Tampilkan postingan dengan label sengketa tanah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sengketa tanah. Tampilkan semua postingan

24 Mei 2011

PN Ende Cabut Kembali Sita Jaminan Tanah di Lokoboko

  • Kasus Gugatan antara Amir Nggasa melawan Yan Djou Gadi Gaa

Oleh Hieronimus Bokilia

Ende, Flores Pos

Pengadilan Negeri Ende diperintahkan untuk mencabut sita jaminan atas tanah yang disngketakan antara Amir Nggasa dan kawan-kwn melawan Yan Djou Gadi Gaa dan kawan-kawan sejak tahun 1988. pencabutan sita jaminan atas tanah tersebut dibacakan di hadapan para pihak di lokasi tanah yang disengketakan.

Pembacaan pencabutan sita jaminan atas tanah yang disengketakan dilakukan oleh Panitrera Sekretaris, De Maria Anggelina di hadapan para pihak di Lokoboko, Selasa (5/4). Dalam pembacaan pencabutan sita jaminan itu para penggugat dan tergugat kebanyakan diantara mereka sudah meninggal. Sehingga yang hadir pada kesempatan itu adalah para ahli waris mereka.

Iwan Djou, anak dari salah satu anak Yan Djou Gadi Gaa yang terlibat dalam sengketa itu mengatakan, putusan pencabutan sita jaminan itu materinya tidak ada masalah. Sita jaminan itu dicabut setelah 20 tahun diperkarakan. Bahkan, dalam proses ini telah terjadi pertumpahan darah antara ahli waris para penggugat dengan tergugat hingga mengakibatkan jatruhnya korban dn ada yang harus masuk penjara.

Dia berharap, semua pihak yang terkait dengan persoalan ini memiliki itikad yang baik dalam menghadapi situasi ini. Setelah adanya pencabutan sita jaminan ini, kata dia, akan kembali dikoordinasikan lagi dengan keluarga besar untuk langkah-langkah selanjutnya. Apalagi, kata dia, dalam kegiatan ini hanya pencabutan sita jaminan dn belum dilakukan eksekusi.

Dalam pelaksanaan pembacaan berita cara pencabutan sita jaminan ini diamankan aparat dari Polres Ende, Brimob Kompi C Ende, dan aparat dari Kompi C serta POM Ende.

Wakil Kepala Kepolisian Resor Ende, Kompol A Neno mengatakan, pengaman yang dilakukan atas permintaan dari Pengadilan Negeri Ende. Langkah pengamanan katanya perlu dilakukan guna mengantisipasi timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan. Apalagi, lanjut Neno, banyak masyarakat yang masih kurang memahami substansi dari kegiatan pemncabutan sdita jaminan seperti ini dan mereka mengira akan dilakukan eksekusi.

Dikatakan, pengamanan juga dilakukan mengingat dalam kasus yang sama pernah terjadi pembunuhan yang mengakibatkan jatuhnya korban meninggal pada tahun lalu. Dalam pengamanan ini, kata dia, melibatkan satu pleton Brimob, satu pleton Kompi, POM satu regu dan sisanya dari Polres yakni dari unsur Dalmas, Reskrim dan Intel.

Dia berharap masyarakat bisa menahan diri dan tidak melakukan reaksi. Ke depan, dia mengharapkan agar jika ada hal-hal yang kurang dipahami agar secepatnya dilaporkan kepada aparat berwenang untuk ditangani dan jangan langsung mengambil langkah sendiri menanganinya.

Panitera Sekretaris, De Maria Anggelina saat dimintai penjelasan soal pelaksanaan pencabutan sita jaminan usai pembacaan berita acara pencabutan sita jaminan di lokasi pembacaan tidak dapat memberikan penjelasan. Dia memint wartawan untuk meminta penjelasan langsung ke bagian Humas Pengadilan Negeri Ende. Dia juga tidak mau memberikan kopian berita acara pencabutan sita jaminan dengan alasan karena ini kasus perdata maka kopian tidak dapat diberikan. Jika diberikanpun harus dengan surat permintaan tertulis dan atas seijin Wakil ketua PN Ende.

Amin Bureni, Humas PN Ende saat diminta penjelasan terkait pelaksaan pembacaan berita acara pencabutan sita jaminan mengatakan, dia tidak bisa memberikan penjelasan karena dia kurang memahami duduk perkara yang sebenarnya. Dia kembali meminta wartawan untuk bertemu langsugn dengan Wakil Ketua PN Ende, Susilo Utomo. Namun saat hendak ditemui, Susilo Utomo sedang makan siang bersama aparat keamanan di salah satu ruangan di lantai dua kantor PN Ende.

25 Februari 2010

Rumah Dua Kepala Keluarga di Woloau Disegel

 * Warga Minta Perlindungan Polsek Maurole

Oleh Hieronimus Bokilia

Ende, Flores Pos

Dua rumah milik Gervasius Sage dan Martinus Endu di Dusun Woloau, Desa Otogedu Kecamatan Maurole disegel Gervasius Satu dan keluarganya. Penyegelan itu terjadi karena pihak Gervasius Sage dan Martinus Endu tidak menyerahkan seremoni adat (sobe nggebhe) kepada Gervasius Satu selaku mosalaku Woloau. Padahal seharusnya, seremoni adat tersebut diserahkan atau diantar kepada Mosalaki Nida. Terhadap penyegelan dan pemasangan tanda larang di rumah dua kepala keluarga ini, mereka telah meminta perlindungan dan upaya penyelesaian kepada Kepolisian Sektor (Polsek) Maurole. Namun oleh Kapolsek Maurole, Iptu Ahmad justru diminta untuk melaporkannya secara perdata ke Pengadilan Negeri Ende.  

Gervasius Sage dan Martinus Endu kepada wartawan di Ende, Kamis (18/2) mengatakan, penyegelan rumah dilakukan sejak 7 Deseber 2009 yang lalu. Sebelum disegel, mereka diusir bahkan diancam dibakar. Selain menyegel dengan memasang palang bambu pada pintu, mereka juga memasang tanda larangan dengan daun lontar di rumah tersebut. Karena merasa terancam, keluarga Sage dan Endu meninggalkan rumah dan segala yang mereka miliki di Dusun Woloau dan mengungsi ke Ende. 

Persoalan itu, kata Sage, telah dilaporkan ke Polsek Maurole. Selain melaporkan persoalan itu untuk diselesaikan, mereka juga meminta perlindungan dari pihak Polsek Maurole. Upaya penyelesaian telah dilakukan dan dari pertemuan yang dilakukan disepakati untuk dicabut segel pada 29 Desember 2009 namun gagal dilaksanakan. Selanjutnya dilakukan lagi pertemuan dan upaya penyelesaian sehingga disepakati akan dicabut segel dan tanda larang pada 7 Januari 2010. Penyelesaian, kata Sage selain oleh Polsek Maurole juga melibatkan kedua belah pihak yang bermasalah dan mosalaki Nida, Yohanes Kota Kunu. 

Namun kesepakatan pembukaan segel tidak jadi dilaksanakan pada 7 Januari karena seterlah kembali dari pertemuan, Kapolsek Maurole, Iptu Muhamad kembali menggelar pertemuan hingga malam hari sehingga tidak jadi dilakukan pembukaan segel. Disepakati segel akan dibuka pada 8 Januari namun lagi-lagi tidak dilaksanakan. Bahkan, kata Sage, melalui suratnya, Kapolsek Maurole justru mengarahkan persoalan yang dilaporkan ke persoalan perdata dan meminta merekas melaporkannya ke Pengadilan Negeri Ende. Terhadap usulan Kapolsek ini, Sage mempertanyakannya. Menurutnya, pihak Polsek harusnya bisa memberikan perlindungan kepada mereka untuk kembali ke rumah mereka. “Tiap kali dia bilang kalau mau kembali siapa yang jamin. Padahal sebagai polisi yang sudah kami lapor kesana harusnya dia bisa jamin kami punya keamanan. Ini ada apa?” tanya Sage.

Dia berharap persoalan itu dapat diselesaikan dengan baik setelah dilaporkan ke Polsek Maurole. Polsek seharusnya dapat menjamin keamanan mereka untuk kembali ke rumah mereka dan kembali menggarap lahan milik mereka yang telah dibagikan oleh Mosalaki Pu’u Nida. Hingga saat ini, kata Sage, mereka tetap berkeinginan untuk kembali ke rumah mereka yang telah mereka tempati selama ini. Keinginan itu menguat karena sejak disegel mereka terpaksa meninggalkan segala milik hanya dengan pakaian di badan. Selain itu, anak mereka yang masih sekolah terpaksa berhenti sekolah. 

Mosalaki Tukesani, Thobias Ndoki mengatakan, penyegelan rumah di Woloau seharusnya tidak boleh terjadi apalagi hanya disebabkan karena keduanya tidak menyerahkan seremoni adat kepada Gervasius Satu karena dia tidak berhak dan yang berhak adalah Mosalaki Pu’u Tanah Nida. Mosalaki Nida juga sudah melarang untuk menyerahkan seremoini adat kepada Gervasius Satu karena dia bukan mosalaki. Sebagai kepala keluarga atas Gervasius Sage dan Martinus Endu, kata Ndoki dias sangat menyesalkan apa yang terjadi. Menurutnya, persoalan mosalaki dengan mosalaki harusnya tidak sampai merugikan anak suku dan keluarganya dan menjadi korban. 

Kepala Persekutuan Adat Tanah Nida/Mosalaki Pu’u, Yohanes Kota Kunu dalam suratnya tertanggal 17 Desember 2009, menyatakan saudara Gervasius Satu telah mengangkat dirinya sendiri menjadi mosalaki Woloau tanpa restu mosalaki Nida sebagai pemilik tana di Woloau. Selain itu, Gervasius Satu telah mengusir Gervasius Sage dan Martinus Endu untuk keluar dari Woloau serta merampas semua tempat usaha dan menyegel rumah. Hal itu karena Martinus Endu dan Gervasius Sage tidak memberi seremoni adat yang seharusnya diantar kepada mosalaki Nida. Kota Kunu dalam suratnya itu juga menyatakan bahwa masih banyak pelanggaran hukum adat yang dilakukan Gervasius Satu yang akan diselesaikan pada saat musyawarah. 

Selanjutnya dalam suratnya tertanggal 22 Desember 2009, yang ditujukan kepada Kapolres Ende dan Kapolsek Maurole, Yohanes Kota Kunu meminta dibukanya kembali segel rumah tinggal milik Gervasius Sage dan Martinus Endu. Dia juga meminta mengantar kembali keduanya beserta keluarga untuk menghuni rumah tinggal masing-masing dan mengerjakan kebun ladang serta usaha lainnya sesuai batas-batas yang telah diserahkan mosalaki Nida. 

Kapolsek Maurole, Iptu Ahmad dalam suratnya tanggal 15 Desember 2009 kepada Mosalaki Pu’u Tanah Nida pada poin dua huruf a menyatakan, masalah antara mosalaki Wolomau dan Gervasius Sage yang telah dilaporkan adalah masih dalam lingkup masalah adat sehingga dipandang sangat perlku untuk diambil alih oleh mosalaki persekutuan adat tanah Nida yang diakui sebagai mosalaki induk. Persoalan yang terjadi adalah menyangkut penyerahan pare watu, manu eko, moke boti kepada mosalaki Woloau yang tidak diserahkan oleh Gervasius Sage dan Martinus Endu. Atas dasar itu, Gervasius Satu melaksanakan hukum adat berupa pengusiran dari wilayah garapan mosalaki Woloau. 

Selanjutnya, Ipda Ahmad dalam suratnya itu meminta Mosalaki Pu’U mengundang kedua belah pihak untuk diselesaikan di rumah adat tanah Nida sehingga dapat menghasilkan kesepakatan adat yang mengikat secara adat dan mempunyai kekuatan hukum sehingga tidak timbul masalah yang sama di kemudian hari. 

Sedangkan dalam suratnya per tanggal 15 Desember 2009 perihal pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan, Ipda Ahmad pada poin tiga huruf c menuliskan bahwa permasalahan tersebut sudah diupayakan penyelesaian kekeluargaan berdasarkan pendekatan hati nurani oleh beberapa pihak di antaranya pihak Polsek Maurole, pihak Kecamatan Maurole dan pihak gereja. Namun tidak memperoleh kata sepakat maka disarankan kepada pihak bermasalah untuk menyelesaikan masalah tersebut ke proses hukum perdata di Pengadilan Negeri Ende guna menentukan kedudukan, hak dan kewajiban adat masing-masing pihak sehingga menghindari terjadinya tindak pidana dan masalah yang timbul di kemudian hari. 




09 Februari 2010

Polisi Kembali Tangkap Tiga Pelaku Pembunuhan Akbar Amir

* Total 7 Pelaku Sudah Tertangkap

Oleh Hieronimus Bokilia


Ende, Flores Pos

Setelah berhasil menangkap empat orang pelaku pembunuhan terhadap almarhum Akbar Amor, aparat kembali berhasil menangkap tiga pelaku lainnya. Mereka yang berhasil ditangkap polisi masing-masing berinisial HAK, KK dan MH. Ketiganya saat ini sedang menjalani pemeriksaan intensif tim penyidik baik di Polsek Ndona maupun penyidik Polres Ende.


Hal itu dikatakan Pelaksana Harian (Plh) Kapolres Ende, AKP Suka Abdi melalui Kepala Bagian Operasi Serse Satuan Reserse dan Kriminal Polres Ende, Ipda Petrus Sutrisno di ruang kerjanya, Kamis (4/2). Ketiga tersangka tersebut dua orang masing-masing HAK dan KK ditangkap pada Jumad (29/1) di Ndona. Sedangkan MH ditangkap pada Rabu (3/2) di Nuagata, Ndona. Ketiganya saat ini sudah ditetapkan statusnya sebagai tersangka pelaku pembunuhan terhadap korban Akbar Amir. Dengan penangkapan tiga tersangka ini, maka jumlah tersangka dalam kasus pembunuhan Akbar Amir saat ini menjadi tujuh orang. Ada kemungkinan bertambahnya tersangka yang diperkirakan 10 orang. Namun hal itu perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut untuk memastikan jumlah tersangka pelaku.


Sutrisno mengatakan, masih ada kemungkinan penambahan tersangka. Namun penambahan itu tergantung dari hasil pemeriksaan para tersangka dan saksi-saksi. Dalam kasus ini, para tersangka pelaku selain disangka melakukan penganiayaan yang menyebabkan orang meninggal juga perbuatan penganiayaan yang menyebakan korban luka berat. Dari tujuh tersangka yang sudah ditahan polisi, satu pelaku selain terlibat dalam pembunuhan Akbar Amir juga terlibat dalam perbuatan yang menyebabkan jari tangan Umar Hasan putus.


Berdasarkan keterangan para saksi, tersangka KR yang telah ditangkap sebelumnya, selain terlibat aksi yang mengakibatkan jari tangan Umar Hasan terputus. Dia juga ikut terlibat dalam meninggalnya Akbar Amir. Terhadap keterangan ini, kata Sutrisno, penyidik akan melakukan pengembangan penyelidikan.


Kasus ini, kata Sutrisno, ditangani tim penyidik yang telah dibentuk. Tim ini terdiri dari penyidik anggota polisi Polsek Ndona dan penyidik Polres Ende. Saat ini ada sejumlah tersangka pelaku yang diperiksa di Polsek Ndona, ada juga yang diperiksa penyidik di Polres Ende. Sejumlah barang bukti yang diamankan seperti parang, anak panah dan sejumlah benda lainnya yang digunakan pada saat kejadian sudah dibagikan kepada penyidik masing-masing. Barang bukti tersebut dibagikan untuk ditunjukan kepada para pelaku apakah benar barang bukti tersebut yang digunakan mereka pada saat kejadian.


Terhadap tindakan para tersangka pelaku ini, mereka dijerat melanggar ayat tiga, pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman hukuman atas perbuatan para tersangka yang mengakibatkan korban meninggal dunia maksimal hukuman penjara selama sembilan tahun. Sedangkan perbuatan yang mengakibatkan korban luka berat diancam penjara paling lama tujuh tahun.


Diberitakan sebelumnya, Kepala Kepolisian Resor Ende, AKPB Bambang Sugiarto, Jumad (29/1) mengatakan, setelah melakukan pengejaran selama lebih kurang dua hari, Tim Buser yang dibentuk Kapolres Ende akhirnya berhasil membekuk empat orang pelaku yang diduga telah melakukan tindakan pembunuhan terhadap korban Akbar Amir.


Keempat tersangka pelaku masing-masing berinisial CT, RN, YB dan MD berhasil dibekuk di Kuruone Kecamatan Kelimutu. Salah satu dari empat orang pelaku ini diduga kuat sebagai otak atau aktor intelektual di balik aksi pembunuhan terhadap Akbar Amir yakni MD.


Kapolres Sugiarto mengatakan, keempat pelaku yang berhasil dibekuk Tim Buser tersebut merupakan pelaku-pelaku yang langsung bersentuhan dengan korban. Keempatnya juga sudah positif terlibat karena sesuai pengakuan istri Umar Hasan Kota, salah seorang korban lainnya yang jarinya terputus katakan bahwa keempatnya yang melakukan teror dengan bolak-balik di lokasi pada saat kejadian pengeroyokan dan pembunuhan itu. Para pelaku saat ini diamankan di sel Polres Ende dan menjalani pemeriksaan intensif oleh tim penyidik Polres Ende. Terkait peran para pelaku, kata Sugiarto baru dapat didalami setelah para pelaku diperiksa.


Selain menahan empat tersangka pelaku ini, polisi juga akan terus memburu pelaku lainnya. Hal itu karena berdasarkan keterangan saksi mengatakan bahwa ada sekitar 10 orang yang melakukan pengeroyokan pada saat itu. Untuk itu, kata dia, jumlah pelaku akan terus berkembang setelah dilakukan pemeriksaan terhadap para tersangka dan saksi-saksi lainnya.


Motif pembunuhan terhadap Akbar Amir, kata Sugiarto, sesuai keterangan awal para pelaku dipicu sengketa tanah di mana pada lokasi yang dikuasi oleh pihak keluarga almarhum Yohanes Djou yang telah dijual kepada Fakultas Pertanian Uniflor dipagari dengan batu oleh Akbar Amir. Dia juga memasang tanda larangan (te’o tipu) di lokasi tersebut. Tanda larang yang dipasang Akbar Amir tersebut dicabut sehingga menimbulkan perselisihan yang berbuntut pembunuhan terhadap Akbar Amir.




14 Oktober 2009

Dewan Fasilitasi Penyelesaian Persoalan Tanah di Moni

* Tanah untuk Pasar Moni

Oleh Hieronimus Bokilia


Ende, Flores Pos

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Ende setelah mendapatkan laporan permasalahan tanah sengketa Detukombo, Desa Koanara Kecamatan Kelimutu yang sedianya diserahkan untuk kepentingan pasar Moni telah berupaya memfasilitasi. Dewan telah melakukan pendekatan kepada kedua belah pihak yang bersengketa agar bisa duduk bersama membicarakan persoalan itu. Dewan berharap, masing-masing pihak bisa lebih arif mengingat tanah tersebut nantinya akan dijadikan lokasi pasar demi kepentingan masyarakat umum.

Anggota DPRD Ende dari Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI), Emanuel Erikos Rede kepada Flores Pos di gedung Dewan, Senin (12/10) mengatakan, mosalaki Watugana Moni atas nama Pius Pede athu bersama kuasa hukum Louis A Lada pada beberapa waktu lalu telah mendatangi Dewan dan menyampaikan persoalan tanah di Desa Koanara Kecamatan Kelimutu. Tanah tersebut, kata Eric Rede, sudah diproses hukum hingga ke tingkat peninjauan kembali di mana pada tingkat PK dimenangkan oleh Frans Wangge dan kawan-kawan.

Mosalaki Watugana Moni Pius Pede, lanjut Rede datang bersama kuasa hukumnya menyampaikan bahwa mereka hendak masuk kerja di lokasi tanah tersebut. Pada saat itu, kata dia, Dewan menawarkan agar untuk menyelesaikan persoalan tersebut Dewan menjadi mediator guna memfasilitasi mempertemukan kedua belah pihak yang berperkara. “Kita tanya kepada mereka bahawa apakah masih ada ruang untuk pertemuan dengan pohak Frans Wangge dan kawan-kawan dan oleh mosalaki katakan masih ada ruang.” Adanya keterbukaan bahwa masih ada ruang dialog yang bisa dibangun maka sudah berupaya bangun komunikasi dengan pihak Frans Wangge dan komunikasi yang dibangun ternyata disambut positif. “Kita tinggal tunggu waktu yang tepat untuk pertemukan kedua belah pihak. Mungkin dalam minggu ini sudah bisa kita pertemukan.” Dalam upaya memfasilitasi ini, kata dia Dewan bekerja sama dengan pemerintah kecamatan. Dalam proses ini pula, kata Rede, Dewan dan pemerintah kecamatan hanya memfasilitasi dan tidak melakukan intervensi kepada kedua belah pihak.

Diakuinya, persoalan tanah itu sudah di bawa ke pengadilan bahkan sampai ke tingkat PK dan dimenangkan oleh Frans Wangge dan kawan-kawan. Namun, kata Rede, mengingat persoalan ini merupakan persoalan kemasyarakatan sehingga ingin menyelesaikannya secara komprehensif dengan tetap memperhatikan kearifan lokal apalagi di sana ada mosalaki. Kepada Frans Wangge dan kawan-kawan juga diharapkan untuk dapat mengerti secara adat agar tetap memperhatikan hak-hak adat. Demikian halnya dengan mosalaki diharapkan pula untuk tetap memperhatikan Frans Wangge adalah merupakan bagian dari masyarakat Moni. Mosalaki Moni juga diharapkan untuk bisa duduk bersama dalam forum adat untuk membicarakan persoalan ini secara arif dan bijaksana demi kepentingan aji anak kalo fai walo secara keseluruhan.

Louis A Lada, Kuasa Hukum para pemohon PK dalam siaran persnya menegaskan, kasus sengketa tanah Detukombo, Desa Koanara Kecamatan kelimutu tersebut sudah didaftar di Pengadilan Negeri Ende dengan Nomor 16/PN.END/PDT/1977. sedangkan di Mahkamah Agung tingkat Peninjauan Kembali terdaftar dengan registrasi Nomor 589 PK/PDT/2002. ditegaskan pula bahawa putusan MA dalam perkara tersebut cacat bentuknya sehingga tidak dapat diperlakukan sebagai akta autentik yang berarti tidak mempunyai kekuatan pembuktian sehingga batal demi hukum. Hal mana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1869. selain itu terdapat fakta bahwa para pemohon PK dalam perkara tidak menandatangani putusan tersebut karena putusan bercacat bentuk sehingga putusan tersebut tidak otentik sehingga harus dinyatakan batal demi hukum dan tidak mengikat para pemohon PK dengan segala akibat hukumnya.

Lada juga menulis bahwa karena putusan tersebut menimbulkan tafsiran yang pro kontra di mana pihak Fransiskus Wangge dan kawan-kawan sebagai termohon PK mengklaim bahwa mereka yang menang dalam perkara tersebut sedangkan dari pihak Daniel Balu dan kawan-kawan sebagai para pemohon PK mengklaim bahwa putusan cacat bentuk, tidak bernilai sebagai akta otentik sehingga batal demi hukum. Karena itu kuasa pemohon PK mengajukan protes terhadap putusan MA ditujukan kepada seluruh pejabat publik di negeri ini mulai dari presiden sampai kepala desa termasuk MA namun tidak mendapat tanggapan dari MA. Satu-satunya lembaga tinggi negara yang menanggapi surat protes adalah pimpinan DPR RI yang menyatakan antara lain putusan MA tersebut tidak adil dan sangat merugikan para pemohon PK dalam arti mendukung perjuangan para pemohon PK.

Ditegaskan pula bahwa surat perjuangan telah diterima Pemerintah Kabupaten Ende namun dari pihak Frans Wangge dan kawan-kawan telah mengadakan kegiatan eksekusi sendiri tiga kali berturut-turut dengan berkolusi dengan Pemerintah Kabupaten Ende. Eksekusi pertama dilakukan pada 11 Februari 2009 yang melibatkan Polsek wolowaru dan Satuan Polisi Pamong Praja namun gagal. Eksekusi mendapat perlawanan dari Mosalaki Tanah Moni dan masyarakat adat karena suratnya pengukuran tanah di pasar Moni namun yang diukur tanah sengketa di Detokombo-Moni. Eksekusi kedua pada 16 Maret 2009 namun ditolak Mosalaki Tanah Moni dengan suratnya pada 14 Maret 2009. eksekusi ketiga pada 24 Agustus 2009 dengan menerjunkan anggota Brimob, Sat Pol PP namun kembali gagal karena diadang Mosalaki Tanah Moni dan masyarakat adatnya.

Kegagalan ini, tulis Lada karena Frans Wangge dan kawan-kawan tidak ada dasar hukumnya sebab putusan MA tersebut cacat bentuk yang akibat hukumnya adalah non excetable tetapi malah mau dieksekusi berulang kali.




30 Mei 2009

Keluarga Akbar Amir Sesalkan Pembatalan Sepihak Lurah Lokoboko

* Pengukuran Tanah Sengketa
Oleh Hieronimus Bokilia


Ende, Flores Pos
Pihak keluarga tergugat Akbar Amir sebagai ahli waris yang memenangkan perkara atas tanah yang disengketakan menyesalkan sikap lurah Lokoboko yang dinilai secara sepihak membatalkan pengukuran tanah oleh pihak BPN Ende pada 23 April yang lalu. Padahal, kelengkapan dan persyaratan untuk dilakukan pengukuran telah dipenuhi dan sejumlah persyaratan tersebut dikeluarkan dan ditandatangani oleh lurah Lokoboko.

Akbar Amir, ahli waris dari Amir Nggase, tergugat yang memenangkan perkara gugatan atas tanah seluas 20 hektare didampingi sejumlah keluarga di rumahnya di Lokoboko, Jumad (29/5) mengatakan, tanah yang disengketakan itu sudah ada putusan hukum tetap setelah dipersoalkan dengan para penggugat. Putusan hukum baik dari Pengadilan Negeri Ende, Pengadilan Tinggi Denpasar, Mahkamah Agung hingga peninjauan kembali (PK) sudah dikantongi pihak keluarga. Setelah mengantongi semua putusan itu, kata Amir, sebagai pihak tergugat yang menang dalam perkara perdata itu mereka menyiapkan seluruh dokumen dan persyaratan permohonan untuk dilakukan pengukuran ke Badan Pertanahan nasional (BPN) Kabupaten Ende. Dalam pengusulan itu, pihaknya telah melengkapi sejumlah data yang diperlukan seperti foto copi bukti surat pajak tiga tahun terkahir, pernyataan hak milik yang dikeluarkan kelurahan, pernyataan ahli waris dari pihak kelurahan dan lampiran putusan mulai dari PN Ende, PT Denpasar, MA dan PK.

Diakuinya, surat pernyataan hak milik dan surat pernyataan ahli waris dikeluarkan oleh lurah Lokoboko dan lurah yang menandatangani surat itu. Setelah semua dokumen dipenuhi, BPN turun melakukan pengukuran. Pada saat hendak dilakukan pengukuran, massa memblokir jalan masuk ke lokasi tanah yang luasnya diperkirakan lebih kurang 20 hektare. Akibat pemblokiran itu, lurah membatalkan secara sepihak pengukuran yang hendak dilakukan oleh pihak BPN. Sikap pemblokiran dan pembatalan itu dinilai merugikan pihaknya namun waktu itu pihaknya berupaya menahan diri. “Ini tanah warisan nenek moyang. Akan tetap kita pertahankan. Tapi kami tidak ke lokasi pemblokiran. Kami tahan diri.” Akhirnya, kata Amir, camat bersama arapat kepolisian dan tentara mendatangi rumahnya memberikan pengertian terkait pembatalan dimaksud.

Pembatalan Tidak Masuk Akal
Pembatalan sepihak oleh lurah itu, kata Amir dinilai sangat tidak masuk akal. Hal itu karena seluruh dokumen usulan dikeluarkan oleh lurah namuh menjadi janggal karena lurah sendiri yang kemudian melakukan pembatalan pengukuran tanah. Menjadi pertanyaan keluarga juga, katanya kalau dikatakan bahwa tanah itu masih dalam sengketa karena pihak keluarga sudah mengantongi putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Lagi pula, kata Amir, sejak tahun 1969 hingga saat ini, dia yang membayar pajak atas tanah itu kendati di atas tanah seluas 20 hektare itu digarap banyak pihak dan ditempati oleh lebih kurang 60-an kepala keluarga. “Lurah bilang dibatalkan karena alasan keamanan. Padahal kami sudah buat surat jaminan keamanan.”

Dikatakan, setelah pengukuran pertama gagal dilakukan, pihak keluarga hendak mengajukan permohonan kedua untuk dilakukan pengukuran. Namun atas rencana pengajuan pengukuran itu, lurah Lokoboko katakan tidak dapat dilakukan karena merupakan tanah sengketa. “kalau tanah sengketa harusnya pajak tidak dibayar. Tapi kenapa selama ini kami bayar pajak mereka terima?” tanya Amir.

Tidak Pernah Tandatangan
Lurah Lokoboko, Maximus Ibu di Kantor Lurah Lokoboko, Jumad (29/5) mengatakan, untuk pengukuran tanah pihak pemilik tanah harus memenuhi seluru persyaratan yang ditandatangani oleh kepala desa atau lurah. Menyangkut rencana pengukuran tanah sengketa seluas 20 hektare itu, kata Ibu, kelurahan belum mengeluarkan surat-surat yang dibutuhkan tersebut seperti surat pernyataan hak milik dan surat pernyataan ahli waris.

Ditanya adanya surat tersebut yang saat ini sudah dikantongi pihak pemilik tanah, Ibu mengakui selama ini dia tidak pernah menandatangani surat itu. Diakui, memang pernah disodorkan sejumlah dokumen untuk ditandatangani namun dokumen itu menyangkut pengukuran lahan sawah di luar lokasi tanah sengketa bukan untuk pengukuran tanah sengketa. “Saya juga heran. Saat terima surat dari BPN mau ukur saya tanya mau ukur di mana. Kalau mau ukur di tanah sengeketa saya tidak pernah tandatangan surat.”

Faktor Keamanan
Terkait tudingan bahwa lurah Lokoboko membatalkan sepihak pengukuran tanah pada 23 April lalu, maximus Ibu mengatakan, pihaknya terpaksa mengambil sikap pembatalan karena situasi keamanan waktu itu. Apalagi, katanya, pada saat hendak dilakukan pengukuran, ada sejumlah massa yang memblokir jalan masuk ke lokasi tanah yang hendak diukur. Selain itu, ada surat dari pihak-pihak tertentu yang menyurati BPN untuk meminta penundaan pengukuran.

Hal itu terungkap jelas dalam surat BPN Ende yang menyampaikan pembatalan pengukuran yang ditujukan kepada lurah Lokoboko dan Akbar Amir. Dalam surat pembatalan pengukuran itu, BPN mendasarinya dari surat empat pemilik tanah masing-masing H. Usman A. Ly, Umar Amir dan kawan-kawan, markus HP Gadi Gaa serta penyampaian dari camat Ndona dan lurah Lokoboko. “Kita lihat situasi keamanan yang tidak memungkinkan sehingga minta penundaan.”