sampai membubarkan Resimen Mahasiswa (Menwa). Nyatanya, mahasiswa sendiri masih berlaku militerisme dan penuh dengan kekerasan, penindasan dan militerisme bahkan sampai pada jatuhnya korban baik luka, hingga ada beberapa yang sampai mengalami kematian.

Mahasiswa yang banyak dari kalangan aktivis menjadi “bebal” dan seperti tidak mempan kritik. Sama seperti umpatan mereka terhadap penguasa ketika para mahasiswa itu berdemonstrasi. Kenapa pula mereka seperti menikmati dan puas menjadi pelaku kekerasan, menjadi penindas dan bergaya militeristik.

Meminjam analisis Paulo Freire, seorang pemikir dan praktisi pendidikan pembebasan dari Brasil, para panitia OSPEK bisa seperti itu karena dulunya pada waktu menjadi peserta OSPEK mereka juga pernah mengalami situasi penindasan. Dalam bukunya Pedagogi of The Oppressed (diindonesiakan dengan judul Pendidikan Kaum Tertindas, LP3ES, 1985) Freire mengingatkan bahwa dalam situasi penindasan, kaum tertindas melakukan identifikasi secara kontradiktif. Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai mahluk yang terbenam, terhina, terlepas dan tercerabut dari kemanusiaannya. Adapun di hadapan mereka adalah kaum penindas yang berkuasa dengan harkat kemanusian yang sempurna.

Kaum tertindas sulit untuk menemukan citra diri di luar kontradiksi penindas-tertindas. Karena itu, bagi mereka, upaya pembebasan diri untuk mendapatkan harkat dan martabat kemanusiannya, adalah dengan menjadi manusia yang memiliki citra diri seperti yang mereka temukan dalam sosok para penindas. Teori ini bisa menjelaskan mengapa seorang buruh yang diangkat menjadi mandor atas kawan-kawannya akan bertindak segalak dan sekasar majikannya, bahkan lebih. Atau dalam masa penjajahan Belanda dahulu, orang-orang pribumi yang diberi wewenang oleh penjajah Belanda, yang dikenal sebagai londo ireng, seringkali malah bertindak lebih kejam dibandingkan Belanda itu sendiri.

Teori ini pula yang bisa menjelaskan, mengapa setelah berada dalam penindasan dan kekerasan pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun, seakan-akan kini lahir manusia manusia khas Orde Baru (homo orbaicus), yaitu manusia-manusia yang mengadopsi budaya kekerasan, budaya penindasan dan budaya memaksakan kehendak, dari penguasanya itu (Orde Baru).

Hal yang sama juga terjadi pada panitia OSPEK. Yang paling dominan dalam kesadaran mahasiswa lama, senior atau panitia OSPEK tersebut adalah, OSPEK merupakan arena terbaik untuk menampilkan citra dirinya sebagai penguasa. Citra diri itu mereka dapatkan, dahulu ketika mengikuti OSPEK. Waktu itu, mereka sebagai pihak yang tertindas melakukan identifikasi bahwa alangkah enaknya, alangkah gagahnya, alangkah berkuasanya, alangkah bermartabatnya menjadi panitia OSPEK. Sehingga senior atau mahasiswa lama berlomba-lomba menjadi panitia OSPEK untuk balas dendam apa yang pernah mereka alami dulu.

Kini ketika menjadi panitia, mereka mendesain OSPEK yang melahirkan situasi penindasan. Para peserta yang tertindas akan menginternalisasi citra diri pelaksana OSPEK yang menindas itu. Untuk kemudian, pada suatu saat mereka akan mereproduksi citra diri itu ketika kesempatan memungkinkan, yaitu ketika mereka menjadi pelaksana OSPEK.

Kaum tertindas dipaksa untuk memilih atau melakukan apa yang dipola oleh penindasnya. Kaum tertindas tentu akan berfikir seribu kali untuk melakukan perlawanan, karena hal itu akan memberatkannya sendiri. Lagi pula, belum tentu kawan-kawannya yang lain akan membantu. Kebanyakan kaum tertindas akan memilih diam dan patuh. Keadaan seperti ini membuat kaum tertindas akan larut dalam sikap masokhis. Begitu pun yang terjadi pada peserta OSPEK. Mereka melakukan banyak tindakan dan hukuman seperti yang dipolakan oleh para panitia OSPEK, tanpa banyak berani menentang walaupun tindakan-tindakan itu sama sekali tidak logis, tidak rasional dan tentunya tidak mereka inginkan.

Dari paparan di atas, apabila pelaksanaan OSPEK masih diwarnai dengan nuansa penindasan, setidaknya memunculkan dua hal. Pertama, Ospek melahirkan situasi penindasan. Situasi penindasan akan melahirkan sosok-sosok penindas baru (sadistis) yang suatu saat apabila mendapatkan kesempatan akan mencoba untuk melahirkan situasi penindasan baru, begitu pula nanti seterusnya, sehingga OSPEK itu sendiri merupakan forum konservasi dan reproduksi penindasan. Kedua, OSPEK akan melahirkan generasi yang patuh, acuh tak acuh, tidak kritis dan tidak berani menentang terhadap praktik-praktik penindasan.

Lebih dari itu, OSPEK juga bisa jadi akan melahirkan generasi masokhis. Generasi seperti itu merupakan lahan subur bagi tumbuhnya praktik-praktik penindasan. Dengan begitu, maka OSPEK justru menjadi sebuah rutinitas yang berperan sebagai konservasi atau pelestari penindasan. Kalau diproyeksikan dalam kehidupan bangsa, OSPEK yang seperti itu justru memberikan kontribusi negatif terhadap proses demokratisasi yang saat ini mulai bergulir, karena OSPEK justru melahirkan generasi yang berpotensi menjadi penindas, sadistis dan anti demokratis jika sedang berkuasa, sekaligus generasi yang patuh, tidak kritis dan acuh tak acuh terhadap berbagai praktik penindasan, ketika sedang di bawah kekuasaan pihak lain.

Visi OSPEK yang ideal adalah yang bersuasana egaliter dan selaras dengan proses demokratisasi. Dalam kerangka ini, OSPEK dilaksanakan sebagai upaya melahirkan mahasiswa yang sadar akan posisi dirinya sebagai agen perubahan (agent of change) yang kritis, sadar akan persoalan sosialnya, berani menentang segala bentuk penindasan dan mempunyai komitmen atas keberlangsungan proses demokratisasi bangsa.

Visi yang seperti ini tentu saja tidak menghendaki praktik penindasan dan praktik a-demokratis dalam pelaksanaanya. Visi ini hanya bisa dicapai apabila OSPEK, didesain sebagai praktik dari “pendidikan pembebasan”. Pendekatan yang dipakai adalah pendidikan orang dewasa dengan metode yang bisa mendorong peserta untuk aktif dan memiliki kesadaran kritis. Pola seperti ini mengharuskan adanya suasana yang egaliter, hubungan yang komunikatif, empatif dan tidak ada unsur dominasi di dalamnya. Baik peserta OSPEK maupun fasilitator/ panitia OSPEK terlibat dalam proses pencarian bersama. Yang terjadi bukan peserta belajar “dari” fasilitator, tetapi peserta belajar “bersama” fasilitator.

OSPEK merupakan proses belajar bersama ( tranpersonal learning ) dengan berbagai tahapan meliputi penyadaran ( konsientasi ), pemberdayaan (empowering ), pembebasan (liberasi ) dan pemanusian ( humanisasi ).

Penyadaran merupakan proses yang mengajak peserta untuk memahami dirinya dan realitas serta problema kehidupan diri maupun sosialnya. Penyadaran akan membawa peserta dari kesadaran naif atau bahkan magis, menuju manusia dengan kesadaran kritis. Penyadaran kemudian diikuti dengan pemberdayaan, yaitu upaya menumbuhkan kemampuan analisis kritis untuk memahami dan memberikan solusi atas berbagai problem kehidupan.

Apabila kedua proses telah terlewati, selanjutnya adalah pembebasan. Dengan kesadaran dan keberdayaan yang dimilikinya, peserta diajak untuk memberikan penilaian yang mandiri, menentukan dirinya sendiri serta mempunyai sikap yang mandiri, bebas dari hegemoni masa lalu tradisi dan negara.

Selain membebaskan peserta OSPEK, OSPEK seperti itu sekaligus juga membebaskan mahasiswa lama, Senior dan panitia OSPEK dari belenggu hegemoni citra diri penindasnya dulu, sehingga mereka tidak lagi “terpenjara” oleh keinginan melakukan penindasan, kekerasan dan balas dendam.

OSPEK yang dilakukan dengan visi dan metode semacam itu, pada satu sisi sesuai dengan nilai-nilai idealisme yang selama ini dengan bangga diakui sebagai kesejatian mahasiswa. Sementara di sisi lain diharapkan mampu melahirkan generasi yang demokratis, egaliter, otonom, dan mempunyai komitmen terhadap berbagai problem masyarakatnya. Rasanya generasi seperti itulah yang dibutuhkan perannya dalam proses tranformasi bangsa mendatang. OSPEK yang bergaya militer akan melahirkan generasi penindas. Ketika menduduki jabatan tertentu, seseorang akan bertindak sewenang dan menindas bawahannya. OSPEK yang demikian akan melahirkan masyarakat terpelajar yang tidak lagi melihat realita sosial masyarakat di sekitarnya yang tertindas. Kekhawatiran itu tidak berlebihan karena sebenarnya bukti-bukti seperti itu sudah mulai nampak. Kepemimpinan dari pusat sampai ke daerah-daerah dilahirkan dari gaya pendidikan militerisme.

Hal mana oleh Romo Domi Nong dalam sebuah seminar yang dilaksanakan oleh GMNI Cabang Ende dikatakan sebagai proses militerisasi sipil yang sangat ketat dilakukan pada masa orde baru. Pendidikan dijadikan proses militerisasi sipil yang menyeragamkan pakaian. Yang tidak berseragam dianggap tidak baik dan nuansa kekerasan sangat nampak di sana. Dari menyeragamkan pakaian, kemudian berlanjut pada penyeragaman pola pikir dan pola tindak dan anak yang tidak pakai seragam bisa membatalkan hak anak pada pendidikan dan menjadi dasar penilaian baik buruknya seorang anak.

Sistem pendidikan militerisasi seperti itu akhirnya menggeser moralitas anak bangsa dan berdampak pula pada pergeseran dalam dominasi politik. Para pemimpin tidak lagi berjalan dalam dominasi politik pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat namun sudah bergeser dalam dominasi politik kekuasaan. Pemimpin hanya berpikir untuk tetap kembali berkuasa dan menghalalkan berbagai cara. Politik pembangunan demi kesejahteraan masyarakat diabaikan.

Pada titik ini, semua kita tentu berharap, OSPEK tidak lagi menjadi ajang bentak-bentak, ajang balas dendam dan perploncoan terhadap mahasiswa baru. OSPEK juga tidak menjadi proses militerisaswi warga kampus. Tetapi, OSPEK lebih membawa pembelajaran terhadap suasana baru kampus dan memperkenalkan mahasiswa baru terhadap system pendidikan kampus, para dosen dan mahasiswa lama. OSPEK tidak lagi memperkenalkan mahasiswa baru terhadap situasi di jalanan tetapi lebih pada dunia kampus untuk mengajak mahasiswa baru lebih mengenal dan lebih dekat dengan kampus bukan dengan jalanan. OSPEK hendaknya memberikan pembelajaran bukan lagi pembodohan dan menanamkan citra penindasan di kalangan mahasiswa baru. OSPEK hendaknya tetap menjadi orientasi studi dan pengenalan kampus bukan lagi di geser menjadi orientasi studi dan pengenalan jalan (OSPEJ).