05 September 2008

Indonesia Etalase Bencana

Dari Workshop Peran Media dalam Pengurangan Risiko Bencana dan Tanggap Darurat (1)
Oleh Hieronimus Bokilia

Melihat perkembangan Indonesia umumnya dan NTT khususnya pada lima tahun terakhir seakan tidak pernah lekang dari bencana. Banjir, tanah longsor, gelombang pasang, gempa bumi dan letusan gunung berapi seakan silih berganti menghampiri Indonesia. letak Indonesia yang berada pada pertemuan lempeng benua serta cincin gunung api dengan fariasi iklim yang mengalami perubahan tak menentu akibat pengaruh pemanasan global memberikan andil besar Indonesia dan NTT menjadi “etalase” bencana.
Melihat kondisi semacam ini tentu kita tidak boleh tinggal diam. Banyak pihak baik itu pemerintah, lembaga swadaya masyarakat baik dalam negeri maupun luar negeri serta masyarakat sendiri mulai bangkit memikirkan bagaimana bencana dan apa yang perlu dilakukan. Oxfam GB salah satu LSm internasional memiliki keprihatinan tersendiri terhadap kebencanaan dan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat di Indonesia. keprihatinan itu mendorong Oxfam GB dan mitra di beberapa daerah seperti di Jawa, Sumatera, Sulawesi, NTT dan Papua melakukan identifikasi terhadap 262 civil society organization di Jawa, Papua, Sulawesi dan NTT. Dari identifikasi itu salah satu yang menjadi perhatian adalah respon media terhadap bencana dalam skala kebutuhan informasi di mana media memainkan peran dalam penyebaran informasi bencana.
Media massa belum memberikan peran maksimal dalam konteks pengurangan resiko bencana dan kesiapsiagaan. Peran media besare di saat bencana dan sedikit pascabencana. JURnal Celebes menemukan adanya ketimpangan informasi di saat bencana di mana media yang diburu deadline akhirnya memperoleh informasi kurang akurat dari berbagai sumber. Selain itu, kondisi ini diakibatkan pula minimnya kapasitas jurnalis dalam pengetahuannya tentang bencana.
Melihat kondisi seperti ini, Oxfam GB emandang perlu adanya upaya peningkatan kapasitas jurnalis dalam kaitan degan pengetahuan tentang kebencanaan. Kegiatan yang digelar Oxfam GB bekerja sama dengan JURnal Celebes mengambil lokasi di Hotel The Banua Makassar selama tiga hari dari tangal 1-3 Agustus. Melalui mitra kerja Oxfam GB di daerah yang selama ini bekerja melakukan pemetaan terhadap CSO di Ende, Yayasan Tananua Flores mengundang saya sebagai Ketua Perhimpunan Wartawan Flores (PWF) bersama Frans Obon, Redaktur pelaksana Harian Umum Flores Pos mengikuti workshop dengan tema Peran Media dalam Pengurangan Resiko Bencana dan Tanggap Darurat. Hadir juga jurnalis dari Papua Yuven, dari Jawa Mas Agung, dari Palu ada Mas Iwan, dari Manado ada Stella dan Mba.... dari Makassar ada mas Noerdin, Bati, mba Rahmadani, mba Suriani dan dari Kupang ada bung Silver dan bung Ais.
Fasilitator dari Oxfam GB ada Mba Paramita Hapsari, Mba Rina yang suka motret peserta yang ngantuk dan ngelamun, Mas Aan si kurus berkacamata tapi masih tetap ganteng yang menjadi semacam moderator dalam setiap kegiatan, Mba Sukma yang cantik (maaf ya) yang urus keuangan dan tiketing, ada Acung yang selalu serius kalau sudah di muka laptop. Workshop ini menghadirkan beberapa pembicara antara lain, Buttu Ma’dika dari AHPO Oxfam GB, menampilkan materi pengurangan resiko bencana sebagai bagian dari kerja kemanusiaan, Nur Hidayati dari Forum Masyarakat untuk Keadilan mengangkat topik bencana ekologis resiko dan dampaknya, Ariani Soejoeti dari Oxfam GB membawakan materi media dan INGO dalam situasi tanggap darurat dan H.L. Arumahi, wakil ketua PWI Sulawesi Selatan dalam materi etika peliputan bencana. Selain mengikuti beberapa pemaparan materi kegiatan juga diisi dengan diskusi, penghayatan peran dan praktik lapangan.
Pda hari pertama sebelum memasuki penyajian materi, terlebih dahulu Paramitha atau Mba Mita menjelaskan alur workshop dan apa yang mau diharapkan dari kegiatan ini. Setelah Mba Mita mulailah Mba Rina yang centil dan (maaf) gemuk mulai berdiri dan meminta peserta saling kenal. Dia mengawali perkenalannya dan mengaku masih buajng (ah massa). Untuk leih saling memperkenalkan diri. Setiap peserta diminta menulis nama pada lakban dan ditempelkan pada salah satu bagian baju. Entah di saku, di lengan, di perut maupun ujung baju.
Nur Hidayati setelah memperkenalkan diri langsung didaulat menyampaikan materinya. Dia memetakan peta konsumsi dunia di mana 20 persen populasi dunia mengkonsumsi 80 persen sumberdaya alam. 80 persen sumberdaya alam yang ada di dunia dikonsumsi negara-negara industri. Sisanya 20 persen dibagi-bagi di negara miskin. Pola konsumsi ini mempengaruhi sumberdaya alam tersedot. Kondisi global yang terjadi itu turut berpengaruh terhadap model pembangun di Indonesia yang tidak memproduksi kebutuhan untuk dalam negeri tetapi lebih berorientasi ekspor. Orientasi ekspor ini menunjukan bahwa Indonesia lebih berorientasi mensuplai kebutuhan negara lain dan tidak melihat apa yang mejadi kebutuhan masyarakat Indonesia sendiri. Pengurasan SDA untuk kepentingan ekspor dilakukan tanpa memperhatikan SDA dan ekosistem. Pola pembangunan dengan orientasi ekspor ini menjadi sumber penyedotan SDA yang dilakukan tanpa memperhatikan SDA dan ekosistem yang ada. Eksploitasi SDA yang dilakukan berakibat terjadinya pemanasan global. Dampak pemanasan global menimbulkan berubahnya pola iklim dan curah hujan, jumlah hari hujan di ekuator berkurang dan intensitas hujan bertambah serta meningkatnya cuaca yang ekstrim. Kondisi ini akhirnya mengakibatkan Indonesia menjadi langganan bencana.
Dalam kaitan dengan bencana, Hidayati menegaskan bencana merupakan rangkaian antara kerentanan dan bahaya. Selama ini, banyak orang hanya menaruh perhatian pada saat bencana itu terjadi dan kuang melihat kerentanan yang terjadi sebelum terjadinya bencana. Hal yang sama juga terjadi pasca bencana di mana tidak ada yang terus melakukan monitoring dan terkadang kurang diberitakan oleh media. Di sini dibutuhkan peran staekholder dalam tanggap darurat di mana melakukan pengorganisasian masyarakat lokal, peran media massa lokal sangat dibutuhkan pada saat bencana dan pasca bencana, private sector dan harus dibuat konsep jurnalisme warga di mana masyarakat dilibatkan untuk melaporkan kondisi dan kebutuhan mereka. Ide yang digelindingkan Hidayati tentang jurnalisme warga ini menjadi diskusi hangat peserta workshop.
Hidayati juga mengkaitkan bencana dengan pembangunan. Menurutnya pembangunan yang gencar dilakukan dapat menignkatkan kerentanan dan dapat pula mengurangi kerentanan. Bencana di satu sisi dapat menghambat jalannya proses pembangunan. Namun di sisi lain, bencana juga dapat memicu pembangunan. Peran media dalam pengelolaan resiko bencana harus dapat dijalankan dengan memberikan pemahaman kepada publik bahwa bencana bukan merupakan takdir. Media juga hrus memahami hubungan bencana dengan pembangunan serta pemahaman hubungan bencana dengan perkembangan global. Media juga dapat menciptakan kata baru dari bencana yakni ‘bahaya ekologis’.
Pemanasan global yang terjadi akhir-akhir ini jika dibiarkan terus maka 10-20 tahun mendatang dunia akan menjadi hancur. Perubahan suhu yang ekstrim di wilayah utara dan selatan akan berpengaruh pada pola tanam. Wilayah NTT akan lebih basah pada 5-10 tahun mendatang. Upaya menghindari rawan pangan adalah langkah konkrit yang harus disikapi sebagai adaptasi terhadap perubahan yang demikian cepat ini. Diperlukan cara cepat membaca situasi alam yang berubah sangat cepat ini. Perubahan iklim yang ekstrim ini akan berpengaruh pada wilayah selatan yang selama ini dikenal sebagai lumbung beras akan beralih ke wilayah utara. Wilayah selatan akan terancam kekeringan hebat dan adanya ancaman rawan pangan.
Pada sesi kedua, Ariani Soejoeti yang kami lebih sering panggil Mba Rina memaparkan soal media dan INGO dalam situasi tanggap darurat. Mba Rina memaparkan beberapa masalah dalam situasi tanggap darurat antara lain manajemen penanganan bencana acap kedodoran, miskoordinasi, data dan Informasi yang membingungkan, media, INGO dan stakeholders lain bekerja sendiri-sendiri, korban terabaikan. Kondisi seperti itu mengakibatkan kesedihan dapat berubah menjadi kejengkelan bahkan kemarahan, Sinisme berkembang, rumor bergerak liar dan pada gilirannya korban menjadi frustrasi.
Rina juga memaparkan bagaimana hubungan media dan INGO di mana hubungan media dengan lembaga internasional seringkali tidak begitu baik. Menurut pengalaman, ada beberapa alasan sehingga hubungan tersebut terganggu, antara lain, INGO mempunyai kepentingan yang berbeda dengan media, media tidak tahu bagaiman mengakses informasi dari INGO, INGO tidak mengerti cara kerja media. Pengalaman Oxfam dengan media selama ini media merupakan salah satu nara sumber dalam pengumpulan data awal pada saat situasi tanggap darurat, akuntabilitas dan transparansi, Oxfam memfasilitasi wartawan/media dalam melakukan liputan (tanpa praktek uang).
Dalam sesi diskusi setelah Mba Rina menyampaikan bahannya, Rahmadani, dari RRI Makassar yang juga peserta dalam workshop ini bilang, saat ini karena bencana sudah menjadi kejadian yang sering terjadi sehingga tidak lagi menimbulkan empati lagi di kalangan masyarakat. “Saat dengar di Aceh diterjang tsunami masyarakat hanya bilang oh kasihan. Saat dengar di Yogyakarta kembali bencana masyarakat hanya bilang wah bencana lagi. Ini menyedihkan sekali.” Kondisi ini menurut dia menunjukan masyarakat sudah tidak melihat bencana sebagai sesuatu yang baru namun sudah dianggap biasa. Hal ini juga akhirnya berpengaruh pada media yang ahirnya melihat bencana hanya sebagai bahan berita yang sudah tidak asing lagi yang akhirnya dieksploitasi secara berlebihan dalam pemberitaan.
Pada hari pertama ini, para peserta juga diberikan kesempatan memainkan peran pda saat situasi bencana. Semua peserta kebagian peran. Ada yang sebagai wartawan, ada yang sebagai anak-anak korban, ada ibu hamil, lansia korban, lurah, NGO dalam negeri, NGO asing dan pengusaha. Saya sendiri kebagian peran sebagai lansia korban bencana yang terlambat diberi pertolongan. Kendati dalam suasana permainan namun setiap peserta menghayati perannya masing-masing dalam situasi bencana. Bagaiaman para korban merintih kesakitan dan kecewa karena bantuan tak kunjung dating, bagaiaman perebutan lahan antara NGO dalam negeri dan NGO asing, peran wartawan memberitakan bencana dan bagaimana pengusaha yang mau memberikan bantuan asal mendapatkan jatah pekerjaan pada saat recoveri dan produk yang diberikan kepada para korban harus dari produk perusahaannya. Kendati dari permainan yang sederhana yang ditampilkan namun syarat makna. Setiap kami mulai memaknai peran media dalam kaitan dengan kebencanaan. Kehadiran media memang merupakan domain penting dalam mengangkat fakta bencana dan dari situ memunculkan simpati dari masyarakat.

Tidak ada komentar: