25 Mei 2011

Negara Dinilai Absen dalam Melindungi Kebebasan Beragama

· * SMAK Syuradikara Gelar Seminar Nasional Pendidikan

Oleh Hieronimus Bokilia

Ende, Flores Pos

Romo Beny Susetyo mengatakan, kasus penganiayaan terhadap pendeta dan anggota Majelis Gereja HKBP Ciketing, Bekasi membuktikan negara absen dalam hal kebebasan beragama. Pemerintah selama ini menganggap sepi masalah kehidupan beragama, terutama diskriminasi yang dialami kelompok minoritas.

Hal itu dikatakan Romo Beni Susetyo dalam seminar nasional pendidikan yang diselenggarakan SMAK Syuradikara bertempat di aula BBK Ende, Senin (9/5). Seminar menghadirkan empat pembiacara masing-masing Romo Beni Susetyo, Pater Paul Budi Kleden, Kornelis Soy dan Don Bosco M Wangge, Bupati Ende dengan moderator, Ansy Lema.

Romo Beni Susetyo lebih lanjut mengatakan, mengatakan, kasus harus dilihat dalam kacamata yang lebih mendalam bukan sekedar kriminal murni semata. Ada masalah di akar rumput gejala intoleransi yang bisa membahayakan keutuhan Republik Indonesia. Hal ini bisa tercermin dalam hasil penelitian Setara Insitute yang menunjukan memasuki tahun 2010 tercatat 216 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/keyakinan yang mengandung 286 bentuk tindakan dan menyebar di 20 provinsi.

Dari 286 bentuk tindakan itu, kata Romo Beni, terdapat 103 tindakan negara yang melibatkan penyelenggara negara sebagai aktor. 24 merupakan tindakan pembiaran dan 79 tindakan merupakan tindakan aktif termasuk pernyataan publik yang provokatif dan mengundang terjadinya kekerasan.

Dikatakan, berbagai kondisi yang terjadi maka saat ini presiden, DPR dan politikus perlu melakukan evaluasi terhadap Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006. DPR juga seharusnys memberikan perhatian kepada berbagai pelanggaran kebebasan beragama dengan mengefektifkan peran pengawasan khususnya kepada Menteri Agama, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Dalam Negeri, Jaksa Agung dan Polri.

Dewan, kata Romi Benu dapat membentuk kelompok kerja parlemen untuk kebebasan beragama untuk mendorong legislasi yang konstruktif bagi jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan. Jika langkah ini dilakukan, Romo Beni yakin kasus seperti itu tidak akan terulang lagi. Dalam hal ini, lanjutnya, pemerintah kurang serius memeprhatikan bagaimana kerukunan hidup beragama bisa menjadi modal dasar untuk membangun sebuah cara pandang, cara merasa, dan cara perilaku sesuai dengan kemanusiaan dan keadilan.

Bupati Ende, Don Bosco M Wangge saat tampil membawakan materinya mengatakan, ada kejahatan sistematis dalam dunia pendidikan yang saat ini mulai merambah di Kabupaten Ende. Di Ende saat ini, lanjutnya, 60 persen guru yang ada sudah tidak memenuhi syarat sebagai pendidik sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional yang mensyaratkan guru harus berijasah sarjana. Pilihan memasuki sekolah menjadi guru juga menjadi pilihan terakhir setelah gagal memasuki lembaga pendidikan atau fakultas yang lain. Kondisi ini berbeda dengan situasi yang terjadi dahulu di mana pilihan menjadi guru adalah pilihan utama dan masuknya juga sangat selektif.

Dunia pendidikan di Ende tengah berjalan ke jurang kematian hal itu karena banyak guru yang sudah memasuki usia pensiun. Tahun 2015, diperkirakan akan ada sebanyak 200 guru yang memasuki usia pensiun. Setiap tahun rata-rata 40 guru memasuki usia pensiun. Kondisi ini diperparah lagi dengan penambahan guru yang minim dan tidak terjadi tiap tahun dan dikhawatirkan 100 sekolah bakal ditutup dan ini merupakan bencana bagi dunia pendidikan. Apalagi, saat ini ada wacana guru negeri akan ditarik dari sekolah-sekolah swasta dan kembali ke sekolah negeri.

Padahal, lanjutnya di NTT dan Ende khususnya sekolah-sekolah swasta telah banyak berkiprah dan menghasilkan kader-kader pemimpin. Kehadiran sekolah negeri baru dimulai pada masa orde baru. Kontribusi terbesar di dunia pendidikan di NTT dan Ende khususnya adalah dari sekolah-sekolah swasta.

Pater Paul Budi Kleden, SVD mengatakan, saat ini ada dua karakter besar yang sedang memperebutkan pengaruh pada lingkup pendidikan. Upaya mendekati dunia pendidikan dan menjadikan kaum muda terdidik sebagai pengusung ide keagamaan yang ekstem sudah terjadi jauh sebelumnya. Nur Syam dalam bukunya Tantangan Multikulturalisme Indonesia menunjukan tiga jalur yang digunakan pendukung gerakan teo-demokrasi untuk memperluas konsepnya yang diskriminatif. Pertama melalui kekuasaan di mana kelompok ini menyusup masuk ke dalam dunia kekuasaan dan politik dan berusaha melakukan perubahan dari dalam.

Kedua, meraih simpati dari generasi muda. Yang direkrut kebanyakan mahasiswa dari perguruan tinggi umum yang memiliki latar belakang pendidikan eksakta sehingga pendidikan tinggi yang memiliki bidang ilmu eksakta menjadi sasaran gerakan religio-politik yang cenderung radikal. Ketiga mendirikan lembaga-lembaga pendidikan di suatu wilayah terutama di tingkat pendidikan anak usia dini hingga sekolah dasar. Lembaga pendidikannya dikelola sangat baik dan menerapkan pendidikan sistem terpadu. Di masa depan diharapkan menajdi lembaga pendidikan unggulan sehingga dapat menampung anak-anak dari golongan menengah ke atas.

Pater Budi Kleden mengatakan, pemanfaatan lembaga pendidikan sebagai sarana indoktrinasi paham keagamaan dan militansi sempit bukan hanya merupakan bahaya bagi satu agama tertentu. Sebagaimana godaan absolutisme ada dalam semua agama, demikian pula kecenderungan untuk memanfaatkan peluang-peluang strategis hadir dalam setiap agama.

Dikatakan, multikulturalisme tidak identik dengan multikulturalisme. Multikulturalisme adalah kenyataan keberagaman budaya, sementara multikulturalisme dapat dilihat sebagai paham atau ideologi yang mengakui martabat manusia yang hidup dalam kebudayaannya masing-masing yang unik. Multikulturalisme merupakan sebuah program untuk memungkinkan dan meningkatkan saling pengakuan di antara kebudayaan yang berbeda-beda. Multikulturalisme tidak terarah kepada penciptaan satu budaya dominan dan multikulturalismer tidak bermaksud membenarkan mumifikasi satu kebudayaan dalam seluruh coraknya. Fanatisme dan primordialisme budaya yang menumbuhkan penolakan terhadap semua yang asing bukanlah tujuan multikulturalisme.

Pendidikan multikulturalisme bertujuan menumbuhkan kepekaan terhadap kelompok minoritas yang pandangan dan perangkat nilainya terlampau mudah diabsorbsi oleh kelompok-kelompok dominan. Melalui pendidikan multikultural diharapkan menjadi sadar akan pola pikir, sikap dan perilaku yang mendiskreditkan oang lain. Memberdayakan indifidu dalam kelompok minoritas yang sering ditekan dan dipaksa menyangkal identitas kulturalnya.

Untuk Indonesia, lanjutnya multikulturalisme dan pendidikan multikulturalisme merupakan satu kemendesakan. Realitas pluralitas kultural yang ada harus disikapi dengan konsep perilaku dan sistem yang mengakomodasi kepelbagian yang didasarkan pada kesediaan untuk menerima dan mengakui hak-hak dasar manusia. Mengusung multikulturalisme sebagai ideologi dalam kehidupan bersama dan mendorong pendidikan multikultural merupakan suatu upaya penting mempertahankan identitas bangsa.

Penggoyahan pluralitas atau multikulturalitas bangsa, kata Pater Budi Kleden terjadi karena kepentingan ekonomi, kepentingan sosial dan karena benturan kepentingan khususnya kepentingan politik dan agama. Ketiga alasan ini mengancam integritas bangsa Indonesia dan serentak menjadi sebab mengapa dibutuhkan pendidikan multikulturalitas. Pendidikan multikulturalisme sebagaimana pendidikan pada umumnya bukan monopoli lembaga pendidikan formal. Pendidikan non formal dan informal mempunyai peranan yang sama dalam transfer pengetahuan, membentuk sikap dan kecerdasan untuk emnghargai keberagaman kebudayaan.

Prinsip pendidikan multikultural adalah egaliter, di mana semua merasa mempunyai tempat untuk diterima dan mendapat peluang dan didorong untuk berkembang. Prinsip kedua adala dialog, ketiga solidaritas dan keempat subsidaritas serta kelima partisipasi di mana konsekwensi dari subsidaritas adalah partisipasi. Partisipasi tidak hanya bicara soal kesempatan untuk terlibat namun juga kerelaan pihak lain membiarkan orang untuk terlibat.

Pendidikan multikultural berisikan pengetahuan yang memadai mengenai berbagai kebudayaan yang hidup di masyarakat walau tingkat pengaruhnya berbeda-beda. Pendidikan sejarah yang berorientasi pada pengakuan kontribusi dan korban dari semua pihak. Pendidikan HAM dan dasar agama yang memadai bagi kerukunan antarumat beragama. Kerukunan agama merupakan hal yang sentral demi pengakuan keberagaman budaya.

Tidak ada komentar: