25 Maret 2014

Aku Ingin Sekolah

Hiero Bokilia

UDARA dingin masih menyelimuti Desa Randotonda siang itu. Di atas bale-bale  bambu, terbaring Kristina Wonga, 10 tahun, telanjang bulat. Sesekali dia menyeringai, kemudian menggoyangkan badannya. Dia lalu bangun dan duduk acuh tak acuh bersandar di dinding bak penampung air hujan yang ada di belakangnya.

Di kaki dan pahanya terlihat kotoran menempel. Tidak diketahui kapan dia buang air besar. Melihat itu, neneknya segera datang dengan seember air dan tempat sabun lalu memandikannya. Dia lalu memakaikan baju dan celana. Tanpa sepatah katapun, Kristina langsung berjalan ke halaman depan rumah, duduk dan bermain di atas tanah berdebu.

Di usianya yang memasuki 10 tahun, harusnya pada jam itu dia sedang sekolah. Karena menyandang cacat mental, sehari-hari Kristina hanya duduk termangu di atas bale-bale bambu itu.

Kristina merupakan salah satu dari tujuh ribu lebih penderita cacat mental di Nusa Tenggara Timur. Menurut data terakhir, penyandang disabilitas di provinsi ini berjumlah sekitar 33 ribu dari sekitar 4,6 juta pendudukan. Jangankan diperlakukan sama sebagai warga negara. Hak para penyandang disabilitas dalam pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan pun masih belum terpenuhi di wilayah ini.


Tanpa Perhatian Pemerintah
 Secara fisik Kristina Wonga terlahir normal. Pada usia enam bulan, tiba-tiba lehernya tidak bisa ditegakkan. Setelah diperiksa bidan, orangtuanya disarankan membawa Kristina ke dokter spesialis anak. Dari situ diketahui ia menderita keterbelakangan mental. Tumbuh kembangnya bakal terhambat.

Mendengar vonis demikian, sempat membuat orangtua Kristina putus  asa. Namun, mereka tidak tinggal diam. Stefania ibunya yang bekerja sebagai staf di kantor desa setempat berjuang membawa Kristina  ke para pendoa dan juga dukun kampung.

Berbagai upaya pengobatan dokter dan pengobatan tradisional diupayakannya sendiri. Waktu itu, sama sekali tak ada perhatian dari pemerintah. Untung dia memiliki kartu Jamkesda sehingga biaya pengobatan di rumah sakit lebih ringan. Namun, untuk obat-obatan yang dibelinya selama merawat Kristina, diusakan sendiri.  

Sejumlah ramuan diperolehnya untuk mewujudkan kesembuhan putrinya tercinta. Perlahan,  leher Kristina bisa tegak kembali.  Tetapi, dia belum bisa duduk.

Saat itu, kata Stefania, pengetahuannya tentang penyakit yang diderita anaknya dan upaya membantu mengatasinya sangat minim. Mereka sempat malu dan hanya pasrah memiliki anak cacat mental. Namun, pengetahuannya mulai terbuka ketika diperkenalkan sejumlah pengetahuan baru untuk mengatasi kecacatan yang dialami Kristina. Semula, dia mendudukkan Kristina di dalam ember bak  dan meletakan bantal untuk menahan lehernya agar bisa duduk.  Namun, tidak terlalu banyak membantu.

Pengetahuan berarti yang tidak pernah akan dilupakannya walaupun sempat mendapatkan cemoohan dari tetangga. Waktu itu tahun 2006. Ia dan suaminya membuat palang sejajar. Sejumlah tiang bambu dibuat dan diikat belahaan  bambu disekelilingnya. Pada bilah bambu itu, Kristina melatih berjalan. Agar tidak kotor, di tanah dibentangkan ferlag sebagai alas. Palang sejajar yang dibuat seperti kandang itu yang membuat para tetangga mencemoohnya. Mereka menilai pasangan Stefania dan Aloysius memperlakukan anak mereka seperti binatang.

“Walau mereka terus cemooh saya dan bilang saya buat anak saya seperti binatang, tapi saya tidak peduli. Mereka tidak tahu apa yang kami buat,” kata Stefania.

Dari ketabahan dan ketegarannya menerima cemoohan dari warga tetangga rumahnya itu, perlahan-lahan mulai membuahkan hasil. Anaknya yang sebelumnya hanya bisa merangkak dan tidak bisa berdiri mulai bisa belajar berdiri. Palang sejajar yang dibuat mulai membantu Kristina yang mulai berdiri belajar jalan. Dibantu palang sejajar, Kristina perlahan mulai meniti jalan sambil berpegang pada bilah bambu.

Di usianya yang genap enam tahun pada tahun 2009, Kristina mulai bisa berjalan. Upaya dan kerja keras itu akhirnya berbuah keberhasilan. Walaupun dicemooh dan dituding memperlakukan anak seperti binatang namun, apa yang dibuatnya dengan penuh kesadaran telah membuat anaknya bisa berjalan.

Namun, di sini pula awal muncul masalah baru. Kristna yang mulai pintar berjalan, sulit diatur. Pakaian yang dipakaikan kepadanya hanya bertahan sebentar. Rok atau celana yang dikenakan tak berapa lama kemudian langsung dibukanya lagi. Baju pun bernasib sama. Walau agak lama dikenakan, namun akhirnya dibukannya juga. Naasnya lagi, dengan bertelanjang, Kristin kecil lalu berjalan keliling kampung.

Ini yang semakin mengkhawatirkan Stefania dan Aloysius, suaminya. Soal kebiasaannya tidak mau berpakaian ini, suami istri ini tidak bisa berbuat banyak.  Sedangkan untuk mengatasi kebiasaannya berjalan keliling kampung, keduanya terpaksa membuat bale-bale setinggi satu meter. Di atas bale-bale ini-lah Kristina melewati hari-harinya.

Dia hanya bisa tidur dan terkadang bangun dan duduk di atas bale-bale yang hanya dilindungi atap seng bekas yang mulai berlubang. Saat jam makan tiba baru diberikan makan. Kalau terlambat dia akan marah dan makanan yang ditaruh didekatnya akan dibuang.

Walaupun kondisinya seperti itu, ibunya tetap berharap, suatu saat nanti Kristina bisa mandiri. Setidaknya dia bisa mengurus dirinya terutama hal-hal kecil untuk dirinya sendiri seperti buang air, mandi, dan berpakaian. “Saya khawatir, kebiasaan melepas pakaian ini terbawa sampai dewasa. Saya tidak bisa bayangkan kalau dia sudah besar dan keliling kampung tanpa pakaian,” katanya resah.

Upaya ke arah itu terus dia lakukan. Dia terus berupaya mencari tahu tempat-tempat yang bisa menampung dan  mendidik Kristina. Pilihan ke Cancar, tempat rehabilitasi anak cacat di Kabupaten Manggarai sempat diupayakan. Hanya saja terkendala karena syaratnya harus anak yang sudah bisa mengurus diri sendiri. Padahal, saat ini Kristina dalam usianya sepuluh tahun belum bisa melakukan apapun, walau hanya untuk dirinya sendiri. Tapi itu tidak membuatnya patah arang.

“Saya akan tetap berusaha agar suatu saat nanti dia bisa mandiri dan punya keterampilan. Sekarang yang saya pikir bagaimana cari tempat yang baik supaya dia bisa dijaga dan dididik,” kata Stefania.

Harus Sekolah
Kristina Wonga tetap ingin sekolah. Ibunya bertekad anaknya harus bisa mandiri. Memang, pendidikan dan kesehatan bagi anak disabilitas masih minim perhatian. Kristina hanyalah satu dari 33.879 cerita pilu anak penyandang disabilitas di NTT yang harus menjadi perhatian pemerintah di setiap tingkatan.

Kepala Dinas Pendidikan Nusa Tenggara Timur Klemens Meba mengakui, penanganan pendidikan anak disabilitas di SLB sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 secara tegas mengatur tanggung jawab pendidikan luar biasa bagi anak disabilitas menjadi urusan provinsi baik itu urusan anggaran untuk gaji guru, pengelola SLB, dan pembangunan sarana prasarana pendukung pendidikan, akses, peningkatan sumber daya dan  mutu guru, siswa, dan manajemen sekolah.

SLB yang ada di kabupaten-kabupaten juga berada di bawah tanggung jawab Dinas Pendidikan. Dinas Pendidikan di tingkat kabupaten sebatas melakukan penyiapan data anak disabilitas dan membangun koordinasi dengan Dinas Pendidikan NTT. Kebutuhan sekolah juga menjadi tanggung jawab Dinas Pendidikan NTT. Hanya saja, harus melalui usulan dari masing-masing sekolah. Sekolah melakukan analisa kebutuhan dan diajukan ke Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Pusat.

Kepala Bidang Pendidikan Khusus Pendidikan Luar Biasa (PKPLB) Falentinus Bhalu mengatakan, anak disabilitas usia sekolah yang ada di NTT saat ini secara keseluruhan berjumlah 11 ribu lebih. Namun, baru 5.900 yang mendapatkan pendidikan. Masih terdapat 40 persen yang belum sekolah.

Anak disabilitas tersebut tersebar di 26 SDLB, 26 SMPLB, dan 20 SMALB di 18 kabupaten/kota. Terdapat tiga kabupaten di NTT yang belum memiliki SLB yaitu Kabupaten Manggarai Barat, Sumba Barat Daya, Sabu Raijua, dan Malaka. Terdapat 476 guru yang mengabdi di sejumlah SLB yang tersebar di seluruh kabupaten/kota.

Walau keberadaan SLB baru terdapat di ibu kota kabupaten dan belum dapat dibangun di kecamatan dan desa namun, bukan berarti anak disabilitas usia sekolah tidak dapat sekolah. Program inklusif yang digiatkan pemerintah sebenarnya merupakan solusi mengatasi persoalan itu. Para penyandang disabilitas berhak menikmati pendidikan di sekolah inklusif.
 
Hak pendidikan anak disabilitas sebenarnya telah dijamin oleh undang-undang. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2009 mengamanatkan seluruh sekolah umum dari berbagai jenjang SD sampai SMA menerima anak-anak penyandang disabilitas untuk mendapatkan pendidikan.

Juliana Flora Niron, lulusan magister manajemen konsultasi bidang pendidikan mengakui, program inklusif merupakan terobosan yang baik dari pemerintah untuk membantu para penyandang disabilitas. Kehadiran sekolah inklusif akan membantu siswa disabilitas lebih percaya diri berada di tengah siswa lainnya.

Hanya saja, tidak semua anak disabilitas dapat dimasukkan begitu saja ke sekolah inklusif. Sebelum dimasukkan ke sekolah inklusif harus terlebih dahulu diuji kemampuannya. Jika dari sisi akademik dan sosialnya memungkinkan, baru mereka dapat dimasukkan ke sekolah inklusif. Namun, jika kemampuannya tidak mencukupi, hendaknya tidak dipaksakan masuk ke sekolah inklusif. Jika dipaksakan, justru akan menyulitkan. Apalagi, di sekolah-sekolah regular, para guru belum begitu memahami karakter dan kebutuhan anak disabilitas.

Terkadang, karena anak tidak cepat memahami penjelasan guru, lalu dianggap bodoh. Tak jarang mereka dibentak, bahkan dipukul. Akibatnya, anak disabilitas menjadi semakin tertekan dan mempengaruhi perkembangannya. Seharusnya, anak disabilitas membutuhkan perhatian dan penanganan khusus.

Dalam kegiatan belajar mengajar untuk anak disabilitas, bukan mengejar target akademik dan kurikulum. Namun, yang dikejar adalah kemampuannya. Karena itu, sebelum memberikan pengajaran kepada siswa disabilitas, harus dilakukan deteksi dini untuk mengetahui kemampuan dan kebutuhan anak disabilitas. Setelah itu, baru dibuatkan program, sehingga dalam penanganan anak disabilitas bisa sesuai dengan apa yang dibutuhkan.


Ketenagaan belum Mendukung
Falentinus Bhalu mengakui, dari sisi ketenagaan baik guru dan pendidik di SLB dan sekolah inklusif yang ada di NTT masih jauh dari memadai. Banyak guru yang mengabdi di SLB bukan berlatar belakang pendidikan luar biasa (PLB). Mereka hanya memiliki pengalaman lalu diangkat menjadi guru di SLB. Setelah itu, baru diberikan pendidikan dan pelatihan (Diklat). Selain itu,  keberadaan sekolah inklusif di semua kabupaten belum berjalan maksimal disebabkan faktor terbatasnya tenaga pendidik yang berlatar belakang pendidikan luar biasa.

Misalnya sekolah inklusif menerima siswa tuna netra, maka harus ada guru di sekolah tersebut yang mampu membaca huruf brailer. Atau misalnya menerima anak tuna rungu wicara, maka harus ada guru yang sudah bisa bahasa isyarat. Karena jika tidak ada guru yang memiliki keterampilan di bidang itu, maka akan sulit dalam membimbing anak-anak penyandang disabilitas.

Apalagi, di NTT saat ini belum ada pergurun tinggi yang membuka program studi pendidikan luar biasa untuk menyiapkan tenaga pendidik yang nanti diabdikan di SLB dan sekolah inklusif. Satu-satunya perguruan tinggi di NTT yang mengembangkan pendidikan luar biasa adalah Universitas San Pedro. Namun, setelah lima semester kemudian ditutup karena permasalahan perizinan.

Seharusnya, keberanian mendirikan Program Studi Pendidikan Luar Biasa yang dilakukan Universitas San Pendro itu didukung, sehingga lima tahun mendatang, NTT tidak lagi kesulitan tenaga pendidik di SLB dan sekolah inklusif. 

Ketua Yayasan Sandi Mundi Pendeta Munce R Terik, S.Th, M.Pd, MM, terdorong untuk mulai mengembangkan pendidikan yang khusus mendidik calon guru pendidikan luar biasa. Bahkan lembaga pendidikan yang dikembangkan di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Penabur Kupang, ia dan teman-temannya membuka Program Studi Pendidikan Luar Biasa (PLB) untuk mendidik calon guru untuk mengajar di sekolah luar biasa dan inklusif.

Selain itu, ia juga berupaya mengembangkan klinik pijat refleksi. Rencana ini terinspirasi dari banyaknya orang-orang berkebutuhan khusus yang memiliki keterampilan pijat refleksi namun, tidak terorganisir secara baik. Mereka hanya melayani orang-orang yang membutuhkan pijat refleksi di hotel dan di tempat-tempat yang membutuhkan. Karena itu, klinik yang digagas itu dapat menampung dan menyiapkan tempat khusus bagi mereka untuk melayani orang yang membutuhkan pijat refleksi.

Keberadaan klinik terapi juga dapat membantu orang-orang berkebutuhan khusus mengembagkan potensi lain yang mereka miliki, sehingga tidak saja menjalani pijat refleksi, namun mereka juga dapat menjalani keterampilan lain yang mereka miliki.

Selain terbatas tenaga pendidik, masalah minimnya anggaran pendidikan juga masih dirasakan. Tahun 2013 Bidang PKPLB mendapatkan alokasi anggaran Rp 1,7 miliar untuk membiayai semua SLB yang tersebar di semua kabupaten di NTT. Alokasi ke sekolah-sekolah juga tidak merata, tergantung  pada jumlah siswa dan tenaga pengelola.

Dana itu untuk membayar honor honor instruktur keterampilan, tenaga pengelola SLB, diklat autis dan tuna netra, dan pemberian beasiswa kepada anak disabilitas.

Anggaran tersebut memang diakuinya terbatas. Namun, anggaran yang minim bukan menjadi penghambat. Sepanjang ada komitmen, maka semua persoalan itu dapat diatasi.  “Urus pendidikan tidak  bisa diukur dengan uang. Ada uang atau tidak ada uang harus tetap jalan. Jadi, kalau membangun pendidikan diukur dengan uang tidak akan cukup,” kata Falentinus Bhalu.   


Belum Jadi Prioritas
Penanganan penyandang disabilitas di Nusa Tenggara Timur sejauh ini memang belum maksimal. Bahkan, Kepala Dinas Sosial Petrus Sinu Manuk mengakui, masalah penyandang disabilitas belum menjadi prioritas Pemerintah Provinsi.

Padahal, terdapat 33 ribu penyandang disabilitas yang tersebar di semua kabupaten/kota. Namun, hanya dialokasikan dana Rp 600 juta per tahun untuk penanganaan penyandang disabilitas. “Kita ini anggarannya terbatas. Pemerintah sudah pasti mempunyai prioritas-prioritas. Penyandang disabilitas masih pada prioritas kesekian. Nah, karena prioritas kesekian, maka alokasi anggarannya juga sesuai porsinya,” jelas Petrus Manuk.

Dikatakannya, dengan anggaran yang minimalis tersebut, Dinas Sosial harus membagikan kepada 22 kabupaten/kota di NTT. Sehingga, program yang dijalankan bagi penyandang disabilitas belum optimal. Dana itu dimanfaatkan untuk bantuan alat bantu seperti tangan palsu, kaki palsu, dan kruk. “Setiap tahun, kita mencoba berargumentasi dan menyampaikan alasan-alasan agar penyandang disabilitas dengan jumlah yang besar ini dapat dinaikkan anggarannya,” kata Manuk.

Alokasi dana Rp 600 juta itu jika dibagikan secara merata kepada 33 ribu penyandang disabilitas, maka masing-masing hanya kebagian sekitar Rp 18 ribu lebih. Sungguh sebuah ironi.

Minimnya alokasi anggaran itu tidak hanya di tingat provinsi. Tingkat kabupaten juga bernasib sama. Kabupaten Ende misalnya, hanya mengalokasikan Rp 150 juta untuk penanganan penyandang disabilitas. Padahal, jumlah penyandang disabilitas di Ende juga tak kalah banyaknya.

Kepala Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kabupaten Ende dr Muna Fatma pun mengakui, hingga saat ini, baru 163 orang penyandang disabilitas berat yang benar-benar mendapatkan bantuan rutin dari Pemerintah Pusat, Provinsi, dan kabupaten. Setiap bulan, penyandang disabilitas berat mendapatkan alokasi bantuan sebesar Rp 300 ribu per orang.  “Jadi untuk penyandang disabilitas tidak potensial diberikan jaminan sosial Rp 300 ribu per bulan. Setiap tahunya dialokasikan Rp 586,8 juta dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan pemerintah kabupaten,” ujarnya.

Padahal, jumlah penyandang cacat yang ada di Kabupaten Ende sebanyak 3.627 orang. Dari jumlah itu, terdapat 587 orang tuna wicara, tuna daksa 2.140 orang, tuna netra 480 orang, dan tuna grahita 420 orang.

Dari total penyandang disabilitas 3.627 orang itu, sebanyak 163 orang merupakan penyandang disabilitas berat. Mereka tidak dapat melakukan sesuatu atau masuk dalam kategori tidak potensial.  “Ada kecacatan fisik dan ada mental. Namun ada juga keluarga kita yang mengalami kecacatan ganda. Sudah mengalami kecacatan fisik  ditambah lagi dengan mental ataupun sebaliknya,” kata Muna Fatma.

Minimnya alokasi anggaran ini dikritisi Direktur Flores Institute for Resources Development (FIRD) Vincent Sanggu. Ia mengaku kecewa dengan alokasi anggaran yang minimalis tersebut. Tingginya jumlah penyandang disabilitas di NTT, dan Ende khususnya, seharusnya menjadi perhatian. Pemprov NTT dan Pemkab Ende harus menjadikan penyandang disabilitas sebagai salah satu prioritas utama.  “Sungguh sebuah ironi. Penyandang disabilitas begitu tinggi, tapi alokasi anggarannya sangat minim,” katanya.


Tak Sepenuhnya Dilirik
 Pendidikan luar biasa membutuhkan perhatian khusus. Namun, perhatian itu hingga kini masih minim. Apalagi, Dinas Pendidikan di kabupaten tidak memberikan perhatian khusus bagi mereka. Dinas hanya sebatas menyiapkan data anak penyandang disabilitas untuk disampaikan ke Dinas Pendidikan Provinsi NTT. Setelag itu selesai. Akibatnya, sekolah masih minim ruang kelas. Kelas yang sempit disekat dan dibagi lagi untuk memenuhi kebutuhan ruang kelas. Ini fatal karena konsentrasi siswa saat pelajaran terganggu. Sebagai anak berkebutuhan khusus, mereka seharusnya butuh penanganan khusus dengan ruang kelas dan fasilitas pendukung yang memadai.

Kepala SLB Negeri Ende Yosef Koda mengakui, ruangan kelas masih sangat terbatas. Apalagi, siswa yang membutuhkan penanganan khusus, membutuhkan ruangan memadai sebagai tempat belajar. Satu ruangan tidak bisa diisi terlalu banyak siswa. Terbatasnya ruangan, terpaksa disekat. Ruangan hanya bisa disusun dua baris meja tidak bisa lebih. Ruangan yang kecil sangat tidak mendukung kegiatan belajar. “Pelajaran yang diberikan di ruangan sangat mengganggu pelajaran di ruangan sebelahnya. Namun itu tidak menyurutkan kegigihan kami mendampingi para siswa,” kata Yosef Koda.

Sekolah luar biasa (SLB) juga hanya satu di  Kabupaten Ende. Sekolah itu didirikan dan mulai beroperasi September  1986. Waktu itu masih bernama Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri Ende. Setelah 17 tahun, pada tahun 2003, SDLB Negeri Ende berubah nama menjadi Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Ende.

Perubahan nama dari SDLB Negeri Ende menjadi SLB Negeri Ende, menurut Yosef Koda, untuk menjamin keberlangsungan pendidikan anak. Jika sekolah dasar luar biasa, maka jenjang pendidikannya hanya untuk anak sekolah dasar. Setamat SDLB mereka harus melanjutkan ke SMPLB dan SMALB di tempat lain, atau harus putus sekolah. Sehingga, SDLB kemudian diubah menjadi SLB. Setelah menamatkan SD, siswa dapat melanjutkan ke jenjang SMP dan kemudian ke jenjang SMA di tempat yang sama.

Di SLB Negeri Ende ini, mereka tidak saja diajarkan belajar membaca, menulis, dan menghitung. Namun, konsentrasinya lebih pada  keterampilan. Mereka diajarkan beberapa jenis keterampilan seperti tata boga, tata busana dan tata rias. Bahkan, dari pendampingan dan pembelajaran keterampilan yang diberikan itu, para siswa sudah menunjukkan kemampuan. Misalkan untuk keterampilan tata boga, para siswa sudah bisa membuat aneka kue yang kemudian dijual kepada para guru. Keterampilan tata busana, para siswa di bawah bimbingan para guru sudah mulai mampu menjahit dan menggambar pola baju. Bidang keterampilan tata rias pun demikian. Mereka sudah mampu merias dan meluruskan rambut dengan fasilitas yang cukup memadai.


Bantuan Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Kabupaten Ende memang ada. Dari provinsi setiap tahun memang mengalokasikan bantuan dana untuk sarana prasarana namun belum bisa menjawab semua kebutuhan. Demikian juga bantuan pemerintah kabupaten, ada bantuan biaya operasional sekolah (BOS). Tahun 2010 lalu mereka mendapatkan bantuan pembangunan ruang perpustakaan. Tetapi semua bantuan yang diterima belum menjawab kekurangan ruang kelas.


Kesulitan demikian, juga dialami Juliaa Flora Niron dan Marince Elvin Pono saat mulai merintis SLBN Pembina Penfui, Kupang tahun 2005.

Waktu itu, sekolah masih sangat minim fasilitas. Siswa pun belum ada. Untuk mendapatkan siswa, Flora Niron bersama Marince Pono mendatangi rumah anak disabilitas dan mengajak mereka sekolah. Tak jarang mereka dicemooh dan dimarahi orangtua anak disabilitas.

SLB dianggap sebagai sekolah bodoh dan gila. Orangtua menutup aib anaknya mengalami kekurangan. “Stigma-stigma ini justru muncul dari orang-orang yang mampu secara intelek bahkan pejabat. Mereka malu kalau nanti dibilang pejabat tapi punya anak cacat,” kata Flora Niron.

Akibatnya, anak dikucilkan dari kehidupan sosial dan tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Ada juga yang memaksakan anak disabilitas masuk ke sekolah umum. Di sana, anak-anak akhirnya mendapatkan perlakuan diskriminatif dari teman-teman bahkan guru.

Guru yang kurang memahami karakteristik anak disabilitas, memperlakukan mereka secara kasar. Anak lamban menyerap pelajaran dianggap bodoh. Anak akhirnya tertekan, minder, dan menarik diri dari pergaulan.

Tanpa putus asa, mereka terus berjuang menghimpun para murid. Akhirnya, kelas pertama mampu diisi 22 anak. Jenjang SD 20 orang, dan SMP dua orang.

Permasalahan tidak berhenti sampai di situ. Sejumlah permasalahan terus bermunculan. Sekolah yang belum dipagari menjadi malapetaka bagi murid perdana SLBN Pembina Penfui. Dua siswa kakak beradik yang mengalami tuna grahita hilang dari sekolah.

Mereka hampir kehilangan akal. Pencarian pun dimulai. Semua warga di sekitar kompleks sekolah ditanyai sambil menyebut ciri-ciri kedua anak. Orangtua kedua anak yang tahu anaknya hilang menebar ancaman. “Saya potong kamu kalau sampai anak saya hilang atau diperkosa orang," katanya kepada Flora dan Marince.

Kedua anak itu akhirnya berhasil ditemukan. Belajar dari pengalaman itu, mereka lalu mendorong pemerintah untuk mempercepat pembangunan pagar sekolah.

Banyak Tantangan
Menghadapi begitu banyak tantangan di awal merintis SLBN Pembina Penfui itu, mereka bertekad mendidik dan mendampingi siswa dengan baik agar mereka memiliki kemajuan dalam proses belajarnya. Karena, hanya dengan menunjukkan perkembangan yang bagus, seperti dari tidak bisa bicara menjadi bisa bicara, dari yang tidak bisa mengurusi diri sendiri akhirnya menjadi bisa, tentu akan menjadi bukti tersendiri bagi orangtua siswa. Sehingga, pandangan miring SLB sebagai sekolah bodoh dan gila perlahan mulai berkurang. Orangtua siswa disabilitas akhirnya mau mempercayakan anaknya dibina dan dididik di SLB.


SLBN Pembina Penfui, Kupang mulai mengalami kemajuan. Pemerintah tidak saja mulai memperhatikan sarana prasarana pendukung pembelajaran berupa alat bantu sesuai kebutuhan, namun juga peningkatan sumber daya guru. Bentuk perhatian itu akan semakin baik jika guru memahami kebutuhan sehingga alat bantu yang diberikan benar-benar berdasarkn kebutuhan. “Tak jarang alat bantu yang diberikan pemerintah hanya menjadi pajangan karena guru tak tahu memanfaatkan alat bantu,” kata Flora Niron.

SLBN Pembina Penfui kini mengembangkan keterampilan anak didiknya. Aneka keterampilan seperti tata boga, tata busana, tata rias/kecantikan, akupresor,  perbengkelan kayu, otomotif, elektronik, dan tenun diajarkan. Anak disabilitas yang dibina memiliki kemampuan luar biasa. Ada di antara mereka yang mampu berprestasi sampai ke tingkat nasonal.

Wakil Kepala SMALB Pembina Kupang Elisabeth Paledan mengatakan, perkembangan SLBN Pembina Penfui Kupang memang cukup pesat. Kini, telah dipisahkan antara pendidikan dasar (SD-SMP) dan pendidikan menengah (SMA). Untuk SD dan SMP tetap menggunakan lokasi di Penfu, sedangkan SMA dipindahkan menempati gedung baru di Naikoten I, Kota Kupang.

Kini, juga tengah dibangun gedung tambahan untuk ruangan keterampilan agar para siswa tidak lagi bolak-balik setiap Kamis sampai Sabtu ke SLBN Pembina Penfui mengikuti praktik keterampilan.

Terkait ketenagaan khususnya di SMALB Pembina, kata Elisabeth, sebayak 20 orang. Namun, hanya ada lima guru yang berlatar belakang pendidikan luar biasa yakni tuna grahita tiga orang, tuna netra satu orang, dan satunya lagi tuna daksa.

Walau hanya memiliki lima guru yang memiliki spesialisasi di bidang ketunaan namun, tenaga pendidik lainnya juga sangat membantu. Berbekal pengalaman, mereka mampu mendidik anak-anak dengan baik.

Untuk meningkatkan kompetensi mereka sesuai bidang tugas, kepada para guru, rutin dilakukan pendidikan dan latihan (diklat). Diklat dilakukan rutin setiap tahun baik oleh Pemerintah Pusat, maupun oleh Pemerintah Provinsi NTT. Para guru dikirim secara bergilir mengikuti pelatihan guna meningkatkan kemampuan mereka dalam penanganan anak-anak disabilitas.


Handicap Internasional, organisasi internasional yang juga konsen memperhatikan penyandang disabilitas mengakui, sejauh ini hanya fokus pada organisasi penyandang disabilitas, belum pada anak disabilitas usia sekolah.  Handicap Internasional melalui forum dan organisasi penyandang disabilitas mendampingi orangtua mereka sehingga dapat memberikan perhatian dan pendampingan kepada anak disabilitas di rumah.

Project Officer Handicap Internasional Yuris Bella mengatakan, pendampingan Handicap Internasional melalui organisasi, nantinya organisasi akan melakukan pendataan untuk meningkatkan kemampuan masing-masing penyandang disabilitas. Para penyandang disabilitas akan lebih mudah dihimpun lewat organisasi.

Selain itu, lewat pendampingan, para penyandang disabilitas diperkenalkan hak-hak dasar mereka sehingga dapat memperjuangkan hak di tingkat terkecil, seperti desa/kelurahan sehingga dapat diterima oleh masyarakat luas.

Selain itu, antarsesama penyandang disabilitas yang selama ini masih menutup diri, akan didatangi di rumah untuk mendorong dan memotivasi sehingga tidak minder dengan kehidupan sosial bermasyarakat.

Untuk NTT, masih banyak orang yang belum terjangkau. Bahkan dari berbagai pengalaman di lapangan, banyak penyandang disabilitas maupun keluarganya yang belum mau terbuka dan merasa minder serta tidak mau memberikan informasi. “Kepedulian mereka juga masih sangat rendah,” tegasnya.

Bahkan, para penyandang disabilitas selalu menjadi objek. Handicap Internasional berupaya mengangkat para penyandang disabilitas menjadi subjek dan memiliki hak yang sama dengan manusia normal lainnya. Sebab, penyandang disabilitas dapat sukses berkat dukungan penuh dari keluarga dan masyarakat sekitar.

Fasilitator Handicap Internasional Edi Purwanto mengatakan, dengan pengenalan hak-hak dasar, memberikan kesempatan memperjuangkan hak-haknya dan berbagai regulasi telah memberikan peluang-peluang itu. Penyandang disabilitas harus berani memperjuangkan berbagai peluang sehingga haknya sama dengan manusia normal lainnya.

Penyandang disabilitas selalu dipandang sebelah mata. Dengan program ini, diharapkan dapat memberikan pencerahan kepada pemerintah bahwa penyandang disabilitas mampu dan memiliki hak yang sama dengan orang normal.

Penyandang disabilitas didorong untuk ikut dalam proses perencanaan. “Apakah program perencanaan dan penganggarannya menyentuh penyandang disabilitas atau tidak. Sebab kaum ini tidak pernah disentuh, bahkan tidak ada dalam perencanaan dan penganggaran,” tegasnya.

Untuk itu, sejumlah pelatihan digelar dan menjadi ruang untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan penganggaran, baik di tingkat musrenbang desa, kecamatan, kabupaten/kota, maupun provinsi.

Masyarakat NTT dan instansi pemerintah diharapkan membuka diri terhadap penyandang disabilitas serta dilibatkan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan saling berbergandengan tangan dalam menjalin kebersamaan dengan mereka.

Penyandang disabilitas terutama anak usia sekolah setiap tahun mengalamipeningkatan. Pemerintah belum mampu mewujudkan sarana prasarana pendidikan luar biasa yang memadai. SLB pun sebarannya hanya terpusat di ibu kota kabupaten. Di kecamatan dan desa belum tersedia SLB.

Program inklusif yang dicanangkan untuk membantu pendidikan anak disabilitas pun masih belum menjawab persoalan. Program itu tidak diikuti penyiapan tenaga guru berlatar belakang pendidikan luar biasa. Sarana prasarana penunjang pun masih jauh dari harapan.

Padahal, anak penyandang disabilitas adalah bagian dari masyarakat Indonesia, masyarakat Nusa Tenggara Timur. Namun, mereka seolah anak tiri bangsa ini. Pendidikan dan kesehatan mereka masih diabaikan walau sebenarnya mereka juga ingin sekolah seperti teman-teman mereka yang lain.

“Mereka juga manusia yang sama harkat dan martabatnya dengan orang lain. Potensi yang ada di mereka dapat diberdayakan. Mereka juga harus diperhatikan sama dengan warga lainnya,” tutup Edi Purwanto. (*)

Tidak ada komentar: