18 Agustus 2010

Surat Kabar di Indonesia Masih Kuat

* Diskusi Medias dengan Janet Steele Difasilitasi Konjen AS

Oleh Hieronimus Bokilia


Ende, Flores Pos

Profesor Janet E Steele, Assosiate Professor Jurnalisme di School of Media and Public Affairs pada George Washington University mengatakan, surat kabar yang ada di Indonesia saat ini tergolong masih sangat kuat. Kendati selama kurang lebih 32 tahun berada di bawah rezim pemerintahan Soeharto yang represif namun media di Indonesia tetap hidup. Bahkan, kata Janet Steele, Tempo yang dibredel pada jaman Soeharto namun tidak tidak bisa membunuh tempo yang kemudian masih bisa kembali eksis di Indonesia.


Hal itu dikatakan Janet Steele dalam diskusi bersama para pegiat media di Ende yang digelkar di ruang Lepembusu Grand Wisata Hotel, Kamis (8/7). Di Amerika, kata Steele, pendapatan iklan surat kabar mengalami penurunan pada tahun 2009 bahkan mencapai 26 persen. Pemasang iklan memilih memasang iklan di internet ketimbang di surat kabar yang relatif lebih mahal. Namun, dari hasil studi dengan ribuan responden, hanya 79 persen responden yang membaca berita di internet. 80 persen berita di dapan dari media sosial seperti blog yang berasal dari media tradisional.


Profesor yang menyelesaikan studi doktoralnya dengan tesis tentang The New York Time ini mengatakan, surat kabar The New York Time pernah melakukan revolusi dalam hal penjualan koran. Orang Amerika kata Steele tidak mau membayar mahal untuk membaca koran maka The New Yor Time menjual koran dengan harga murah.

Dalam kaitan dengan pemberitaan media, Steele mengatakan, di Amerika pada masa kepemimpian George Bush, banyak media yang tidak transparan dan independen dalam menyajikan berita. Banyak permasalahan yang muncul dalam pemerintahan Bush dan terjadinya perang Iran namun hal itu tidak dikritisi oleh media. Media hanya menerima release tetapi tidak bertanya dan membaca dengan baik release yang diberikan.


Dikatakan, dalam pemberitaan, yang perlu diperhatikan adalah elemen dasar jurnalisme itu sendiri yang oleh Bill Covach dirignkas dalam sembilan elemen jurnalisme. Paling pertama adalah kebenaran yang paling penting. Sebuah berita, kata Steele harus benar dan kebenaran terbaru dapat diperoleh dan kebenaran terbaru itu bisa dikoreksi besok. Wartawan, kata Steel keberadaannya untuk melayani masyarakat dan bukan ada untuk melayani kepentingan pemilik media, pemasang iklan dan pemerintah.


Steele mencontohkan saat dia menjadi pembicara di Sudan. Di sana, media sangat dikontrol oleh pemerintah. Kondisi ini, menurut dia sama dengan keberadaan media di Indonesia pada masa Soeharto berkuasa. Dikatakan, media di Idnonesia saat ini memang sudah mulai independen dari pemerintah. Tetapi, media di Indonesia belum independen dari pemilik modal. “Misalnya wartawan Surabaya Post yang akhirnya memilih keluar karena tidak bisa menulis bebas tentang kasus lumpur lapindo karena Surabaya Pos miliknya Aburizal Bakrie,” kata Steele.

Bicara soal kebebasan pers yang ada di Indonesia menurut dia, bukan menjadi hal penting karena terpenting menurutynya adalah pers yang independen. Jika pers yang bebas dan bertanggung jawab, kepada siapa pers bertanggung jawab apakah kepada pemerintah atau kepada masyarakat. Di Indonesia saat ini sudah banyak organisasi pers independen yang selalu mendorong agar media independen.


Menurutnya, tidak ada sistem media yang sempurna. Di Amerika misalnya, pemerintah tidak terlibat dalam media dan media bebas tetapi tidak bebas dari kegiatan bisnis dan kepentingan bisnis. Kepentingan bisnis bisa mempengaruhi pemberitaan.


Media juga harus selalu membuka ruang publik untuk berdiskusi terhadap pemberitaan yang diturunkan. Baik yang menyetujui atas tulisan maupun yang tidak setuju atas tulisan diberikan ruang untuk menyampaikan pendapat. Media juga harus melihat hal-hal yang penting, berpikir tentang semua hal dan biasanya menulis tentang orang kecil. Steele mengkritik media di Indonesia yang selalu menulis berita tentang pejabat negara. “Menteri berkata sesuatu selalu dilaporkan. Tetapi masih ada banyak hal yang menarik yang jarang ditulis dan diberitakan seperti kegiatan orang-orang kecil,” katanya


Pada kesempatan itu, Steele juga membicarakan jusnalisme narasi yang di Indonesia dikenal dengan jurnalisme sastrawi. Selama ini, banyak media yang menulis berita dengan menggunakan pola piramida terbalik di mana pada awal berita selalu menonjolkan unsur 5W + 1H. Penggunaan gaya penulisan seperti ini sudah sering dan mengakibatkan banyak yang tidak mau membaca. Penggunaan penulisan jurnalisme narasi, kata dia sangat baik. Dia bahkan membacakan narasi terkait perang Irak yang menurutnya sangat bagus. Dalam tulisan itu, ada hal-hal yang sangat sederhana namun begitu baik diangkat dalam berita yang ditulis dengan gaya narasi.


Esti Durahsanti, Public Affairs Assistant pada Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya kepada wartawan usai diskusi mengatakan, Ende menjadi pilihan Konjen AS sebagai tempat kegiatan diskusi bermula saat Andrea De Arment, Public Affairs Officer Konjen AS di Surabaya mengunjungi Ende. Saat berdiskusi dengan teman-teman media dan meminta agar dilaksanakan diskusi media di Ende. Pada saat itu karena Janet Steele ada di Indonesia maka dilakukan pendekatan dengan dia untuk bersedia menjadi pembiaca dan karena bersedia maka dilaksanakan diskusi media di Ende.


Selain itu, kata Esti, pemilihan Ende sebagai tempat diskusi agar muda mudah dijangkau rekan-rekan media dari Kupang dan Maumere. Walau tidak diharidi jurnalis dari Kupang dan Maumere, namun kehadiran jurnalis di Ende menurut dia sudah cukup representatif dan mereka sangat senang para jurnalis mau menghadiri diskusi bersama Janet Steele.


Ke depan, kata Esti, memang belum ada rencana yang mau dilakukan Konjen AS. Namun dengan pertemuan ini dia berharap bisa menjadi pintu pembuka untuk pertemuan-pertemuan selanjutnya. “Kita berharap kerja sama ini bisa berlanjut,” kata Esti.

Tidak ada komentar: