Hiero Bokilia
UDARA dingin masih
menyelimuti Desa Randotonda siang itu. Di atas bale-bale bambu, terbaring Kristina Wonga, 10 tahun,
telanjang bulat. Sesekali dia menyeringai, kemudian menggoyangkan badannya. Dia
lalu bangun dan duduk acuh tak acuh bersandar di dinding bak penampung air
hujan yang ada di belakangnya.
Di kaki dan pahanya terlihat
kotoran menempel. Tidak diketahui kapan dia buang air besar. Melihat itu, neneknya
segera datang dengan seember air dan tempat sabun lalu memandikannya. Dia lalu memakaikan
baju dan celana. Tanpa sepatah katapun, Kristina langsung berjalan ke halaman
depan rumah, duduk dan bermain di atas tanah berdebu.
Di usianya yang
memasuki 10 tahun, harusnya pada jam itu dia sedang sekolah. Karena menyandang
cacat mental, sehari-hari Kristina hanya duduk termangu di atas bale-bale bambu
itu.
Kristina merupakan
salah satu dari tujuh ribu lebih penderita cacat mental di Nusa Tenggara Timur.
Menurut data terakhir, penyandang disabilitas di provinsi ini berjumlah sekitar
33 ribu dari sekitar 4,6 juta pendudukan. Jangankan diperlakukan sama sebagai
warga negara. Hak para penyandang disabilitas dalam pelayanan dasar pendidikan
dan kesehatan pun masih belum terpenuhi di wilayah ini.
Tanpa
Perhatian Pemerintah
Mendengar vonis
demikian, sempat membuat orangtua Kristina putus asa. Namun, mereka tidak tinggal diam.
Stefania ibunya yang bekerja sebagai staf di kantor desa setempat berjuang membawa
Kristina ke para pendoa dan juga dukun
kampung.
Berbagai upaya
pengobatan dokter dan pengobatan tradisional diupayakannya sendiri. Waktu itu,
sama sekali tak ada perhatian dari pemerintah. Untung dia memiliki kartu Jamkesda
sehingga biaya pengobatan di rumah sakit lebih ringan. Namun, untuk obat-obatan
yang dibelinya selama merawat Kristina, diusakan sendiri.
Sejumlah ramuan
diperolehnya untuk mewujudkan kesembuhan putrinya tercinta. Perlahan, leher Kristina bisa tegak kembali. Tetapi, dia belum bisa duduk.
Saat itu, kata
Stefania, pengetahuannya tentang penyakit yang diderita anaknya dan upaya
membantu mengatasinya sangat minim. Mereka sempat malu dan hanya pasrah
memiliki anak cacat mental. Namun, pengetahuannya mulai terbuka ketika diperkenalkan
sejumlah pengetahuan baru untuk mengatasi kecacatan yang dialami Kristina.
Semula, dia mendudukkan Kristina di dalam ember bak dan meletakan bantal untuk menahan lehernya
agar bisa duduk. Namun, tidak terlalu
banyak membantu.
Pengetahuan berarti
yang tidak pernah akan dilupakannya walaupun sempat mendapatkan cemoohan dari
tetangga. Waktu itu tahun 2006. Ia dan suaminya membuat palang sejajar. Sejumlah
tiang bambu dibuat dan diikat belahaan
bambu disekelilingnya. Pada bilah bambu itu, Kristina melatih berjalan.
Agar tidak kotor, di tanah dibentangkan ferlag sebagai alas. Palang sejajar
yang dibuat seperti kandang itu yang membuat para tetangga mencemoohnya. Mereka
menilai pasangan Stefania dan Aloysius memperlakukan anak mereka seperti
binatang.
“Walau mereka terus
cemooh saya dan bilang saya buat anak saya seperti binatang, tapi saya tidak
peduli. Mereka tidak tahu apa yang kami buat,” kata Stefania.
Dari ketabahan dan
ketegarannya menerima cemoohan dari warga tetangga rumahnya itu, perlahan-lahan
mulai membuahkan hasil. Anaknya yang sebelumnya hanya bisa merangkak dan tidak
bisa berdiri mulai bisa belajar berdiri. Palang sejajar yang dibuat mulai
membantu Kristina yang mulai berdiri belajar jalan. Dibantu palang sejajar,
Kristina perlahan mulai meniti jalan sambil berpegang pada bilah bambu.
Di usianya yang genap
enam tahun pada tahun 2009, Kristina mulai bisa berjalan. Upaya dan kerja keras
itu akhirnya berbuah keberhasilan. Walaupun dicemooh dan dituding memperlakukan
anak seperti binatang namun, apa yang dibuatnya dengan penuh kesadaran telah
membuat anaknya bisa berjalan.
Namun, di sini pula
awal muncul masalah baru. Kristna yang mulai pintar berjalan, sulit diatur.
Pakaian yang dipakaikan kepadanya hanya bertahan sebentar. Rok atau celana yang
dikenakan tak berapa lama kemudian langsung dibukanya lagi. Baju pun bernasib
sama. Walau agak lama dikenakan, namun akhirnya dibukannya juga. Naasnya lagi,
dengan bertelanjang, Kristin kecil lalu berjalan keliling kampung.
Ini yang semakin
mengkhawatirkan Stefania dan Aloysius, suaminya. Soal kebiasaannya tidak mau
berpakaian ini, suami istri ini tidak bisa berbuat banyak. Sedangkan untuk mengatasi kebiasaannya
berjalan keliling kampung, keduanya terpaksa membuat bale-bale setinggi satu
meter. Di atas bale-bale ini-lah Kristina melewati hari-harinya.
Dia hanya bisa tidur
dan terkadang bangun dan duduk di atas bale-bale yang hanya dilindungi atap
seng bekas yang mulai berlubang. Saat jam makan tiba baru diberikan makan.
Kalau terlambat dia akan marah dan makanan yang ditaruh didekatnya akan
dibuang.
Walaupun kondisinya
seperti itu, ibunya tetap berharap, suatu saat nanti Kristina bisa mandiri.
Setidaknya dia bisa mengurus dirinya terutama hal-hal kecil untuk dirinya
sendiri seperti buang air, mandi, dan berpakaian. “Saya khawatir, kebiasaan
melepas pakaian ini terbawa sampai dewasa. Saya tidak bisa bayangkan kalau dia
sudah besar dan keliling kampung tanpa pakaian,” katanya resah.
Upaya ke arah itu terus
dia lakukan. Dia terus berupaya mencari tahu tempat-tempat yang bisa menampung
dan mendidik Kristina. Pilihan ke
Cancar, tempat rehabilitasi anak cacat di Kabupaten Manggarai sempat
diupayakan. Hanya saja terkendala karena syaratnya harus anak yang sudah bisa
mengurus diri sendiri. Padahal, saat ini Kristina dalam usianya sepuluh tahun
belum bisa melakukan apapun, walau hanya untuk dirinya sendiri. Tapi itu tidak
membuatnya patah arang.
“Saya akan tetap
berusaha agar suatu saat nanti dia bisa mandiri dan punya keterampilan.
Sekarang yang saya pikir bagaimana cari tempat yang baik supaya dia bisa dijaga
dan dididik,” kata Stefania.
Harus
Sekolah
Kristina Wonga tetap ingin sekolah. Ibunya bertekad
anaknya harus bisa mandiri. Memang, pendidikan dan kesehatan bagi anak
disabilitas masih minim perhatian. Kristina hanyalah satu dari 33.879 cerita
pilu anak penyandang disabilitas di NTT yang harus menjadi perhatian pemerintah
di setiap tingkatan.
Kepala Dinas Pendidikan Nusa Tenggara Timur Klemens
Meba mengakui, penanganan pendidikan anak disabilitas di SLB sesuai Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 secara tegas mengatur tanggung jawab
pendidikan luar biasa bagi anak disabilitas menjadi urusan provinsi baik itu
urusan anggaran untuk gaji guru, pengelola SLB, dan pembangunan sarana
prasarana pendukung pendidikan, akses, peningkatan sumber daya dan mutu guru, siswa, dan manajemen sekolah.
SLB yang ada di kabupaten-kabupaten juga berada di
bawah tanggung jawab Dinas Pendidikan. Dinas Pendidikan di tingkat kabupaten
sebatas melakukan penyiapan data anak disabilitas dan membangun koordinasi
dengan Dinas Pendidikan NTT. Kebutuhan sekolah juga menjadi tanggung jawab
Dinas Pendidikan NTT. Hanya saja, harus melalui usulan dari masing-masing
sekolah. Sekolah melakukan analisa kebutuhan dan diajukan ke Pemerintah
Provinsi maupun Pemerintah Pusat.
Kepala Bidang Pendidikan Khusus Pendidikan Luar
Biasa (PKPLB) Falentinus Bhalu mengatakan, anak disabilitas usia sekolah yang
ada di NTT saat ini secara keseluruhan berjumlah 11 ribu lebih. Namun, baru
5.900 yang mendapatkan pendidikan. Masih terdapat 40 persen yang belum sekolah.
Anak disabilitas tersebut tersebar di 26 SDLB, 26
SMPLB, dan 20 SMALB di 18 kabupaten/kota. Terdapat tiga kabupaten di NTT yang
belum memiliki SLB yaitu Kabupaten Manggarai Barat, Sumba Barat Daya, Sabu
Raijua, dan Malaka. Terdapat 476 guru yang mengabdi di sejumlah SLB yang
tersebar di seluruh kabupaten/kota.
Walau keberadaan SLB baru terdapat di ibu kota
kabupaten dan belum dapat dibangun di kecamatan dan desa namun, bukan berarti
anak disabilitas usia sekolah tidak dapat sekolah. Program inklusif yang
digiatkan pemerintah sebenarnya merupakan solusi mengatasi persoalan itu. Para
penyandang disabilitas berhak menikmati pendidikan di sekolah inklusif.
Hak pendidikan anak disabilitas sebenarnya telah
dijamin oleh undang-undang. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun
2009 mengamanatkan seluruh sekolah umum dari berbagai jenjang SD sampai SMA menerima
anak-anak penyandang disabilitas untuk mendapatkan pendidikan.
Juliana Flora Niron,
lulusan magister manajemen konsultasi bidang pendidikan mengakui, program
inklusif merupakan terobosan yang baik dari pemerintah untuk membantu para
penyandang disabilitas. Kehadiran sekolah inklusif akan membantu siswa
disabilitas lebih percaya diri berada di tengah siswa lainnya.
Hanya saja, tidak semua
anak disabilitas dapat dimasukkan begitu saja ke sekolah inklusif. Sebelum
dimasukkan ke sekolah inklusif harus terlebih dahulu diuji kemampuannya. Jika
dari sisi akademik dan sosialnya memungkinkan, baru mereka dapat dimasukkan ke
sekolah inklusif. Namun, jika kemampuannya tidak mencukupi, hendaknya tidak
dipaksakan masuk ke sekolah inklusif. Jika dipaksakan, justru akan menyulitkan.
Apalagi, di sekolah-sekolah regular, para guru belum begitu memahami karakter
dan kebutuhan anak disabilitas.
Terkadang, karena anak
tidak cepat memahami penjelasan guru, lalu dianggap bodoh. Tak jarang mereka dibentak,
bahkan dipukul. Akibatnya, anak disabilitas menjadi semakin tertekan dan mempengaruhi
perkembangannya. Seharusnya, anak disabilitas membutuhkan perhatian dan
penanganan khusus.
Dalam kegiatan belajar
mengajar untuk anak disabilitas, bukan mengejar target akademik dan kurikulum.
Namun, yang dikejar adalah kemampuannya. Karena itu, sebelum memberikan
pengajaran kepada siswa disabilitas, harus dilakukan deteksi dini untuk
mengetahui kemampuan dan kebutuhan anak disabilitas. Setelah itu, baru dibuatkan
program, sehingga dalam penanganan anak disabilitas bisa sesuai dengan apa yang
dibutuhkan.
Ketenagaan
belum Mendukung
Falentinus Bhalu mengakui, dari sisi ketenagaan baik
guru dan pendidik di SLB dan sekolah inklusif yang ada di NTT masih jauh dari
memadai. Banyak guru yang mengabdi di SLB bukan berlatar belakang pendidikan
luar biasa (PLB). Mereka hanya memiliki pengalaman lalu diangkat menjadi guru di
SLB. Setelah itu, baru diberikan pendidikan dan pelatihan (Diklat). Selain
itu, keberadaan sekolah inklusif di
semua kabupaten belum berjalan maksimal disebabkan faktor terbatasnya tenaga
pendidik yang berlatar belakang pendidikan luar biasa.
Misalnya sekolah inklusif menerima siswa tuna netra,
maka harus ada guru di sekolah tersebut yang mampu membaca huruf brailer. Atau misalnya
menerima anak tuna rungu wicara, maka harus ada guru yang sudah bisa bahasa
isyarat. Karena jika tidak ada guru yang memiliki keterampilan di bidang itu,
maka akan sulit dalam membimbing anak-anak penyandang disabilitas.
Apalagi, di NTT saat ini belum ada pergurun tinggi
yang membuka program studi pendidikan luar biasa untuk menyiapkan tenaga
pendidik yang nanti diabdikan di SLB dan sekolah inklusif. Satu-satunya
perguruan tinggi di NTT yang mengembangkan pendidikan luar biasa adalah Universitas
San Pedro. Namun, setelah lima semester kemudian ditutup karena permasalahan
perizinan.
Seharusnya, keberanian mendirikan Program Studi
Pendidikan Luar Biasa yang dilakukan Universitas San Pendro itu didukung,
sehingga lima tahun mendatang, NTT tidak lagi kesulitan tenaga pendidik di SLB
dan sekolah inklusif.
Ketua Yayasan Sandi Mundi Pendeta Munce R Terik,
S.Th, M.Pd, MM, terdorong untuk mulai mengembangkan pendidikan yang khusus
mendidik calon guru pendidikan luar biasa. Bahkan lembaga pendidikan yang
dikembangkan di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Penabur Kupang,
ia dan teman-temannya membuka Program Studi Pendidikan Luar Biasa (PLB) untuk
mendidik calon guru untuk mengajar di sekolah luar biasa dan inklusif.
Selain itu, ia juga
berupaya mengembangkan klinik pijat refleksi. Rencana ini terinspirasi dari
banyaknya orang-orang berkebutuhan khusus yang memiliki keterampilan pijat
refleksi namun, tidak terorganisir secara baik. Mereka hanya melayani
orang-orang yang membutuhkan pijat refleksi di hotel dan di tempat-tempat yang
membutuhkan. Karena itu, klinik yang digagas itu dapat menampung dan menyiapkan
tempat khusus bagi mereka untuk melayani orang yang membutuhkan pijat refleksi.
Keberadaan klinik
terapi juga dapat membantu orang-orang berkebutuhan khusus mengembagkan potensi
lain yang mereka miliki, sehingga tidak saja menjalani pijat refleksi, namun
mereka juga dapat menjalani keterampilan lain yang mereka miliki.
Selain terbatas tenaga pendidik, masalah minimnya
anggaran pendidikan juga masih dirasakan. Tahun 2013 Bidang PKPLB mendapatkan
alokasi anggaran Rp 1,7 miliar untuk membiayai semua SLB yang tersebar di semua
kabupaten di NTT. Alokasi ke sekolah-sekolah juga tidak merata, tergantung pada jumlah siswa dan tenaga pengelola.
Dana itu untuk membayar honor honor instruktur
keterampilan, tenaga pengelola SLB, diklat autis dan tuna netra, dan pemberian
beasiswa kepada anak disabilitas.
Anggaran tersebut memang diakuinya terbatas. Namun,
anggaran yang minim bukan menjadi penghambat. Sepanjang ada komitmen, maka
semua persoalan itu dapat diatasi. “Urus
pendidikan tidak bisa diukur dengan
uang. Ada uang atau tidak ada uang harus tetap jalan. Jadi, kalau membangun
pendidikan diukur dengan uang tidak akan cukup,” kata Falentinus Bhalu.
Belum
Jadi Prioritas
Penanganan penyandang disabilitas di Nusa Tenggara
Timur sejauh ini memang belum maksimal. Bahkan, Kepala Dinas Sosial Petrus Sinu
Manuk mengakui, masalah penyandang disabilitas belum menjadi prioritas
Pemerintah Provinsi.
Padahal, terdapat 33 ribu penyandang disabilitas
yang tersebar di semua kabupaten/kota. Namun, hanya dialokasikan dana Rp 600
juta per tahun untuk penanganaan penyandang disabilitas. “Kita ini anggarannya
terbatas. Pemerintah sudah pasti mempunyai prioritas-prioritas. Penyandang
disabilitas masih pada prioritas kesekian. Nah, karena prioritas kesekian, maka
alokasi anggarannya juga sesuai porsinya,” jelas Petrus Manuk.
Dikatakannya, dengan anggaran yang minimalis
tersebut, Dinas Sosial harus membagikan kepada 22 kabupaten/kota di NTT.
Sehingga, program yang dijalankan bagi penyandang disabilitas belum optimal.
Dana itu dimanfaatkan untuk bantuan alat bantu seperti tangan palsu, kaki
palsu, dan kruk. “Setiap tahun, kita mencoba berargumentasi dan menyampaikan
alasan-alasan agar penyandang disabilitas dengan jumlah yang besar ini dapat
dinaikkan anggarannya,” kata Manuk.
Alokasi dana Rp 600 juta itu jika dibagikan secara
merata kepada 33 ribu penyandang disabilitas, maka masing-masing hanya kebagian
sekitar Rp 18 ribu lebih. Sungguh sebuah ironi.
Minimnya alokasi anggaran itu tidak hanya di tingat
provinsi. Tingkat kabupaten juga bernasib sama. Kabupaten Ende misalnya, hanya
mengalokasikan Rp 150 juta untuk penanganan penyandang disabilitas. Padahal,
jumlah penyandang disabilitas di Ende juga tak kalah banyaknya.
Kepala Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
Dinas Sosial Kabupaten Ende dr Muna Fatma pun mengakui, hingga saat ini, baru
163 orang penyandang disabilitas berat yang benar-benar mendapatkan bantuan
rutin dari Pemerintah Pusat, Provinsi, dan kabupaten. Setiap bulan, penyandang
disabilitas berat mendapatkan alokasi bantuan sebesar Rp 300 ribu per
orang. “Jadi untuk penyandang
disabilitas tidak potensial diberikan jaminan sosial Rp 300 ribu per bulan.
Setiap tahunya dialokasikan Rp 586,8 juta dari Pemerintah Pusat, Pemerintah
Provinsi, dan pemerintah kabupaten,” ujarnya.
Padahal, jumlah penyandang cacat yang ada di
Kabupaten Ende sebanyak 3.627 orang. Dari jumlah itu, terdapat 587 orang tuna
wicara, tuna daksa 2.140 orang, tuna netra 480 orang, dan tuna grahita 420
orang.
Dari total penyandang disabilitas 3.627 orang itu,
sebanyak 163 orang merupakan penyandang disabilitas berat. Mereka tidak dapat
melakukan sesuatu atau masuk dalam kategori tidak potensial. “Ada kecacatan fisik dan ada mental. Namun
ada juga keluarga kita yang mengalami kecacatan ganda. Sudah mengalami
kecacatan fisik ditambah lagi dengan
mental ataupun sebaliknya,” kata Muna Fatma.
Minimnya alokasi anggaran ini dikritisi Direktur
Flores Institute for Resources Development (FIRD) Vincent Sanggu. Ia mengaku
kecewa dengan alokasi anggaran yang minimalis tersebut. Tingginya jumlah
penyandang disabilitas di NTT, dan Ende khususnya, seharusnya menjadi
perhatian. Pemprov NTT dan Pemkab Ende harus menjadikan penyandang disabilitas
sebagai salah satu prioritas utama.
“Sungguh sebuah ironi. Penyandang disabilitas begitu tinggi, tapi
alokasi anggarannya sangat minim,” katanya.
Tak Sepenuhnya Dilirik
Kepala SLB Negeri Ende
Yosef Koda mengakui, ruangan kelas masih sangat terbatas. Apalagi, siswa yang
membutuhkan penanganan khusus, membutuhkan ruangan memadai sebagai tempat belajar.
Satu ruangan tidak bisa diisi terlalu banyak siswa. Terbatasnya ruangan,
terpaksa disekat. Ruangan hanya bisa disusun dua baris meja tidak bisa lebih.
Ruangan yang kecil sangat tidak mendukung kegiatan belajar. “Pelajaran yang
diberikan di ruangan sangat mengganggu pelajaran di ruangan sebelahnya. Namun
itu tidak menyurutkan kegigihan kami mendampingi para siswa,” kata Yosef Koda.
Sekolah luar biasa (SLB) juga hanya
satu di Kabupaten Ende. Sekolah itu didirikan dan
mulai beroperasi September 1986. Waktu
itu masih bernama Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri Ende. Setelah 17
tahun, pada tahun 2003, SDLB Negeri Ende berubah nama menjadi Sekolah Luar
Biasa (SLB) Negeri Ende.
Perubahan
nama dari SDLB Negeri Ende menjadi SLB Negeri Ende, menurut Yosef Koda, untuk
menjamin keberlangsungan pendidikan anak. Jika sekolah dasar luar biasa, maka
jenjang pendidikannya hanya untuk anak sekolah dasar. Setamat SDLB mereka harus
melanjutkan ke SMPLB dan SMALB di tempat lain, atau harus putus sekolah. Sehingga,
SDLB kemudian diubah menjadi SLB. Setelah menamatkan SD, siswa dapat
melanjutkan ke jenjang SMP dan kemudian ke jenjang SMA di tempat yang sama.
Di
SLB Negeri Ende ini, mereka tidak saja diajarkan belajar membaca, menulis, dan
menghitung. Namun, konsentrasinya lebih pada
keterampilan. Mereka diajarkan beberapa jenis keterampilan seperti tata
boga, tata busana dan tata rias. Bahkan, dari pendampingan dan pembelajaran
keterampilan yang diberikan itu, para siswa sudah menunjukkan kemampuan.
Misalkan untuk keterampilan tata boga, para siswa sudah bisa membuat aneka kue
yang kemudian dijual kepada para guru. Keterampilan tata busana, para siswa di
bawah bimbingan para guru sudah mulai mampu menjahit dan menggambar pola baju.
Bidang keterampilan tata rias pun demikian. Mereka sudah mampu merias dan
meluruskan rambut dengan fasilitas yang cukup memadai.
Bantuan Pemerintah
Provinsi NTT dan Pemerintah Kabupaten Ende memang ada. Dari provinsi setiap
tahun memang mengalokasikan bantuan dana untuk sarana prasarana namun belum
bisa menjawab semua kebutuhan. Demikian juga bantuan pemerintah kabupaten, ada
bantuan biaya operasional sekolah (BOS). Tahun 2010 lalu mereka mendapatkan
bantuan pembangunan ruang perpustakaan. Tetapi semua bantuan yang diterima
belum menjawab kekurangan ruang kelas.
Kesulitan demikian,
juga dialami Juliaa Flora Niron dan Marince Elvin Pono saat mulai merintis SLBN
Pembina Penfui, Kupang tahun 2005.
Waktu itu, sekolah masih
sangat minim fasilitas. Siswa pun belum ada. Untuk mendapatkan siswa, Flora
Niron bersama Marince Pono mendatangi rumah anak disabilitas dan mengajak
mereka sekolah. Tak jarang mereka dicemooh dan dimarahi orangtua anak
disabilitas.
SLB dianggap sebagai
sekolah bodoh dan gila. Orangtua menutup aib anaknya mengalami kekurangan.
“Stigma-stigma ini justru muncul dari orang-orang yang mampu secara intelek
bahkan pejabat. Mereka malu kalau nanti dibilang pejabat tapi punya anak
cacat,” kata Flora Niron.
Akibatnya, anak
dikucilkan dari kehidupan sosial dan tidak mendapatkan pendidikan yang layak.
Ada juga yang memaksakan anak disabilitas masuk ke sekolah umum. Di sana,
anak-anak akhirnya mendapatkan perlakuan diskriminatif dari teman-teman bahkan
guru.
Guru yang kurang
memahami karakteristik anak disabilitas, memperlakukan mereka secara kasar.
Anak lamban menyerap pelajaran dianggap bodoh. Anak akhirnya tertekan, minder, dan
menarik diri dari pergaulan.
Tanpa putus asa, mereka
terus berjuang menghimpun para murid. Akhirnya, kelas pertama mampu diisi 22
anak. Jenjang SD 20 orang, dan SMP dua orang.
Permasalahan tidak
berhenti sampai di situ. Sejumlah permasalahan terus bermunculan. Sekolah yang
belum dipagari menjadi malapetaka bagi murid perdana SLBN Pembina Penfui. Dua
siswa kakak beradik yang mengalami tuna grahita hilang dari sekolah.
Mereka hampir
kehilangan akal. Pencarian pun dimulai. Semua warga di sekitar kompleks sekolah
ditanyai sambil menyebut ciri-ciri kedua anak. Orangtua kedua anak yang tahu
anaknya hilang menebar ancaman. “Saya potong kamu kalau sampai anak saya hilang
atau diperkosa orang," katanya kepada Flora dan Marince.
Kedua anak itu akhirnya
berhasil ditemukan. Belajar dari pengalaman itu, mereka lalu mendorong
pemerintah untuk mempercepat pembangunan pagar sekolah.
Banyak Tantangan
Menghadapi begitu
banyak tantangan di awal merintis SLBN Pembina Penfui itu, mereka bertekad mendidik
dan mendampingi siswa dengan baik agar mereka memiliki kemajuan dalam proses
belajarnya. Karena, hanya dengan menunjukkan perkembangan yang bagus, seperti
dari tidak bisa bicara menjadi bisa bicara, dari yang tidak bisa mengurusi diri
sendiri akhirnya menjadi bisa, tentu akan menjadi bukti tersendiri bagi
orangtua siswa. Sehingga, pandangan miring SLB sebagai sekolah bodoh dan gila
perlahan mulai berkurang. Orangtua siswa disabilitas akhirnya mau mempercayakan
anaknya dibina dan dididik di SLB.
SLBN Pembina Penfui,
Kupang mulai mengalami kemajuan. Pemerintah tidak saja mulai memperhatikan
sarana prasarana pendukung pembelajaran berupa alat bantu sesuai kebutuhan,
namun juga peningkatan sumber daya guru. Bentuk perhatian itu akan semakin baik
jika guru memahami kebutuhan sehingga alat bantu yang diberikan benar-benar
berdasarkn kebutuhan. “Tak jarang alat bantu yang diberikan pemerintah hanya
menjadi pajangan karena guru tak tahu memanfaatkan alat bantu,” kata Flora
Niron.
SLBN Pembina Penfui
kini mengembangkan keterampilan anak didiknya. Aneka keterampilan seperti tata
boga, tata busana, tata rias/kecantikan, akupresor, perbengkelan kayu, otomotif, elektronik, dan
tenun diajarkan. Anak disabilitas yang dibina memiliki kemampuan luar biasa. Ada
di antara mereka yang mampu berprestasi sampai ke tingkat nasonal.
Wakil Kepala SMALB
Pembina Kupang Elisabeth Paledan mengatakan, perkembangan SLBN Pembina Penfui
Kupang memang cukup pesat. Kini, telah dipisahkan antara pendidikan dasar
(SD-SMP) dan pendidikan menengah (SMA). Untuk SD dan SMP tetap menggunakan
lokasi di Penfu, sedangkan SMA dipindahkan menempati gedung baru di Naikoten I,
Kota Kupang.
Kini, juga tengah
dibangun gedung tambahan untuk ruangan keterampilan agar para siswa tidak lagi
bolak-balik setiap Kamis sampai Sabtu ke SLBN Pembina Penfui mengikuti praktik
keterampilan.
Terkait ketenagaan
khususnya di SMALB Pembina, kata Elisabeth, sebayak 20 orang. Namun, hanya ada
lima guru yang berlatar belakang pendidikan luar biasa yakni tuna grahita tiga
orang, tuna netra satu orang, dan satunya lagi tuna daksa.
Walau hanya memiliki
lima guru yang memiliki spesialisasi di bidang ketunaan namun, tenaga pendidik
lainnya juga sangat membantu. Berbekal pengalaman, mereka mampu mendidik
anak-anak dengan baik.
Untuk meningkatkan
kompetensi mereka sesuai bidang tugas, kepada para guru, rutin dilakukan
pendidikan dan latihan (diklat). Diklat dilakukan rutin setiap tahun baik oleh
Pemerintah Pusat, maupun oleh Pemerintah Provinsi NTT. Para guru dikirim secara
bergilir mengikuti pelatihan guna meningkatkan kemampuan mereka dalam
penanganan anak-anak disabilitas.
Handicap Internasional,
organisasi internasional yang juga konsen memperhatikan penyandang disabilitas
mengakui, sejauh ini hanya fokus pada organisasi penyandang disabilitas, belum
pada anak disabilitas usia sekolah.
Handicap Internasional melalui forum dan organisasi penyandang
disabilitas mendampingi orangtua mereka sehingga dapat memberikan perhatian dan
pendampingan kepada anak disabilitas di rumah.
Project Officer
Handicap Internasional Yuris Bella mengatakan, pendampingan Handicap
Internasional melalui organisasi, nantinya organisasi akan melakukan pendataan
untuk meningkatkan kemampuan masing-masing penyandang disabilitas. Para
penyandang disabilitas akan lebih mudah dihimpun lewat organisasi.
Selain itu, lewat
pendampingan, para penyandang disabilitas diperkenalkan hak-hak dasar mereka
sehingga dapat memperjuangkan hak di tingkat terkecil, seperti desa/kelurahan
sehingga dapat diterima oleh masyarakat luas.
Selain itu, antarsesama
penyandang disabilitas yang selama ini masih menutup diri, akan didatangi di
rumah untuk mendorong dan memotivasi sehingga tidak minder dengan kehidupan
sosial bermasyarakat.
Untuk NTT, masih banyak
orang yang belum terjangkau. Bahkan dari berbagai pengalaman di lapangan,
banyak penyandang disabilitas maupun keluarganya yang belum mau terbuka dan
merasa minder serta tidak mau memberikan informasi. “Kepedulian mereka juga
masih sangat rendah,” tegasnya.
Bahkan, para penyandang
disabilitas selalu menjadi objek. Handicap Internasional berupaya mengangkat
para penyandang disabilitas menjadi subjek dan memiliki hak yang sama dengan
manusia normal lainnya. Sebab, penyandang disabilitas dapat sukses berkat
dukungan penuh dari keluarga dan masyarakat sekitar.
Fasilitator Handicap
Internasional Edi Purwanto mengatakan, dengan pengenalan hak-hak dasar,
memberikan kesempatan memperjuangkan hak-haknya dan berbagai regulasi telah
memberikan peluang-peluang itu. Penyandang disabilitas harus berani
memperjuangkan berbagai peluang sehingga haknya sama dengan manusia normal
lainnya.
Penyandang disabilitas
selalu dipandang sebelah mata. Dengan program ini, diharapkan dapat memberikan
pencerahan kepada pemerintah bahwa penyandang disabilitas mampu dan memiliki
hak yang sama dengan orang normal.
Penyandang disabilitas
didorong untuk ikut dalam proses perencanaan. “Apakah program perencanaan dan
penganggarannya menyentuh penyandang disabilitas atau tidak. Sebab kaum ini
tidak pernah disentuh, bahkan tidak ada dalam perencanaan dan penganggaran,”
tegasnya.
Untuk itu, sejumlah
pelatihan digelar dan menjadi ruang untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan
penganggaran, baik di tingkat musrenbang desa, kecamatan, kabupaten/kota,
maupun provinsi.
Masyarakat NTT dan
instansi pemerintah diharapkan membuka diri terhadap penyandang disabilitas
serta dilibatkan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan saling
berbergandengan tangan dalam menjalin kebersamaan dengan mereka.
Penyandang disabilitas
terutama anak usia sekolah setiap tahun mengalamipeningkatan. Pemerintah belum
mampu mewujudkan sarana prasarana pendidikan luar biasa yang memadai. SLB pun
sebarannya hanya terpusat di ibu kota kabupaten. Di kecamatan dan desa belum
tersedia SLB.
Program inklusif yang
dicanangkan untuk membantu pendidikan anak disabilitas pun masih belum menjawab
persoalan. Program itu tidak diikuti penyiapan tenaga guru berlatar belakang
pendidikan luar biasa. Sarana prasarana penunjang pun masih jauh dari harapan.
Padahal, anak
penyandang disabilitas adalah bagian dari masyarakat Indonesia, masyarakat Nusa
Tenggara Timur. Namun, mereka seolah anak tiri bangsa ini. Pendidikan dan
kesehatan mereka masih diabaikan walau sebenarnya mereka juga ingin sekolah
seperti teman-teman mereka yang lain.
“Mereka juga manusia
yang sama harkat dan martabatnya dengan orang lain. Potensi yang ada di mereka
dapat diberdayakan. Mereka juga harus diperhatikan sama dengan warga lainnya,” tutup
Edi Purwanto. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar