01 April 2009

Leimena dan Dinasti Presiden RI

Oleh Christianto Wibisono

Selama 64 tahun merdeka, RI dipimpin oleh enam presiden yang didampingi 10 wakil presiden dengan vakum selama 17 tahun antara 10 November 1956, ketika Bung Hatta mundur dan jabatan wapres baru terisi lagi pada Maret 1973 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Selama 17 tahun itu, tidak ada "ban serep" wapres dan Indonesia survive tanpa wapres. Orang kedua yang ditunjuk mewakili Bung Karno yang gemar ke luar negeri adalah Ketua DPR Mr Sartono sampai 1960 dan Menteri Pertama yang dijabat oleh Juanda.

Setelah Juanda wafat 1963, maka yang pernah menjadi Pejabat Presiden ialah Wakil Perdana Menteri I (Waperdam) DR Subandrio sebagai primus inter pares dari tiga waperdam. Chairul Saleh sebagai Waperdam II tidak pernah menjadi pejabat presiden karena amburadulnya sistem Bung Karno dengan dwifungsi eksekutif merangkap legislatif, juga menjabat Ketua MPRS.

Chairul mengangkat Bung Karno sebagai Presiden Seumur Hidup pada 1963. Waperdam III Dr Johannes Leimena adalah orang Kristen pertama dan satu-satunya yang pernah menduduki kursi Pejabat Presiden ketika Bung Karno dan Subandrio pergi bersama delegasi RI ke luar negeri.

Johanes Leimena setia kepada Bung Karno tatkala semua penjilat meninggalkan Bung Karno saat Soeharto menggusur para kroni yang tega mengkhianati Soekarno. Oleh karena itu, Megawati, sangat mengapresiasi Sabam Sirait dan Alex Litaay dari unsur Parkindo yang mendampingi Megawati saat dizalimi Soeharto.


Faktor Individual

Sama seperti ketika Habibie mendadak menggantikan Soeharto, tidak ada yang protes kenapa orang Sulawesi dan bukan Jawa bisa jadi presiden. Jika sekarang Jusuf Kalla masih waswas kurang electable, barangkali lebih bersifat faktor individual ketimbang faktor suku Jawa non-Jawa.

Masalah dikotomi suku, sipil, militer, dan sekuler, syariah tetap merupakan kartu yang selama ini diungkat dalam menolak seseorang.

Tapi, jika toh terjadi penyimpangan maka selalu ada saja alibi, dalih para politisi untuk membenarkan apa yang "diharamkan" oleh pihak lain. Jadi, politisi Indonesia memang kurang taat pada supremasi hukum dan prinsip moral dan etika. Yang berlaku untuk orang lain tidak berlaku untuk diri sendiri, dan sebaliknya.

Misalnya dalam soal PKS, secara bisik-bisik orang bilang, awas PKS itu kampiun syariah, jadi kekuatan pluralis harus bersatu padu mencegah PKS berkuasa seperti dalam pilkada DKI, antara Adang Darojatun dan Fauzi Bowo. Tapi, ketika bersaing memerlukan mitra, maka semua mencoba "memacari" PKS.

Seandainya, Blok M atau Blok P menggandeng PKS, maka Blok S mengembuskan isu bahaya negara syariah. Bila yang pacaran dengan PKS itu Blok S, maka blok M dan blok P akan mengangkat isu momok PKS.

Begitu seterusnya, padahal masing masing partai non-PKS juga hanya mementingkan koalisi temporer, ketimbang memikirkan prinsip Pancasila versus syariah.

Masyarakat tentu bingung, sebetulnya bedanya Blok M, P, dan S itu apa. Undang-Undang Pornografi merupakan appeasement kubu Demokrat terhadap voters "syariah". Dalam UU Pornografi ini, Megawati dan PDI-P mengklaim sebagai pembela Pancasila terhadap rongrongan sektarian.

Tapi, dalam UU Pendidikan, Megawati dan PDI-P juga tidak konsisten menanggapi aspirasi yang menolak kandungan "syariah:".

Dalam kasus Tibo, yang mengeksekusi ialah pemerintahan SBY yang mewarisi kasus ini sejak zaman Megawati. Akibat eksekusi itu, maka Hadiah Nobel yang sudah nyaris di tangan SBY, dialihkan ke Mohamad Junus.

Selain eksekusi Tibo, dibebaskannya Pollycarpus seminggu sebelum pengumuman Hadiah Nobel, mengurangi secara definitif poin yang diperoleh SBY untuk memperoleh Nobel.

Habibie juga membayar mahal ambisinya untuk memperoleh Nobel Perdamaian dengan Referendum Timtim, karena mengakibatkan laporan pertanggung jawabannya ditolak oleh MPR hasil Pemilu 1999. Timtim lepas, elite marah, sehing-ga Habibie tergusur dari kursi pre- siden.

Terpilihnya Gus Dur juga merupakan bukti kebenaran adagium tidak ada lawan dan kawan permanen, yang ada kepentingan permanen. Karena manuver Poros Tengah yang dimotori Amien Rais, Megawati dikalahkan oleh Gus Dur sebagai presiden.

Amien Rais konflik dengan Gus Dur, Megawati menjadi presiden dan Hamzah Haz yang tadinya beralasan menolak presiden wanita waktu mengusung Gus Dur sebagai presiden, berbalik arah bersedia jadi wapresnya Megawati.

Konflik Megawati -SBY adalah etalase dari mentalitas elite Indonesia yang selama 40 tahun sejak Bung Karno membubarkan DPR 1960 tidak mengenal dan menghormati oposisi.

Karena itu, jika orang ingin mengambil alih kekuasaan harus rela jadi penjilat yang pura-pura setia, tapi pada saat terakhir menikamkan keris, seperti Brutus dan Ken Arok.

Inilah rahasia amburadulnya sistem politik Indonesia. Menyegarkan ketika Megawati memperkenalkan pola oposisi setelah kekalahan pada Pemilu 2004.

Sekarang waktunya Megawati juga mempraktikkan jiwa besar dengan kesediaan rendezvous dengan SBY.


Soal DPT

Sekarang ini, sedang dihebohkan kasus manipulasi daftar pemilih tetap (DPT), yang kabarnya akan digelembungkan sampai ke media internasional, yang mengundang mantan Presiden Jimmy Carter untuk mengawasi Pemilu 2009.

Selama beberapa hari terakhir banyak email, sms, dan manuver untuk memojokkan SBY, seperti dulu Nixon dipojokkan dalam soal Watergate.

Padahal, pesaing dan penganjur intervensi Carter punya rekam jejak, yang tidak murni 24 karat dalam pelanggaran HAM, penculikan aktivis dan tragedi biadab Mei 1998.

Pertarungan dinasti politik Indonesia memang memilukan dan merendahkan derajat martabat bangsa. Bung Karno menahan mantan Perdana Menteri Syahrir hingga mati di tahanan. Soeharto giliran memperlakukan Bung Karno mati dalam status "tahanan politik".

Kemudian Soeharto juga mati dalam status tidak jelas, karena tidak ada presiden yang berani menuntaskan, Soeharto juga berutang karena membuat Sarwo Edie mati-mereras, dengan tidak pernah memberikan jabatan strategis apa pun. Karena Soeharto gusar Sarwo Edie lebih populer pada awal Orde Baru maka tidak pernah diberi jabatan strategis.

Megawati termasuk korban tidak bisa sekolah S1 karena sebagai mahasiswi tidak memperoleh hak belajar, ketika rezim Soeharto memecat semua mahasiswa kiri/PKI/Sukarnois.

Suatu perlakuan menyebalkan yang lebih jahat dari kolonialisme Belanda. Pada zaman Belanda, Bung Karno, Syahrir, dan Hatta bisa leluasa menuntut ilmu dan tidak dilarang kuliah hanya karena melakukan pergerakan kemerdekaan Pada zaman fasisme bangsa sendiri, malah Guntur dan Megawati diskors tidak bisa sekolah hanya karena berbeda politik.

Sistem amburadul salah kaprah yang seperti itulah yang harus dirombak dengan transparansi, moralitas, dan etika berpolitik baru. Harus ada restorasi mental dengan perangkat supremasi hukum yang mengadili kejahatan politk. Jangan terus ditolerir kemudian ditunggu sampai eksplosif untuk diledakkan dengan mengorbankan rakyat, seperti tragedi Mei 1998.

Indonesia akan terancam jadi failed state jika elitenya bukan negarawan, melainkan para Brutus dengan genetika Ken Arok sebagai pedoman. Saling menggulingkan dan merebut kekuasaan tanpa moral dan etika yang benar.

SBY dan para capres Indonesia harus senantiasa waspada sebab semua orang kedua berpotensi jadi Brutus alias Ken Arok, tanpa ampun, tanpa kecuali, nyaris tanpa moral dan etika.

Keteguhan moral Johanes Leimena patut direnungkan secara dalam. Leimena tidak mau menyeberang atau tergoda menikmati aroma kekuasaan Soeharto, ia memilih pensiun secara bermartabat.


Penulis adalah pengamat masalah nasional dan internasional

Tidak ada komentar: