05 September 2008

Resiko Bencana dan Kerja Kemanusiaan

Dari Workshop Peran Media dalam Pengurangan Risiko Bencana dan Tanggap Darurat (2)
Oleh Hieronimus Bokilia

Omong soal bencana, tentu semua kita akan ingat kesulitan dan kesusahan para korban. Semua kita tentu akan tergerak hati dan mau mengulurkan bantuan kepada para korban apapun bentuknya. Ada yang mau turun langsung ke lokasi ada pula yang mengumpulkan bantuan dari para donator dan menyerahkan langsng kepada para korban. Ada pula yang menyerahkannya melalui perantara. Media massa dalam kerja-kerja kemanusiaan dalam membantu korban bencana alam, juga tak jarang membuka dompet amal atau dompet peduli bencana. Bantuan yang dikumpulkan dari para donator lalu diserahkan kepada para korban.
Butu Ma’dika pada hari kedua workshop mencoba menggugah peserta dalam materinya tentang pengantar pengurangan resiko bencana sebagai bagian dari kerja kemanusiaan. Dia memaparkan kondisi kebencanaan dunia yang trennya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Banjir berada pada urutan pertama dengan total 152 kasus pada tahun 2007, menyusul angin topan dengan 75 kasus, kemudian tanah longsor dengan 56 kasus menyusul banjir dan tanah longsor beruntun sebanyak 45 kasus. Pada urutan berikutnya diikuti gelombang pasang atau abrasi dengan 12 kasus, gempa bumi 12 kasus, kegagalan teknologi enam kasus dan letusan gunung berapi empat kasus. Dari sekian jenis bencana itu, total korban yang menderita dan menungsi mencapai 1.941.597 dengan jumlah terbanyak akibat bencana banjir sebanyak 1.561.640 jiwa.
Ma’dika mengatakan, dalam penanganan bencana diperlukan adanya perubahan paradigma dimana bencana tidak lagi berfokus pada aspek tanggap darurat saja, tetapi lebih pada keseluruhan manajemen risiko. Perlindungan Masyarakat merupakan hak asasi rakyat, bukan semata-mata karena kewajiban pemerintah dan dalam penanganan bencana bukan lagi tanggungjawab pemerintah saja tetapi menjadi urusan bersama masyarakat ata menjadi urusan semua orang.
Membangun Ketahanan Negara dan Masyarakat terhadap Bencana menurut Kerangka Aksi Hyogo (HFA) 2005-2015, sesuai kesepakatan internasional antara 168 negara dan lembaga-lembaga multi-lateral yang mencakup tiga tujuan strategis, lima prioritas aksi dan beberapa saran implementasi serta aksi tindak lanjut dalam bidang pengurangan risiko bencana. Tiga tujuan strategis mencakup mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam kebijakan, rencana dan program-program pembangunan berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan, menganggap pengurangan risiko sebagai isu kemanusiaan sekaligus isu pembangunan – dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan fokus pada implementasi di tingkat negara, dengan kerjasama bilateral, multilateral, regional dan internasional. Lima prioritas antara lain, tata pemerintahan – memastikan pengurangan resiko bencana menjadi prioritas nasional dan lokal dengan basis kelembagaan yang kuat untuk pelaksanaan. Pengkajian Resiko – Identifikasi, mengkaji, dan memonitor resiko bencana dan meningkatkan peringatan dini. Pengetahuan dan Pendidikan – Menggunakan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun budaya aman dan ketahanan terhadap bencana di semua tingkat. Pengurangan Risiko – Mengurangi faktor- faktor berisiko yang mendasar. Kesipasiagaan dan Tanggap Darurat Bencana – Meningkatkan kesiapsiagaan bencana untuk response (tanggap bencana) yang efektif di semua tingkat.
Ma’dika menjelaskan, risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Tingkat sisiko bencana dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu ancaman/bahaya (Hazard), kerentanan (Vulnerability) dan kapasitas/kemampuan (Capacity). Sifat/karakter ancaman meliuti jenis ancaman, asal/penyebab/pemicu, tenaga perusak, tanda peringatan, kecepatan, frekwensi,
Durasi, intensitas, posisi terhadap kelompok rentan/Aset berisiko. Potensi Risiko terhadap masyarakat dan pemerintah.
Dikatakan, kerentanan merupakan suatu kumpulan maupun rentetan keadaan yang menurunkan daya tangkal suatu masyarakat terhadap bencana. Sedangkan kemampuan merupakan sumberdaya, kekuatan yang memungkinkan daya tangkal dan daya tahan suatu masyarakat terhadap bencana. Kajian kerentanan harus dilakukan untuk tiap ancaman jenis ancaman berupa elemen berisiko (Aset penghidupan), lokasi elemen berisiko dan uraian kerentanan pada tingkat individu, masyarakat dan pemerintah. Kerentanan dapat terjadi karena letak rumah penduduk, ladang/sawah, infrastruktur, sekolah, puskesmas dan pasar yang berada di daerah berbahaya, rancangan/kopnstruksi dan bahan bangunan tidak tahan ancaman, sumber penghidupan yang tak aman dan berisiko, sumber alam yang terlalu dieksploitasi, lemahnya organisasi masyarakat.
Selain itu, kerentanan juga dapat terjadi karena masyarakat tidak mempunyai akses dan kontrol terhadap sasaran produksi seperti tanah, sarana pertanian, ternak dan modal. Kurangnya pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, air minum yang aman, perumahan, sanitasi, jalan, listrik dan komunikasi. Adanya praktik yang tidak adil, tidak adanya akses ke proses politik serta adanya kabar bohong atau rumor, perbedaan, konflik suku, kelas, kepercayaan, kasta dan idiologi.
Terkait media dan penanggulangan darurat bencana, Ma’dika mengatakan, media harus berperan sebelum, saat bencan dan pascabencana. Peran media sebelum bencana terjadi pre-disaster phase antara lain melakukan analisis sumber-sumber risiko dan patterns, informasi public, peringatan dini, informasi kesiapsigaan, advokasi untuk pengurangan risiko dan mendorong partisipasi masyarakat. Peran media saat bencana terjadi (crisis phase) meliputi memberikan informasi yang fatual kepada publik pada saat yang tepat, memberikan saran kepada publik tentang aksi-aksi yang perlu dilakukan. Selain itu media perlu pula menginformasikan aksi-aksi yang sedang dilakukan oleh pemerintah dan kelompok-kelompok bantuan. Memberitakan pesan-pesan mengenai keselamatan kelompok-kelompok yang terisolasi/terjebak. Memfasilitasi komunikasi antara orang-orang terkena bencana dengan saudara, teman, keluarga di daerah lain, menyorot kebutuhan-kebutahan survivors/korban bencana, menyorot kebutuhan penerapan standar-standar minimum dan media juga perlu mengkomunikasikan potensi risiko-risiko sekunder untuk meminimalkan bencana atau kerugian lebih besar yang bakal terjadi. Sedangkan peran media setelah bencana (post-disaster phase) meliputi seruan/permohonan untuk bantuan dari semua pihak, memberitakan rencana-rencana rehabilitasi dan rekonstruksi, mendorong partisipasi masyarakat korban dalam pemulihan/recovery dan mempengaruhi untuk mengintegrasikan pengurangan risiko dan pencegahan bencana dalam pembangunan.
Memasuki hari ketiga workshop, seluruh peserta dibagi dalam tiga kelompok. Kelompok yang telah dibagi mengambil tiga pilihan focus peliputan lapangan antara lain banjir, kebakaran dan angin topan. Kelompok kami mendapatkan kebagian bencana banjir. Dalam kunjungan ke lapangan, kami mengunjungi Kecamatan Mariso di Desa Lette. Desa Lette merupakan kampung nelayan yang rentan terhadap banjir, kebakaran dan angin putting beliung. Memasuki desa yang berada di pinggir pantai ini, Nampak sangat miris. Rumah-rumah panggung yang didirikan di atas laut berjejer di sepanjang pinggir pantai. Laut yang kotor oleh sampah masih juga ada kehidupan. Ikan-ikan kecil hilir mudik mencari makan dan berusaha menghindar dari jala nelayan yang sesekali ditebar. Desa Lette memang sering kebanjiran dan warga di pesisir bilang itu sudah biasa. Mereka sudah tahu kalau-kalau banjir akan datang. Namun mereka tidak mau pindah dari lokasi karena belum ada kesepakatan soal ganti rugi tanah yang mau dibangun rumah susun. Warga juga mengeluhkan bagaimana pemerintah yang sudah tidak begitu memperhatikan mereka saat banjir karena banjir sudah sering terjadi. Sudah sebegitukah pemerintah melihat kesusahan masyarakat. Kita berharap apa yang dikatakan masyarakat itu tidak semuanya benar. Sebab bagaimanapun anggung jawab keselamatan masyarakat tetap di tangan pemerintah.

Tidak ada komentar: