18 Agustus 2010

Budidaya Gaharu Bernilai Ekonomis Tinggi

* Alih Teknologi Inokulasi Gaharu

Oleh Hieronimus Bokilia


Ende, Flores Pos

Meningkatnya perdagangan gaharu sejak tiga dasawarsa terakhir ini telah menimbulkan kelangkaan produksi gubal gaharu dari alam. Berdasarkan informasi, harga gaharu dengan kualitas super di pasaran lokal Samarinda, Tarakan dan Nunukan, Kalimantan Timur mencapai Rp40 juta sampai dengan Rp50 juta per kilogram. Sedangkan kualitas tanggung dengan harga rata-rata per kilogram Rp20juta, kualitas Kacangan dengan harga rata-rata Rp15juta, kualitas teri berkisar Rp10 juta sampai Rp14 juta dan kualitas kemedangan dari Rp1 juta sampai Rp4 juta serta dan suloan Rp75 ribu per kilogram.

Hal itu dikatakan I Komang Surata, Nurdini Estikasari, Nurhuda Adi Prasetio dari Balai Penelitian Kehutanan Kupang saat memaparkan materi dalam kegiatan sosialisasi alih teknologi inokulasi gaharu di lantai dua kantor bupati, Selasa (13/7). Dikatakan, pohon inang penghasil gaharu yang banyak dieksploitasi di NTT adalah jenis Gyrinops versteegii Domke yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan laku di pasar dunia seperti Cina, Jepang, Korea, Hongkong.

I Komang Surata menegaskan, dewasa ini masyarakat pencari gaharu sangat kesulitan untuk mendapatkan pohon yang mengandung gaharu, dengan demikian mereka melakukan penebangan pohon-pohon yang belum banyak mengandung gaharu, karena pohon-pohon tua sudah semakin langka. Mereka menggunakan cara tradisional yaitu dengan menyakiti pohon (menakik batang pohon) untuk mempercepat proses pembentukan gaharu. Dilaporkan bahwa hampir kebanyakan pohon penghasil gaharu yang diidentifikasi di Desa Nai Aij, Kecamatan Amfoang Utara, Kabupaten Kupang kondisi batangnya cacat akibat bekas-bekas perlukaan (torehan, takikan, potongan, pengupasan kulit dan pemangkasan cabang) dan banyak ditemukan sisa-sisa tugak bekas tebangan, batang kayu yang bergelimpangan.


Pemanenan gaharu di NTT yang dilakukan tidak tepat dan teknik produksinya masih secara tradisional dengan cara menebang pohon inang gaharu secara berlebihan, tidak diimbangi oleh pembudidayaa, dan pelestarian. Hal ini, kata dia akan mempercepat penurunan populasi pohon gaharu . Dengan makin menipisnya persediaan gaharu maka tanggal 2-14 Oktober 2004 di Bangkok gaharu jenis Gyrinops sp. telah dimasukkan ke dalam Apendix II CITES (Species of Wild Fauna and Flora).


Untuk menanggulangi permasalahan ini, kata Komang maka perlu segera dilakukan pelestarian baik in situ maupun ek situ melalui perlindungan, pengembangan budidaya dan produksi gaharu. sehingga akan dapat mempertahankan kelestarian, mengurangi tekanan yang ada di alam, dan gaharu yang dihasilkan betul-betul berasal dari teknik budidaya sehingga akan mempercepat penghapusan Apendix II CITES.


Oleh karena itu, kata Komang, diperlukan data dan informasi mengenai ekologi, lokasi sebaran, gambaran populasi saat ini dan teknologi budidaya dan produksi gaharu yang telah diterapkan di masyarakat, sehingga dalam kegiatan pengembangan dan perlindungan populasi yang masih tersisa bisa dilakukan tepat guna.


Komang mengatakan, sampai saat ini telah dilaporkan ada 17 jenis (species) tanaman di dunia yang dapat menghasilkan gaharu. Jenis Gyrinops verstegii (Gig) Domke tumbuhnya menyebar di Pulau Flores, Timor dan Sumba yang mempunyai nama lokal yang berbeda-beda setiap daerah sesuai dengan lokasi penyebarannya. Di Flores dikenal dengan nama nuko (Ngada), cue (Manggarai), kua (Flores Timur), kayu garu (Ende), hauma (Sumba), akusu (Amfoang, Kabupaten Kupang). Jenis ini menyebar tumbuh di daerah perbukitan- pegunungan dan masyarakat lokal sering menyebut dengan nama gaharu gunung. Sedangkan jenis Wikstromia sekarang sudah jarang ditemukan dan memiliki pertumbuhan pohon yang lebih kecil dan pendek dan penyebarannya pohonnya agak terbatas.


Lebih lanjut dijelaskan, jumlah populasi gaharu di pulau Flores lebih baik dari pada di pulau Timor dan Sumba yang dewasa ini sudah sangat berkurang. Populasi anakan gaharu di pulau Sumba dan Timor baik pada tingkat semai dan sapih sangat kurang. Hal ini disebabkan karena pohon induknya semakin langka dan perburuan dari anakan gaharu untuk kegiatan budidaya oleh masyarakat. Disamping itu minimnya jumlah pohon induk penghasil gaharu karena dieksploitasi secara terus menerus sehingga menyebabkan semakin berkurangnya permudaan alam gaharu. Oleh karena itu guna perlindungan populasi perlu segera dilakukan penghentian penebangan pohon induk dan perburuan anakan gaharu di alam yang masih ada dan digalakkan kegiatan budidaya.


Diakuinya, beberapa masalah yang cukup mengkawatirkkan tentang beredarnya bibit gaharu dari species kenari dan nengi. Hal ini ini tentunya akan banyak menyesatkan masyarakat dan pangsa pasar dunia gaharu hanya menghendaki dari species species tertentu saja seperti Gyrinops versteegii Domke, yang sudah lama mereka kenal. “kondisi ini akan merugikan petani gaharu. Untuk pangsa pasar kedepan sebaiknya dilakukan pembudidayaan dari jenis Gyrinops versteegii Domke,” kata Komang.


Untuk meningkatan produksi dan kualitas gaharu di lahan masyarakat perlu ditunjang dengan teknik penularan, yaitu dengan menggunakan jamur penyebab terbentuknya damar gaharu berupa inokulan yang sudah mulai dipasarkan. Secara alami pembentukan gaharu dapat terjadi melalui infeksi karena terluka atau cabang patah, pemangkasan cabang secara alami dan selanjutnya secara perlahan akan diinfeksi oleh jamur. Akan tetapi tidak selamanya bisa terjadi penularan dengan baik hal ini tergantung dari kecocokan tumbuh jenis jamur dan jenis species yang ditulari.


Upaya mempercepat dan meningkatkan keberhasilan pembentukan gaharu maka para petani gaharu di NTT melakukan teknik produksi gaharu dengan beberapa cara diantaranya menyuntikkan inokulum jamur yang dapat merangsang pembentukan gaharu. Penyuntikan ini dilakukan pada pohon pada diameter pohon lebih besar dari 10- 15 cm. Teknik ini masih terbatas dilakukan karena permasalahan kesulitan mendapatkan inokulum Namun dan hasil yang di dapat terutama di Jawapogo dan labalatang masih kurang memuskan.


Selain itui, katanya, dilakukan dengan perlukaan secara sengaja dengan menakik batang pohon inang gaharu, kemudian dibiarkan terjadi infeksi secara alami oleh jamur atau bakteri. Teknik ini selama ini diterapkan juga oleh masyarakat pencari gaharu. Di NTT Pembentukan gaharu akan terjadi setelah umur 2 tahun. Teknik ini sangat terbatas dilakukan karena waktunya lama dan produksinya lebih banyak yang dihasilkan adalah gaharu kelas teri. Hal ini banyak dilakukan para petani gaharu dan para pengumpul gaharu di hutan alam.


Metode lain yang digunakan, terangnya adalah dengan mengebor batang gaharu dengan bor kayu dan kemudian memasukkan cairan gula atau oli kotor ke dalam bor. Kondidi ini banyak dilakukan di Bawalatang Flores Timur, Namun permasalahan yang dihadapi adalah gaharu yang dihasilkan kualitasnya rendah, dan apabila direndam dalam air warnanya akan hilang.


Selain itu, lanjutnya adalah dengan memasukkan paku yang diisi cuka. Hal ini masih terbatas dilakukan mengingat produksinya yang dihasilkan hanya pada lubang paku saja dan kualitasnya rendah. ”Ini dicoba dilakukan di Jawapogo, Nagakeo dan hasilnya masih kurang menggembirakan.”


Proses pembentukan gaharu dengan inokulasi jamur yang efektif sesuai dengan jenis yang dikembangkan adalah hal yang terbaik perlu segera dilakukan untuk meningkatkan produksi dan kualitas gaharu. Lubang yang dibuat berukuran bor 3 mm dan disuntikkan dengan inokulum jenis jamur tertentu. Pembentukan gaharu yang terbaik terbentuk pada umur 3 tahun stelah inokulasi.


Hasil sementara uji inokulasi jenis isolat jamur asal Kalimantan Barat, Jambi, Gorontalo, dan Padang menunjukkkan bahwa uji kemampuan (efektifitas) jenis jamur pembentuk gubal gaharu pada tanaman inang gaharu jenis Gyrinops versteegii Domke disajikan pada Tabel 7. Percepatan pembentukan gaharu ini karena terjadinya infeksi yang terjadi pada pembentukan gaharu akibat jamur akan menimbulkan kelainan dalam zat-zat ekstraksi dan terjadi penumpukan zat yang berlebihan sehingga terjadi penyumbatan dalam saluran makanan.


Dalam keadaan tersebut, kata dia pohon mengadakan reaksi yang ditandai dengan diproduksinya cairan yang berbau wangi, yang akan mengendap pada bagian batang/gubal menjadi satu dalam batang. Secara teori kemungkinan mekanisme pembentukan gaharu adalah terjadi penyimpangan fisiologis tanaman inang (tanaman penghasil gaharu) yang diakibatkan oleh aktivitas enzimatis jamur pathogen. Bau harum yang terjadi diduga disebabkan oleh terbentuknya senyawa –senyawa atsiri (zat volatile) yang khs sesuai dengan karakteristik zat ekstraktif tanaman inang akibat proses di atas.

1 komentar:

gaharu mengatakan...

pak saya seorang pemerhati gahru flotim terutama dari bawalatang.
yang ingin saya tanyakan dalam kelasifikasi kwalitas gaharu, gaharu bawalatang ada pada posisi apa? maksud kami apakah dia jenis yang super atau bawahan jika itu tanpa di sakiti atau terjadinya gaharu karena proses alam.....
terimakasih pak....
mhn perhatian dan jawaban pak....