25 Mei 2011

PMKRI Klarifikasi DAK 2006 ke Bupati

· * Ada temuan dan rekomendasi Kembalikan Uang

Oleh Hieronimus Bokilia

Ende, Flores Pos

Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Ende dalam upayanya mengetahui secara jelas permasalahan dugaan penyimpangan dana alokasi khusus (DAK) bidang pendidikan tahun 2006 bertemu dan melakukan klarifikasi langsung dengan Bupati Don Bosco M Wangge yang pada tahun 2006 menjabat Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende.

Pertemuan dan dialog PMKRI Cabang Ende dengan Bupati Don Wangge berlangusng di ruang kerja bupati, Sabtu (14/5). Dari PMKRI hadir Ketua Presidium Ferdinandus Di, Wakil Sekjen I, Yohanes Don Bosco Lawa, Ketua Presidium Pengembangan, Yohanes Paulus Lele dan Philipus dari Gerakan Masyarakat (Germas). Hadir pula dalam dialog, Sekda Yoseph Ansar Rera, Asisten III, Abdul Syukur Muhamad, Kadis Perindag Yoseph Woge.

Yohanes Lawa mengatakan, terkait dugaan penyimpangan DAK bidang pendidikkan tahun 2006, PMKRI ingin mendengarkan klarifikasilangsung dari bupati karena pada tahun 2006 Don Bosco Wangge menjabat sebagai kepala dinas. PMKRI ingin mengetahui secara jelas kebenaran dugaan penyimpangan dana tersebut.

Bupati Don Wangge pada kesempatan itu mengatakan, permasalahan ini sebenarnya sasarannya pada bupati yang mantan kadis. Tahun 2006, lanjutnya ada DAK pendidikan. Dikatakan, terkait pernyataan bahwa ada korupsi dia balik mempertanyakan siapa yang korupsi. Namun bupati mengakui, ada temuan dan rekomendasinya jelas agar dikembalikan dana oleh kepala dinas. Namun, katanya, fee itu diterima oleh para kepala sekolah dan mereka tidak pernah memintanya namun diberikan oleh pihak ketiga yakni Penerbt Erlangga.

Dikatakan, dana yang dianggap dikorupsi itu sebenarnya fee dari Penerbit Erlangga yang dipercayakan para kepala sekolah untuk mengadakan buku. Fee tersebut, lanjutnya diberikan penerbit kepada para kepala sekolah dan bukan diberikan kepada kepala dinas. Jadi, kata Don Wangge, ada kepala sekolah yang menerima hand phone (HP), parabola dan ada yang menerima uang Rp3-8 juta. Uang fee yang diterima itu diakumulasikan sebesar Rp284 juta.

Dikatakan, uang fee yang diberikan kepada para kepala sekolah itu merupakan uang keuntungan dari Penerbit Erlangga. “Kalau seperti ini di mana kerugian negara. Ini keuntungan dari Erlangga. Bukunya ada. Lain hal kalau buku tidak ada. Lalu apa kaitannya dengan Don Wangge yang waktu itu menjabat kepala dinas,” katanya. Menurutnya, kerugian negara terjadi kalau tidak ada buku dan alat peraga.

Dia mengatakan, dalam pengadaan buku dan alat peraga tahun 2006 yang bersumberd dari DAK bidang pendidikan itu, tidak ada campur tangan dari bupati dan kepala dinas. Dalam setiap kesempatan sosialisasi kepada para para kepala sekolah selalu diminta untuk mengikuti petunjuk teknis yang ada di dalam buku. Kepada para kepala sekolah juga diberikan keleluasaan untuk bekerjasama dengan penerbit manapun untuk melakukan pengadaan buku.

Permasalahan itu, kata Don Wangge sudah dipolitisir oleh pejabat sejak awal agar dia tidak maju dalam pemilu kepala daerah. Bahkan dua minggu sebelum dilantik, katanya, petugas dari BPKP sempat turun untuk melakukan pemeriksaan di kantor Badan Pengawas. Pemeriksaan itu, menurutnya dilakukan agar pelantikan tidak jadi dilakukan. Namun setelah bertemu orang dari BPKP akhirnya pemeriksaan tidak jadi dilakukan.

Bahkan, katanya, laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK diedarkan oleh oknum mantan kepala Badan Pengawas ke mana-mana. Dalam pemeriksaan para kepala sekolah juga dipaksa untuk mengaku bahwa apa yang mereka lakukan itu atas perintah dari kepala dinas.

Ferdinandus Di mengatakan, dalam persoalan ini, perlu dilakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum agar proses hukumnya tetap berjalan. Hal itu menurutnya perlu dilakukan agar jelas dapat diketahui siapa yang salah. Karena menurutnya jika tidak diproses hukum nantinya akan terus menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat.

Tidak ada komentar: