01 November 2009

240 Ribu Penduduk Buta Aksara di NTT

* Pameran Hasil Keterampilan Warga Belajar

Oleh Hieronimus Bokilia


Ende, Flores Pos

Hingga tahun 2009, jumlah penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas di Provinsi NTT masih mencapai 240 ribu jiwa lebih. Dengan demikian, NTT termasuk provinsi yang masih tinggi angka buta aksara. Menurunkan angka buta aksara menjadi lima persen atau tuntas pada tahun 2009 disadari bukan perkara yang mudah. Untuk itu perlu jalinan kerja sama antar instansi pemerintah sampai ke tingkat daerah, di bawah koordinasi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga.

Hal itu dikatakan Gubernur NTT, Frans Lebu Raya dalam sambutannya yang dibacakan Staf Ahli Bupati Ende Bidang Kemasyarakatan dan Sumber Daya Manusia, Fransiscus Lasa saat membuka pameran hasil keterampilan warga belajar pendidikan luar sekolah (PLS) di aula Paroki Mautapaga, Kamis (29/10). Dikatakan, kemitraan lembaga-lembaga swadaya masyarakat serta lembaga keagamaan, Persit, PKK, Wanita Islam, Perguruan Tinggi dan lembaga-lembaga mitra lainnya perlu lebih ditingkatkan dan terutama kemitraan pemerintah khususnya warga belajar keaksaraan fungsional binaan Lumen Veritatis Keuskupan Agung Kupang di Kabupaten Ende.

Pendidikan, lanjut Lebu Raya, merupakan suatu upaya sadar yang dilakukan untuk mewujudkan masyarakat cerdas sebagaimana amanah UUD 1945. “Tidak pernah ada kehidupan yang cerdas di tengah bangsa yang tidak memiliki pendidikan dan selanjutnya juga tidak pernah mungkin tercipta kehidupan sejahtera.”

Untuk menentukan indeks pembangunan manusia suatu negara, kata Lebu Raya, UNDP menetapkan selain kesehatan dan ekonomi, pendidikan merupakan indikator penting dan angka melek aksara menjadi variabel penentu disamping rerata lama pendidikan. Masalah pendidikan khususnya masalah buta aksara tidak hanya masalah perseorangan atau masalah lembaga saja tetapi menjadi masalah dunia. Hal ini terbukti dari telah dilaksanakannya deklarasi dunia tentang pendidikan untuk semua. Dari situ menetapkan bahwa tahun 2015 paling sedikit 50 persen dari sisa buta huruf dunia harus tuntas termasuk di Indonesia.

Faktor pemicu penyebab terjadinya buta aksara di NTT antara lain, masih terdapat warga yang memang tidak pernah mengenyam pendidikan sejak awal. Angka putus sekolah dasar pada kelas-kelas awal yang tinggi tiap tahun. Setiap tahun, ada anak usia sekolah yang tidak sekolah karena faktor geografis dan ekonomi. Terjadinya buta aksara kembali setelah beberapa lama selesai mengikuti kegiatan belajar pada program pemberantasan buta aksara akibat kurang intensif dalam pemeliharaan kemampuan keaksaraan. Rendahnya kemampuan pemerintah dalam mendanai program pemberantasan buta aksara yang setiap tahunnya hanya mencapai rata-rata 10 ribu orang dari APBN. Sedangkan kontribusi APBD I dan II sangat minim. Selain itu juga karena adanya pengungsi dari Timor Leste dan dari negara lainnya migrasi menetap di NTT.

Kepala Bidang Taman Bacaan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Masyarakat, Narsoyo pada kesempatan itu mengatakan, sesuai amanat UU Nomor 23/2003 tentang Sisdiknas, pendidikan di Indonesia diselenggarakan melalui tiga jalur yakni pendidikan formal, non formal dan informal. Terkait dengan masyarakat yang kurang mampu, pemerintah menyelenggarakan pendidikan non formal yang dapat diikuti masyarakat kurang beruntung seperti anak usia 7-12 dapat mengikuti paket A, anak usia 13-15 mengikuti paket B dan paket C untuk anak usia 16-19 tahun. Bahkan orang dewasa atau orang tua yang berusia 15 tahun ke atas dapat pula mengikuti pendidikan non formal melalui pendidikan keaksaraan.

Pendidikan non formal, kata Narsoyo berfungsi sebagai pengganti pendidikan formal seperti paket A menggantikan SD, paket B menggantikan SMP dan paket C menggantikan SMA. Pendidikan non formal juga sebagai pelengkap seperti kursus, memberikan berbagai keterampilan. Dengan demikian, keluaran pendidikan non formal dengan keterampilan yang dimiliki mampu berkarya.

Sebagaimana pameran yang digelar tersebut, kata Narsoyo diharapkan mampu menyadarkan masyarakat lainnya akan arti pentingnya belajar. Hal yang menghambat masyarakat untuk belajar, kata dia adalah buta aksara. Angka buta aksara Indonesia masih relatif tinggi sehingga menempatkan IPM pada peringkat 111 dari 185 negara. Terkait buta aksara, presiden telah mendeklarasikan gerakan nasional percepatan pemberantasan buta aksara. Ditetapkan bahwa angka buta aksara 15 tahun ke atas harus diturunkan menjadi lima persen atau sekitar 7,7 juta pada tahun 2009 dari sebesar 10,21 persen atau 15,5 juta pada tahun 2004.

Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah pada Dinas PPO Provinsi NTT, Marthen Dira Tome usai acara pembukaan kepada wartawan mengatakan, pendidikan luar sekolah (PLS) mampu menyelesaikan tiga persoalan sekaligus yakni kebodohan, ekonomi dan kesehatan. NTT saat ini memiliki 9.100 kelompok belajar. Dengan jumlah ini diharapkan dapat berjalan maksimal sehingga pada tahun 2009 ditargetkan dapat menuntaskan program penuntasan buta aksara.

Terkait kegiatan pameran, Dira Tome mengatakan, dapat menjadi motifasi bagi masyarakat dan warga belajar. Pemerintah provinsi mendorong masyarakat dan memberikan stimulus melalui berbagai lembaga seperti Keuskupan Agung Kupang, LSM yang mampu koordinir warga belajar. Pemerintah untuk tahun 2009 ini mengalokasikan Rp6 miliar untuk membiayai kegiatan PLS di Flores dan Timor. “Upaya penurunan buta aksara di NTT juga terpegantung pada kesiapan dana.”

Pantauan Flores Pos, sejumlah stan dibangun di aula Mautapaga. Berbagai produk dipamerkan baik dari kelompok belajar maupun kelompok bermain anak. Aneka kerajinan dan makanan lokal buatan kelompok belajar dipamerkan seperti kripik, emping jagung, jamu, sirup buah, berbagai jenis kerajinan tangan dan kain tenunan ikat. Banyak pengunjung yang tertarik atas hasil karya warga belajar dan membeli barang pameran tersebut. Pameran ini akan berlangsung hingga Jumad (30/10).




Tidak ada komentar: