25 Maret 2014

Gaya Hidup Kebablasan

Fenomena prostitusi di kalangan remaja yang sudah tampak biasa di mata masyarakat dipengaruhi oleh kekuatan ikatan sosial kekeluargaan yang dibangun di dalam rumah tangga. Anak-anak yang beranjak remaja kerap diabaikan. Mereka tidak merasa "at home" lagi di rumah dan mencari kehidupannya sendiri di luar rumah. 

Hiero Bokilia

KEHIDUPAN masyarakat senantiasa bergerak seiring perkembangan zaman. Perubahan selalu membawa dampak positif. Namun, tak jarang pula dam[pak negatif mendominasi dalam setiap gerak perubahan di suatu wilayah terutama yang menimpa pada para remaha. Era kekebasan yang didengungkan remaja masa kini, kerap membawa pada kebebasan yang melampaui batas kewajaran. Tidak sekadar bebas akibat keinginan diperhatikan, melainkan keinginan untuk meraup rupiah demi gaya hidup yang semakin mahal. Tak jarang, untuk mencapai gaya hidup hedonisme yang membutuhkan biaya mahal, banyak remaja putri yang kebablasan dan rela menjajakan dirinya. 

Masa remaja adalah fase mencari jati diri, ingin eksistensi diri diperhatikan. Namun, ketika di fase rawan ini kenakalan remaja kebablasan, membawa remaja terjebak dalam pergaulan bebas cenderung negatif bahan mencapai klimaksnya rela menjajakan diri.

Kota Kupang sebagai ibu kota Provinsi NTT juga mulai menjalani gaya hidup hedonisme yang kebablasan tersebut. Tidak sedikit remaja sekolah yang telah terjerumus dalam kehidupan seks bebas hingga rela menjajakan diri demi memenuhi kepuasan bathin memiliki barang mewah. Bahkan tidak sedikit remaja yang rela menjajakan diri hanya untuk bisa mendapatkan handphone (HP) canggih sekelas Android, Apple, dan lainnya. 

Pergeseran nilai, norma, dan tata kehidupan remaja masa kini tidak sepenuhnya menjadi kesalahan para remaja itu sendiri. Fenomena prostitusi di kalangan remaja yang sudah tampak biasa di mata masyarakat itu juga tentunya dipengaruhi oleh kekuatan ikatan sosial kekeluargaan yang dibangun di dalam rumah tangga. Anak-anak yang beranjak remaja kerap diabaikan. Mereka tidak merasa "at home" lagi di rumah dan mulai mencari kehidupannya sendiri di luar rumah. lingkungan yang mendukung pergaulan bebas, akhirnya membawa mereka kepada hal-hal negatif yang mereka pelajari di antara sebaya mereka. Akibatnya, jika belum berhubungan seks di masa pacaran dianggap kolot dan kurang gaul. Berlomba-lomba para remaja mencoba cinta terlarang yang akhirnya membuat mereka ketagihan dan merasakan bahwa itulah gaya hidup elite yang terus mereka jadikan tren pergaulan remaja masa kini. 

Fenomena Paku Alus
Moral remaja yang buruk seperti itu hanyalah bagian kecil dari realitas buruknya moral masyarakat dari berbagai kalangan usia. Pertengkaran dan perselingkuhan yang kerap dipertontonkan orangtua juga turut mempengaruhi perkembangan remaja ke arah negatif. 

Jika di Jakarta dikenal istilah cabe-cabean, maka di Kota Kupang dan NTT umumnya memiliki istilah sendiri untuk pelacuran remaja di kalangan siswa SMP dan SMA. Istilah "paku alus" menjadi tren gaya hidup baru para remaja yang merelakan dirinya dijamah om-om hidung belang demi menjalani gaya hidup mewah dan mendapatkan pengakuan.

Fenomena paku alus sebagai bentuk kreativitas remaja seharusnya bisa diantisipasi melalui lingkungan keluarga. Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak sekaligus berfungsi sebagai filter pengaruh lingkungan luar. Tidak sedikit para pelaku paku alus mengaku kegiatannya didasari dari buruknya lingkungan keluarga. Perhatian yang didapat justru datang dari luar. Untuk itu, perhatian keluarga menjadi kunci untuk memberikan arah kreativitas dalam koridor kebaikan.

Pelacuran anak usia sekolah yang kian marak di Kota Kupang akhir-akhir ini menurut penilaian pengamat sosial Undana Balkis Soraya Tanof, merupakan fenomena revolusi seksual bebas di tengah masyarakt modern yang kapitalis. Secara sosiologis disebabkan terjadinya disorganisasi sosial.

Pergeseran Nilai
Fenomena yang ada juga menunjukkan adanya pergeseran sakralisme norma dan nilai budaya Indonesia terutama NTT ke arah liberalisasi nilai budaya kapitalis dalam masyarakat global akibat terputusnya simbol-simbol sosial dalam masyarakat yang dianggap sakral. Sehingga, kontrol sosial keluarga, tokoh agama, dan masyarakat melemah. Norma, nilai budaya modern yang liberal kapitalis diadopsi oleh anak-anak sebagai pegangan dalam berperilaku sebagai generasi modern yang hedonis.

Perilaku seks bebas menyimpang dari kesakralann nilai, norma budaya konvensional yang dilakukan oleh remaja dalam pilar masyarakat kapitalis yang berbasis materialisme. "Kebahagiaan hidup diukur dari suksesnya materi, sehingga uang, harta kekayaan, dan kemewahan hidup merupakan nilai dan norma modernitas. Untuk memperoleh status sosial sebagai gaya hidup remaja modern, seks bebas menjadi jalan pintas untuk mengeksploitasi dan dieksploitasi oleh para germo," katanya.

Para remaja melakukan seks bebas tersebut secara terpaksa karena  ingin dipertukarkan dengan upah (uang). Artinya, mereka sebagai wanita pekerja seks tertindas disebabkan karena menguatnya kapitalisme dan neoliberalisme dalam masyarakat modern.

Kurangnya pengawasan orangtua juga menjadi salah satu penyebab anak-anak berperilaku menyimpang seperti itu. 

Perilaku Menyimpang
Di tengah maraknya fenomena "paku alus" di kalangan remaja, persoalan lainnya juga kerap muncul di kalangan pasangan suami istri (pasutri) muda. Perceraian di kalangan pasangan muda yang terjadi karena perselingkuhan merupakan tren baru perilaku menyimpang masyarakat kontemporer. Pernikahan yang terjadi karena hamil di luar nikah, dijodohkan orangtua menyebabkan pasangan muda belum siap membangun rumah tangga. Perselingkuhan pun terjadi hingga memicu terjadinya perceraian.

Balkis Soraya Tanof memandang, realitas tersebut merupakan fakta rapuhnya institusi perkawinan. Pasangan muda yang dalam usia penuh badai tidak mampu menyesuaikan diri dengan tekanan maupun konflik, baik secara internal maupun eksternal dalam rumah tangga. “Konsep cinta dengan unsur romantika sudah tergerus karena tekanan sosial psikologis, sehingga perceraian akibat perselingkuhan dianggap cara yang fungsional untuk mengakhiri perkawinan,” tegasnya

Lemahnya Kontrol Diri
Motif yang mendorong terjadinya perselingkuhan, selain ingin mencari variasi seks, juga melemahnya kontrol diri karena ingin balas dendam kepada pasangan yang berselingkuh. Itu juga dianggap sebagai gaya hidup karena faktor ekonomi. Suami yang tidak bisa memenuhi kebutuhan ekonomi, mendorong para istri terpaksa memenuhi kebutuhan sosial dan psikologis untuk dapat tampil modis dan cantik karena tuntutan zaman, memilih berselingkuh dan menjadi simpanan lelaki berduit yang bisa memberikan jaminan ekonomi di samping menikmati hubingan seks yang terlarang. 

Realitas tersebut telah merusak makna keluarga, memudarnya kesakralan nilai dan norma perkawinan yang tidak lagi dimaknai oleh pasangan muda sebagai nilai- nilai yang sakral yang wajib dipertahankan dan dirawat dalam keluarga. 

Dalam masyarakat kontemporer, pasangan muda cenderung dipengaruhi dan lebih mengutamakan nilai egoisme, materialistis, dan liberalistis yang menyebabkan keretakan di dalam keluarga. Perceraian yang terjadi juga karena melonggarnya ikatan sosial seiring menguatnya individualisme dalam masyarakat. Keputusan individu dalam rumah tangga dalam banyak hal tidak lagi mempertimbangkan pandangan keluarga, institusi agama, dan masyarakat. Masing-masing pasangan nikah memahami bahwa keputusannya untuk menikah atau bercerai bukan urusan keluarga, lembaga agama atau pemerintah tetapi merupakan keputusan pribadi.

Pendeta Mery Kolimon mengatakan, lembaga agama kewalahan menerapkan pola pendidikan agama yang relevan dengan kebutuhan manusia di zaman modern. 

Bahasa agama berjarak dengan bahasa zaman, sehingga kebanyakan kaum muda merasa tidak lagi “at home” dalam komunitas agama dan karena itu asing dengan ajaran-ajaran agama tentang nilai kesetiaan, kesetaraan, dan kesucian. Seiring dengan itu, nilai-nilai moral dalam masyarakat pun kian melonggar. “Sumber-sumber pendidikan moral seperti lembaga agama, lembaga adat, dan pendidikan formal melemah perannya sebagai institusi penerus nilai,” katanya.

Secara budaya, berhubungan dengan pola pandang patriarki yang cenderung mentolerir perselingkuhan oleh laki-laki sebagai hal yang lumrah. Walaupun pelaku selingkuh bukan hanya laki-laki, umumnya masyarakat cenderung permisif terhadap pelaku perselingkuhan laki-laki. 

Dari pihak masyarakat, untuk memberi efek jera kepada pelaku perselingkuhan mestinya tidak mentolerir atau permisif terhadap perselingkuhan. Semuanya itu basisnya ada dalam pendidikan keluarga yang dengan konsisten menumbuhkembangkan nilai kesetiaan, kesucian, keadilan, dan kesetaraan.

Pemicu lain perceraian, katanya, adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang membuat salah satu pasangan, umumnya perempuan, harus keluar dari lingkaran itu untuk menyelamatkan diri dari kekerasan. 
Penanganan meningkatnya perceraian harus dikerjakan oleh semua pihak. Lembaga agama perlu memberikan pendidikan agama tentang makna pernikahan secara lebih baik. “Pernikahan mestinya merupakan ruang di mana pasangan nikah hidup dalam kesetaraan dan keadilan. Hubungan suami isteri dalam rumah tangga adalah hubungan yang setara-sepadan. Perbedaan dan kesukaran mestinya dihadapi bersama dalam sikap saling menghargai dan menghormati,” katanya. (*)


Butuh Keterlibatan Semua Unsur

FENOMENA "paku alus" dan tren perceraian yang kian marak di Kota Kupang sejauh ini masih dianggap biasa-biasa saja. Tak jarang, pergeseran nilai di tengah masyarakat ini justru dianggap sebagai hal lumrah dalam sebuah kota yang mulai beranjak maju. Kemajuan suatu kota diidentikan dengan hadirnya prostitusi, maraknya pelacuran remaja, dan perselingkuhan di tengah masyarakat. Sebuah kota baru dibilang maju jika sudah ada bahkan tinggi hal-hal buruk itu ada dan terjadi di masyarakat. 

Untuk mengembalikan degradasi moral yang kian mengkhawatirkan itu, dibtuhkan peran tidak saja dari keluarga, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Pemerintah dan lembaga pendidikan pun dituntut mengambil peran dalam menyikapi fenomena sosial yang terjadi di tengah masyarakat itu. 

Keluarga sebagai awal pendidikan dan penanaman nilai harus memberikan peran. orangtua yang paling utama memberi bimbingan dan menanamkan nilai moral kepada anak agar tidak melakukan berbuatan-perbuatan menyimpang. Orangtua harus memenuhi hak anak untuk mendapat kasih sayang, perlindungan ekonomi, dan hak pendidikan formal serta nilai-nilai spiritual, dan adat. 

Selain itu, lingkungan tempat tinggal dan bergaul baik tetangga maupun teman harus memberi contoh yang baik dan tidak mempengaruhi untuk berbuat hal-hal negatif dalam pergaulan. Sekolah juga turut andil memberi pendidikan moral yang lebih fokus terhadap anak didik terutama untuk menghindari terjadinya seks menyimpang dan pelacuran remaja. 

Masyarakat dan tokoh agama harus berperan aktif memberikan pencerahan moral dan spirituslitas, serta ikut terlibat melakukan pengawasan dan memberikan sanksi kepada remaja dan tempat tempat prostitusi terselubung.

Lahirkan Aturan Tegas
Sedangkan pemerintah diharapkan mampu melahirkan aturan tegas yang dapat menjadi media kontrol bagi masyarakat. Regulasi yang melarang pelacuran dan perdes tentang orang-orang yang melakukan seks bebas sebelum menikah harus dibuat dan ditegakkan. 

Sementara untuk fenomena perceraian yang meresahkan dan telah menjadi persoalan sebagai revolusi sosial di tengah masyarakat, Romo Leo  Mali, menegaskan, perselingkuhan, perceraian, konsumerisme, dan hedonisme dalam keluarga mempunyai sebab yang  kompleks. Dari telaah filosofis, fenomena itu adalah cerminan kesepian atau solitude jiwa manusia. “Pengalaman ini sebenarnya suatu kenyataan eksistensial manusia yang akan dialami semua orang. “Banyak orang tidak memahami kekosongan ini dan karena itu keliru memilih jalan keluar,” tegasnya.

Penanganan meningkatnya perceraian harus dikerjakan oleh semua pihak. Lembaga agama perlu memberikan pendidikan agama tentang makna pernikahan secara lebih baik. Pernikahan mestinya merupakan ruang di mana pasangan nikah hidup dalam kesetaraan dan keadilan. Hubungan suami isteri dalam rumah tangga adalah hubungan yang setara-sepadan. Perbedaan dan kesukaran mestinya dihadapi bersama dalam sikap saling menghargai dan menghormati.

Bagaimanapun juga, ketika individu, termasuk dalam hal ini keluarga dan masyarakat kehilangan energi untuk melakukan perubahan, maka negara wajib menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas semuanya, yakni menerapkan aturan dan sanksi. (*)

Tidak ada komentar: