25 Februari 2010

Rumah Dua Kepala Keluarga di Woloau Disegel

 * Warga Minta Perlindungan Polsek Maurole

Oleh Hieronimus Bokilia

Ende, Flores Pos

Dua rumah milik Gervasius Sage dan Martinus Endu di Dusun Woloau, Desa Otogedu Kecamatan Maurole disegel Gervasius Satu dan keluarganya. Penyegelan itu terjadi karena pihak Gervasius Sage dan Martinus Endu tidak menyerahkan seremoni adat (sobe nggebhe) kepada Gervasius Satu selaku mosalaku Woloau. Padahal seharusnya, seremoni adat tersebut diserahkan atau diantar kepada Mosalaki Nida. Terhadap penyegelan dan pemasangan tanda larang di rumah dua kepala keluarga ini, mereka telah meminta perlindungan dan upaya penyelesaian kepada Kepolisian Sektor (Polsek) Maurole. Namun oleh Kapolsek Maurole, Iptu Ahmad justru diminta untuk melaporkannya secara perdata ke Pengadilan Negeri Ende.  

Gervasius Sage dan Martinus Endu kepada wartawan di Ende, Kamis (18/2) mengatakan, penyegelan rumah dilakukan sejak 7 Deseber 2009 yang lalu. Sebelum disegel, mereka diusir bahkan diancam dibakar. Selain menyegel dengan memasang palang bambu pada pintu, mereka juga memasang tanda larangan dengan daun lontar di rumah tersebut. Karena merasa terancam, keluarga Sage dan Endu meninggalkan rumah dan segala yang mereka miliki di Dusun Woloau dan mengungsi ke Ende. 

Persoalan itu, kata Sage, telah dilaporkan ke Polsek Maurole. Selain melaporkan persoalan itu untuk diselesaikan, mereka juga meminta perlindungan dari pihak Polsek Maurole. Upaya penyelesaian telah dilakukan dan dari pertemuan yang dilakukan disepakati untuk dicabut segel pada 29 Desember 2009 namun gagal dilaksanakan. Selanjutnya dilakukan lagi pertemuan dan upaya penyelesaian sehingga disepakati akan dicabut segel dan tanda larang pada 7 Januari 2010. Penyelesaian, kata Sage selain oleh Polsek Maurole juga melibatkan kedua belah pihak yang bermasalah dan mosalaki Nida, Yohanes Kota Kunu. 

Namun kesepakatan pembukaan segel tidak jadi dilaksanakan pada 7 Januari karena seterlah kembali dari pertemuan, Kapolsek Maurole, Iptu Muhamad kembali menggelar pertemuan hingga malam hari sehingga tidak jadi dilakukan pembukaan segel. Disepakati segel akan dibuka pada 8 Januari namun lagi-lagi tidak dilaksanakan. Bahkan, kata Sage, melalui suratnya, Kapolsek Maurole justru mengarahkan persoalan yang dilaporkan ke persoalan perdata dan meminta merekas melaporkannya ke Pengadilan Negeri Ende. Terhadap usulan Kapolsek ini, Sage mempertanyakannya. Menurutnya, pihak Polsek harusnya bisa memberikan perlindungan kepada mereka untuk kembali ke rumah mereka. “Tiap kali dia bilang kalau mau kembali siapa yang jamin. Padahal sebagai polisi yang sudah kami lapor kesana harusnya dia bisa jamin kami punya keamanan. Ini ada apa?” tanya Sage.

Dia berharap persoalan itu dapat diselesaikan dengan baik setelah dilaporkan ke Polsek Maurole. Polsek seharusnya dapat menjamin keamanan mereka untuk kembali ke rumah mereka dan kembali menggarap lahan milik mereka yang telah dibagikan oleh Mosalaki Pu’u Nida. Hingga saat ini, kata Sage, mereka tetap berkeinginan untuk kembali ke rumah mereka yang telah mereka tempati selama ini. Keinginan itu menguat karena sejak disegel mereka terpaksa meninggalkan segala milik hanya dengan pakaian di badan. Selain itu, anak mereka yang masih sekolah terpaksa berhenti sekolah. 

Mosalaki Tukesani, Thobias Ndoki mengatakan, penyegelan rumah di Woloau seharusnya tidak boleh terjadi apalagi hanya disebabkan karena keduanya tidak menyerahkan seremoni adat kepada Gervasius Satu karena dia tidak berhak dan yang berhak adalah Mosalaki Pu’u Tanah Nida. Mosalaki Nida juga sudah melarang untuk menyerahkan seremoini adat kepada Gervasius Satu karena dia bukan mosalaki. Sebagai kepala keluarga atas Gervasius Sage dan Martinus Endu, kata Ndoki dias sangat menyesalkan apa yang terjadi. Menurutnya, persoalan mosalaki dengan mosalaki harusnya tidak sampai merugikan anak suku dan keluarganya dan menjadi korban. 

Kepala Persekutuan Adat Tanah Nida/Mosalaki Pu’u, Yohanes Kota Kunu dalam suratnya tertanggal 17 Desember 2009, menyatakan saudara Gervasius Satu telah mengangkat dirinya sendiri menjadi mosalaki Woloau tanpa restu mosalaki Nida sebagai pemilik tana di Woloau. Selain itu, Gervasius Satu telah mengusir Gervasius Sage dan Martinus Endu untuk keluar dari Woloau serta merampas semua tempat usaha dan menyegel rumah. Hal itu karena Martinus Endu dan Gervasius Sage tidak memberi seremoni adat yang seharusnya diantar kepada mosalaki Nida. Kota Kunu dalam suratnya itu juga menyatakan bahwa masih banyak pelanggaran hukum adat yang dilakukan Gervasius Satu yang akan diselesaikan pada saat musyawarah. 

Selanjutnya dalam suratnya tertanggal 22 Desember 2009, yang ditujukan kepada Kapolres Ende dan Kapolsek Maurole, Yohanes Kota Kunu meminta dibukanya kembali segel rumah tinggal milik Gervasius Sage dan Martinus Endu. Dia juga meminta mengantar kembali keduanya beserta keluarga untuk menghuni rumah tinggal masing-masing dan mengerjakan kebun ladang serta usaha lainnya sesuai batas-batas yang telah diserahkan mosalaki Nida. 

Kapolsek Maurole, Iptu Ahmad dalam suratnya tanggal 15 Desember 2009 kepada Mosalaki Pu’u Tanah Nida pada poin dua huruf a menyatakan, masalah antara mosalaki Wolomau dan Gervasius Sage yang telah dilaporkan adalah masih dalam lingkup masalah adat sehingga dipandang sangat perlku untuk diambil alih oleh mosalaki persekutuan adat tanah Nida yang diakui sebagai mosalaki induk. Persoalan yang terjadi adalah menyangkut penyerahan pare watu, manu eko, moke boti kepada mosalaki Woloau yang tidak diserahkan oleh Gervasius Sage dan Martinus Endu. Atas dasar itu, Gervasius Satu melaksanakan hukum adat berupa pengusiran dari wilayah garapan mosalaki Woloau. 

Selanjutnya, Ipda Ahmad dalam suratnya itu meminta Mosalaki Pu’U mengundang kedua belah pihak untuk diselesaikan di rumah adat tanah Nida sehingga dapat menghasilkan kesepakatan adat yang mengikat secara adat dan mempunyai kekuatan hukum sehingga tidak timbul masalah yang sama di kemudian hari. 

Sedangkan dalam suratnya per tanggal 15 Desember 2009 perihal pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan, Ipda Ahmad pada poin tiga huruf c menuliskan bahwa permasalahan tersebut sudah diupayakan penyelesaian kekeluargaan berdasarkan pendekatan hati nurani oleh beberapa pihak di antaranya pihak Polsek Maurole, pihak Kecamatan Maurole dan pihak gereja. Namun tidak memperoleh kata sepakat maka disarankan kepada pihak bermasalah untuk menyelesaikan masalah tersebut ke proses hukum perdata di Pengadilan Negeri Ende guna menentukan kedudukan, hak dan kewajiban adat masing-masing pihak sehingga menghindari terjadinya tindak pidana dan masalah yang timbul di kemudian hari. 




Tidak ada komentar: