05 Agustus 2011

OSPEK, Pengenalan Kampus Bukan Pengenalan Jalan

(Sebuah Refleksi terhadap Pelaksanaan OSPEK)

Oleh Hieronimus L Bokilia

Wartawan HU Flores Pos

Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) seiring waktu telah mengalami banyak perubahan. Jika dulu sebelum jaman reformasi, OSPEK tidak berbeda jauh dengan proses pembinaan di ABRI yang militeristik. Namun sejalan dengan gaung reformasi, ketika mahasiswa berteriak di jalan menghendaki ABRI kembali ke barak dan stop militerisme di lingkungan kampus , perlahan-lahan system dan tata acara pelaksanaan OSPEK pun mulai mengalami perubahan. Resimen Mahasiswa yang semula gencar digalakan di kamus-kampus juga mulai kurang diminati para mahasiswa. Namun, kendati telah mengalami paradigma baru, toh OSPEK bagi mahasiswa baru, ternyata masih menjadi momok yang sangat menakutkan. Tak jarang para calon mahasiswa berusaha sebisa mungkin untuk tidak mengikuti acara ini.

Secara umum, masa orentasi siswa (MOS) atau OSPEK diartikan sebagai masa dimana siswa atau mahasiswa baru dikenalkan kepada lingkungan tempat belajar yang baru, staf pengajar dan kakak kelas tau para senior. Tapi pada prakteknya, tak jarang kegiatan dijadikan sebagai kegiatan perploncoan dan mengerjai para pendatang baru ketimbang sebagai pengenalan atau orientasi.

Fatalnya lagi, karena OSPEK bukan menjadi ajang pengenalan dan orientasi, sudah banyak terdapat fakta bahwa kegiatan ini dimanfaatkan oleh kakak kelas atau senior sebagai ajang balas dendam. Para senior dan kakak kelas yang pernah mengalami hal yang sama di awal mereka masuk sekolah atau masuk kampus dilampiaskan kembali kepada para siswa dan mahasiswa baru. OSPEK tidak lagi berjalan di atas rel yang sebenarnya yakni pengenalan dan orientasi. Unsur pendidikan dan pembelajaran semakin jauh. OSPEK tidak lagi menjadi tempat pembelajaran tetapi malah dijerumuskan menjadi ajang pembodohan para pendatang baru di dunia kampus.

Lihat saja penampilan para mahasiswa baru. Dandanan dan tampilan para muka baru di dunia kampus ini dibuat seaneh-anehnya. Bagi peserta perempuan rambut harus dikepang sebanyak-banyaknya. Diikat dengan tali bukan dengan pita yang cantik. Lipstick yang menjadi penghias wajah diganti arang membuat penampilan mereka tak ubahnya seperti orang gila baru. Belum lagi ditambah topi dari belahan bola plastik. Sementara yang laki-laki, kepalanya dibuat plontos ala calon tentara atau polisi yang lagi mengikuti pendidikan. Dengan alasan untuk membuat acara semakin semarak, diinstruksikanlah kepada setiap siswa baru untuk memakai pakaian yang sangat tidak masuk akal.

Mahasiswa yang selalu merepresentasikan diri sebagai sosok idealis, pembebas atau pembela kaum tertindas, tiba-tiba berubah ketika melaksanakan OPSPEK. Mahasiswa yang dalam orasinya di setiap aksi-aksi demonstrasinya selalu berteriak anti militerisme ternyata lebih bertindak militer ketimbang anggota militer itu sendiri. Walau telah ada perubahan mendasar di kampus-kampus tertentu, akan tetapi, di sebagian besar kampus, OSPEK masih diwarnai unsur kekerasan, penindasan dan militerisme sebagaimana tercermin dalam tindakan membentak-bentak dan penciptaan suasana yang anti dialog. Pemberian sanksi yang cenderung bersifat fisik semata seperti push-up, lari jongkok, berdiri dengan satu kaki, lari keliling lapangan dan hal-hal lainnya yang tidak masuk akal namun datang dari kesenangan si pemberi perintah yang tentunya merasa bangga ketika perintahnya dilaksanakan. Hukuman semacam itu dipilih tanpa ada kaitan sama sekali dengan pembentukan karakter dan idealisme mahasiswa. Namun, hal itu diangap sebagai bentuk pembinaan mental kepribadian para mahasiswa baru.

Tahun 2010 lalu saat semua kampus di Kota Ende ramai-ramai menggelr OSPEK, saya sempat menyaksika aksi seorang senior perempuan yang membimbing adik-adiknya para calon mahasiswa baru yang perempuan. Mereka berbaris di sepanjang jalan kira-kira sepuluh orang dalam satu barisan. Senior ini menoleh kiri kanan, lalu mulai membentak mereka yang ada di dalam barisan. Saat melihat dia menoleh kiri kanan saya sempat berpikir mungkin dia melihat kiri kanan jalan apakah ada masyarakat yang memperhatikan aksinya atau tidak. Saat melihat banyak mata yang memandang ke barisannya pertanda ada yang memperhatikan aksinya, dengann suara lantang senior perempuan ini seperti seorang yang lagi emosi langsung membentak kepada mereka yang sedang berbaris menyusuri jalan-jalan di dalam Kota Ende. OSPEK seolah menjadi ajang balas dendam senior terhadap junior karena ketika masuk awal mereka juga diperlakukan demikian. Bentak dan bahkan terkadang makian dilontarkan para senior kepada para calon mahasiswa baru.

OSPEK yang dilaksanakan di Ende saat ini semakin banyak mengambil lokasi kegiatan di jalan-jalan. Kalau seperti ini, OSPEK yang adalah orientasi studi dan pengenalan kampus pada suatu saat dapat membias dan bergeser menjadi orientasi studi dan pengelanan jalan (OSPEJ). Para mahasiswa baru tidak lagi dikenalkan pada dunia kampus tetapi justru lebih dikenalkan pada dunia jalan. Apakah karena para mahasiswa baru ini banyak yang datang dari kampung-kampung atau dari kabupaten lain di luar Ende sehingga harus dikenalkan pada jalan-jalan dalam Kota Ende agar tidak tersesat saat ke kampus. Ataukah ada alasan pedagogis lainnya yang membenarkan itu.

Bahkan, para dosen dan pembimbing OSPEK tidak pernah menegur dan terkesan membiarkan OSPEK terjadi di jalan-jalan kota. OSPEK laksana sebuah megaproyek tahunan yang tidak bisa tidak harus tetap dilaksanakan. Mahasiswa baru yang sudah dibebankan dengan biaya besar masuk tahun pertama, dieksploitasi karena OSPEK sepenuhnya dibiayai oleh para mahasiswa baru. Apakah ini mau memperkenalkan kampus atau mau mempertontonkan kepada masyarakat bahwa beginilah gaya pembinaan mahasiswa baru di era pasca reformasi?

Melihat fenomena OSPEK yang terjadi di Kota Ende kota pelajar ini, seakan menimbulkan kekhawatiran di benak saya. Masa depan mahasiswa akan lebih banyak dibawa ke jalanan. Entah menjadi penganggur yang sering duduk di jalanan, preman intelektual di jalanan atau bahkan mati sia-sia di jalanan karena berlagak seperti pembalap saat mengendarai kendaraan di jalan. Ditambah lagi gaya pembinaan menggunakan metode bentak-bentak dan sedikit kekerasan fisik. OSPEK yang demikian itu justru menimbulkan “situasi penindasan”. Mahasiswa lama yang merasa diri sebagai senior di kampus bertindak sebagai penindas dan mahasiswa baru (peserta OSPEK) sebagai kaum tertindas. Padahal di mana-mana kalau mahasiswa menggelar aksi demo, selalu berteriak “mahasiswa agen perubahan pembela kaum tertindas”. Gaya bentak-bentak dan mengekang apresiasi para mahasiswa baru ini pada akhirnya menghasilkan anak bangsa yang tidak kreatif. Anak bangsa yang ketika selesai kuliah hanya berharap menjadi PNS. Tidak ada kreatifitas mengimplementasikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dia peroleh selama masa kuliah.

Sebenarnya, pelaksanaan OSPEK yang ditengarai banyak diwarnai kekerasan, penindasan dan nuansa militer seperti itu adalah hal-hal yang sesungguhnya sangat dibenci dan ingin dihapuskan oleh mahasiswa dari permukaan bumi Indonesia. Mahasiswa selalu berteriak tolak militerisme kampus sampai membubarkan Resimen Mahasiswa (Menwa). Nyatanya, mahasiswa sendiri masih berlaku militerisme dan penuh dengan kekerasan, penindasan dan militerisme bahkan sampai pada jatuhnya korban baik luka, hingga ada beberapa yang sampai mengalami kematian.

Mahasiswa yang banyak dari kalangan aktivis menjadi “bebal” dan seperti tidak mempan kritik. Sama seperti umpatan mereka terhadap penguasa ketika para mahasiswa itu berdemonstrasi. Kenapa pula mereka seperti menikmati dan puas menjadi pelaku kekerasan, menjadi penindas dan bergaya militeristik.

Meminjam analisis Paulo Freire, seorang pemikir dan praktisi pendidikan pembebasan dari Brasil, para panitia OSPEK bisa seperti itu karena dulunya pada waktu menjadi peserta OSPEK mereka juga pernah mengalami situasi penindasan. Dalam bukunya Pedagogi of The Oppressed (diindonesiakan dengan judul Pendidikan Kaum Tertindas, LP3ES, 1985) Freire mengingatkan bahwa dalam situasi penindasan, kaum tertindas melakukan identifikasi secara kontradiktif. Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai mahluk yang terbenam, terhina, terlepas dan tercerabut dari kemanusiaannya. Adapun di hadapan mereka adalah kaum penindas yang berkuasa dengan harkat kemanusian yang sempurna.

Kaum tertindas sulit untuk menemukan citra diri di luar kontradiksi penindas-tertindas. Karena itu, bagi mereka, upaya pembebasan diri untuk mendapatkan harkat dan martabat kemanusiannya, adalah dengan menjadi manusia yang memiliki citra diri seperti yang mereka temukan dalam sosok para penindas. Teori ini bisa menjelaskan mengapa seorang buruh yang diangkat menjadi mandor atas kawan-kawannya akan bertindak segalak dan sekasar majikannya, bahkan lebih. Atau dalam masa penjajahan Belanda dahulu, orang-orang pribumi yang diberi wewenang oleh penjajah Belanda, yang dikenal sebagai londo ireng, seringkali malah bertindak lebih kejam dibandingkan Belanda itu sendiri.

Teori ini pula yang bisa menjelaskan, mengapa setelah berada dalam penindasan dan kekerasan pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun, seakan-akan kini lahir manusia manusia khas Orde Baru (homo orbaicus), yaitu manusia-manusia yang mengadopsi budaya kekerasan, budaya penindasan dan budaya memaksakan kehendak, dari penguasanya itu (Orde Baru).

Hal yang sama juga terjadi pada panitia OSPEK. Yang paling dominan dalam kesadaran mahasiswa lama, senior atau panitia OSPEK tersebut adalah, OSPEK merupakan arena terbaik untuk menampilkan citra dirinya sebagai penguasa. Citra diri itu mereka dapatkan, dahulu ketika mengikuti OSPEK. Waktu itu, mereka sebagai pihak yang tertindas melakukan identifikasi bahwa alangkah enaknya, alangkah gagahnya, alangkah berkuasanya, alangkah bermartabatnya menjadi panitia OSPEK. Sehingga senior atau mahasiswa lama berlomba-lomba menjadi panitia OSPEK untuk balas dendam apa yang pernah mereka alami dulu.

Kini ketika menjadi panitia, mereka mendesain OSPEK yang melahirkan situasi penindasan. Para peserta yang tertindas akan menginternalisasi citra diri pelaksana OSPEK yang menindas itu. Untuk kemudian, pada suatu saat mereka akan mereproduksi citra diri itu ketika kesempatan memungkinkan, yaitu ketika mereka menjadi pelaksana OSPEK.

Kaum tertindas dipaksa untuk memilih atau melakukan apa yang dipola oleh penindasnya. Kaum tertindas tentu akan berfikir seribu kali untuk melakukan perlawanan, karena hal itu akan memberatkannya sendiri. Lagi pula, belum tentu kawan-kawannya yang lain akan membantu. Kebanyakan kaum tertindas akan memilih diam dan patuh. Keadaan seperti ini membuat kaum tertindas akan larut dalam sikap masokhis. Begitu pun yang terjadi pada peserta OSPEK. Mereka melakukan banyak tindakan dan hukuman seperti yang dipolakan oleh para panitia OSPEK, tanpa banyak berani menentang walaupun tindakan-tindakan itu sama sekali tidak logis, tidak rasional dan tentunya tidak mereka inginkan.

Dari paparan di atas, apabila pelaksanaan OSPEK masih diwarnai dengan nuansa penindasan, setidaknya memunculkan dua hal. Pertama, Ospek melahirkan situasi penindasan. Situasi penindasan akan melahirkan sosok-sosok penindas baru (sadistis) yang suatu saat apabila mendapatkan kesempatan akan mencoba untuk melahirkan situasi penindasan baru, begitu pula nanti seterusnya, sehingga OSPEK itu sendiri merupakan forum konservasi dan reproduksi penindasan. Kedua, OSPEK akan melahirkan generasi yang patuh, acuh tak acuh, tidak kritis dan tidak berani menentang terhadap praktik-praktik penindasan.

Lebih dari itu, OSPEK juga bisa jadi akan melahirkan generasi masokhis. Generasi seperti itu merupakan lahan subur bagi tumbuhnya praktik-praktik penindasan. Dengan begitu, maka OSPEK justru menjadi sebuah rutinitas yang berperan sebagai konservasi atau pelestari penindasan. Kalau diproyeksikan dalam kehidupan bangsa, OSPEK yang seperti itu justru memberikan kontribusi negatif terhadap proses demokratisasi yang saat ini mulai bergulir, karena OSPEK justru melahirkan generasi yang berpotensi menjadi penindas, sadistis dan anti demokratis jika sedang berkuasa, sekaligus generasi yang patuh, tidak kritis dan acuh tak acuh terhadap berbagai praktik penindasan, ketika sedang di bawah kekuasaan pihak lain.

Visi OSPEK yang ideal adalah yang bersuasana egaliter dan selaras dengan proses demokratisasi. Dalam kerangka ini, OSPEK dilaksanakan sebagai upaya melahirkan mahasiswa yang sadar akan posisi dirinya sebagai agen perubahan (agent of change) yang kritis, sadar akan persoalan sosialnya, berani menentang segala bentuk penindasan dan mempunyai komitmen atas keberlangsungan proses demokratisasi bangsa.

Visi yang seperti ini tentu saja tidak menghendaki praktik penindasan dan praktik a-demokratis dalam pelaksanaanya. Visi ini hanya bisa dicapai apabila OSPEK, didesain sebagai praktik dari “pendidikan pembebasan”. Pendekatan yang dipakai adalah pendidikan orang dewasa dengan metode yang bisa mendorong peserta untuk aktif dan memiliki kesadaran kritis. Pola seperti ini mengharuskan adanya suasana yang egaliter, hubungan yang komunikatif, empatif dan tidak ada unsur dominasi di dalamnya. Baik peserta OSPEK maupun fasilitator/ panitia OSPEK terlibat dalam proses pencarian bersama. Yang terjadi bukan peserta belajar “dari” fasilitator, tetapi peserta belajar “bersama” fasilitator.

OSPEK merupakan proses belajar bersama ( tranpersonal learning ) dengan berbagai tahapan meliputi penyadaran ( konsientasi ), pemberdayaan (empowering ), pembebasan (liberasi ) dan pemanusian ( humanisasi ).

Penyadaran merupakan proses yang mengajak peserta untuk memahami dirinya dan realitas serta problema kehidupan diri maupun sosialnya. Penyadaran akan membawa peserta dari kesadaran naif atau bahkan magis, menuju manusia dengan kesadaran kritis. Penyadaran kemudian diikuti dengan pemberdayaan, yaitu upaya menumbuhkan kemampuan analisis kritis untuk memahami dan memberikan solusi atas berbagai problem kehidupan.

Apabila kedua proses telah terlewati, selanjutnya adalah pembebasan. Dengan kesadaran dan keberdayaan yang dimilikinya, peserta diajak untuk memberikan penilaian yang mandiri, menentukan dirinya sendiri serta mempunyai sikap yang mandiri, bebas dari hegemoni masa lalu tradisi dan negara.

Selain membebaskan peserta OSPEK, OSPEK seperti itu sekaligus juga membebaskan mahasiswa lama, Senior dan panitia OSPEK dari belenggu hegemoni citra diri penindasnya dulu, sehingga mereka tidak lagi “terpenjara” oleh keinginan melakukan penindasan, kekerasan dan balas dendam.

OSPEK yang dilakukan dengan visi dan metode semacam itu, pada satu sisi sesuai dengan nilai-nilai idealisme yang selama ini dengan bangga diakui sebagai kesejatian mahasiswa. Sementara di sisi lain diharapkan mampu melahirkan generasi yang demokratis, egaliter, otonom, dan mempunyai komitmen terhadap berbagai problem masyarakatnya. Rasanya generasi seperti itulah yang dibutuhkan perannya dalam proses tranformasi bangsa mendatang. OSPEK yang bergaya militer akan melahirkan generasi penindas. Ketika menduduki jabatan tertentu, seseorang akan bertindak sewenang dan menindas bawahannya. OSPEK yang demikian akan melahirkan masyarakat terpelajar yang tidak lagi melihat realita sosial masyarakat di sekitarnya yang tertindas. Kekhawatiran itu tidak berlebihan karena sebenarnya bukti-bukti seperti itu sudah mulai nampak. Kepemimpinan dari pusat sampai ke daerah-daerah dilahirkan dari gaya pendidikan militerisme.

Hal mana oleh Romo Domi Nong dalam sebuah seminar yang dilaksanakan oleh GMNI Cabang Ende dikatakan sebagai proses militerisasi sipil yang sangat ketat dilakukan pada masa orde baru. Pendidikan dijadikan proses militerisasi sipil yang menyeragamkan pakaian. Yang tidak berseragam dianggap tidak baik dan nuansa kekerasan sangat nampak di sana. Dari menyeragamkan pakaian, kemudian berlanjut pada penyeragaman pola pikir dan pola tindak dan anak yang tidak pakai seragam bisa membatalkan hak anak pada pendidikan dan menjadi dasar penilaian baik buruknya seorang anak.

Sistem pendidikan militerisasi seperti itu akhirnya menggeser moralitas anak bangsa dan berdampak pula pada pergeseran dalam dominasi politik. Para pemimpin tidak lagi berjalan dalam dominasi politik pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat namun sudah bergeser dalam dominasi politik kekuasaan. Pemimpin hanya berpikir untuk tetap kembali berkuasa dan menghalalkan berbagai cara. Politik pembangunan demi kesejahteraan masyarakat diabaikan.

Pada titik ini, semua kita tentu berharap, OSPEK tidak lagi menjadi ajang bentak-bentak, ajang balas dendam dan perploncoan terhadap mahasiswa baru. OSPEK juga tidak menjadi proses militerisaswi warga kampus. Tetapi, OSPEK lebih membawa pembelajaran terhadap suasana baru kampus dan memperkenalkan mahasiswa baru terhadap system pendidikan kampus, para dosen dan mahasiswa lama. OSPEK tidak lagi memperkenalkan mahasiswa baru terhadap situasi di jalanan tetapi lebih pada dunia kampus untuk mengajak mahasiswa baru lebih mengenal dan lebih dekat dengan kampus bukan dengan jalanan. OSPEK hendaknya memberikan pembelajaran bukan lagi pembodohan dan menanamkan citra penindasan di kalangan mahasiswa baru. OSPEK hendaknya tetap menjadi orientasi studi dan pengenalan kampus bukan lagi di geser menjadi orientasi studi dan pengenalan jalan (OSPEJ).

Tidak ada komentar: