04 September 2008

Suara Minoritas dan Keberagaman

Catatan dari Lokakarya Pasca Konflik Antar Agama di Jakarta (2)
Oleh Hieronimus Bokilia

Din Kelilauw pria berperawakan agak tinggi dan kulitnya agak terang. Kepalanya mulai plontos namun selalu bersemangat. Dia Kepala LKBN Antara di Maluku. Bicara soal konflik dia teringat konflik Ambon yang terjadi beberapa tahun lalu. Padahal di Ambon, kata Din di sana ada tradisi pelagandong. Namun tradisi pelagandong mulai terkoyak sejak adanya kerusuhan Ambon tahun 1999 lalu. Mengingat kerusuhan Ambon, seakan membangkitkan kembali memori kecemasan. Ambon saat ini masih ada benih-benih konflik yang kalau tidak diatasi dengan baik bukan tidak mungkin akan menimbulkan konflik yang lebih parah lagi. Pengaruh dari luar ikut memberi andil memecah belah agama di Ambon. Namun dia bilang, konflik Ambon sebenarnya bukan karena soal agama tapi soal politik dan ekonomi yang akhirnya memecah belah masyarakat. Pola pembentukan dan tata letak kampung juga turut membantu memecah belah. Peninggalan penjajah di mana sudah memetakan ada kampung Kristen dan kampung Islam membuat sulut api konflik. Jika ada persoalan sepele antar kampung langsung diseret ke soal agama karena pemisahan kampung Kristen dan Islam yang begitu jelas. Kalau dulu, kenang Din, umat Islam dan Kristen saling membantu membangun rumah ibadah karena ada tradisi pelagandong. Tapi sekarang, rasanya sulit terwujud. Butuh waktu untuk mengembalikan suasana kembali seperti sebelum pecah konflik. ”Sekarang anak kecil waktu ditanya kau orang apa. Dijawab saya orang Islam. Konflik telah membuat orang menjadi sensitif soal agama.”
Diskusi Islam dan Kristen tidak lepas dari diskusi minoritas dan mayoritas dalam agama. Tapi Abdul Hanif, wartawan Radar Sulteng ini bilang, Islam boleh mayoritas dalam jumlah tetapi belum tentu mayoritas dalam bidang lain seperti ekonomi misalnya. Demikian halnya Kristen. Kendati minoritas dalam jumlah namun sebenarnya secara ekonomi merupakan mayoritas. Menurut dia, minoritas dan mayoritas sebenarnya tidak menjadi tolok ukur keberadaan suatu agama.
Ichsan Malik, Ketua Institut Titian Perdamaian dalam materinya Koreksi Terhadap NKRI memaparkan, sejak awal kemerdekaan, sudah disadari akan keberagaman dan kesadaran itu dimanifestasikan dalam Bhineka Tunggal Ika. Persatuan menjadi hakekat dari kebhinekaan itu. Namun sejak masa orde baru 1978-1999 telah diselewengkan dengan sempurna menjadi keseragaman (uniformity). Maka tidak menjadi aneh ketika menyadari perbedaan adalah bencana atau malapetaka bukan menjadi berkah atau kekuatan. Saat ini hubungan antar kelompok yang berbeda identitas di Indonesia masih diwarnai prasangka dan stereotip dan hal ini menjadi kecemasan masing-masing kelompok. Akibatnya kelompok tidak sanggup menghadapi perbedaan yang ada yang pada akirnya menimbulkan persengketaan. Dalam sengketa, masing-masing pihak mengklaim paling benar, paling suci, paling nasionalis, paling hebat dan paling NKRI. Di sini saling klaim paling benar dan pihak lain adalah salah jadi harus dihukum dan bila perlu dihabisi.
Ichsan Malik mengatakan, dari pengamatan selintas pada aksi yag mengarah pada kekerasan di jalanan dan merujuk pada berita media massa, dapat dibuat kesimpulan bahwa umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia justru merasa paling terancam eksistensinya dari segi agama, ekonomi, budaya dan politik oleh umat non Islam. Sedangkan kelompok agama non Islam yang minoritas justru merasa terancam dan terintimidasi keselamatan diri dan kelompoknya. Pada saat pecah konflik di Maluku, berkembang di masyarakat Maluku bahwa sejarah perang salib mengajarkan hubungan antara kelompok Islam dan kelompok Kristen tidak akan pernah damai dan akan selalu berperang. ”Sejarah perang salib ribuan tahun lalu seakan baru terjadi kemarin sore. Sejarah dikonteks ulang dan diberi muatan baru pada saat ini.” Sejarah abu-abu yang distortif inilah yang hidup subur sejak masa orde baru hingga saat ini.
Maluku mengalami segregasi total ketika konflik kekerasan terjadi. Kelompok masyarakat Maluku terbelah secara ekstrim menjadi kelompok masyarakat Islam dan kelompok masyarakat Kristen. Masuk ke daerah Islam atau Kristen ancamannya terbunuh. Dalam situasi ekstrim seperti apa yang harus dilakukan? Pertanyaan menggugah dari Ichsan Malik ini kembali menggugah alam bawa sadar para peserta lokakarya. Dia lalu menceritakan pengalamannya memediasi perdamaian di Maluku. Semula, dia menjadi fasilitator mempertemukan enam pimpinan perang Islam dan enam pimpinan perang Kristen. Selama 21 hari dudik bersama mencoba mencari jalan keluar namun hanya sedikit yang bisa dicapai. ”Mereka tidak mau omong kata damai tapai kalau baku bae mereka mau.” pertemuan lalu dilanjutkan dengan menghadirkan 20 pihak Islam dan 20 pihak Kristen. Di sini tidak hanya pemimpin perang tetapi sudah ada penungsi, perempuan, mahasiswa dan pimpinan adat. Titik temunya tetap menolak kata damai tetapi menerima kata baku bae yang secara harfiah menuju ke arah rekonsiliasi. Pertemuan ketiga berlanjut dengan masing-masing 50 utusan. Namun di sini belum ada kesepakatan bahkan lebih ekstrim dokumen analisis sumber konflik Maluku dirobek peserta. Namun sudah ada inisiatif baku bae untuk menghentikan kekerasan Maluku. Tetapi masih ada piha yang tidak ingin ada perdamaian. Rumah aktifis baku bae dilempari dan dibakar. Faktanya 35 mengundurkan diri dari baku bae. Kelompok baku bae akhirnya mendukung sepenuhnya upaya AJI Indonesia mempertemukan wartawan Islam dan Kristen di Bogor dan Poso. Titik ini menemukan kesepakatan. Kelompok yang diwarnai semangat profesionalisme mulai menemukan arah bersama soal jurnalisme damai. Kemudian mempertemukan kelompok pengacara gereja dan muslim Maluku. Titik temunya adalah kesepakatan untuk tidak saling memprovokasi.
Penghampiran paling signifikan adlah ketika mempertemukan para raja/kepala desa dari negeri-negeri Islam dan Kristen Maluku. Pertemuan antar budaya lokal, bahasa lokal dan mekanisme lokal berhasil menerobos semua kebekuan dan kebuntuan budaya lokal menjadi air sejuk yang membuat rumput-rumput Maluku menjadi hijau kembali sehingga api-api besar yang bisa membakar dan angin besar yang bisa memperbesar api konflik dapat dijinakan sehingga Maluku tidak dibakar konflik lagi.
Ichsan Malik mencatat, kemasan bahasa lokal, hubungan atas dasar profesionalisme, adanya tujuan bersama yang jelas untuk semua, penggunaan bahasa hati nurani, ternyata mampu menjadi isi atau pemberi arah bagi proses membangun relasi antar kelompok.
Abdullah Alamudi kemudian melanjutkan pemaparannya tentang daras-dasar meliput di daerah konflik. Alamudi sosok yang selama ini berkecimpung di Lembaga Pers Dr. Soetomo sebagai pengajar. Selain itu dia adalah anggota Dewan Pers dan dedengkot di Institut Pengembangan Media Lokal. Dikatakan, untuk bisa meliput di daerah konflik butuh beberapa persiapan antara lain informasi sebelum berangkat, persiapan mental, fisik dan dukungan manajemen media. Perusahaan pers, kata dia tidak boleh mengirim reporter atau wartawan ke daerah konflik tanpa dilengkapi fasilitas memadai. Informasi yang perlu didapat sebelum berangkat harus memadai seperti petabumi politik wilayah yang diliput, siapa, mengapa dan kekuatan kelompok-kelompok berkonflik. Pelajari pula jalur darat, laut dan udara yang bisa ditempuh untuk keluar dan masuk daerah konflik. Nomor kontak lokal juga sangat penting dimiliki dan tak kalah pentingnya adalah soal penginapan, keamanan barang bawaan serta adat istiadat penduduk di daerah konflik. Ketika tiba di daerah konflik, yang harus diperbuat adalah berkomunikasi dengan kantor dan membuat janji kapan berkomunikasi dan kapan mengirim naskah berita. Berhubungan dengan penguasa dan bekerja sama dengan wartawan lain di daerah konflik.
Saat meliput di daerah konflik, salah satu sumber berita adalah media lokal di daerah konflik namun jika mengutip, harus disebut atribusinya. Dalam membuat pemberitaan juga harus dihindari kesan memihak kelompok tertentu dan jika berita belum dapat diverifikasi hendaknya transparan menjelaskan vahwa informasi tersebut belum mendapat konfirmasi dari badan/lembaga independen. Terkait dukungan dari manajemen media, Alamudi menekankan bahwa karyawan/wartawan adalah merupakan aset yang paling penting dan tidak ternilai harganya. Jika wartawan belum memperoleh pelatihan jurnalistik dalam perekrutan maka perusahaan wajib memberikan. Selain itu, kata Alamudi, selama ini pimpinan media kurang sadar mengenai pentingnya HEFAT (hostile environment ang firts air training) atau pelatihan meliput daerah tidak bersahabat dan pertolongan pertama pada kecelakaan. ”Cara berpikir harga helm mahal harus diubah. Mana lebih mahal harga helm dibanding kepala?” Tapi, kata Alamudi, terkadang wartawan kurang memahami dan tidak tahu hak-hak mereka dalam melakukan peliputan. Wartawan kadang hanya berpikir dedikasi mereka terhadap profesi tanpa menyadari perlunya persiapan untuk kembali dengan selamat.
Endi Bayumi, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post pada hari ketiga kembali mengangkat topik jurnalisme damai dalam peliputan di daerah konflik. Dikatakan, jurnalisme damai bukan merupakan lawan dari jurnalisme perang. Jurnalisme damai dalam konflik adalah bagaimana menganalisa suatu konflik. Media massa dalam pemberitaan terkdang karena diburu dead line akhirnya melupakan analisa konflik. Padahal, analisa konflik sangat penting namun terkadang dikesampingkan karena memburu pemberitaan terbaru. Dalam analisa konflik, dapat dipaparkan konteks sejarah sampai terjadinya konflik. Jarangnya analisa konflik mengakibatkan masyarakat pembaca hanya menangkap kejadian yang terjadi tanpa tahu apa latar belakang smapai timbulnya konflik. Misalnya, selama ini banyak pemberitaan terkait gerakan radikal yang hanya diberitakan aktifitas radikalnya saja sehingga akhirnya orang hanya melihat tindak kekerasannya tanpa melihat apa yang terjadi sampai terjadi kekerasan. Pada akhirnya, masyarakat menilai kelompok ini brutal tanpa tahu kenapa sampai kelompok tertentu menadi brutal. Dia mengambil contoh konflik Timor-Timur. Masyarakat hanya melihat konflik itu sebagai perang antara TNI melawan Fretelin tanpa tahu latar belakang adanya konflik yang terjadi di Timor-Timur. Namun kalau dituliskan juga latar belakangnya, masyarakat tentunya akan tahu bahwa awal sampai Indonesia masuk ke Timor-Timur dulu pada masa perang dingin Amerika Serikat dan Rusia bersama sekutu mereka masing-masing.
Romo Muji Sutrisno mengatakan, dalam masyarakat pluralis dalam ruang dan subjek-subjek dewasa yang akal budinya kritis rasional dan nuraninya jernih menimbang, bagaimana kebenaran diukur. Berkembangnya peradaban kesadaran budi dan nurani yang semakin rendah hati mengakui berlapis-lapisnya tingkatan ukuan kebenaran berdasarkan sudut pandang dan sudut lihat mana ia diukur. Berkembangnya kesadaran peradaban untuk membuka ruang pencarian konsensu kebenaran karena konsekwensi dan pengaruh Jurgen Habermas yang memperbaiki kritik atas modernitas dan kebenaran rasional instrumental modernitas dalam teori kebenaran in the making. Artinya ukuran kebenaran atau apa kebenaran itu merupakan hasil kesepakatan terus menerus dialog bebas dan terbuka dari peserta komunikasi komunitas masyarakat bersangkutan. Dalam dialog terbuka yang tajam, saling mengasah dari semua sudut pandang, pengalaman dan persepsi konsepsi dan kebenaran disepakati.
Bila konsensus mengenai kebenaran dibahasakan hukum dan diukur dengan ukuran adil maka ukuran kepastian hukum dan keadilan enjadi kebenaran legal. ”Jadi kebenaran legal mempunyai ukuran hukum sebagai acuannya.” dengan analogi jalan logika serupa maka kebenaran agama ukurannya adalah sumber wahyu Ilahi yang menjadi legitimasinya. Keberan religius degan ukuran teks suci sabda wahyu Allah diacu sebaga ’truth’ karena suci, benar, berupa sabda Allah atau wahyu Allah sendiri. Romo Muji kembali mempertanyakan di mana sebenarnya orang harus menaruh sumber dan kriteria pokok kebenaran. Sumber itu, kata dia adalah kehidupan itu sendiri. Bila acuan untuk mengukur kebenaran adalah kehidupan itu sendiri dan di dalamnya kemanusiaan kita dipertaruhkan maka yang benar dalam kehidupan akan indah dalam estetika, akan baik secara etika nurani dan oleh khalayak orang biasa akan dirasakan masuk akan sehatnya serta bernuansa tulus menurut nuraninya. ”Dengan kata lain, yang benar akan sekaligus indah dan baik dalam kehidupan.”
Kegiatan lokakarya selama empat hari ini memang melelahkan. Namun guratan kelelahan serasa tidak ada artinya kalau melihat makna di balik semuanya itu. Kebenaran memang menjadi korban konflik dan di dalam konflik baru diketahui kepentingan mana yang menang dalam konflik. Pihak mana yang membuat konflik agama terus terjadi akan terlihat pada akhir konflik. Apakah kepentingan korban kemanusiaan yang berada di sana ataukah kepentingan orang lain atau pihak yang menyebabkan terjadinya konflik yang nampak di akhir konflik.
Dalam kelelahan lokakarya, masih ada pula selingan. Pada hari pertama rombongan peserta lokakarya dijamu makan malam Duta Besar New Zealand untuk Indonesia, Mr. Filliph Gibson yang sangat senang dengan kegiatan ini. Bahkan dia berhaarap agar kegiatan dan kerja sama jurnalis Indonesia dengan New Zealand terus berlanjut. Dubes yang pada hari itu merayakan ulang tahun menghadiahi peserta lokakarya masing-masing satu topi. Peserta lokakarya selain mengikut jamuan makan malam di kediaman Duta Besar New Zealand, juga berkesempatan mengunjungi Kantor Redaksi Harian Kompas. Di Kompas, semua peserta mendapatkan kenang-kenangan baju kaos dan topi bertuliskan Kompas.
Wakil Dubes New Zealand, Mr David saat acara penutupan mengakui tugas-tugas wartawan memang berat dan kadang mempertaruhkan nyawa. ”Saya tiadk bisa membayangkan kerja saya yang di dalam ruangan ber-AC dengan rekan-rekan jurnalis yang kadang pertaruhkan nyawa. Wartawan adalah pahlawan sesungguhnya dan pelindung demokrasi.” Dia juga menyatakan kebanggaannya terhdap perkembangan di Indonesia. Lima tahun lalu saat tiba di Indonesia dia melihat konflik terjadi di Ambon, Palu dan Poso dan saat hendak kembali ke New Zealand dia senang karena konflik-konflik itu sudah redah. November mendatang, kata Mr. David, pemerintah New Zealand bekerja sama dengan UNICEF dan Lembaga Pers Dr. Soetomo kembali menggelar workshop se-Asia. Terkait kegiatan yang dilaksanakan, Mr. David katakan tidak ada agenda terselubung dari semua itu. Yang diinginkan hanyalah adanya perlindungan terhadap kaum-kaum minoritas. Kedutaan hanya sebagai fasilitator semata.

Tidak ada komentar: