19 Januari 2010

Reformasi Birokrasi di Kabupaten Ende Dinilai Gagal

* Rapat Gabungan Komisi DPRD Ende

Oleh Hieronimus Bokilia


Ende, Flores Pos

Pelaksanaan reformasi birokrasi di lungkup Pemerintah Kabupaten Ende dinilai gagal dalam implementasinya. Hal itu nampak dari konsep reformasi birokrasi yang penekanannya masih sebatas pada organisasi perangkat daerah dan tata kerja sedangkan kultur aparaturnya tidak dibenah. Sistem dan tata laksana sudah disentuh dan belum memenuhi harapan untuk misi reformasi birokrasi. Dengan jumlah dan iklim yang ada saat ini maka harapan reformasi birokrasi di Kabupaten Ende gagal.


Hal itu ditegaskan anggota Gabungan Komisi, Heribertus Gani pada rapat Gabungan Komisi, Senin (11/1) malam lalu. Rapat Gabungan Komisi dipimpin Wakil Ketua DPRD Ende, Fransiskus Taso didampingi Ketua Gabungan Komisi, Marselinus YW Petu dan M Liga Anwar. Hadir juga sejumlah anggota Gabungan Komisi. Dari eksekutif, hadir Plt Sekretaris Daerah Ende, Bernadus Guru, para kepala badan, dinas dan kantor serta staf lingkup Pemkab Ende.


Heribertus Gani pada kesempatan itu mengatakan, mencermati konteks reformasi birokrasi dengan jumlah organisasi perangkat daerah sangat jauh dari misi reformasi birokrasi. Dikatakan, tiga rancangan peraturan daerah perubahan yang diajukan pemeritah perlu dibahas dan diklarifikasi soal pijakan aturan yang memayunginya.


Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, ada 26 urusan pilihan dan delapan urusan wajib. Dari semua urusan tersebut tidak semestinya dijawab oleh satu organisasi perangkat daerah dan perlu ada kesiapan untuk menjawab tuntutan miskin struktur kaya fungsi. Dan untuk itu, perlu disesuaikan dengan karakteristik yang ada di daerah.


Gani juga mempertanyakan syarat teknis administrasi pada saat sebelum pengajuan ranperda apakah memenuhi syarat atau tidak. Juga dipertanyakan seberapa besar relefansi jumlah perangkat dalam kaitan dengan kapasitas sumber daya yang dimiliki oleh daerah. Relevansi antara perumpunan urusan dengan potensi yang ada di Kabupaten Ende pada umumnya. Gani katakan, jika semangat membentuk peraturan daerah struktur perangkat daerah, yakin gol untuk wujudkan perangkat daerah yang lebih profesional dan kedepankan miskin struktur kaya fungsi dapat diwujudnyatakan. “Kalau tidak ketimpangan akan nampak dari waktu ke waktu.”


Pelaksana Tugas Sekda Ende, Bernadus Guru pada kesempatan itu menjelaskan merujuik pada ide brilian David Osborn dalam menata ulang kerja birokrasi dnegan 10mprinsip yang jika dapat dijalankan pasti akan dimudahkan untuk segala urusan. Munculnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang pemberantasan KKN muncul pemikiran untuk menata ulang birokrasi di Indonesia. Sejumlah peraturan dikeluarkan seperti PP Nomor 84 Tahun 2000, PP Nomor 3 Tahun 2002, PP 41 Tahun 2006 dan Permendagri Nomor 57 Tahun 2007. denga pijakan-pijakan ini, kata Guru, pemerintah tidak gegabah karena dengan adanya PP 84 tahun 2000 semua kabupaten/kota dirasa tidak ada pejabat yang eselon II karena hanya ada satu dinas yakni Dinas Perikanan dan Kelautan sedangkan yang lainnya hanya kantor.


Kemudian PP Nomor 84 diubah dengan PP 3/2002 namun PP ini juha masih bermasalah. Lalu muncul PP 41 tahun 2006 dengan kriteria luas wilayah, jumlah penduduk dan APBD. Untuk Kabupaten Ende berada di kelas sedang antara 40-70 yakni mendapat angka 47 dengan jumlah penduduk 250 ribu, luas wilayah 2.048 meter km persegi dan APBD tahun 2008 sebesar Rp400 miliar. Dalam pelaksanaan ada Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negaraperpada yang dirubah ke Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi. Dengan proses ini ada tiga hal yakni tentang lembaga, sumber daya manusia dan tata laksana. Namun saat ini masih pada tata laksana lembaga belum pada SDM dan tata kerja.


Dalam pelaksanaan penataan kelembagaan tiga hal yang perlu diperhatikan yakni soal miskin struktur kaya fungsi, profesionalitas dan penting atau tidaknya restrukturisasi. Terkait urusan wajib dan urusan pilihan, Guru mengatakan, sejalan dengan program gerakan swasembada pangan di Ende maka urusan pilihan harus menjadi urusan wajib. Sementara Dinas Pertanian dan Peternakan masih menjadi urusan pilihan dan ini menjadi persoalan sehingga perlu bersepaham agar urusan pilihan menjadi urusan wajib.


Kepala Bagian Organisasi, Yosep Tote mengatakan, jumlah SKPD, dinas, bagian, kantor sebelum revisi yakni 15 dinas, 10 lembaga teknis daerah, dua sekretariat, tiga asisten dan 10 bagian. Pasca restrukturisasi terdapat 15 dinas namun ada reformasi kelembagaan dan pengurangan bidang. Lembaga teknis daerah seluruhnya 10 dan ada satu yang direstrukturisasi yakni Balitbang. Dari seluruhnya itu, job yang ada sebelum restrukturisasi sebanyak 1020 dan pasca restrukturisasi menjadi 1001 dan ada 19 job yang hilang dari eselon IV-II. Namun dengan pembentukan badan Penanggulangan Bencana dan Kantor Pelayanan Perijinan Satu Atap maka jumlah job yang ada menjadi seimbang atau menjadi tetap 1020.


Ketua Gabungan Komisi, Marselinus YW Petu mengatakan, berbicara soal reformasi birokrasi hendaknya tidak berbicara sepenggal-sepenggal. Dalam reformasi birokrasi, kata Petu, reformasi budaya yang paling penting. “Kalau tata kelembagaan baik tetapi sumber daya manusia dan budaya tidak baik akan bubar dengan senidirnya.” Mental dan budaya kerja aparatur, kata dia harus direformasi. Soal SDm dan tertib administrasi tidak terlalu susah karena subjek dan objeknya sama yakni manusia. Petu juga mengatakan, struktur dan komposisi jabatan sesuai penjelasan tidak menampakan adanya struktur yang menjawab prinsip miskin struktur kaya fungsi.


Petu juga mengatakan, selama ini terjadi mutasi dan pergantian pejabat. Dia khawatir mutasi dan pergantian pejabat itu yang dikatakan reformasi birokrasi. Untuk itu, struktur, sistem dan etos kerja harus dipikirkan. Dalam pengelompokan perumpunan, kata dia juga belum jelas mana urusan wajib dan mana yangmenjadi urusan pilihan. Kondisi seperti ini, kata Petu menunjukan bahwa pengajuan ranperda belum melalui kajian yang matang.


Sudrasman Nuh mengatakan, pengajuan perubahan ranperda seharusnya melalui kajian dan evaluasi pelaksanaan pada tahun sebelumnya dan tingkat pencapaiannya seperti apa. Dari situ baru diketahui alasan dilakukan perubahan. Berbicara soal reformasi birokrasi, fokusnya juga harus jelas ke mana dan hal itu belum nampak dan masih berbicara pada tatanan struktur tetapi belum masuk pada pelaksanaan struktur karena tanpa diimbangi pelaksanaan struktur tidak akan berhasil.


Fransiskus Taso menegaskan, berbicara soal reformasi birokrasi, jawaban dan penjelasan pemerintah hanya sebatas jawaban dan penjelasan normatif. Taso pada kesempatan itu juga mempertanyakan bahkan meragukan kajian akademik yang dibuat oleh Universitas Flores. Hal itu karena menurut Taso, di Uniflor tidak memiliki fakultas ilmu pemerintahan lagipula, kajian ini dibuat oleh mereka yang berlatar hukum. Informasi yang diperoleh dari Komisi A, kata Taso, provinsi merekomendasikan agar kajian akademis dilakukan oleh Undana.


Pantauan Flores Pos, pembahasan delapan rancangan peraturan daerah yang diajukan pemerintah masih terus berlanjut hingga Rabu (13/1) kemarin di ruang rapat gabungan Komisi.




Tidak ada komentar: