03 Agustus 2011

Keberadaan Masyarakat Adat Harus Diatur dalam Perda

Oleh Hieronimus Bokilia

Ende, Flores Pos

Sekretaris Daerah Kabupaten Ende, Yoseph Ansar Rera mengatakan, keberadaan masyarakat adat di Kabupaten Ende harus diatur keberadaannya melalui sebuah produk hukum yakni peraturan daerah. Hal itu perlu dilakukan demi menjamin dan mengakui keberadaan masyarakat adat yang ada di Kabupaten Ende.

Hal itu dikatakan Sekda Yoseph Ansar Rera saat membuka Musyawarah Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di aula gedung BBK Ende, Kamis (28/7). Sekda Ansar Rera mengatakan, keberadaan masyarakat adat di daerah terkadang dipertanyakan apakah masyarakat adat itu ada atau tidak. Namun, diakui bahwa keberadaan masyarakat adat itu sebenarnya ada. Namun karena belum ada aturan hukum yang mengatur keberadaan masyarakat adat maka mereka belum memiliki kekuatan hukum yang menjamin keberadaan masyarakat adat.

Bahkan, kata Ansar Rera, pemerintah selama ini sudah membangun kerjasama yang cukup baik dengan masyarakat adat. Hal itu dapat nampak dalam setiap kegiatan-kegiatan pemerintahan. Sebelum kegiatan pemerintahan di suatu wilayah mulai dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan seremoni adat yang melibatkan masyarakat adat itu sendiri.

Diperdakannya keberadaan masyarakat adat, kata Ansar Rera akan lebih mendorong keterlibatan masyarakat adat dalam kegiatan di daerah. Masyarakat adat lebih melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan pembangunan dan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.

Ketua Panitia Muswil AMAN Region NTT, Philipus Kami yang juga Koordinator AMAN Region NTT mengatakan, masyarakat adat dengan berbagai persoalannya yang kompleks, cukup mengemuka gerakannya baik di tingkat daerah, wilayah, nasional bahkan internasional. Gerakan yang dilakukan adalah berupa perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang berbau neoliberal yang sering melupakan hak-hak masyarakat adat.

Dalam dunia moderen yang kapitalis, kekuatan modal, informasi dan pengaruh dominasi politik internasional dan global selalu menang atau dimenangkan. Kondisi ini, kata Kami terjadi karena kebijakan pembangunan di hampir semua negara miski dan berkembang bertumpuh pada pinjaman dana dari luar negeri baik dari IMF, Bank Dunia, ADB yang diberikan dengan berbagai persyaratan yang tidak adil dan terkesan menindas.

Kondisi-kondisi seperti ini, lanjutnya yang mendorong masyarakat adat di seluruh dunia bangkit melawan tindakan, kebijakan pemerintah yanr selalu dikendalikan penguasa modal dan pasar di tignkat dunia. Berbagai perlawanan melalui aksi demo, sabotase, mogok mulai berkembang maju ke arah dialog, lobi-lobi dan pendekatan politik yang profesional dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan publik yang lebih berpihak pada persoalan masyarakat adat kendati belum maksimal.

Dikatakan, pelaksanaan musyawarah wilayah AMAN Region NTT ini diharapkan bisa memberikan kemandirian kepada masyarakat adat dalam bdiang ekonomi dan bermartabat dalam berbudaya dan berdaulat dalam politik. Maka, katanya, konsep yang dibangun adalah membangun kecerasan berpikir masyarakat adat dan bersama pemerintah membangun dari seluruh aspek kehidupan. Namun yang lebih diutamakan adalah pembangunan sektor ekonomi, pendidikan dan kesehatan.

Selama ini, kata Kami, masyarakat adat memang belum begitu menunjukan kemampuan mereka dalam berbagai aspek kehidupan. Karena itu dia berharap, melalui pelaksanaan Muswil AMAN Region NTT ini masyarakat adat dapat menunjukan kemampuan dan kearifan yang berkembang sesuai jaman. “Nilai ini yang dikomunikasikan dengan seluruh staekholder termasuk pemerintah,” kata Kami.

Erasmus Cahyadi, Ketua Divisi Advokasi Hukum dan Kebijakan AMAN dalam materinya menegaskan dan menegosiasikan hak masyarakat adat melalui penerapan prinsip-prinsip FPIC, mendekatkan masyarakat adat pada keadilan mengatakan, masyarakat adat sudah ada jauh sebelum negara ada dan hal itu sudah disadari oleh para pendiri bangsa bahwa komunitas masyarakat adat memiliki hak yang bersifat asal-usul. Namun, negara memarjinalisasi masyarakat adat baik dalam bidang ekonomi, sosial politik dan budaya melalui kebijakan, seperti UU tentang Desa, UU kehutanan, UU mineral dan batubara. Dalam banyak hal, negara dan masyarakat adat justru hanya bertemu pada medan konflik di mana negara tidak hadir sebagai pembawa kesejahteraan tetapi justru memunculkan dirinya sebagai pemangsa.

Keadilan, kata Cahyadi tidak didapatkan masyarakat adat melalui institusi penyelesaian konflik seperti pengadilan. Karena itu diperlukan cara baru dalam menyelesaikan konflik sekaligus merancang pembangunan untuk masa depan yang minim konflik. Penekanan pada penciptaan ruang perundingan antara masyarakat adat dengan pihak lain, FPIC dipercaya dapat menghasilkan kesepakatan yang menjamin tercapainya keadilan bagi semua pihak.

FPIC atau Free PriorInformde Consent memiliki makna menghormati sistem masyarakat adat dalam mengambil keputusan dan memilih orang yang mewakilinya. Jia orang luar ingin memanfaatkan wilayah masyarakat adat maka wajib menjelaskan apa yang mereka lakukan dan merundingkannya agar tahu masyarakat setuju atau tidak dengan rencana yang diajukan. Keberadaan FPIC peting untuk masyarakat adat di mana dapat menyeimbangkan hubungan masyarakat dengan pihak luar karena menghormati hak masyarakat adat atas wilayanya dan memutuskan apa yang masyarakat ingin lakukan atas tanahnya.

Tidak ada komentar: