22 September 2010

Media adalah Pelapor

Woorkshop Peliputan Agama yang Berperspektif Pluralisme (habis)


Terkadang dalam menjalankan tugas, seorang wartawan dihadapkan pada pilihan-pilihan dan dilema dalam peliputan agama seperti menyatakan keyakinan pribadi, meliput masyarakat yang memiliki keyakinan berbeda dan terjadi konflik kepentingan. Untuk menjawab pilihan itu, seorang wartawan harus kembali pada etika. Masalah dilema etik terkadang menjadi bumerang bagi wartawan jika tidak diselesaikan secara baik di setiap organisasi media. Karena itu, perlu tuntunan dalam mengambil keputusan misalnya dengan pendekatan utilitarianisme di mana keputusan mana yang akan membawa kebaikan atau manfaat terbesar. Pendekatan keputusan berdasarkan peraturan landasan aturan apa yang menjadi dasar keputusan, apakah aturan itu cukup universal. Juga dapat menggunakan pendekatan emas, di mana pendekatan tidak melakukan sesuatu bila tidak ingin orang lain melakukannya pada kita.

Dalam peliputan, kata Hanif Suranto, wartawan juga menghadapi konflik misalnya apakah harus berkata jujur tentang agama yang diyakini terutama meliput di daerah konflik bernuansa agama. Di sini, Aziz Tuni sempat bilang, kalau kondisi seperti itu, demi nyawa harus menyebut agama Islam jika berada di daerah Islam dan Kristen kalau berada di daerah Kristen. Namun hal itu menurut Suranto memang terkadang menjadi kendala. Karena itu, harus terbuka dari awal untuk membangun kepercayaan. Kemudian menjawab secara umum dan cepat mengalihkan pembicaraan ke masalah lain atau kembali pada pertanyaan wartawan. Dalam melaporkan, kata dia, wartawan harus menempatkan diri sebagai pelapor bukan untuk menghakimi atau mengomentari, dapat ditambahkan konteks dan menampilkan hal dari sisi lain.

Berbicara soal etika, Hanif Suranto mencoba menantang peserta dengan memberikan ilustrasi sebuah cerita. Seorang pemimpin sekte dikejar-kejar anggota sektenya dan juga polisi. Merasa putus asa, dia hendak membunuh diri. Di saat itu, sebagai jurnalis yang beruntung seorang diri bertemu dengan pemimpin sekte yang hendak bunuh diri. Dua pilihan etik apakah menolong pemimpin sekte agar tidak bunuh diri, atau mengambil gambar ekslusif aksi bunuh diri pemimpin sekte itu. Mayoritas peserta memilih menolong pemimpin sekte agar tidak bunuh diri dan hanya tiga peserta yang memilih tetap mengambil gambar aksi bunuh diri pemimpin sekte. Di sini, etika wartawan diuji, apakah mementingkan tugas jurnalistiknya atau mementingkan sisi kemanusiaan.

Di hari kedua woorkshop ini, juga lebih banyak diisi dengan diskusi. Bambang Wisudo dan Hanif Suranto mencoba membawa peserta memahami liputan agama yang sesungguhnya dengan mencoba menggali potensi-potensi berita agama dari setiap peserta. Kami juga diminta membuat rencana peliputan yang kemudian dipresentasikan dalam bentuk kelompok.

Seluruh peserta merasa begitu singkat woorkshop dua hari yang diselenggarakan LSPP Jakarta ini. Harapan agar ke depan woorkshop yang sama terus dilakukan disampaikan setiap perwakilan peserta dari daerah asal masing-masing. Kecemasan di awal woorkshop perlahan mulai terjawab, liputan agama tidak saja soal upacara keagamana, pertikaian dan konflik tetapi segala aspek kehidupan manusia yang di dalamnya agama berperan. Liputan agama tidak untuk memprovokasi tetapi mendorong dialog positif dan melalui tulisan di media, wartawan juga mampu memediasi konflik agar bisa menjadi pijakan toleransi. Konflik, dapat pula dijadikan sumber pembelajaran kesadaran pluralisme. Dengan demikian, nantinya mampu mendorong penyelesaian konflik dengan cara non-kekerasan. Dalam hal ini, media pada akhirnya mampu memainkan perannya dalam fungsinya sebagai sarana edukasi dan informasi dan bukan untuk ajang provokasi demi mewujudkan kehidupan umat beragama yang aman, tenang dan tentram dalam keberagaman.

Tidak ada komentar: