18 Agustus 2010

Balitbang Kehutanan Gelar Alih Teknologi Inokulasi Gaharu

Oleh Hieronimus Bokilia

Ende, Flores Pos

Badan Litbang Kehutanan Kementerian Kehutanan bekerja sama dengan Balai Penelitian Kehutanan Kupang menggelar sosialisasi alih teknologi inokulasi gaharu di Ende. Kegiatan ini megnhadirkan para camat, kepala desa, petani gaharu dan pemerhati gaharu di Kabupaten Ende.


Sulistio A Siran, Tim Gaharu P3HKA dari Balitbang Kehutanan Kementereian Kehutanan dalam pemaparan di lantai dua kantor bupati Ende, Selasa (13/7) mengatakan, gaharu merupaan produk komersil bernilai ekonomis tinggi dan mulai dikenal masyarakat Indonesia pada sekitar tahun 1200. hal itu ditunjukkan oleh adanya perdagangan dalam bentuk tukar menukar (barter) antara masyarakat Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat dengan para pedagang dari daratan China, Kwang Tung.


Masyarakat, kata dia memperoleh gaharu sebagai hasil pungut dari hutan alam dengan memanfaatkan pohon-pohon yang telah mati alami dengan bentuk produk berupa gumpalan, serpihan serta bubukan/abu. Sebagai salah satu komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), gaharu semula memiliki nilai guna yang terbatas hanya untuk mengharumkan tubuh, ruangan dan kelengkapan upacara ritual keagamaan masyarakat Hindu dan Islam.


Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi industri kimia serta farmasi yang didukung oleh berkembangnya paradigma dunia kedokteran dan pengobatan untuk kembali memanfaatkan bahan tumbuhan alami, produk gaharu selain dibutuhkan sebagai bahan industri parfum dan kosmetika, juga dibutuhkan sebagai bahan obat herbal, untuk pengobatan stress, asma, rheumatik, radang ginjal dan lambung, bahan anti biotik TBC, tumor dan kanker.


Berkembangnya nilai guna gaharu, lanjut dia, mendorong minat negara-negara industri untuk memperoleh gaharu dengan harga jual yang semakin meningkat. Tingginya harga jual mendorong upaya masyarakat merubah pola produksi dengan cara menebang pohon hidup, untuk mencacah batang dalam memperoleh bagian kayu yang telah bergaharu. Upaya tersebut telah mengancam kelestarian sumberdaya pohon penghasil di berbagai wilayah sebaran tumbuh. Dalam upaya melindungi dari kepunahan sumberdaya pohon penghasil gaharu, komisi CITES (Convention on International in Trade of Endangered Species of Wild Fauna and Flora) sejak tahun 2004 telah menetapkan larangan dan atau pembatasan pemungutan gaharu alam dari genus Aquilaria spp. dan Gyrinops sp. dengan memasukan ke dua genus tersebut dalam daftar tumbuhan Appendix II CITES.


”Indonesia merupakan negara produsen gaharu terbesar di dunia, hingga akhir tahun 1990 mampu menghasilkan lebih dari 600 ton per tahun, sejak tahun 2000 produksi terus menurun dan dengan kuota sekitar 300 ton per tahun hanya mampu terpenuhi antara 10 sampai 15 persen bahkan sejak tahun 2004 dengan kuota 50 sampai 150 ton per tahun,” kata Sulistio. Pada sisi lain dengan berkembangnya nilai guna gaharu yang semakin komplek, tidak didukung oleh kesinambungan tersedianya produksi yang hanya bersumber dari hutan alam.


Secara teknis, kata dia pembudidayaan terhadap jenis-jenis pohon penghasil gaharu berkualitas dan bernilai komersial tinggi, perlu memperhatikan sesuai sifat fisiologis jenis pohon, edafis lahan dan ekologis tempat tumbuh. Secara teknis pengembangan budidaya ideal dilakukan pada wilayah endemik sesuai daerah sebaran tumbuh, tetapi tidak tertutup kermungkinan, dapat diintroduksikan pada berbagai lahan-lahan di luar daerah sebaran tumbuh setelah melalui hasil pengujian uji kesesuaian (provenance trial). Ideal jenis-jenis pohon yang dikembangkan berasal dari jenis-jenis yang telah ditetapkan sebagai tumbuhan dalam Appendix II CITES dari genus Aquilaria spp. dan Gyrinops sp.


Proses, sistem dan mekanisme pembentukan gaharu alami secara biologis telah diketahui. Terbentuknya gaharu merupakan adanya peran mikroorganisme penyakit dari beberapa genus jamur/cendawan (fungi) dan secara labolatoris postulat penyakit dapat dikembangkan dan dapat diproduksi, sehingga secara teknis produksi gaharu dapat direkayasa secara buatan dengan menginfeksikan penyakit yang sesuai jenis pohon dan kondisi lingkungan tumbuh pada areal pembudidayaan.


Tersedianya pohon produksi hasil budidaya dan tersedianya teknologi infeksi penyakit (induksi/inokulasi) terhadap pohon hasil budidaya diharapkan produksi gaharu tidak tergantung lagi kepada alam. Selanjutnya dengan manajemen produksi dan tataniaga yang baik, diharapkan kebutuhan pasar dalam dan luar negeri akan memberikan berperan universal terhadap upaya menciptakan lapangan kerja, pendapatan masyarakat serta perolehan devisa bagi negara.


Sementara I Komang Surata, Nurdini Estikasari dan Nurhuda Adi Prasetio dari Balai Penelitian Kehutanan Kupang dalam materi yang dipaparkan menguraikan, gaharu merupakan salah satu jenis hasil hutan bukan kayu yang sangat potensial dan bernilai ekonomi tinggi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Gaharu selama ini dikenal karena memiliki sifat khas dan nilai ekonomi tinggi yang disebabkan oleh adanya bau wangi dari pendamaran (senyawa minyak atsiri) pada bagian tertentu dari kayu pohon penghasil gaharu akibat infeksi oleh jamur atau bakteri.


Pohon inang penghasil gaharu yang banyak dieksploitasi di NTT adalah jenis Gyrinops versteegii Domke yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan laku di pasar dunia seperti Cina, Jepang, Korea, Hongkong. Para pekerja tradisional yang mencari gaharu biasanya mengambil gaharu dari bagian batang pohon yang sudah lapuk,terluka, ditumbuahi anggrek atau benalu, akan tetapi sangat sulit dikenali secara pasti tentang tingkatan kandungan dan kualitas gaharunya.


Masyarakat pencari gaharu umumnya mengadakan pengumpulan gaharu dengan cara mencoba-coba menebang pohon–pohon yang mereka duga menghasilkan gaharu. Kadang kala sering dilakukan oleh orang-orang yang tidak berpengalaman dan dilakukan secara besar-besaran dan terus menerus tanpa terkendali. Hal ini banyak mempercepat kerusakan dan penurunan populasi pohon penghasil gaharu.


Dewasa ini masyarakat pencari gaharu sangat kesulitan untuk mendapatkan pohon yang mengandung gaharu, dengan demikian mereka melakukan penebangan pohon-pohon yang belum banyak mengandung gaharu, karena pohon-pohon tua sudah semakin langka. Mereka menggunakan cara tradisional yaitu dengan menyakiti pohon (menakik batang pohon) untuk mempercepat proses pembentukan gaharu.


Pemanenan gaharu di NTT yang dilakukan tidak tepat dan teknik produksinya masih secara tradisional dengan cara menebang pohon inang gaharu secara berlebihan, tanpa diketahui terlebih dahulu apakah pohon tersebut mengandung gaharu, tidak diimbangi oleh pembudidayaa, dan pelestarian, hal ini akan menyebabkan mempercepat penurunan populasi pohon gaharu.


Makin menipisnya persediaan gaharu maka tanggal 2-14 Oktober 2004 di Bangkok gaharu jenis Gyrinops sp. telah dimasukkan ke dalam Apendix II CITES (Species of Wild Fauna and Flora). Akan tetapi sistem ini belum bisa sepenuhnya melindungi inang gaharu dari kepunahan karena tingkat pencurian yang masih tinggi dan produk gaharu yang terdiri dari banyak jenis sangat sulit membedakan asal usulnya apa lagi yang sudah berbentuk minyak, dan juga tergantung persetujuan pedagang dari negera penjual dan pembeli.


Menanggulangi permasalahan ini maka perlu segera dilakukan pelestarian baik in situ maupun ek situ melalui perlindungan, pengembangan budidaya dan produksi gaharu. sehingga akan dapat mempertahankan kelestarian, mengurangi tekanan yang ada di alam, dan gaharu yang dihasilkan betul-betul berasal dari teknik budidaya sehingga akan mempercepat penghapusan Apendix II CITES. Oleh karena itu diperlukan data dan informasi mengenai ekologi, lokasi sebaran, gambaran populasi saat ini dan teknologi budidaya dan produksi gaharu yang telah diterapkan di masyarakat, sehingga dalam kegiatan pengembangan dan perlindungan populasi yang masih tersisa bisa dilakukan tepat guna.


Kegiatan budidaya gaharu sudah mulai dilakukan oleh masyarakat di beberapa pulau di NTT dan perlu segera dilakukan pembinaan untuk menunjang keberhasilan teknik budidaya dan produksinya melalui dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu maka sangat diperlukan data dan informasi tentang sebaran, ekologi, populasi dan status budidaya dan produksi gaharu saat ini yang telah dikembangkan masyarakat. Data ini sangat berguna untuk penyempernuaan dan peningkatan kelestarian, populasi serta teknik produksi gaharu dimasa mendatang di NTT.


Di Kabupaten Ende dan Flores Timur gaharu dikembangkan tahun 2007-2008 masing-masing 10 Ha dengan persen tumbuh yang kurang dari 20 %. Hal ini karena masalah teknis budidaya yang belum dikuasai terutama umur bibit belum cukup dan sistem penaungan tidak ada. Oleh karena itu perlu segera adanya pembinaan teknis pada dinas-dinas kehutanan tentang teknik pembudidayaan gaharu.


Di NTT diketahui 3 jenis tumbuhan yang potensial sebagai penghasil gaharu antara lain Gyrinops verstegii (Gig) Domke dan Wikstromia dan Excoecaria agallocha L. yang terdiri dari 2 suku yaitu: Thymeleaceae, dan Euporbiacea dan tiga marga yaitu: Wikstromia, Gyrinops, Excoecaria. Dari 3 jenis pohon penghasil gaharu di NTT jenis Gyrinops versteegii Domke sp. yang paling banyak dieksploitasi karena memiliki ukuran pohonnya, kualitas kadar minyak, nilai ekonomi cukup tinggi dan jenis ini sangat diminati dan laku di pasaran dunia di Asia Timur terutama Taiwan, Cina, Hongkong, Korea dan Jepang.


Penanaman Gaharu oleh masyarakat pada mulanya dilakukan dengan bibit asal cabutan yang diambiil dari kawasan hutan. Bibit cabutan diambil dari cabutan alam tinggi 5 cm sampai 30 cm, yang di cabut dan dipindahkan ke polibag. Setelah umur 6 bulan akar dan daun sudah tumbuh sempurna bibit mencapai tinggi di atas 30 cm, maka dilakukan penananaman di lapangan.


Untuk meningkatan produksi dan kualitas gaharu di lahan masyarakat perlu ditunjang dengan teknik penularan, yaitu dengan menggunakan jamur penyebab terbentuknya damar gaharu berupa inokulan yang sudah mulai dipasarkan.


Secara alami pembentukan gaharu dapat terjadi melalui infeksi karena terluka atau cabang patah, pemangkasan cabang secara alami dan selanjutnya secara perlahan akan diinfeksi oleh jamur. Akan tetapi tidak selamanya bisa terjadi penularan dengan baik hal ini tergantung dari kecocokan tumbuh jenis jamur dan jenis species yang ditulari.

Tidak ada komentar: