27 Mei 2009

Mengapa Harus Aku

Oleh Hiero Bokilia

Ada yang aneh. Sekembalinya kami sekeluarga dari gereja usai mengikuti upacara misa Rabu Abu, perangai suamiku berubah total. Roberto Belarmino de Jesus suamiku tak seperti hari-hari sebelumnya. Ada kebiasaanya yang sudah menjadi tradisi perlahan ditinggalkan. Semula kubiarkan saja perubahan itu berjalan.
“Ada baiknya juga,’ pikirku. Kbeiasaan merokok dan minum kopi yang menurutku sudah sangat kelewat, kini perlahan mulai ditinggalkan. Kalau selama ini setiap habis batang pertama langsung disulutnya batang dji sam soe yang kedua, sudah tidak lagi. Bahkan jedah waktu kembali menikmatinya pun makin lama. Semua kebiasaan yang sudah kuhafal di luar kepala. Tapi yang membuatku kesal dan mulai menegurnya tat kala kebiasaan makan bersama ikut-ikutan beurubah. Tiap pagi kalau diajak sarapan dia selalu beralasan. Seribu macam alasan dikemukakan. Bahkan makan siang pun tak lagi dijalani. Aku dibuatnya penasaran.
Ku sarankan untuk berobat. “Mungkin papa kehilangan nafsu makan.” Ditolaknya ajakanku secara santun. Aku tak habis akal. Ku cari sendiri suplemen penambah nafsu makan untuknya, namun juga sia-sia. Setiap hari hanya air putihsaja yang jadi sanatapannya.
Aku tak habis pikir dibuatnya. Kala senggang setelah rehat menggambar desain gereja permintaan pihak keuskupan, waktu dihabiskannya membaca kitab suci. Setiap ku coba teliti kitab suci usai dibacanya, selalu kudapati bacaan kisah senggara Yesus yang menjadi bahan bacaannya. Aku tak curiga. Pikirku mungkin sedang masa prapaska saja jadi dia mencoba menghayati penderitaan Yesus.

Di gereja Paroki santu Yosef Onekore tempat kami biasa mengikuti perayaan misa, secara rutin menggelar kisah sengsara Yesus yang biasa kami kenal dengan sebutan jalan salib hidup. Namunsetelah sudah menjadi tradisi di paroki karena rutin diselenggarakan, ajang ini diangap biasa-biasa saja. Bukan lagi sebagai momen permenungan sengsara Tuhan kita Yesus Kristus. Akhirnya panitia paska tahun ini meniadakan jalan salib hidup. Semula umat protes. Termasuk suamiku. Dia paling senang mengikuti jalan salib hidup. Bahkan beberapa kali dipercayakan memerankan Yesus. Maklum suamiku seperti pemeran Yesus di filem-filem yang biasa kami tonton. “Lebih menjiawai sengsara Yesus,” katanya suatu saat. Penghilangan kegiatan rutin ini menimbulkan reaksi beragam.

Minggu pertama pra paska kami lalui sudah. Puasa makan, rokok, kopi dan hal-hal lainnya oleh papanya anak-anak kuanggap wajar-wajar saja. “Mungkin papa mau merasakan penderitaan yesus puasa empat puluh hari empat puluh malam,” pikir ku. Suamiku pun begitu menikmati segala perubahan pada dirinya dengan begitu bersemangat.
Rutinitasnya di pekerjaan dan doa tidak pernah terganggu dan ditinggalkan. Bahkan papa semakin konsentrasi pada pekerjaannya. Gambar-gambar desain gereja permintaan setiap paroki yang didesainnya semakin cepat diselesaikan. Kalau selama ini bisa makan waktu berbulan-bulan karena masih mencari inspirasi bentuk dan model. Kini semuanya seperti mengalir. Bahkan beberapa kali ku coba melihat hasilnya, nampak semakin bagus. Gambar desainnya bernuansa renaisance dan bergaya romawi.
Perhatiannya padaku dan kedua buah hati kami pun semakin besar. Jika biasanya usai kerja dia begitu kecapaian dan pinginnya istirahat. Hari-hari ini semakin sering diluangkan waktunya tuk bercandaria dengan kami. Tapi tak pernah dilupakannya kebiasaan membaca kitab suci.
Minggu pra paska kedua. Suamiku kian memantapkan puasanya. Bahkan air putih yang kusiapkan di meja kerjanya serig tak dihabiskannya. Kondisi ini membuatku resah. “makan saja tidak. Setidaknya air putih bisa menjaga stamina,” keluh ku. Akhirnya aku terpaksa bicara dengannya suatu waktu. “Pa, kok airnya tidak diminum sih?”
“Oh ya. Maafin papa ya Sri.” Katanya manja padaku. “Aku terlalu sibuk sampai lupa minum.” Tapi kemudian tetap seperti itu. Airnya tidak diminum. Kekhawatiranku kian menjadi. “Pa, kenapa ya. Papa sakit ya. Kita ke dokter ya.” Ku coba mengajaknya saat kulihat kondisinya agak drop. Tapi ajakan ku ditolaknya.
“Tak apa ma. Mungkin kecapaian saja.”
Minggu ketiga prapaska. Suamiku semakin bersemangat. Beberapa kali dia kepergok sedang menghafalkan penggalan-penggalan percakapan. Seperti orang lagi mempelajari script naskah drama atau filem. Aku sempat curiga. Namun saat coba kutanyakan dia hanya tersenyum dan kembali melanjutkan pekerjaan. Sekali waktu dari dalam kamar terdengar suara rintihan seperti orang kesakitan dan dalam sakrat maut. Aku dibuatnya cemas. Cepat-cepat ku buka pintu ruang kerjanya. Papa agak kaget menyadari kehadiranku. Namun cepat menguasai situasi. Papa hanya berpaling sebentar kemudian kembali konsen ke gambarnya.
Minggu keempat prapaska. Fisik suamiku benar-benar kurus. Tulang rusuknya yang dulu tak nampak, kini beberapa ruasnya mulai kelihatan jelas. Kumis dan janggutnya kurang terawat kian panjang. Selama beberapa minggu ini tidak dicukurnya dan dibiarkan memanjang. Sekilas, nampak seperti pemeran Yesus dalam filem kisah penyaliban Yesus yang biasa kami tonton. “Jangan-jangan papa dipercaya kembali memerankan Yesus.” Aku sepat curiga suatu waktu.
“Pa, boleh tanya gak.” Aku beranikan diri.
“Ada apa ya ma.” Papa malah balik bertanya padaku.
“Gini pa. Lihat perubahan papa selama ini, kayaknya ada sesuatu yang disembunyikan dari mama.” Kulihat ada semacam perasaan bersalah dari raut wajahnya. Tapi kemudian dengan kasih sayang dibelainya aku. Dibiarkannya aku bermanja di dadanya. Tak ada kata-kata. Pikirankuberkelana sendiri. Ku curi pandang dan ku lihat papa seolah berpikir keras. Akhirnya papa membuyarkan lamunanku.
“Ma............... sebenarnya papa dipercayakan...........”
“Pa...................ma..................di mana. Kami pulang.” Panggilan Tya putri sulungku dan Gilertho pangeran kecil ku membuyarkan dan memotong pembiacaan suamiku. Keduanya baru kembali mengikuti kegiatan di gereja. “Ada rekoleksi anggota Sekami ma,” kata si sulung Tya saat pamitan dengan adiknya mau ke gereja tadi. Suamiku tak melanjutkan. Aku bergegas menemui kedua buah hatiku. Akhirnya sampai minggu palem tiba, rahasi perubahan suamiku terus terpendam.

Minggu dini hari. Suamiku sudah bangun. Tak seperti biasanya. Kali ini, papa tampak lebih gagah dan tampak begitu bijaksana. “Bak raja orang Yahudi,” batin ku. Ku lihat papa mengeluarkan satu persatu pakaian kebesaran raja-raja jaman dahulu. Kemudian dikenakannya segala atribut kebesaran itu satu per satu. Aku terkesima memandangi suamiku. Dia sempat kikuk tahu aku sedang mengamatinya. “Salam hai raja orang yahudi,” tanpa sadar kupekikan sepku. Ternyata keduanya sudah apda bangun. Gilbertho tengah berolahraga di halaman belakang. Sedang kakaknya Tya sedang sibuk membantu Tante Marni di dapur. “Ma, Tya ama Gilbertho enta aja ya misanya. Papa dan mama duluan ada,” kata putriku saat ku melintas di lorong dapur. “Oke deh,” sahutku mengiyakan.

Keanehan semakin kuarasakn. Pasca Minggu palem dan memasuki minggu suci, suamiku mulai bertingkah aneh. Senin pukul 00.00 dinihari, aku terbangun.
enggal kata-kata orang yahudi menyambut rajanya. Suamiku terpana. Ditegornya aku yang bingung sendiri. Papa semakin nampak kebijaksanaannya. Aku dibuatnya terpana menyaksikan perubahan drastis pada diri suamiku. “Ma!!! Kok bengong. Cepetan nanti telat lho.” Aku tersadar. Lamunanku buyar. Ternyata suamiku telah rapi dengan pakaian gerejanya. “Cepat ma. Nanti keburu terlambat. Anak-anak sudah pada bangun belum”. Pertanyaan bertubi-tubi membuat aku sempat celingukan. Bergegas aku ke kamar anak-anak Keringat membasahi sekujur tubuh ku. Tak biasanya aku seperti itu. Ku tatap suamiku yang masih terbaring di samping ku. Ia begitu tenang dalam mimpinya. Ku tatapi sekujur tubuhnya tanpa jenuh-jenuhnya. Di saat kedekatan begitu tanpa jarak, aku seolah merasa ada jarak yang mulai merenggang antara suamiku dan aku. Aku seperti merasakan keanehan. Seolah kebersamaan kami semakin sempit. Perasaanku menggelora seakan mau kehilangan suami tercinta. “Ma....... kok sudah bangun.” Aku kaget dibuatnya. “Ia pa.” Sahutku sekenanya saja. “Kan baru jam satu ma. Tidur lagi ya.” Tak ku jawab ajakannya. Ku rebahkan tubuhku di sampingnya. Dipeluknya aku demikian erat. Aku begitu tenteram. Tapi................... ada perasaan aneh yang yang terus menghantuiku. Dalam keanehan rasa itu aku kembali tertidur dalam belaian kasih suamiku tercinta.

Rabu sore, mendung bergelayut menyelimuti Kota Ende. Di rumah, aku dan tante Marni sedang membereskan rumah. Beberapa perabotan sengaja ku keluarkan dari ruang tamu. “Biar kelihatan lebih luas.” Kataku kepada Tante Marni yang langsung membantuku memindahkan pertanda dia setuju. Biasanya kalau tidak setujudia selalu memberikan seribu satu alasan dan argumennya. Suamiku sejak siang tadi pamitan. Katanya ke paroki tetangga mengantarkan desain gereja yang sudah dirampungkan dua hari yang lalu. Tya dan Gil masih dia latihan persiapan akhir para putra-putri altar yang membantu pastor dalam perayaan misa try hari suci nanti. Kedua anakku sudah tiba di rumah sebelum pukul 17.30. sedangkan papa mereka belum pulang. Ku coba mengontak ke nomor HP. Tidak ada jawaban. Makan malam yang biasanya pukul 19.00 molor 30 menit. Pukul 19.30 ku putuskan makan malam dimulai tanpa kehadiran papa dan suamiku. Suasana makan malam agak berbeda. Anak-anak seperti bertanya ke mana papa mereka. Ku pimpin doa makan diikuti anak-anak dan Tante Marni. Usai makan malam ku lihat Tya membantu tantenya beres-beres di dapur. Gilbertho task kelihatan.
Pukul 01.00 dinihari ku dengar langkah kaki di luar kamar. Suamiku pulang. Dipeluknya aku degan manja dan berupaya mengalihkan perhatianku saat aku keluar menyongsongnya dengan raut penuh tanya. Memang aku yang penurut akhirnya mengikuti saja ajakan suamiku. Akupun akhirnya tertidur di pelukannya. Saat ku terbangun, suamiku sedang sibuk di ruang kerjanya. Pagi itu ia tidak ke mana-mana. Aku yang pamit bersama Tya ke pasar berbelanja keperluan harian. Sekembalinya dari pasar, kami siapkan makan seperti biasa. Saat santap siang tanpa dinyana, suamiku mengambil roti dan mengucap syukur lalu membagikannya kepada aku, Tya, Gilbertho dan Tante Marni. Aku bengong. Anak-anak dan Tante marni tak ketinggalan. Semua bengong. Namun seperti biasa, suamiku melakoninya tanpa ekspresi. Kemudian kamipun makan. Kali ini, suamiku hanya makan roti yang dipecah-pecahkan dan dibagikan separuhnya kepada kami.
Saat malam tiba, kami semua bersiap ke gereja mengikuti misa Kamis Putih. Kedua anak kami sudah duluan ke gereja. Mereka harus mempersiapkan perasayaan dengan baik. Aku dan suamiku ke gereja berjalan kaki. Suamiku begitu khusus berdoa. Usai misa, kamipun kembali dan beristirahat.
Pagi-pagi benar, ku lihat suamiku sudah bangun. Dia seperti sedang mempersiapkan segala sesuati. Tapi tak ku ketahui apa yang dipersiapkannya. Sekitar pukul 04.30 pagi, suamiku pamit. “Ma, aku ke gereja ya. Entarkan jalan salibnya jam enam. Kalau papa telat, ma langsung aja nyusul ke gereja ya.” Pamit suamiku saat aku terus memperhatikannya. Pukul 05.30 aku bergegas ke gereja. “Biar kebagian tempat duduk di dalam gereja,” pikirku. Biasanya pada hari raya begini umatnya membludak. Kalau terlambat bisa tidak kebagian tempat duduk. Saat tiba di gereja, aku kebingungan. Ku lihat, umat pada berada di luar gereja. Lokasi gereja yang semalam polos, kini sudah ditata sedemikian rupa. “Kan tidak ada jalan salib hidup,” batinku. Tak lama berselang, komentator mulai menyapa umat dan mengajak mengarahkan pandangan ke arah timurgereja. Di sana, berdiri sepasukan bala tentara Rowami yang sedang menyeret dan memukuli Yesus. Aku tertegun. Ku lihat suamiku dengan badanya yang kurus berdiri terhuyung-huyung dengan jubah ungu dan mahkota duri di kepala. Darah mengucur di kepalanya yang terkena tajamnya mahkota duri. Hatiku perih. Seakan melihat suamiku yang sebentar lagi wafat di palang penghinaan. Darah menembusi jubah putihnya saat perarakan dari stasi ke stasi. Air mataku menetes saat Yesus bersua dengan Bunda-Nya Maria dalam jalan salib itu. Ratapan Bunda maria menyayat hati. Aku yang paling tegas selama tahun-tahun belakangan saat digelar kisah sengsara toh meneteskan air mata juga. Segenap umat yang hadir pun ternyata meneteskan air mata haru. “Sungguh luar biasa peran yang menggugah hati.” Kini tibalah kisah penyaliban mencapai puncak Golgota. Seluruh pakaian yang dikenakan Yesus suamiku ditanggalkan. Darah segar kembali menetes dari tubuh kurus yang tampak begitu letih. Ia benar-benar kelelahan. Bukan karena peran tapi aku yakin karena fisiknya yang memang sudah sangat drop. Aku kian tak mampu menerima kenyataan ini. Paku menembus tangan suamiku. Aku seperti orang tak sadarkan diri. Histeris melihat tangan suamiku dipaku di palang penghinaan. Lalu salib ditegakan. Prajurit lalu-lalang. Tiba-tiba suara histeris berteriak. “eloy...............................eloy.................lama....sa.....ba......ta........ni...................” Suaranya kemudian lenyap dan kepalnya tertunduk. Gemuruh dan awan gelap menyelimuti. Semua umat tersentak. Sejak awal jalan salib, panas terik begitu menyengat. Namuntiba-tiba mendung datang disertai gemuruh. Selang sepuluh menit kemudian, yesus diturunkan dari salib. Disambut Bunda Maria dengan ratapan. Tak dapat ku bendung air mata ini. Namun di tengah ratapan Bunda Maria, pemeran Bunda Maria tersentak dan mengehtnikan ratapan. “Dingin,” bisiknya epada pengatur lakon yang kebetulan didekatku. Aku tersentak. Namun pengatur lakon meminta meneruskan ratapan hingga selesai dan dilanjutkan dengan adegan pemakaman jenasah Yesus. Setelah diberi parfum dan dikafani, jasd Yesus dibopong dan dibawa masuk ke gua yang telah disiapkan untuk dimakamkan.

Aku sempoyongan. Kakiku tak sanggup menahan tubuhku lagi. Suamiku telah tiada. Kedua anaku begitu terpukul kehilangan sosok ayah yang selalu jadi contoh mereka. Keluarga dan kerabat serta sahabat kenalan yang datang coba menghiburku. Mereka coba menenangkan aku dan anak-anaku. Aku tak terima. “Kenapa harus aku yang menerima cobaan ini. Kenapa harus suamiku yang diambil. Kenapa diambil dalam saat dia memerankan dengan sungguh Yesus dari Nazaret yang wafat di kayu salib. Kenapa tidak Kau ambil piala ini dari suamiku ya Allah-ku.” Aku mempersalahkan Tuhan.
Bersama kedua anakku dan atas persetujuan seluruh keluarga, kuputuskan langsung dimakamkan suamiku hari itu juga. Setelah dimandikan dan disemayamkan sejenak di rumah kami, jasad suamiku lalu dimakamkan sekitar pukul 15.30. seluruh umat yang hadir dalam upacara jalan salib nampak bergeming. Mereka langsung bersama mengantar jasad suamiku ke rumah dan mengambil inisiatif mengurus pemakamannya.

Pagi-pagi benar, aku, Tya dan Gilbertho sudah terbangun. Kami langsung menuju ke makam suamiku. Kedua anakku begitu percaya, papa mereka akan mengalami kebangkitan seperti Yesus. Keduanya berlari mendahuluiku. Setibanya di kubur papa mereka, keduanya terduduk lesu. Makam yang sebelumnya telah dicor, utuh adanya. Keduanya tak kuasa menahan tangis. Mereka kecewa, tidak ada malaikat yang mendorong batu penghalang makam papa mereka. Mereka kecewa tidak ada kebangkitan nyata bagi papa mereka. Aku mencoba tegar. Namun setibanya di makam suamiku, justru aku yang tak bisa menahan diri. Aku tersungkur lesu di atas makam suamiku tercinta. Aku meratap. Seolah Maria Bunda yesus meratapi putranya yang wafat demi menyelamatkan umat manusia. Setelah bisa menguasai diri, kami pun berdoa. Dalam doaku, Tya dan Gilbertho kami senantiasa percaya papa, dan suami tercinta telah bangkit bersama Yesus Sang Juruselamat kendati tidak ada malaikat yang menggulingkan batu kubur. Kendati suamiku dan papanya anak-anak tidak menampakan diri pada kami. Tapi kami bertiga yakin, Robertho Belarmino de Jesus telah bangkit pada hari ketiga bersama yesus dari Nazaret.


medioa april 2009.selamat pesta paska

Tidak ada komentar: