25 April 2009

Suster Angelika


Oleh Ritya Bokilia
Senja kian temaram. Aku sendirian. Kesepian kian merayap. Hiruk-pikuk lalulintas senja itu seakan tak ada artinya buatku. Aku semakin kesepian. Kulangkahkan kakiku tanpa arah, tak kuhiraukan siapapun di sekitar. Aku terus melangkah dan melangkah. Entah ke mana.
Di beranda sebuah rumah besar di Jalan Wirajaya kini aku tengah melangkah. Di sini, setiap hari selalu aku lalui dalam keseharianku.


“Roy.” Aku tersentak. Suara nan manis menyapaku dengan lembut. Suara yang bagiku tak asing lagi. Baru kusadari aku telah berjalan cukup jauh. Gereja katedral Kristus Raja yang selalu kukunjungi setiap ada waktu. Dua kilometer sudah aku melangkah tanpa tujuan. Cuma sekadar mengobati rasa sepi. Aku berpaling ke arah suara yang telah memanggilku dengan lembut. Aku celingukan. Di hadapanku berdiri seorang bidadari cantik. Mengenakan baju terusan serba putih dan kerudung biru. Kalung salib melingkar di lehernya. Aku sempat bingung. Dari suaranya jelas sangat kukenal. Suara Maria Anyelorum gadis manis, sahabat, bidadari dan cinta masa kecil dan remajaku. Suara lembutnya telah membuyarkan segala lamunanku. Memandangnya yang saat itu tengah berdiri di depan biara berpenampilan serba putih berkerudung biru. Serasa tak percaya. Bayanganku langsung menghentak ke lima belas tahun silam.*

Maria Anyelorum, gadis manis berambut panjang terurai. Bibirnya yang mulai merekah indah diusianya yang ketujuh belas telah menggetarkan hatiku. Saat itu, aku dan Nona, begitu dia biasa kami sapa dalam keseharian di SMA adalah teman sekelas. Aku begitu terpesona dengan kecantikan gadis manis peranakan Manado-Flores ini. Namun, getar-getar aneh ini tak pernah mampu aku ucapkan padanya.
Kupendam sendiri dan membuatku selalu membayangkan senyumnya yang selalu menggoda. Pernah sekali aku pedekate alias pendekatan tapi semuanya tak berhasil. Rasa di dalam dada ini serasa sulit aku ungkapkan kala berdua dengannya. Serita cinta gayung tak pernah bersahut ini akhirnya kupendam sendiri.
Saat ayahnya pindah tugas dan memboyong seluruh keluarganya ke Kota Kembang Bandung, Nona dan semua adiknya pun diajak ke sana. Nona terpaksa harus pindah sekolah. Perpisahan tak bisa terelakan lagi. Hatiku serasa hancur. Dambaan hati bakal pergi tinggalkan aku. Tapi aku masih bisa berterima kasih. Sebelum pergi, Nona masih mengundangku main-main ke rumahnya. Aku begitu bergairah.*

Senja mulai turun. Janji ke rumah Nona tak kusia-siakan. “Harus kutepati. Ini kesempatan.” Janjiku dalam hati. Aku melangkah ringan. Jalan Pahlawan masih ramai. Hiruk-pikuk kendaran roda dua dan empat berkejar-kejaran. Sore itu hujan sempat turun. Rinai masih terasa. Aku tiba di halaman rumah Nona. Tidak seperti biasa. Rumahnya sepi saat aku memberanikan diri mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Kembali kuketuk perlahan. Masih tak ada jawaban dari dalam. Aku menyerah merasa dipermainkan. “Ah pulang saja. Nona telah melupakanku.” Aku menyerah merasa dipermainkan. Kubalikan badan hendak pulang. Tangan lembut menggapai tanganku. Aku kaget tak menyangka. Di hadapanku telah berdiri sosok malaikat dambaan hati.
Ia begitu anggun dengan balutan terusan panjang warna pink tanpa lengan. Senyum khasnya terulas manja. Aku tersipu. “Apakah ini pertanda cintanya padaku?” ataukah persahabatan tulus yang dia tunjukan yang mungkin tidak saja padaku tetapi juga kepada semua sahabatnya.
Aku mendua. Aku kebingungan.
“Mari masuk. Papa, mama dan adik-adik lagi pamitan ama keluarga. Minggu depan kami sudah harus berangkat.”
Aku tersadar dari pergolakan batinku. Aku menurut saja ke mana ia melangkah. Genggaman yang aku anggap paling mesra tak dilepasnya sejak tadi. Aku penasaran dibuatnya.
“Minum apa, kak?”
Aku masih bingung. Jantungku berdegup kencang. Aku tak bisa bicara.
“Kopi saja ya, kak.”
Aku mengangguk. Ia melepaskan tanganku dan berlalu. Tak lama kemudian kembali dengan kopi panas dan sepiring kue pisang yang masih hangat. Mungkin disiapkan khusus untukku pikirku dalam hati.
“Minum, kak.”
Aku seakan melayang dan tak percaya saat dia merapatkan duduknya ke sampingku.
“Kak. Kalau nanti aku pindah, kak Roy bakal rindu ama aku tidak.”
Tak dapat kujawab. Aku terdiam. Dia pun ikut terdiam. Kata-kata yang sudah kurancang sejak dari rumah semuanya buyar. Aku kehilangan syair cinta yang sudah kupelajari dari buku Belajar Mengungkapkan Cinta yang aku lupa siapa pengarangnya. Aku juga lupa kata-kata pamungkas Kahlil Gibran yang kubaca dari Sayap-Sayap Patah.
Kuseruput kopi panas yang Nona hidangkan. Ia menatapku. Kutangkap ada rasa sayang dan cinta mendalam di relung matanya.
“Kak aku sayang dan cinta sekali dengan kak Roy.”
Aku menghayalkan Nona mengungkapkan cintanya. Aku lalu membayangkan kemesraan yang terjalin antara aku dan Nona. Bahkan aku sudah membayangkan sampai di depan altar Tuhan saling berserah setia dan mengikrarkan janji sehidup semati.
“Tidak mungkin.”
Batinku. Tidak mungkin perempuan mengungkapkan cinta lebih dulu. Tradisi timur bilang itu pamali.
Dia menatapku. Ku balas tatapannya yang teduh. Aku coba memberanikan diri mengungkapkan cintaku padanya. Aku yakin dia pasti membalas cintaku dengan sepenuh hati. Seluruh keberanian kukerahkan. Aku lancang memegang tangannya. Kugenggam erat jemarinya yang lentik. Nona tak menampiknya.
Kata-kata dan syair cinta mulai terngiang di telingaku sejurus setelah kuseruput kopi panas yang Nona suguhkan tadi. Rupanya kopi panas telah membuatku hilang segala keraguan yang menggumpal sedari tadi. Tanggannya yang halus masih kugenggam. Semakin erat. Ada rasa aneh yang mengalir. Kurasakan adanya getar-getar cinta yang berpadu antara aku dan Nona. Aku begitu yakin Nona bakal menerima ungkapan perasaanku ini. Nona pasti mencintaiku.
“Non. Kamu begitu cantik sore ini. Aku terpesona.”
Seulas senyum manis dan wajahnya merona. Lesung pipi kecilnya nampak jelas. “Aku pingin menyatakan sesuatu padamu. Kamu tidak keberatankan.” Aku meminta persetujuannya.
“Tapi maaf kalau kata-kataku nanti kurang berkenan.”
“Katakan saja, kak. Aku selalu setia mendengarnya.”
Aku terdiam sejenak. Kupikirkan matang-matang. Kutatap wajahnya. Nona hanya diam. Kupererat genggaman tanganku. Kuberusaha menatapnya. Nona semakin cantik di mataku.
“Aku...........a...............ku sayang kamu. Tak dapat kupendam rasa ini lebih lama lagi. Kuharap, Nona mau mengerti. Selama ini ada rasa cinta yang sulit kuungkapkan padamu Nona. Aku begitu mencintaimu. Tapi tak ada keberanian tuk mengungkapkan padamu. Ku berharap, kamu mau menerima rasaku ini.”
Aku dan Nona terdiam sejenak. Pikiranku tak karuan. Aku khawatir ungkapan rasa cintaku padanya ditolaknya mentah-mentah.
Perlahan dia menarik tangannya dari genggamanku. Kubiarkan begitu saja saat dia agak bergeser dariku. Ku coba menatap matanya. Ku lihat dia menerawang. Tak tahu apa yang dipikirkannya. Aku masih tetap berharap dia mau menerima ungkapan cintaku tadi. Aku tak tahu apa jadinya kalau dia sampai menolak cintaku. Aku termangu menunggu jawaban darinya.
Aku bingung. Lama kami terdiam. Akhrinya dengan nada lembut dan mantap nona mulai angkat suara. Tatapannya lekat ke mataku. Aku tak sabar.
“Kak Roy. Maaf sebelumnya.”
Kutatap matanya kian lekat. Ia pun tak gusar bertatapan denganku.
“Sebenarnya akupun merasakan adanya getar-getar aneh di dada ini saat bersama kak Roy. Setiap bersamamu ku selalu merasa begitu damai dan tenang.”
Harapanku mulai bangkit. Nona pasti menerima ungkapan rasa hatiku tadi. Kelebat bayangan kemesraan yang sempat muncul tadi kembali di anganku.
“Tapi kak, selama ini sudah ada yang lebih dulu singga di hati ini. Hadirnya tak bisa ku tampik.”
Aku tak percaya. Bayangan kemesraan yang sempat muncul tadi sekejap buyar. Hatiku hancur kini. Aku tertunduk lesu membayangkan dambaan hati jatuh kepelukan yang lain.
“Tapi, kak.” Nona melanjutkan. “Pria ini sangat istimewa. Tak pernah bersua dan tak pernah bertatap. Tapi Dia begitu dekat dan selalu menjadi sandaran di setiap waktu. Dia seakan telah merebut seluruh perhatianku. Seakan seluruh diriku telah kupasrahkan padanya.”
Aku terdiam.
Kecewa.
“Aku terlanjut mencintai dia kak.”
Aku tak percaya. Aku tak sanggup menatapnya. Kebencian mulai muncul.
“Namun pria ini sangat istimewa. Kak Roy pasti sangat mengenalnya.”
Aku semakin sakit. “Masa kan Nona teganya memilih sahabat dekatku untuk jadi pendampingnya,” rintihku.
“Aku terlanjur mencintai Yesus. Aku selalu mendengar panggilannya di setiap nafas hidupku. Aku terpanggil menjadi biarawati. Aku terpanggil menjadi suster.”
Tak percaya. Aku seperti orang kebingungan. Aku tak berani menatapnya lagi.
Sesal, kecewa, amarah bercampur aduk menjadi satu. Malu beraduk kecewa.
“Kenapa apa begitu percaya diri? Kenapa aku bernaikan diri menyatakan cintaku.” Aku mulai mempersalahkan diriku. “Kamu tidak salah Roy,” bisik suara hatiku. “Kamu harus berani mengungkapkannya. Lebih baik begitu dari pada kau pendam sendiri.” Nada pembelaan muncul.
Ku tatap kembali Nona yang masih duduk di sampingku. Kucoba meraihnya dalam pelukan. Nona pasrah. Kuprerat pelukanku. Nona tak menolaknya. Hasrat yang menggelora ingin ku tumpahkan padanya. Tapi............ Aku kembali ragu. Ketetapan hatinya menjadi biarawati telah mebuat gairah memilikinya hanya bertepuk sebelah tangan. Aku kembali tersadar. Nona punya pilihan. Nona bukan lagi milikku. Nona telah memilih Tuhan. Nona ku bukan milikku pribadi. Dia akan menjadi milik seluruh umat. Kebencian yang sempat muncul serasa hilang begitu saja. “Toh bukan sahabat karibku pilihannya. Nona telah memilih Yesus.” Perlahan, Nona melepaskan pelukanku. Aku kembali tersadar.
Dikecupnya keningku. Aku inginkan yang lebih. Namun terlambat. Suara ramai di luar rumah makin mendekat ke arah pintu. Papa, mama dan adik-adiknya kembali. Aku bersalaman dan menyatalkan salam pisah dengan keluarga Nona. Aku tidak asing lagi bagi mereka. Keluarga Nona sudah sangat mengenalku.
Pukul 22.00 aku pamit pulang. Nona masih mengantarku ke gerbang dan melepasku pergi. Langkahku gintai namun ku paksa setegar mungkin di hadapannya. Ku coba menggapai tangannya. Dibiarkannya kurengkuh tangannya. Seakan enggan kulepas tangannya. Namun malam kian larut. Ku lepas tangannya perlahan. Kami pun berpisah. “Nona, selamat jalan. Jangan kau lupakan kebersamaan kita. Khabarkan selalu bila sudah di tempat baru nanti.”tatapan matanya menandakan setuju permintaan akhir di sua kami malam itu.*

Lima belas tahun. Bukan waktu yang pendek. Maria Anyelorum yang ku kenal dulu telah memiliki jalan hidup sendiri. Pilihan mencintai Yesus dan menjadi biarawati telah diwujudkannya. Kini dia telah menjadi Suster Maria Angelika. Kecantikan masih sangat terpancar diusianya yang ketiga puluh dua. Ia masih secantik dulu. Wajahnya yang centil tak pernah ku lupakan.
“Kak Roy sejak kapan ada di sini?”
Aku tersentak dari lamunanku. Ingatan lima belas tahun silam seketika buyar.
“Kak Roy ngapain di sini. Kok diam gitu sih?”
Aku masih tak percaya menatapnya yang begitu anggun dengan stelan putih dan kerudung biru. Apa yang dicintainya telah dimilikinya sepenuh hati. Dia telah membuktikan pilihannya. Mencintai Yesus dan menjadi biarawati. Lima belas tahun aku menikmati kesendirian dan Suster Angelika telah mencintai Yesus seutuhnya. Lima belas tahun aku tak pernah menemukan pendamping hidupku. Lima belas tahun Suster Angelika telah hidup membiara.
Kini dia bukan lagi Maria Anyelorumku. Dia bukan lagi Nonaku yang kudambakan menjadi pendampingku dalam suka dan duka. Dalam untung dan malang. Kini dia sepenuhnya milik Yesus. Dia telah mencintai Yesus selamanya. Suster Angelika aku masih tetap mencintaimu. Tapi aku sadar dia bukan lagi miliku. Aku seakan disaraknan cintaku memang bertepuk sebelah tangan. Gayng tak bersambut.
Dalam doaku, terbayang wajah Suster Angelika nan elok. Kupasrahkan panggilannya pada Yesus. “Smoga dia menjalani panggilan hidupnya dengan tetap mencintai Yesus sampai akhir hayatnya. Amin.” Aku menutup doaku.
Sua lima belas tahun memaksaku bangkit menatap masa depan. Maria Anyelorum hanyalah kenangan masa lalu. Tak mungkin aku mencintainya lagi. Ku tatap jalan ke depan yang harus ku tempuh. Nonaku harus mulai ku tinggalkan. Harus ada Nona baru yang mengisi relung hati ini.

ende, medio februari 2009

Tidak ada komentar: