03 Desember 2009

HIV/AIDS di NTT Telah Masuk Epidemi Tahap Akhir

* Sosialisasi HIV/AIDS Lingkup Pemkab Ende

Oleh Hieronimus Bokilia


Ende, Flores Pos

Kasus HIV/AIDS di wilayah Provinsi NTT hingga tahun 2009 ini telah memasuki epidemi tahap akhir. Kondisi tersebut dikarenakan HIV/AIDS telah masuk mengenai ibu rumah tangga dan anak-anak mereka. Gelombang epidemi terdiri atas lima tahap yakni tahap pertama homoseksual, tahap kedua narkotika suntikan, tahap ketiga melalui pekerja seks wanita dan pria, tahap keempat pelanggan WTS dan PTS dan tahap kelima atau tahap terakhir adalah ibu rumah tangga, bayi dan anak-anak mereka.

Hal itu ditegaskan Kepala Laboratorium patologi Klinik RSU Prof Dr Yohanes Kupang Unit Transfusi Darah PMI NTT, Samson Ehe Teron saat menyampaikan materi sosialisasi HIV/AIDS kepada para Pegawai Negeri Sipil (PNS) lingkup Pemerintah Kabupaten Ende di lantai dua kantor bupati, Selasa (1/12). Sosialisasi ini menghadirkan tiga narasumber yakni Husein Pancratius, Sekretaris KPA Provinsi NTT, Samson Ehe Teron dan Wakil Bupati Ende, Achmad Mochdar yang juga Ketua KPA kabupaten Ende. Moderator dalam kegiatan ini adalah John Th Ire, dari Yayasan Swabina Yasmine.

Samson Ehe Teron mengatakan, sejak kasus HIV di NTT ditemukan pertama kali di Adonara kabupaten Flores Timur tahun 1999 lalu, jumlah kasus HIV di NTT meningkat tidak terkendali seiring dengan semaraknya organisasi yang terlibat dalam penanganan HIV/AIDS baik pemerintah maupun non pemerintah.

Dikatakan, saat ini di Kabupaten Kupang, Belu, Sikka, Flores Timur, Ngada, Ende dan Alor dan kabupaten lainnya di NTT seakan berlomba memenangkan angka pertumbuhan HIV. Ditegaskan, jumlah kasus yang mencuat ke permukaan saat ini bukan merupakan sesuatu yang layak dijual dalam penanggulangan HIV/AIDS. Lagipula, melihat kondisi HIV/AIDS di NTT kondisi saat ini menunjukan bahwa telah memasuki epidemi tahap akhir. Hal itu dikarenakan HIV/AIDS telah masuk mengenai ibu rumah tangga dan anak-anak mereka. Gelombang epidemi AIDS, kata Teron terdiri atas homoseksual, narkotika suntikan, pekerja seks wanita dan pria, pelangan WTS dan PTS (PSK) dan ibu rumah tangga, bayi dan anak-anak mereka.

Teron mengatakan, di Amerika Serikat yang merupakan negara maju dan masyarakatnya berkesadaran tinggi akan penularan penyakit infeksi, juga kasus HIV menigkat tak terkendali. Angka estimasi orang yang tidak menyadari bahwa ia terinfek antara 24-27 persen dari total terinfeksi. Sedangkan kasus HIV baru dalam setiap tahun mencapai 40 ribu berturut-turut sejak 1990-2—5. penemuan kasus baru, kata Teron memperluas cakupan pemberian obat anti retro virus (ARV) sehingga menekan angka penularan HIV. Pemberian ARV yang baik angka kejadian penularan HIV baru tahun 1990-2005 menetap 40 ribu kasus pertahun dibandingkan sebelumnya yang mencapai 150 ribu pertahun karena tanpa pemberian ARV.

Pengalaman menunjukan angka penularan infeksi HIV pada rang yang menyadari dirinya tertular HIV hanya 1,7-2,4 persen dibandingkan angka penularan pada yang tidak mengetahui mengidap HIV positif yakni 8,8-10,8 persen. “45 persen HIV positif baru terdeteksi pertama kali saat sudah menderita AIDS,” kata Teron. Keterlambatan pemeriksaan darah meningkatkan angka kematian. Angka bertahan hidup 24,2 persen jika terapi awal sydah dimulai sebelum CD4 atau sel T penolong turun mencapai 200 per mikro liter.

Dokter Husein Pancratius, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi NTT pada kesempatan sosialisasi tersebut mengatakan, potensi penularan HIV di NTT disebabkan karena mobilitas penduduk yang tinggi ditunjang dengan srana transportasi yang kian lancar. Faktor lainnya disebabkan karena maraknya pelacuran di mana seks mudah dan murah, pengiriman TKI tanpa dibekali informasi HIV dan AIDS yang memadai. Selain itu, peredaran narkoba yang semakin meningkat termasuk narkoba suntik. Masalah kesehatan dasar lainnya termasuk praktek penggunaan alat suntik tidak steril dan donor darah yang tidak aman dan tradisi masyarakat yang berisiko seperti shifon/suhu.

Dari data epidemi HIV di NTT, kata Pancratius, dapat dilihat beberapa hal yakni kasus HIV/AIDS sudah dilaporkan hampir di seluruh wilayah NTT. Kasus ini juga dilaporkan dari wilayah pedalaman yang minim sarana dan prasarana kesehatan. Sumber penularan juga sudah ada di daerah. Selain itu telah dijumpai kasus HIV/AIDS pada populasi dengan resiko rendah seperti ibu rumah tangga, bayi danak-anak. Pola penularan HIV tidak hanya melalui hubungan seksual namun juga dijumpai melalui penggunaan narkoba suntikan. Adanya peningkatan trens kasus HIV dan AIDS di NTT dalam setiap tahun menurut deret ukur serta banyaknya temuan kasus sudah pada fase AIDS. “Ini mengindikasikan lemahnya deteksi dini,” kata Pancratius.

Salah satu langkah strategis yang dilakukan, katanya adalah dengan pembentukan Komisi Penanggulanan AIDS kabupaten. Telah pula dibuatkan komitmen Flobamora yang telah ditandatangani oleh gubernur, ketua DPRD provinsi, para bupati/walikota dan ketua DPRD kabupaten/kota. Tujuh butir komitmen Flobamora yakni pertama, meningkatkan komunikasi, informasi dan edukasi guna mempercepat upaya nyata dalam penanggulangan HIV/AIDS dan narkoba. Kedua, membentuk dan meningkatkan kemampuan Komisi Penanggulangan AIDS di provinsi dan kabupaten/kota serta Badan narkotika provinsi dan kabupaten/kota. Ketiga, mengupayakan dukungan peraturan perundanganan dan pendanaan yang memadai guna mendukung program penanggulangan HIV/AIDS dan narkoba. Keempat, mempromosikan pemakaian kondom pada aktifitas seksual berisiko dengan target 100 persen pada tahun 2010. kelima menerapkan pengurangan dampak buruk penggunaan NAPZA suntik. Keenam, mengupayakan penghapusan stigma dan kriminasi pada ODHA dan pemakai narkoba dan ketujuh meningkatkan jumlah dan mutu pelayanan kesehatan yang memadai kepada masyarakat khususnya penanganan IMS, HIV/AIDS dan narkotika.

Setelah KPA kabupaten/kota terbentuk, lanjut Pancratius, langkahyang harus dilakukan oleh pemerintah daerah melalui satuan kerja perangkat daerah adalah menganggarkan program dan kegiatan dalam rangka penanggulangan HIV/AIDS sesuai dengan urusan pemerintah daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD bersangfkutan ke dalam belanja langsung. Program da kegiatan terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS dituangkan dalam rekncana kerja anggaran SKPD. KPA provinsi dan kabupaten/kota mengajukan usulan dukungan dana yang bersumber dari APBD terkait dengan program dan kegiatan yang telah dikoordinasikan dengan pemerintah daerah.

Bupati Ende, Don Bosco M Wangge dalam sambutan saat membuka kegiatan sosialisasi ini menegaskan, sosialisasi HIV/AIDS ini merupakan kesempatan untuk membuka pemahaman tentang HIV/AIDS bagi segenap PNS lingkup Pemerintah Kabupaten Ende. Bupati Wangge menegaskan, pada beberapa waktu lalu ada kasus Aids yang menimpa PNS dan difonis sehingga kondisi ini menyebabkan korban malu hinga meninggal dunia. Wangge mengatakan, secara pribadi kurang setuju dengan program atau kampanye penggunaan kondom. Hal itu karena dengan kampanye penggunaan kondom sama dengan memberikan peluang. “Seolah-olah merestui perbuatan yang tidak bagus.” Tetapi, kata Wangge, kampanye penggunaan kondom tersebut merupakan pilihan terjelek dari yang terjelek artinya jika mau berenang harus menggunakan pakaian renang dan aklau ke kebun harus menggunakan pakaian kebun.

Wangge berharap, sosialisasi ini semakin membuat setiap orang mawas diri dan menjadi sumber informasi dan motor penggerak untuk bersama-sama mendukung program pemerintah dalam penaggulangan HIV/AIDS. Peserta yang hadir, kata Wangge dioharapkan setelah mendengarkan informasi dari para narasumber dapat menjadi narasumber bagi masyarakat dan bukan menjadi bagian dari HIV/AIDS.




Tidak ada komentar: