04 September 2008

Sulitnya Mencari dan Menemukan Kebenaran

Catatan dari Lokakarya Pasca Konflik Antar Agama di Jakarta (1)
Oleh Hieronimus Bokilia

Vintentius Lumintang bilang, sebelum jadi wartawan dia ikut berperang. Sekarang Vintentius wartawan Radio Swara Tani FM dari Poso. Dia satu dari 20 peserta lokakarya. Saat itu perang sedang merebak di Poso. Selama menjadi prajurit perang banyak hal yang dia lakukan. Namun ada satu hal yang mengganjal selama menjadi prajurit perang waktu itu. Pemberitaan di media dinilai tidak berimbang dan diangap mendiskreditkan serta mempersalahkan posisi mereka. Kondisi itu mendorong Lumintang melepaskan statusnya sebagai prajurit perang dan memilih menjadi wartawan. Dia bilang, waktu itu dia mau jadi wartawan agar bisa merubah pemberitaan menyangkut orang-orang Kristen yang selama ini didiskreditkan media agar lebih berimbang.
Sekelumit kisah yang diungkapkan Lumintang ini menunjukan sulitnya mencari dan menemukan kebenaran di dalam situasi konflik. Kebenaran yang disiarkan seakan hanya merupakan kebenaran semu karena korban dari konflik itu sendiri sebenarnya adalah kebenaran.
Pagi itu di ruangan Mawar lantai dua Hotel Santika Jakarta sudah ditata apik. Meja-meja diatur membentuk leter U dengan 25 kursi berjejer di balik meja. Satu meja dengan empat kursi berada di depan. Ada layar in focus terbentang di depan dan sebuah blacboard terpajang rapi. Pukul 08.30 satu persatu peserta mulai memasuki ruangan tenpat kegiatan dan langsung disodorkan buku tamu untuk diisi. Setiap peserta diberikan tas berisi beberapa buku. Atmakusumah dari Lembaga Pers Dr. Soetomo yang sudah mulai nampak tua degan rambutnya yang jarang tumbuh di kepala sudah menunggu dengan sabar menyambut dan menyapa setiap peserta yang masuk ruangan. Saling sapa dan salam mengisi menit-menit awal sua kami di ruang Mawar Hotel Santika. Hari itu Senin, 25 Agustus 2008. Hari pertama dimulainya lokakarya bertopik meningkatkan toleransi antar umat beragama; jurnalisme di daerah-daerah pascakonflik. Lokakarya ini diselenggarakan oleh Lembaga Pers Dr. Soetomo bekerja sama dengan Kedutaan Besar New Zealand di Jakarta.
Saya adalah salah satu peserta yang diundang Kedutaan Besar New Zealand untuk hadir dalam kegiatan ini bersama 19 peserta lainnya. Kendati Flores khususnya dan NTT umumnya bukan merupakan daerah pascakonflik namun Wakil Duta Besar New Zealand, Mr. David melihat bahwa Flores dan NTT umumnya merupakan daerah mayoritas di dalam minoritas yang harus menjadi perhatian. Menurut David dimensi demografi di Flores berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia. ”Mayoritas di daerah lain bisa menjadi minoritas di Flores,” kata David waktu itu. Melihat kondisi itu, Mr. David meminta agar dua wartawan dari Flores, Hieronimus Bokilia dari HU Flores Pos dan Romualdus Pius dari HU Pos Kupang hadir mengikuti kegiatan itu bersama rekan wartawan lainnya dari Maluku, Maluku Utara, Palu dan Poso yang merupakan daerah-daerah bekas konflik.
Bambang Harimurti, Direktur Lembaga Pers Dr. Soetomo diawal lokakarya langsung menggugah semua peserta yang berasal dari daerah pasca konflik seperti Ambon, Maluku Utara, Poso, dan Palu. Dalam setiap konflik, korban pertamanya adalah kebenaran. Kondisi ini membuat pers sulit mencari kebenaran karena kebenaran merupakan korban utama. Pers, kata Harimurti merasa kebenaran selalu dicari dan merasa belum ditemukan. Kalaupun ditemukanpun sifatnya sementara. Dalam setiap konflik kebenaran mana yang paling benar dan bagaimana pers memilih kebenaran-kebenaran yang berkonflik yang diyakini masing-masing pihak. Jika pers menjalankan tugasnya dengan baik dan yakin telah berjalan sesuai dengan kode etik jurnalistik maka pada akhirnya pers akan membawa kedamaian.
Mengikuti penjelasan singkat Bambang Harimurti di awal kegiatan ini menggugah semua peserta. Betapa sulitnya mencari kebenaran apalagi dalam situasi konflik seperti itu. Dalam situasi aman dan tenteram saja terkadang kebenaran seakan sulit ditemukan. Pers terkadang sulit mengungkap kebenaran muncul ke permukaan. Pers seringkali memainkan perannya yang bias dan bisa membawa dampak pada konflik. Pengakuan sesama rekan jurnalis dari Ambon, Maluku Utara, Poso dan Palu memang sulit mencari kebenaran dalam situasi konflik. Bahkan, agar tetap memberitakan konflik mereka terpaksa terbagi menjadi dua. Wartawan Islam meliput dan memberitakan kejadian di daerah Islam sedangkan yang wartawan Kristen meliput dan memberitakan konflik yang terjadi di wilayah Kristen. Kalau kondisinya seperti ini maka kebenaran yang menjadi korban konflik seperti yang dikatakan Bambang Harimurti akan semakin jauh dan sulit untuk diperoleh. Bagaimanapun, kebenaran versi Islam tentu akan menjadi hal yang tidak benar versi Kristen demikian sebaliknya.
Setelah Bambang Harimurti menggugah para wartawan dengan pasal kebenaran, sesi pertama di hari Senin sebagai hari pertama lokakarya ini diisi tiga pembicara. Sebelum pembicara menyampaikan materi, Tribuana Said dari Lembaga Pers Dr. Soetomo kembali menggugah para wartawan. Dia bilang, dalam meliput kekerasan ada dua hal penting yang harus diperhatikan yakni apa peristiwa yang terjadi dan kedua apa respon atau jawaban untuk mengatasi peristiwa. Menurut Tribuana Said, tidak ada yang menyebar lebih cepat dari ketidakpastian. Pada posisi ini, wartawan harus mengetahui secara pasti baru dapat memberitakan suatu peristiwa.
Norita Yudieth Tompah, Sekretaris Eksekutif Bidang Koinonia Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) memaparkan setelah 63 tahun kemerdekaan Indonesia, bangsa Indonesia masih disibukan dengan pembicaraan tentang toleransi beragama. Mengapa kita masih bicara tentang toleransi? Bukankah bangsa kita dikenal di dunia sebagai bangsa yang sangat toleran?” tanya Norita. Menurut dia, perbincangan tentang toleransi harus dibicarakan di bangsa yang terkenal di dunia dengan toleransi ini mungkin karena akhir-akhir ini timbul ketegangan diantara orang-orang berbeda agama. Bahkan, beberapa tahun lalu konflik berdarah terjadi di Maluku, Maluku Utara, Poso dan palu yang tidak bebas dari nuansa agama. Tentu saja konflik-konflik itu dipicu ebab lain di luar agama namun pada akhirnya agama di bawa-bawa sehingga persoalan makin runyam.
Selain ketegangan antar agama, Norita juga menyoroti persoalan yang juga kadang timbul di dalam agama yang sama. Manusia memang berbeda dan tidak bisa diharapkan untuk seragam dalam segala hal. Keberagaman, kata Norita adalah hakikat kemanusiaan yang terungkap dalam menginterpretasi agama dan menghayatinya. Yang perlu dikembangkan saat ini adalah kemampuan menghargai perbedaan-perbedaan yang ada. ”Perbedaan tidak selalu identik dengan kejahatan.” Agama-agama memang berbeda walau sebenarnya ada yang berasal dari satu akar yang sama. Yahudi, Kristen dan Islam misalnya biasanyadilihat sebagai berasal dari akar abrahamik artinya Abraham diangap sebagai nenek moyang agama-agama itu yang sama-sama mengakui Allah Yang Esa. Dalam perbedaan yang terkandung di dalam agama, terkandung nilai-nilai yang bermanfaat bagi kebersamaan untuk hidup dalam masyarakat seperti nilai keadilan dan kejujuran yang dijunjung tinggi dalam semua agama.
Di sisi lain, Norita juga mengatakan, setiap penganut berangapan agamanya yang paling benar dan hal itu enurutnya wajar-wajar saja. Tetaspi akan menjadi runyam jika klaim agama saya yang paling benar dipaksakan kepada penganut agama lain. Hal itu tentu tidak lagi wajar bahkan bisa menimbulkan ketegangan. Bagaimana menghormati perbedaan-perbedaan itu dibutuhkan kedewasaan dan kematangan dalam beragama dan bermasyarakat. Kecanggihan teknologi saat ini kerap menayangkan kesaksian orang yang berpindah agama. Dengan gamblang mereka menceritakan pengalaman spiritual mereka dan mengambil sikap pindah agama. Pda titik ini dibutuhkan kedewasaan menyimak kesaksian tersebut.
Lalu apa peran negara dalam kehidupan beragama? Negara harus mengayomi semua agama tanpa ada kesan diskriminatif. Negara membuka peluang bagi umatnya untuk mengungkapkan imannya di muka umum secara bebas tanpa dikekang. Setiap keputusan yang dibuat negara hendaknya juga tidak terpengaruh oleh lembaga di luar negara.
Romo Suyatno Hadiatmadja, Pr dari Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) Yogyakarta mengatakan, semua umat beragama dan bangsa Indonesia harus menghargai perbedaan. Perbedaan hendaknya dilihat bukan sebagai ancaman tetapi sebagai karunia. Menurut Romo Suyatno, perbedaan-perbedaan agama merupakan roh. Hal itu dijadikan pemahaman bersama dan menjadi tonggak didirikannya FPUB Yogyakarta dan mengajak semua orang yang mau menciptakan persaudaraan untuk bergabung. Dalam perbedaan itu dibangun komunikasi karena hanya dengan komunikasi dia yakin toleransi dapat terwujud. Bahkan, katanya, toleransi yang diciptakan di Yogyakarta begitu nyata. Dia mengambil contoh ketika hendak berkhotbah dia meminta ide khotbah dari kiai yang mengambil ide-ide khotbah dari Al-Qur’an. Toleransi juga bisa terwujud jika saling bersilaturahim dan bertemu satu sama lain. Romo Suyatno juga menceritakan bagaimana peran FPUB dalam menjalin hubungan antar agama dngan pendekatan budaya lokal yang turun temurun. Hal itu kata dia sudah diwariskan oleh Romo Mangun Wijaya yang pernah bilang ”kalau egkau mau membangun dunia mulailah dari diri sendiri.” hal itu akhirnya mendorong dimulainya membangun toleransi dari hal-hal kecil. Bila ada masyarakat muslim membangun masjid, umat Kristen, Hindu, Budha urunan membantu menyumbang semen dan bahkan bergotong royong. Demikian pula kalau ada umat Kristem yang membangun gereja maka umat lainnya juga membantu. Bahkan pada waktu bencana Yogyakarta, sesama umat saling membantu tanpa atas nama agama. ”Semen, beras, sarimi itu tidak ada agama.”
Omong soal toleransi dan kerukunan, kata Romo Suyatno harus lihat bahwa semua agama mengajarkan kebaikan dan tidak melihat perbedaan tetapi apa yang mau dibuat dengan perbedaan itu. Merukunkan agama memang sulit karena setiap agama punya akidah dan aturan yang berbeda namun ada yang sama yang harus dijadikan dasar dimulainya kerukunan dan toleransi.
Zuhairi Misrawi, inteltual muda Nahdhatul Ulama yang saat ini sebagai Koordinator Program Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta mengatakan, akhir-akhir ini dia merasa kian resah. Apa yang membuatnya resah karena media semakin banyak yang mengekspos kegiatan-kegiatan kelompok garis keras. Sedangkan hal-hal baik seperti yang dibuat Romo Suyatno bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam FPUB di Yogyakarta jarang bahkan tidak diekspos media. Media, menurut Misrawi memegang peranan penting dalam menciptakan kerukunan dan toleransi antar umat beragama. Upaya membangun toleransi, kata dia muncul karena fakta adanya intoleransi. Yogyakarta yang sudah memulai dengan FPUB menurutnya merupakan laboratorium toleransi tetapi kenyataan bahwa tidak semua daerah ada toleransi. Intoleransi menjadi tantangan serius akhir-akhir ini tidak saja dalam konteks antaragama tetapi juga intraagama.
Ajaran tentang kehanifan dan toleransi, kata Misrawi hakikatnya bukanlah ajaran baru yang dibawa Nabi Muhamad melainkan ajaran yang sudah lama dipraktekan oleh para nabi terdahulu. Nabi sendiri hanya melanjutkan apa yang sudah diamanatkan dan dipraktekan oleh Nabi Ibrahim. Bahkan dalam ayat lain menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan agar Ismail dan seluruh keturunannya nanti menjadi nabi-nabi yang mengamalkan ajaran tersebut, tunduk, patuh dan berserah diri kepada Tuhan. Toleransi telah dan harus menjadi nagian terpenting dalam lingkup intragama dan antaragama. Semua tidak bisa keluar dari komitmen membumikan toleransi karena jika keluar Islam akan kehilangan elan vitalnya. Memahami toleransi berarti memahami islam itu sendiri bahkan dapat dipahami sebagai memahami agama-agama lain yang juga mengajarkan tentang toleransi, cinta kasih dan kedamaian.
Satu hal yang tidak dapat dihindarkan dalam konteks toleransi adalah ketegangan antara idealisme dan realitas. Belakangan ini, tegas Misrawi intolerasni dalam prakteknya lebih banyak dipilih daripada toleransi. Krisis toleransi berada pada semua level kehidupan yasng ditimbulkan akibat kurangnya pengertian tentang toleransi. Abdul Husein Sya’ban menyampaikan otokritik, ”kita sesungguhnya tidak mengerti toleransi di antara kita, baik pada level indifidu maupun kolektif, kelompok, organisasi maupun partai politik. Bahkan pada tataran tertentu kita senantiasa memupuk perseteruan di antara kita, baik dalam satu aliran, satu partai, satu bangsa maupun golongan. Kita sudah menyanksikan degan saksama peperangan, pembantaian dan pembunuhan massal yang disebabkan krisis toleransi, pemberangusan kekebasan berpendapat dan peminggiran kelompok lain”. Menyimak pernyataan Sya’ban itu, nampak bahwa semakin sulit menemukan sebuah bangsa, agama dan suku yang tidak melakukan tindakan intoleran. ”Dunia serasa menjadi tempat yang nyaman untuk melanggengkan kekerasan. Di sinilah fakta meluasnya tindakan kekerasan membuka kesadaran kolektif perihal pentingnya mengubah intoleransi menjadi fakta toleransi.”
Dalam membangun toleransi dibutuhkan nilai (value), kebajikan dan nilai-nilai itu harus dihidupkan di dalam masyarakat. Berbicara soal toleransi hanya ada di Indonesia. Hal semacam ini di luar negeri tidak ada karena menurut mereka toleransi hanya ada di dalam agama. Membangun toleransi perlu emndorong kearifan lokal yang harus terus dikembangkan. Perlu diperhatikan dalam mebangun toleransi agar tetap hidup yakni membangun semangat keterbukaan. Inklusifisme bahwa hanya agama saya saja yang benar harus dihindari dan harus mengakui bahwa ada kebenaran pada agama yang lain. Dalam ajaran Islam, Al-Qur’an mengakui adanya kebenaran yang terdapat pada agama lain. Al-Qur’an mengakui adanya perjanjian lama dan perjanjian baru yang diyakini umat Kristen. ”Telah kami turunkan perjanjian lama yang di dalamnya ada petunjuk dan cahaya” dan ”telah kami turunkan perjanjian baru yang di dalamnya ada petunjuk dan cahayanya”.
Misrawi katakan, modal dasar membangun toleransi adalah toleransi embutuhkan interaksi sosial melalui percakapan dan pergaulan yang intensif. Di Inggris misalnya, semua kelompok didorong menggali nilai-nilai toleransi sebagai kebajikan. Masing-masing kelompok, terutama kelompok minoritas diperlakukan secara adil dan setara baik dalam ranah politik, ekonomi maupun agama. Mereka dilindungi oleh negara melalui sistem demokrasi dan bebas melakukan aktifitas prekonomian, peribadatan secara bebas dan otonom. Kelompok mayoritas tidak melakuka penetrasi politik terhadap kelompok minoritas. Kata kuncinya adalah kelompok minoritas mendapatkan hak otonom dalam pelbagai bidang kehidupan. Membangun saling percaya diri di antara pelbagai kelompok dan aliran (mutual trust). Salah satu caranya adalah menumbuhkembangkan keinginan untuk berbagi nilai tentang toleransi dan mengubur pelbagai kebencian, kecurigaan terutama yang berbasis paham keagamaan. Pada titik ini, semangat kebangsaan dapat membangun semangat saling percaya diri, baik kelompok mayoritas maupun minoritas. Apapun aliran dan golongannya mereka berada dalam satu payung bangsa yang sama.
Noor Huda Ismail yang sebelumnya menulis untuk The New York Time tampil menceritakan pengalamannya meliput di daerah-daerah konflik. Dia bilang, agar bisa meliput di daerah konflik hal yang penting dilakukan adalah meriset daerah konflik yang akan diliput. Dalam riset ini hendaknya jangan pernah ada asumsi. Selain itu, wartawan harus tahu istilah-istilah spesifik yang digunakan oleh narasumber. Selain hal lain yang perlu pula diperhatikan adalah menyangkut sudut pandang. Di sini, Huda bilang dalam setiap liputan konflik tentu wartawan beramai-ramai membidik jumlah korban, kerugian materil. Namun agar tulisan lebih berbeda, wartawan harus melihat dari sudut pandang berbeda dan di sini Huda lebih menekankan pada isu yang sederhana tetapi berbeda dan lain dari yang lain. Ada kesan keunikan hal yang mau diangkat menjadi bahan tulisan. Dalam membuat sebuah tulisan yang tidak kalah menariknya adalah tulisan juga harus menyajikan sebuah rekomendasi yang jelas.

Tidak ada komentar: