18 Januari 2015

Negara Menjamin Juga Membatasi Kebebasan Beragama


Woorkshop Peliputan Agama yang Berperspektif Pluralisme (2)


Asrosi S Karni di sesi kedua dalam materi strategi mengembangkan berita agama lebih banyak mengurai soal liputan agama yang masih kurang diminati dan kebanyakan masih soal isu-isu doktrin dan seremoni keagamaan. Padahal menurut pemenang penghargaan jurnalistik Mochtar Lubis Award 2008 ini, liputan agama bisa masuk ke semua aspek kehidupan baik ekonomi, politik, sosial, budaya dan segala tema di mana agama memainkan peran pentingnya. Terpenting, dalam menulis berita agama, perlu diperhatikan kepekaan terhadap isu-isu agama yang masuk dalam isu nasional. Jika liputan agama dikemas secara lebih menarik dan menjadi cover story akan berpengaruh terhadap serapan pasar yang cukup tinggi. Berita agama, kata Asrosi harus menjadi ruang dialog sehat produktif dari orientasi konflik ke orientasi dialog dan sebagai bagian upaya konsolidasi demokrasi.
Isu agama, menurut dia juga dapat menjadi urat nadi berbagai isu publik lainnya dan menjadi media promosi toleransi berperspektif pluralisme dan pendekatan damai. Berita-berita konflik dalam agama hendaknya dikemas sedemikian rupa agar tidak menjadi ajang provokatif tetapi sebaliknya menjadi ajang edukatif. Pemberitaan soal isu agama harus mulai digeser dari orientasi konflik ke dialog untuk mendorong iklim kehidupan dan dialog antar agama yang lebih sehat.
Isu agama sebagai media promosi toleransi, perspektif pluralisme, dan pendekatan damai.
Perspektif pluralisme menurut Asrosi hendaknya jangan menjadi penjebak dalam sikap partisan. Untuk mampu menghasilkan sebuah berita yang berkualitas tentang agama yang berprespektif pluralisme, perlu adanya peningkatan kompetensi jurnalis itu sendiri. Wartawan agama harus benar-benar memahami agama yang hendak ditulis.
Dalam menulis berita tentang agama, sebenarnya cukup memperhatikan dan mencermati praktek keagamaan keseharian yang dijadikan sebagai fokus liputan. Wartawan dapat menemukan pertalian dengan kebutuhan keseharian pembaca/pemirsa/pendengar. Berita agama dapat berupa ritual unik yang menyimpan pesan kearifan. Ritual unik sebagai instrumen mobilitas politik. Polemik doktrin keagamaan (validitas kitab suci, konsep nikah beda agama, konsep kenabian, arah kiblat, polemik penanggalan agama, dll). Tradisi peringatan hari besar agama dan fungsi/dampak sosial-ekonomi-politiknya dapat pula diangkat dalam berita-berita tentang agama. Di sini, media lebih menjalankan fungsi edukasi, informasi dan hiburan
Terkait reportasi agama dan konflik, Asrori mengatakan, dalam menulis konflik lintas agama, seorang wartawan harus mampu memainkan perannya untuk mencari model resolusi konflik. Konflik internal agama, perlu diupayakan penyemaian toleransi dan titik temu serta mendorong konflik menjadi sebuah ruang dialog. Melalui tulisan di media, wartawan juga mampu mediasi konflik agar bisa menjadi pijakan toleransi. Konflik, kata dia dapat pula dijadikan sumber pembelajaran kesadaran pluralisme. Dengan demikian, nantinya mampu mendorong penyelesaian konflik dengan cara non-kekerasan, bisa mediasi, bisa jalur hukum. Dalam hal ini, media pada akhirnya mampu memainkan perannya dalam fungsinya sebagai sarana edukasi dan informasi
Siti Musdah Mulia, tampil di sesi ketiga. Profesor perempuan pertama yang diberikan oleh LIPI ini membawakan materi kebijakan dan implementasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, perspektif pluralisme. Ketua Umum ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) ini mendefinisikan agama merupakan kepercayaan pada kekuatan-kekuatan supra-natural. Agama juga berarti suatu sistem kepercayaan, praktik dan nilai-nilai filosofis yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan dari yang suci, pemahaman hidup, dan penyelamatan dari masalah keberadaan manusia.
Durkheim mendefinisikan agama adalah sebuah sistem keyakinan dan upacara (ritual) dengan mengacu pada yang mengikat orang bersama dalam kelompok sosial. Selanjutnya Max Weber dan ahli teologi Paul Tillich (1970) menjelaskan agama sebagai setiap rangkaian jawaban yang koheren pada dilema keberadaan manusia (kelahiran, kesakitan atau kematian) yang membuat dunia bermakna. Max memasukkan agama ke dalam ideologi yang lebih luas, yang juga mencakup ide-ide seperti 'sisi kebaikan' (rightness) dari persaingan dalam sistem kapitalis.
Praktik empiris menunjukkan pemerintah Indonesia membuat pengertian sendiri tentang agama. Agama secara sepihak oleh pemerintah (sedikitnya sebagian aparat negara) dan sebagian kelompok masyarakat, didefinisikan “Suatu sistem kepercayaan yang mengandung ajaran jelas mengenai ketuhanan dan hari akhirat, mempunyai nabi dan kitab suci.” Implikasi sosial dari pengakuan negara atas agama maka agama yang diakui pemerintah adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Lalu, sejak 2006 masuk Konghucu. Pendekatan sosiologis dan praktik empiris di Indonesia itu memiliki implikasi yang berbeda, karena agama-agama lokal yang dipraktikkan dan banyak pula pemeluknya di Indonesia (yang dalam pendekatan sosiologis termasuk dalam kategori agama) tidak diakui sebagai agama dan oleh karena itu pengikutnya mendapat perlakuan diskriminatif, terutama dari (aparat, birokrat) negara.
Perlakuan diskriminatif negara atas pengikut agama dan kepercayaan lokal serta selain keenam agama yang 'diakui' itu terjadi dalam pemenuhan hak sipil dan politik mereka.
Musdah Mulia mencontohkan, mereka dipaksa menyebut agama lain yang 'diakui' dalam KTP, meski sebenarnya tidak memeluk agama tersebut. Demikian pula hak untuk dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil atau KUA ketika melakukan pernikahan; dan hak mendapatkan Akta Lahir bagi anak mereka.
Dokumen hak asasi manusia tidak memberikan definisi terhadap kosakata 'agama', karena disamping pemikiran tentang 'agama' sulit diberikan dalam rumusan-legal, juga untuk menghindari kontroversi filosofis dan ideologis. Hukum hak asasi manusia internasional memiliki sebuah katalog tentang hak dan cara melindungi hak-hak itu di bawah judul yang disepakati yaitu 'kebebasan berpikir, berkesadaran dan beragama. Kebanyakan kaidah internasional yang dikembangkan bersifat melindungi pengejawantahan atau ungkapan (ekpresi) dari kebebasan beragama atau berkeyakinan.
Lebih jauh Musda Mulia menerangkan bahwa di dalam ranah HAM, dikenal istilah 'hak-hak asasi manusia dasar' (Basic Human Rights), yaitu hak asasi manusia yang pada umumnya dianggap amat perlu untuk memberikan keutamaan atau prioritas di dalam hukum dan kebijakan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Hak-hak tersebut adalah hak yang memastikan terpenuhinya kebutuhan primer material dan non-material manusia, dan selanjutnya mengarahkan mereka kepada keberadaan manusia yang bermartabat. Meskipun tidak ada daftar hak yang diterima secara umum tentang hak yang bersifat dasar ini, akan tetapi termasuk di dalamnya adalah hak untuk hidup, hak atas makan, papan, pelayanan medis, kebebasan dari penyiksaan, dan kebebasan beragama (termasuk kebebasan berkeyakinan).
Definisi kebebasan dalam HAM, kata Musdah Mulia adalah kekuasaan atau kemampuan bertindak tanpa paksaan; ketiadaan kendala (hambatan); kekuasaan untuk memilih tindakan seseorang vis-à-vis negara, yang seringkali dilihat di dalam arti kebebasan dasar (fundamental freedom), yang menunjukkan suatu kebebasan yang sangat dibutuhkan secara mutlak bagi pemeliharaan dan perlindungan atas martabat manusia di dalam masyarakat yang terorganisasikan sebagai satu jenis perlindungan paling minimum yang dapat diterima.
Dikenal empat kebebasan (four freedom) yaitu kebebasan berekspresi, kebebasan beribadah, kebebasan untuk berkeinginan (dalam hal ini adalah kepastian atau keamanan ekonomi); dan kebebasan dari rasa takut (pengurangan persenjataan). Empat kebebasan ini mengacu pada pidato Franklin Delano Roosevelt, Januari 1941: bahwa eksisitensi dari perdamaian dunia dikaitkan dengan empat kebebasan yang esensial. Pidato ini kemudian menjadi satu dokumen kunci di dalam upaya membentuk PBB dan memberikan perlindungan dan pemajuan HAM. Pidato itu diberikan sebelum AS terlibat dalam Perang Dunia II.
Seyyed Hussein Nasr, seorang sufi dan ilmuwan Iran, memilah dua bentuk kebebasan beragama, pertama kebebasan menjadi (freedom to be), ditandai oleh pengalaman keberadaan diri yang asali berkaitan dengan mistikisme yang kepedulian utamanya adalah kebebasan pribadi, bukan kebebasan politis. Kebebasan pribadi adalah kebebasan mutlak (absolute or infinite freedom), yang terdapat di dalam kehidupan spiritual, yang juga disebut sebagai kebebasan moral (kebebasan menentukan sendiri tanpa hambatan sebab-sebab eksternal), atau kebebasan batin pada pikiran dan imaginasi. Kebebasan ini menjadi bagian dari apa yang disebut sebagai 'forum internum' yakni ranah internal di mana kebebasan berfikir, berkesadaran dan beragama atau berkeyakinan dipandang mutlak.
Kebebasan kedua adalah kebebasan bertindak (freedom to act) yang ada dalam batas-batas yang dipaksakan oleh realitas eksternal kepada manusia. Hak untuk mengekpresikan atau mengejawantahkan agama atau keyakinan (misalnya hak menyebarkan ajaran agama atau keyakinan, hak beribadah, hak mendirikan tempat ibadah) termasuk dalam hak untuk bertindak (freedom to act). Menurut beberapa kovenan hak asasi manusia, hak ini dapat ditangguhkan, diatur dan dibatasi (derogable, regulable, limitable).
Klausul pembatasan hak kebebasan untuk mengejawantahkan atau mengekspresikan agama atau keyakinan itu dapat ditemukan di dalam pasal 18 (3) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenan on Civil and Political Rights): 'Freedom to Manivest one's religion or beliefs may be subject only to such limitation as or precribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedom of others'. Juga dapat ditemukan dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (Europen Convention on Human Rights) pasal 9 (2); dan Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia (American Convention on Human Rights) pasal 12 (3)
Terkait kebebasan beragama, aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, bagi komunitas keagamaan adalah untuk berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam pengaturan organisasinya. Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang dan demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak asasi dan kebebasan orang lain. Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apapun.
Indonesia menjamin rakyatnya dalam memeluk agama. Kebebasan beragama diatur di dalam UUD 1945 Pasal 28E, ayat (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, ayat (2) Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. UUD pasal 29 ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dan di TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM pasal 13,"Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".

Tidak ada komentar: