18 Agustus 2010

Kasus Tanah Moni, Penyerobot Gunakan Adat untuk Langgar Hukum

* Jabatan Mosalaki untuk Mnegayomi Anggota Suku

Oleh Hieronimus Bokilia


Ende, Flores Pos

Permasalahan tanah Detukombo-Moni Desa Koanara Kecamatan Kelimutu oleh pihak Pius Padi Atu seluas lebih kurang 11 hektare, pihak Frans Wangge mensinyalir pihak Pius Padi Atu dan kawan-kawan bersama kuasa hukumnya Louis A Lada, telah menggunakan adat untuk melanggar hukum. Pelangaran hukum yang dilakukan adalah melakukan pemasangan penyerobotan atas tanah yang saat ini dikuasai turunan Maria Rasi Wangge dengan dalih melakukan teo tipu wake tanda.


Fransiskus Wangge kepada Flores Pos di Ende, Rabu (14/7) mengatakan, pihak Pius Padi Atu bersama kuasa hukumnya Louis A Lada harusnya sudah mengetahui bahwa mereka sudah tidak lagi berhak atas tanah itu karena telah kalah dalam setiap proses hukum yang dilalui termasuk peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. “Jadi apapun alasan pembenar yang dikemas untuk mengambil tanah bila disandingkan dengan putusan MA dengan sendirinya batal demi hukum,” kata Frans Wangge.


Terhadap penggunaan alasan adat untuk melakukan pelanggaran hukum ini, kata Wangge sangat disesalkan. Menurutnya, seharusnya sebagai mosalaki, Pius Padi Atu hareusnya menjadi pengayom bagi seluruh anggota suku termasuk siapapun yang ada di wilayah keulayatan tanah moni. Tetapi yang justru terjadi, kata Wangge, dia telah mengangkangiperaturan perundang-undangan yang berlaku.


Dalam permasalahan tanah Detukombo, kata Wangge, Pius Padi Atu baru tampil pada saat dilakukan pengajuan permohonan peninjauan kembali. Munculnya Pius Atu ini untuk menggantikan posisi ayahnya, almarhum Laka Lopi yang telah meninggal dunia.


Dikatakan, selama ini pihak Pius Atu menganggap bahwa pihak keluarga Frans Wangge telah melakukan pelanggaran adat. Namun, jika benar melakukan pelanggaran adat akan menimbulkan pertanyaan mengapa tidak disampaikan secara terormat. Selain itu, sanksinya bukan dengan memasang teo tanda di lokasi tanah dan melakukan penyerobotan.


“Kalau kami langgar adat kan harusnya kami dituntut secara adat. Tapi itu tidak pernah dilakukan bahkan mereka malah mendahulukan proses hukum dan sekarang baru menempuh secara adat dengan pasang teo tanda,” kata Frans Wangge.


Selain alasan melanggar adat, lanjutnya, alasan lain yang dikemukakan adalah karena tidak pernah membuat upacara adat rego limbe yakni upacara sebelum panen di mana pihak Pius Atu terlebih dahulu memanen dan diberi makan baru pihak Frans Wangge melakukan panen. Padahal, upacara rego limbe ini sudah tidak lagi dilaksanakan sejak tahun 1995 karena pada saat itu pihak Pius Atu sudah mulai melakukan gugatan. Penghentian itu juga dilakukan karena dihentikan oleh mosalaki kolu koe tanah moni Resi Dadi. Waktu itu, lanjut Wangge, Resi Dadi menghentikan karena adanya tekanan dari pihak Pius Atu karena mereka hendak menggugat.


Dari aspek asas pemerintahan umum, lanjutnya, sebenarnya mereka telah melakukan deteurnement de pouvoir atau penyalahgunaan wewenang. Apalagi, dia bukanlah kepala suku atau pucuk pimpinan tertinggi karena dia hanyalah salah satu mosalaki. Yang menjadi mosalaki pu’u atau mosalaki ine ame adalah Daniel Balu Bata yang telah menyatakan secara tertulis bahwa mengakui dan menerima putusan Mahkamah Agung. Daniel Balu Bata dalam suratnya juga sudah menyatakan bahwa pemasangan teo tanda oleh Pius Atu dan kawan-kawan atas inisiatif sendiri tanpa melalui persetujuan para mosalaki.


Tidak Terima Baik

Pius Padi Atu pertelepon dari Wolowaru mengatakan, pihaknya tidak terima baik dikatakan telah melakukan penyerobotan. Menurutnya, sangat lucu dan tidak masuk akal sebagai seorang mosalaki pihaknya dikatakan menyerobot karena tanah itu milik nenek moyang mereka yang diwariskan kepada mereka.


Dikatakan, karena tanah itu merupakan warisan nenek moyang mereka maka mereka mau mengambil kembali tanah tersebut. Pengambilalihan tanah itu juga dilakukan karena karena selama ini pihak Frans Wangge tidak pernah membuat upacara adat rego limbe. Menurutnya, seharusnya pada saat panen, sebelum pihak Frans Wangge dan keluarga memanen hasil, harus dipanen lebih dahulu oleh mereka sebagai mosalaki dan setelah itu baru mereka melanjutkan panen. Namun hal itu tidak pernah dilakukan oleh Frans Wangge dan keluarga sejak tahun 1975.


Selain itu, mosalaki merasa kecewa karena pihak Frans Wangge sudah melanggar adat di mana pada saat pembangunan rumah baik gali tanah maupun peletakan batu dilakukan sendiri pihak Frans Wangge. Seharusnya, kata Pius Atu, upacara adat dilakukan oleh mosalaki terlebih dahulu baru dilanjutkan pekerjaan rumah.


“Kami harus ambil alih tanah warisan nenek moyang kami karena Frans Wangge sudah menyimpang dari adat,” kata Pius Atu.


Dikatakan, tanah tersebut oleh nenek moyang telah dipesan agar tidak boleh dijual kepada siapapun. Nenek moyang berpesan agar jika tidak sanggup kerja sebaiknya disewakan kepada orang lain dengan sistem bagi hasil. Namun oleh Frans Wangge, kata Pius Atu, tanah tersebut hendak dijual. Namun dua kali upaya pengukuran berhasil mereka gagalkan. Hal itu membuat mereka merasa kecewa dan mau mengambil kembali tanah warisan itu dari pihak Frans Wangge.


Terkait proses hukum yang dilaporkan Frans Wangge atas tindakan penyerobotan, Pius Atu mengatakan, sejak awal dia sudah menyampaikan kepada polisi bahwa dia tidak pernah melakukan penyerobotan. Namun karena sudah disidangkan di Pengadilan Negeri Ende maka mereka akan siap menghadiri proses persidangan. Dalam persidangan nanti, lanjutnya, baru diungkapkan semua persoalan yang terjadi atas tanah tersebut.


Tidak ada komentar: