22 September 2010

Media Perlu Dorong Kehidupan yang Toleran

Woorkshop Peliputan Agama yang Berperspektif Pluralisme (3)

Namun dalam kebebasan beragama itu, negara juga tanpa disadari telah membatasi kebebasan beragama. Penundaan penikmatan, pembatasan atau pengaturan kebebasan beragama hanya boleh dilakukan dengan undang-undang, serta alasan yang digunakan adalah perlunya ada perlindungan atas lima hal yakni public safety (pembatasan demi keselamatan publik), public order (pembatasan demi ketertiban publik), public helth (pembatasan demi kesehatan publik), public morals (pembatasan demi menjaga moral) dan protection of rights and freedom of others (pembatasan demi melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain).

Selain itu, Musdah Mulia juga merincikan sejumlah peraturan di bawah Undang-Undang yang inkonstitusional. Diantaranya, Instruksi Menteri Agama RI no 4 tahun 1978 tentang Kebijaksanaan mengenai Aliran-aliran Kepercayaan. Instruksi Menteri Agama RI no 14 tahun 1978 tentang Tindak Lanjut Instruksi Menteri Agama no 4 tahun 1978 tentang Kebijaksanaan mengenai Aliran-aliran Kepercayaan. Surat Menteri Agama kepada Gubernur/KDH Tingkat I Jatim no B/5943/78 tentang Masalah Menyangkut Aliran Kepercayaan. Surat Keputusan Jaksa Agung RI no Kep. 089/J.A/9/1978 tentang Larangan pengedaran/Penggunaan Surat Kawin yang Dikeluarkan oleh Yayasan Pusat Srati Dharma Yogyakarta. Surat Menteri Agama kepada para Gubernur/KDH Tingkat I seluruh Indonesia no B.VI/11215/1978 perihal Masalah Penyebutan Agama, Perkawinan, Sumpah dan Penguburan Jenazah bagi Umat Beragama yang dihubungkan dengan Aliran Kepercayaan.

Surat Edaran Menteri Dalam Negeri no 477/74054 tentang Petunjuk Pengisian Kolom Agama pada Lampiran Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri no 221a tahun 1975.

Masih banyak lagi aturan yang inkonstitusional yang menurut Musdah Mulia mencapai 114 buah.

Pemaknaan terhadap kebebasan beragama di Indonesia harus dimulai dari pengakuan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 29 UUD 1945, ayat 1). Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu selanjutnya diikuti dengan ketentuan mengenai “kebebasan beragama dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Kebebasan disini berarti bahwa keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada tingkat individu. Dengan ungkapan lain, agama merupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Negara cukup menjamin dan menfasilitasi agar warga negara dapat menjalankan agama dan peribadatannya dengan nyaman dan aman, bukan menetapkan mana ajaran agama atau bentuk peribadatan yang harus dan tidak harus dilakukan oleh warga negara. Dengan demikian tujuan utama tindakan penundaan penikmatan, pengaturan atau pembatasan itu adalah untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan orang (kehidupan, integritas, kesehatan mereka atau kepemilikan mereka.

Kebebasan beragama hendaknya juga mencakup kebebasan mempelajari ajaran agama mana pun di lembaga-lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan milik pemerintah. Konsekuensinya, setiap siswa atau mahasiswa berhak memilih atau menentukan agama mana yang akan dipelajarinya.Tidak boleh dibatasi hanya pada agama yang dianut peserta didik. Demikian juga, kebebasan untuk memilih tidak mengikuti pelajaran agama tertentu. Akan tetapi, lembaga pendidikan dapat mewajibkan peserta didiknya untuk mengikuti pelajaran budi pekerti atau etika berdasarkan Pancasila, karena pelajaran itu penting bagi pembentukan warganegara yang baik (good citizen).

Materi budi pekerti atau etika itu sendiri bisa digali dari semua agama dan kepercayaan, baik dari dalam maupun luar negeri. Penggalian nilai-nilai agama itu dilakukan melalui proses rasionalisasi dan obyektifivikasi.

Kebebasan beragama hendaknya memberikan ruang pada kemunculan aliran keagamaan tertentu, bahkan kemunculan agama baru sepanjang tidak menggangu ketenteraman umum dan tidak pula melakukan praktek-praktek yang melanggar hukum, seperti penipuan atau pembodohan warga dengan kedok agama. Kebebasan itu berlaku pula bagi mereka yang ingin mendirikan perkumpulan untuk maksud kesehatan atau kecerdasan emosional dan spiritual berdasarkan ajaran agama tertentu sesuai dengan pilihan anggota atau peserta, selama tidak mengharuskan keimanan kepada suatu agama atau keyakinan sebagai syarat. Konsekuensinya, negara atau otoritas keagamaan apa pun tidak boleh membuat fatwa atau keputusan hukum lainnya yang menyatakan suatu aliran keagamaan atau kepercayaan yang baru tersebut sebagai “sesat dan menyesatkan.”

Berbicara soal pluralisme, Musdah bilang ada tiga pekerjaan rumah yang perlu dilaksanakan segera yakni pertama, membangun budaya yang baik, kedua mereformasi kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap agama dan ketiga reinterpretasi ajaran-ajaran agama yang baik.

Kemudian, Hanif Suranto dari LSPP Jakarta tampil dengan materi etika peliputan agama dan mengupas tentang etika dalam penulisan berita agama. Etika menurutnya sangat penting karena media memiliki peran yang sangat besar dan bisa menjadi kekuatan yang baik dalam promosi tentang pluralisme. Etika memiliki kedudukan lebih tinggi dari kode etik karena etika menunjukan tujuan dari jurnalisme kita. Etika juga menjadi policy moral agar media tidak menyalahgunakan kekuatannya mengingat media memiliki penaruh yang cukup besar terhadap masyarakat. Media bisa mendorong kehidupan beragama yang toleran dan sebaliknya media juga dapat mendorong kehidupan beragama yang penuh prasangka dan konflik. Etika, penting untuk membantu menjaga kredibilitas dan integritas media atau jurnalis sebagai bagian pertanggungjawaban pada publik dan etika juga mampu menuntut dalam upaya mencapai tujun jurnalistik.

Apalagi, dalam bisnis media melibatkan dana besar sehingga etika membantu media agar tidak menjadi makluk ekonomi semata karena takdir media seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan dari fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Hal itu menginat media juga adalah lembaga sosial sehingga dengan etika dapat membantu agar tetap menjalankan tujuan-tujuan sosialnya.

Tidak ada komentar: