29 Juni 2008

Kebijakan Pemeirntah Rubah Pola Pertanian Masyarakat

Komite Tani Ende Gelar Konferensi Petani
Oleh Hieronimus Bokilia
Ende, Flores Pos
Pemerintah Indoneis pada tahun 1980-an menempuh kebijakan perekonomian berorientasi pasar denganmengundang penanam modal asing membangun industri di Indonesia. Sejalan dengan kebijakannini, perubahan penting juga berubah di bidang pertanian dengan menjalankan kebijakan yang dikelan dengan revolusi hijau yang mengutamakan intensifikasi pertanian dengan menggunakan pupuk kimia dan bibit yang disiapkan dnegan paket kredit. Kebijakan ini akhirnya merubah pola pertanian tradisional yang dianut petani yang menggunakan tenaga kerja manusia dan ternak, bibit dan pupuk kandang ciptaan rumah tanga petani. Kebijakan itu telah mendorong perubahan pola tanam yang akhirnya berdampak pada pola produksi dan pola konsumsi.
Hal itu dikatakan Direktur Flores Institute for Recources Development (FIRD), Roni So dalam orasi dukungan dalam Konferensi Komite Tani (Kota) Ende, Sabtu (24/5) di aula Bina Olangari. Dikatakan, perubahan kebijakan pertanian itu berdampak luar biasa terhadap kehidupan rumah tangga petani. Di wilayah pertnaian pekerjaan penyemaian, menanam, menabur pupuk kandang dan menuai padi adalah pekerjaan perempuan. Sedangkan laki-laki mengolah tanah, menyiapkan pupuk kandang dan pekerjaan pasca panen. Hadirnya revolusi hijau, industri yang menyiapkan bibit, pupuk, pengolahan dilakukan menggunakan traktor tangan sampai pada harga dan penjualan diatur pemerintah.
Perubahan itu, kata Roni So mengakibatkan petani kehilangan otonomi atas tanah dan pangannya karena diambil alih oleh industri pertanian dan pemerintah. Bibit yang sebelumnya disiapkan petani pda revolusi hijau berubah. “Bibit telah direkayasa dengan bantuan teknologi yang populer disebut rekayasa genetik alias transgenik yang saat ini dan akan datangmencemaskan dunia pertanian dan kehiduan manusia.” Dalam proses produksi, petani dililit kredit sejak menyiapkan sarana produk pertnaian seperti pupuk, bibit dan traktor tangan dan biayanya nanti tinggi dari harga jual. Revolusi hijau, kata Roni So juga telah mempengaruhi masyarakat Ende dan Flores umumnya yang 75 persen adalah petani lahan kering mengalihkan pola pertanian bercampur menjadi monokultur.
Rubah Pola Konsumsi
Kondisi ini, kata dia akhirnya membawa masyarakat berubah pola konsumsinya yang dari beragam pelan-pelan beralih ke pangan beras yang datang dari luar daerah. “Maka sekaranf kalau tidak ada beras atau belum makan nasi atau tidak ada lagi stok beras rakyat mengeluh. Media menulis rawan pangan dan kelaparan. Lebih lengkap situasi ini menuju kepada situasi kurang gizi, gizi buruk dan sebagainya.” Kenyataan itu, kata dia menunjukan petani penghasil barang dan jasa tidak menjadi tuan atas miliknya tetapi ditentukan oleh penguasa modal, informasi dan politik. Aklses tawar menawarnya lemah karena diperdayai oleh sistem pembodohan politik. “Lucunya rakyat Florata belum banyak sadar selama ini sedang terjadi proses politik pelarian uang daerah ke pihak luar begitu besar.”
Sementara itu, perwakilan Serikat Tani Nasional Wilayah Ende, Lorens Ritan pada kesempatan itu mengatakan, pelaksanaan konferensi Kimote Tani Ende itu dilaksanakan sebagai persiapan menyongsong pelaksanaan kongres Serikat Tani nasional di Riau mendatang. Dikatakan, kaum tani Ende yang tergabung bersama kaum muda mendengungkan perlawanan dan hal itu artinya ada yang salah dalam pengelolaan negara selama ini. Gerakan banting stri yang didengungkan maka petani harus banting stir mengingat selama ini petani ditindas sejak masa orde baru di mana negara ini menjadi negeri kuli dan menyiapkan tenaga kerja dengan upah murah. “Tani dan buruh kita dibuat seolah tidak bermartabat dibanding sapi di negara barat yang dikasih jatah makan dua dolar per hari.”
Kemiskinan Sahabat Petani
SabaSelama ini, kata Lorens, sahabat terdekat petani adalah kemiskinan, gizi buruk dan busung lapar. Petani disuruh menanam mete, fanili dan kakao tetapi harga komoditi terus merosot karena dipenuhi produk-produk dari luar negeri yang membanjiri pasar Indonesia. “Sekarang saatnya petani menentukan sikap. Kalau tetap percaya elit politik akan tetap jadi kaum tertindas.” Para petani harus berani menentukan sikap dan memilih pemimpin baru yang pro rakyat karena pemimpin sekarang tidak memeperhatikan kaum tani. “sekarang kita harus berani katakan cukup sudah jadi kuli di negeri sendiri dan saatnya bangkit jadi bangsa yang mandiri.”

Tidak ada komentar: