19 Januari 2010

Melarang Buku, Menerbitkan Kegelapan

Oleh Steph Tupeng Witin

· Mahasiswa Magister Jurnalistik IISIP Jakarta

Melarang peredaran sebuah buku merupakan tindakan yang tidak demokratis. Buku adalah ruang bagi siapa pun untuk mengekspresikan kemerdekaan berpikir dan kebebasan mengakses informasi. Peran ini menempatkan buku sebagai cahaya, terang bagi peradaban. Maka, ketika sebuah buku hendak dilarang peredarannya dari tengah publik, sesungguhnya cahaya, terang peradaban, itu sedang dipadamkan. Lembaga atau instansi formal yang melarang peredaran sebuah buku sesungguhnya tengah menghadirkan dan menerbitkan kegelapan bagi peradaban. Tindakan itu merupakan kiamat bagi dinamisme sejarah peradaban dan perkembangan demokrasi.

Menurut Goenawan Mohamad, pelarangan sebuah buku merupakan tindakan yang menakjubkan. Ketertakjuban itu tidak sebatas bahwa buku tersebut akan menjadi komoditas bisnis yang menggairahkan penulis dan penerbit. Tetapi bahwa kebebasan berpikir, berpendapat, yang terekspresikan dalam buku yang dilarang itu sesungguhnya akan semakin mendapatkan apresiasi yang mendalam. Publik akan semakin keranjingan memburu pikiran dan gagasan yang dilarang itu. Perburuan intelektual itu akan semakin mengagungkan pikiran dan gagasan. Pada saat yang sama, negara yang disimbolkan oleh instansi formal tertentu yang melarang buku itu akan semakin menuai badai kecaman, sinisme, dan terpinggirkan dari ranah percaturan civil society.

Buku memainkan peran penting dan strategis dalam ranah kehidupan manusia. Kehadirannya, meski menuai kontroversi, akan bersentuhan dengan publik karena ia menghadirkan pikiran, gagasan, dan ide yang dibutuhkan. Pikiran, gagasan, dan ide itu merupakan rekonstruksi atas realitas publik. Maka buku merupakan cermin untuk membaca realitas secara lebih intens. Ketika buku itu dilarang, publik akan melakukan perlawanan karena kebebasan berpikir, perbedaan berpendapat, dan keberagaman perspektif dalam membaca kenyataan yang merupakan hak asasi itu sedang dilanggar. Pelarangan sebuah buku yang berarti pemutusan ruang bagi publik untuk membaca kenyataan secara subtil tidak lain merupakan sebuah upaya sistematis menggiring publik untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan otoriter-represif, yang dicemaskan dan digelisahkan oleh eksistensi sebuah buku.

Barbara Tuchman mengatakan, buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku, sejarah akan diam, sastra bungkam, sains lumpuh, pemikiran macet. Buku adalah mesin perubahan, jendela dunia, mercusuar yang dipancangkan di samudra waktu. Dan teolog Denmark, Thomas Bartholin, menambahkan, tanpa buku, Tuhan diam; keadilan terbenam; sains macet; sastra bisu; dan seluruhnya dirundung kegelapan (Gramedia:180).

Ungkapan-ungkapan ini menegaskan bahwa buku adalah kekuatan peradaban yang menghadirkan terang pencerahan. Terang pencerahan itu hadir dalam pikiran, gagasan, dan ide yang tertulis dalam sebuah buku yang menerbitkan kebebasan, kemerdekaan, perbedaan, keberagaman, alternatif solusi atas berbagai persoalan publik dan keberagaman paradigma dalam membaca dan menafsir realitas. Buku bisa menghadirkan opini atas realitas sosial politik dan sejarah dari perspektif tertentu. Buku adalah ruang bagi publik untuk menguji sebuah realitas dari sudut pandang dan paradigma berpikir tertentu. Buku adalah ruang yang menampung dan menghadirkan beragam perspektif pendapat atas kenyataan sosial-politik.

Maka tindakan melarang peredaran sebuah buku adalah kejahatan kemanusiaan karena melanggar kebebasan dan hak publik untuk mengakses beragam informasi yang memperkaya pemahaman dan kesadaran kritis. Tindakan pelarangan yang berarti mengharamkan perbedaan pikiran dan menutup ruang keberagaman gagasan bertentangan dengan semangat demokrasi. Negara yang menutup ruang perbedaan berpendapat sesungguhnya sedang mengatakan bahwa demokrasi sedang menunggu saat kematiannya.

Mengelola perbedaan

Goenawan Mohamad mengatakan, tindakan pelarangan sebuah buku lebih kejam daripada bedil dan peluru, karena hal itu akan membekukan pikiran. Lenyapnya buku dari ruang publik atas perintah negara merupakan lonceng kematian bagi demokratisasi percaturan pikiran dan ide. Mungkinkah pertukaran ide, perdebatan, penalaran, dan pencarian jalan baru memperoleh saluran ketika pikiran membeku? Ruang publik sumpek dan pengap. Ide-ide berkelebatan dalam gelap. Penguasa bisa gampang membuat kesimpulan tanpa sebuah pengujian publik yang rasional dan transparan. Toleransi surut dan pendangkalan terjadi. Kita lalu kehilangan dasar yang cukup kuat untuk mengelola perbedaan pendapat secara damai, teratur, dan berbuah demokrasi (Grafiti Pers: 336).

Suasana chaos pelarangan sebuah buku akan menuai perlawanan publik yang intens karena melukai hak asasi. Kekuasaan dalam bingkai negara demokratis tidak boleh dengan dalih apa pun melanggar kebebasan civil society untuk mendapatkan informasi yang luas serta kemerdekaan siapa pun untuk menyampaikan pikiran dan gagasannya. Perbedaan pendapat dalam sebuah negara demokrasi merupakan sebuah keniscayaan. Negara mesti menyediakan ruang demokrasi bagi segenap warganya untuk berbeda pendapat dan pandangan. Bukan zamannya lagi kalau negara menjadi satu-satunya otoritas kebenaran. Negara mesti rendah hati dan berbesar hati untuk menerima pikiran dan gagasan "yang berbeda" dari warganya yang mungkin tidak pernah singgah di benaknya.

Negara mesti mengapresiasi dan mengelola perbedaan-perbedaan itu sebagai peluang untuk merancang sebuah bangsa yang demokratis dan bermartabat. Bangsa ini mesti dibangun dalam alam demokrasi yang meniscayakan perbedaan pendapat sebagai bentuk partisipasi rakyat dalam membangun peradaban. Menerima perbedaan pendapat (buku) berarti menghadirkan terang bagi peradaban bangsa. Melarang perbedaan pendapat (buku) berarti menerbitkan kegelapan bagi bangsa. Rakyat mengharapkan agar negara, melalui Kejaksaan Agung, tidak seenaknya memasung kebebasan berbeda pendapat warga dengan dalih untuk menciptakan keamanan semu bagi kekuasaan otoriter. Pelarangan buku apa pun dalam era reformasi ini merupakan tindakan yang melukai roh reformasi dan demokrasi.




Tidak ada komentar: