29 Juni 2008

Penanganan Bencana Perlu Bangun Jaringan Bersama

Pertemuan CSO Difasilitasi Yayasan Tananua Flores
Oleh Hieronimus Bokilia
Ende, Flores Pos
Dalam upaya penanganan bencana alam yang sering terjadi di wilayah Fores, diperlukan jaringan bersama di mana dalam membangun jaringan dibuthkan kesamaan pemahaman terkait pengurangan resiko bencana (PRB) sehinga dalam melakukan penanganan bencana dilakukan secara seragam. Dalam penanganan bencana diperlukan pula kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana sehingga masyarakat di lokasi bencana tidak hanya semata mengharapkan bantuan dari luar tetapi bagaimana mereka mempersiapkan diri dalam mengatasi bencana sebelum ada bantuan dari pihak luar.
Hal itu terungkap dalam pertemuan civil sosiety organisation (CSO) atau organisasi masyarakat sipil yang difasilitasi Yayasan Tananua Flores (YTNF) di Kantor YTNF, Lorong Betta Beach, Senin (2/6). Is Beribe dari YTNF dalam pemaparan hasil mapping atau pemetaan CSO yang selama ini bergerak dalam penanganan bencana di tiga kabupaten yakni Ende, Mangarai dan Flores Timur mengungkapkan, dalam melakuka mapping di tiga kabupaten terhadap CSO dipilih delapan kategori organisasi masyarakat sipil terhadap 30 aktor CSO.
Beragam Lingkungan
Dikatakan, umumnya di tiga kabupaten ini memiliki keragaman lingkungan alam dan dinamika sosial yang berpotensi meningkatkan kerentenan terhadap bencana. Struktur geologi, topografi dan iklim merupakan aspek-aspek lingkungan alam yang menentukan jenis bencana seperti banjir bandang, tanah longsor, gempa bumi, angin puting beliung dan letusan gunung berapi. Persoalan politik dan kesenjangan ekonomi, kata Beribe juga turut mempengaruhi kerentanan terhadap jatuhnya korban jiwa serta dampak kerusakan yang semakin besar. Dikatakan, sejauh ini cara pandang dan pendekatan yag menonjol di tiga kabupaten dalam penanganan bencana masih cenderung bersifat tangap darurat, sesaat dan karitatif setelah bencana terjadi.
Upaya pengurangan kerentanan resiko bencana terus menerus dikerjakan baik oleh LSM maupun lembaga-lembaga gereja dan mereka juga berupaya mempelajari sistem pengetahuan dan kearifan lokal seperti mengintriduksi sistem pertanian ramah lingkungan atau mendorong kebijakan sistem pembangunan berkelanjutan. Lembaga pendidikan tinggi, kata Beribe juga telah berupaya untuk mengembangkan pengetahuan dan membangun kesadaran mencintai dan melestarikan lingkungan. Di daerah ini, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi masyarakat sipil berupaya mencari sitem pengetahuan baru untuk mengurangi resiko bencana seperti pelatihan, lokakarya dan diskusi. Ada pula upaya mendesak implementasi undang-undang dan pembuatan peraturan daerah tentang pengurangan resiko bencana yang selama ini telah dilakukan FIRD dan jaringannya. Pers, kata dia juga selalu mendukung penyebarluasan informasi yang dilakukan oleh CSO.
Bangun Jejaring
Dikatakan, CSO yang ada di tiga kabupaten ini memiliki keberagaman dari segi kapasitas, bidang kegiatan dan pengalaman dalam merespon serta menangani bencana. Keberagaman ini lebih sering ditemukan di ibukota kabupaten. Dalam kerja CSO tersebut, kata dia jejaring dibangun namun perbedaan ada dalam membangun jaringan tersebut. “Ada yang sangat terbuka menjalin hubungan dengan lembaga lain tetapi isu dan persoalan yang dikerjakan bersama ekslusif dan temporer.”
Koalisi Elemen CSO
Sementara Direktur Yayasan Tananua Flores, Hironimus Palla mengatakan, dari kegiatan ini perubahan yang diharapkan adalah adanya sebuah koalisi elemen masyarakat sipil Flores dalam mengatasi bencana, adanya rencana aksi, mekanisme kolektif untuk identifikasi, mobilisasi dan tata kelola sumberdaya bagi kesiagaan tanggap darurat. Selanjutnya diharapkan adanya penguatan kapasitas spesifik perwakilan koalisi dan jumlah kegiatan respon bencana yang dilakuikan oleh koalisi CSO. Nimus Palla mengatakan, kegiatan yang diharapkan dapat dilaksanakan antara lain, workshop hasil temuan kajian CSO, diskusi tematik di setiap daerah menyangkut isu bencana, workshop di masing-masing kabupaten untuk menggagas mandat dan rencana aksi kolektif dalam melakukan tangap darurat. Pengiriman CSO untuk mengikuti training penganana bencana implementasi simulasi respon tanggap darurat untuk koalisi CSO.
Ada Solidaritas
Kornelis Abon dari Yaspensel Flores Timur pada sesi dialog mengatakan, kegiatan yang dilakukan seharusnya tidak sekedar pemetaan CSO tetapi lebih kepada eksplorasi. Dikatakan, dalam penanganan bencana, sebenarnya masyarakat kita memiliki solidaritas dalam penanganan bencana. Dia mengambil contoh ketika masyarakat di Ile Ape mengalami rawan pangan, masyarakat di Leragere yang mengalami surplus panen jagung secara spontanitas mengumpulkan hasil panen mereka masing-masing lima batang setiap petani guna membantu sesama warga di Ile Ape yang mengalami rawan pangan. Selain itu dikatakan, dlam penanganan bencana, hendaknya hubungan dengan korban bencana tidak putus setelah selesai tangap darurat tetapi hendaknya dilanjutkan terus guna mengetahui perkembangan para korban.
Adam Muti dari Delsos Ruteng mengatakan, perhatian kepada para korban bencana memang tidak boleh hanya pada masa siaga, masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Persediaan bantuan bencana hendaknya tidak langsung dihabiskan pada masa-masa itu namun hendaknya selalu ada cadangan untuk mengatasi jika ada bencana. Dalam meberikan bantuan, kata dia, masyarakat hendaknya tidak boleh terlalu berharap banyak dari bantuan luar negeri. Gerakan awal harus dibangun dari masyarakat dan selama ini kondisi masyarakat kita sealu aktif bertindak jika ada bencana. “Ini luar biasa. Masyarakat kita tidak pasif dan selalu respon dan tangap terhadap bencana.”
Berbasis Masyarakat
Romo Sipri Sadipun, Pr mengatakan, penanganan bencana harus berbasis masyarakat. Selama ini, masyarakat seakan mati jika tidak ada dorongan dari luar dan kondisi ini akhirnya menimbulkan ketergantungan masyarakat terhadap bantuan dari luar. Masyarakat perlu diberdayakan dalam setiap kesulitan sehinga jika pun ada bantuan dari luar mendapat makna. Namun, kata Romo Sipri, dalam penanganan dan tangap terhadap bencana terkadang menghadapi kendala juga. Terkadang ketika menghadapi bencana dan ada pihak yang lebih dahulu turun ke lokasi, terkadang oleh pihak lain dilihat sebagai sok pahlawan dan oleh pemerintah dirasa menyaingi pemerintah. “hal ini harus didiskusikan agar saling memahami sudut pandang masing-masing dalam penanganan bencana.”
Dikatakan, dalam penanganan bencana dan membangun kerja sama perlu puila membangun visi dan misi yang sama dan sejalan agar dalam pelaksanaan tidak ada kendala yang dihadapi.
Hironimus Palla mengatakan, dalam penanganan bencana hendaknya tidak hanya melhat saat terjadi bencana dan sesudah bencana saja tetapi juga harus dilihat pula sebelum bencana. Tanda-tanda akan terjadinya bencana yang merupakan kekhasan tanda-tana terjadinya bencana di setiap daerah juga menjadi perhatian.
Semenara terkait rencana membangun jejeraing kerja sama CSO dalam penanganan bencana, Romo Sipri mengatakan untuk membangun kerja sama itu perlu dilihat apa yang ada di balik kerja sama tersebut. Hal itu menurut dia perlu agar semua yang tergabung dalan jejeraing memiliki kesepahaman visi dan misi dalam menangani bencana tanpa ada kepentingan pribadi yang terselubung di balik kerja sama penanganan bencana tersebut. Dalam membangun kerja sama, katanya perlu diperhatikan dua hal yakni fokus dan model kerja sama yang mau dibangun. Csonyang terlibat perlu membangun kekuatan bersama dalam penanganan bencana. Hal senada diakui pula Hironimus Palla. Menurut dia, untuk membangun kerja sama antar-CSO yang ada perlu dibangun cita-cita bersama. Selama ini, kata dia CSO yang ada belum memiliki manajemen pengelolaan bencana yang bagus. CSO masih pada tingkat sensitif dan masih menunggu bencana tiba baru mengirim bantuan dan tenaga relawan.

Tidak ada komentar: