16 April 2009

Don Wangge Beberkan Empat Kategori Penyakit Birokrasi

* Ceramah Dihadapan Peserta PPAB GMNI Ende
Oleh Hieronimus Bokilia
Ende, Flores Pos
Pemerintah dan seluruh jajarannya yang disebut birokrasi memegang peranan dominant dalam mengambil langkah mewujudkan proses administrasi Negara sebagai wahana mencapai tujuan nasional. Dominasi posisi dan peran birokrasi pemerintah menuntut agar birokrasi mampu mengemban visi, menyelenggarakan gungsi dan menjalankan semua aktifitas yang menjadi tanggung jawabnya dengan tingkat efisiensi, efektifitas yang setinggi mungkin diikuti orientasi pelayanan bukan orientasi kekuasaan.
Hal itu dikatakan Bupati Ende terpilih Don Bosco M Wangge dalam pemaparan materi di hadapan kader-kader dan calon anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) di aula KLK Dinas Tenaga Kerja, Jalan Anggrek, Minggu (25/1). Ceramah dimaksud dalam rangka pecan penerimaan anggota baru (PPAB) GMNI Cabang Ende.

Sulit Ciptakan Birokrasi Ideal
Don Wange mengakui tidak mudah bagi suatu pemerintahan Negara menciptakan birokrasi yang ideal yang betul-betul bebas dari penyakit birokrasi. Sebaliknya tidak ada birokrasi yang menderita semua penyakit yang mungkin menghinggapinya sehingga masih dapat diambil langkah pencegahan melalui pemahaman dan analisis.
Dikatakan, seluruh birokrasi pemerintahan perlu mengetahui dan mengidentifikasi penyakit yang diderita agar bisa dicarikan cara pengobatan yang paling efektif. Wangge membeberkan ada empat jenis penyakit birokrasi yakni pertama, penyakit yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi. Kedua, penyakit yang timbul karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan keterampilan para pejabat. Ketiga, penyakit yang timbul karena pelanggaran terhadap norma hukum dan peraturan yang ada dan keempat, penyakit yang dimanifestasikan dalam perilaku birokrat yang bersifat disfungsi atau negative.

Penyalahgunaan Wewenang
Dari keempat kategori penyakit tersebut, kata Wangge bila dirinci maka ditemukan enam puluh penyakit yang diidap birokrasi. Namun Wange hanya mengemukakan bebeapa penyakit yang menyerang para birokrat yakni penyalahgunaan wewenang dan jabatan. Perilaku disfungsional para pejabat dalam birokrasi pemerintahan yang paling sering terjadi dan disorot masyarakat dalah penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan. Hal ini terjadi karena pejabat yang lupa bahwa kuasa pdanya bukanlah suatu yang secara inheren dimilikinya karena kepercayaan yang diperolehnya untuk menduduki jabatan.
Penyakit komersialisasi jabatan, yakni menerima sogok atau suap. Ini merupakan bentuk terburuk dari perilaku disfungsional pejabat birokrasi. Hal ini disebabkan pejabat memiliki kekuasaan tertentu yang tidak dimiliki orang lain. Penyakit kecenderungan mempertahankan status quo, penyakit empire building. Perilaku yang negative yang menonjol adalah membina kerajaan dengan memperbesar kekuasaan dan menerapkan teori ketergantungan. Intinya semakin banyak orang yang tergantung pada seorang pejabat, semakin besar pula kekuasaan pejabat bersangkutan. Penyakit lainnya adalah penipuan dan sombong, jarak kekuasaan, intimidasi, nepotisme dan bertindak di luar kewenangan.

Belum Digerakan Visi dan Misi
Kondisi itu, kata Wangge disebabkan karena pemimpin birokrasi dalam menjalankan roda birokrasi belum digerakan oleh visi dan misi tetapi digerakan oleh peraturan yang sangat kaku. Selain itu, pemimpin birokrasi public hanya mengandalkan kewenangan formal yang dimiliki sertta kurang memahami bawahan yang memiliki perbedaan. Rendahnya kompetensi pemimpin birokrasi public. Hal ini tidak terlepas dari pola promosi pada birokrasi yang kurang mempertimbangkan kompetensi pejabat ayng diangkat. Selain itu juga disebabkan oleh rendahnya kemampuan manajerial dan mengelola sumberdaya organisasi yang dipimpinnya. “Padahal kemampuan manajerial sangat dibutuhkan dan diperlukan dalam melaksanakan fungsi-fungsi manajemen.”
Kondisi itu, tegas wange melahirkan perselingkuhan dalam tubuh birokrasi. Dengan tahu penyakit birokrasi ini maka upaya penyembuhan sebetulnya tidak sulit. Terpenting adalah kemauan baik dari pemimpin birokrasi mulai dari rekruitmen, penempatan dan promosi menggunakan analisis jabatan, pemberian penghargaan dan hukuman kepada semua tetap mengacu pada peraturan yang berlaku.
Klementinus Sakri pada kesempatan itu memaparkan materi soal nasionalisme. Dikatakan, nasionalisme menurut Soekarno dalam tulisannya Islamisme dan Marxisme secara jelas merumuskan hendaknya kaum nasionalis yang mengecualikan segala pergerakan yang tak terbatas kepada nasionalisme. Mengambil teladan akan Karamchand Gandhi yang mengaskan “buat saya maka cinta saya pada tanah air itu, masuklah dalam cinta pada segala manusia. Saya tidak mengecualikan siapa juga.”
Nasionalis yang sejati, kata Sakri adalah yang nasionalismenya bukan semata-mata suati copy atau tiruan dari nasionalisme barat akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan. Nasionalis yang menerima rasa nasionlismenya itu sebagai suatu wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bukti adalah terhindar dari segala faham kekecilan dan kesempitan.


Tidak ada komentar: