25 Mei 2011

Rayakan HUT ke-72, Gereja Syalom Gelar Seminar

· * Hadirkan Pembicara, Mgr Sensi Potokota dan Pendeta Eben Nubantimo

Oleh Hieronimus Bokilia

Ende, Flores Pos

Dalam rangka perayaan hari ulang tahun (HUT) ke-72 Gereja Syalom Ende, panitia menggelar seminar membenah format ulang paham beragama dalam konteks pluralitas agama demi membangun kerukunan. Seminar ini menghadirkan dua pemibacara masing-masing Ketua Majelis Sinode GMIT, Pendeta Ebenheser Imanuel Nubantimo dan Uskup Agung Ende, Mgr Vincentius Sensi Potokota.

Seminar dilangsungkan di Gereja Syalom Ende, Sabtu (21/5) dihadiri peserta dari jemaat gereja syalom dan peserta lainnya yang diundang. Tampil sebagai moderator dalam seminar ini adalah Pendeta Markus O Raga.

Pendeta Ebenheser Imanuel Nubantimo dalam pemaparannya tentang tiga tipologi hubungan gereja dengan yang lain mengatakan, dalam kehidupan keseharian, tentunya kita tidak hidup sendiri melainkan hidup berdampingan dengan orang lain yang memiliki perbedaan baik cara pandang, agama yang berbeda. Terhadap perbedaan ini, lanjutnya muncul pertanyaan bagaimana harus bersikap terhadap sesama yang memiliki perbedaan tersebut.

Gereja, kata Pendeta Eben tidak hidup di ruang kosong. Gereja ada dalam masyarakat bersama-sama dengan yang lain, bahkan berinteraksi dengan yang lain untuk bisa terus hidup. Sebut saja misalnya, warga gereja membeli bahan-bahan kebutuhan hidup dari saudara-saudara yang lain itu. Bahkan gedung gereja sendiri juga iktu dibangun oleh saudara-saudara yang lain.

Pendeta Eben mengatakan, ada tiga sikap warga gereja terhadap saudara-saudara yang lain. Sikap pertama adalah sikap mengkafirkan. Sikap ini menurutnya paling dominan pada abad pertengahan yakni dari tahun tahun 500-1500 M. Namun, sikap seperti itu masih juga ditemukan di pertengahan abad ini. Hubungan antara umat beragama pada periode ini didominasi oleh sikap saling mengkafirkan. Sikap ini dipilih agar yang lain itu bisa ditobatkan. Dengan demikian jumlah pengikut menjadi bertambah. Hasrat untuk berperang bagi Allah mengemuka secara kuat. Lembaga-lembaga misi dibentuk oleh gereja, begitu juga lembaga dakwah. Banyak orang yang memberi diri untuk pergi ke negeri yang jauh untuk menyebar agama. Mereka menjadi pembela iman, defensor fidei yang dengan gagah berani menggunakan semua yang ada padanya untuk membela imannya (apologia). Julukan martir atau shuhada diberikan kepada mereka yang mengorbankan hidupnya bagi perluasan agama.

Sikap kedua, lanjut Pendeta Eben adalah saling membandingkan. Hasrat saling mengkafirkan diikuti dengan kesediaan untuk mengetahui yang lain, bukan pertama-tama untuk belajar sesuatu dari yang lain, juga bukan untuk mengetahui kedudukan mereka, melainkan untuk membandingkan agamanya dengan agamaku. Yang namanya perbandingan harus ada alat ukur. Maka dibuatlah kriteria agama yang benar dan agama yang salah. Betapapun baiknya kriteria itu, tetap saja ada masalah subyetifitas dari pihak yang merumuskan kriteria itu.

Sikap saling membandingkan itu, kata Pendeta Eben baik karena membuka kesempatan untuk umat dari agama yang berbeda itu dapat mengenal yang lain itu. Ini berguna untuk memperkaya pengetahuan dan pengenalan akan yang lain, dan serentak dengan itu mengenal dengan lebih jelas identitas agama sendiri. Hanya saja, hasrat mengetahui yang lain itu biasanya dijalani untuk tujuan menonjol-nonjolkan keunggulan agama sendiri. Sikap ini pun masih ditemukan dalam kekinian hidup gereja dalam hubungan dengan yang lain.

Sikap ketiga, katanya meskipun relatif baru dalam rentangan sejarah kehidupan gereja tetapi sebenarnya sudah pula ditunjukkan Alkitab. Selama masa hidup dan pelayanan yang singkat, Yesus sangat bergiat mempelopori sikap ini, yakni dialog. Yesus lakukan itu dengan Nikodemus, dengan Perempuan Samaria, dengan Ahli Taurat Yahudi, dengan dua orang murid di jalan ke Emaus dan masih banyak fragmen lain. Yesus yang bangkit bahkan juga membawa Petrus dalam ruang dialog dengan yang lain waktu Ia menuntun Petrus ke rumah Kornelius sebagaimana disaksikan dalam kitab Kisah Para Rasul. Yesus menjadikan dialog sebagai medium untuk mengeksplorasi kekayaan makna yang terkandung dalam Injil untuk diterapkan pada hidup pendengarNya. Lewat dialog lahirlah berbagai gagasan dan hikmat yang berfungsi memandu kedua pihak yang ambil bagian dalamnya untuk menjalani kehidupan secara baru, lebih baik, adil dan berpengharapan.

Dikatakan, dalam berbicara sejarah keselamatan dan keselamatan adalah Kristus. Sejak peristiwa reinkarnasi, Allah menjadi manusia, sejarah Allah masuk dalam sejarah manusia untuk merubah dan menghancurkan. Tugas gereja tidak saja berbicara keselamatan tetapi juga keselamatan dalam sejarah. Selama ini, banyak yang lebih suka omong soal keselamatan dengan berdoa terus sampai Tuhan datang, bernyanyi terus sampai Tuhan datang dan tidak suka omong soal keselamatan dalam sejarah.

Mgr. Vincentius Sensi Potokota dalam materinya mengatakan, melihat tema yang dipaparkan panitia, muncul asumsi ada latar belakang tertentu di balik tema seminar yang bernada himbauan atau ajakan imperatif. Latar belaang itu adalah ada yang salah dengan urusan kerukunan pada bangsa ini. Apa yang salah dalam kerukunan ada tiga hal mendasar yakni ada warga bangsa yang menganggap realitas pluralitas yang mengakui keberagaman, keunikan dan perbedaan lebih sebagai tantangan yang merugikan ketimbang sebagai peluang yang memperkaya dan menyempurnakan. Secara khusus, ada warga bangsa yang memahami realitas keberagaman agama sebagai perintang bagi jalan yang diajarkan, agamanya menuju menuju keselamatan karena agama adalah jaminan menuju keselamatan. Selain itu, rupanya ada bibit-biit fanatisme radikal dalam tubuh bangsa yang secara sistematis kreatif terus menebarkan rasa risau, saling curiga, kebencian, fitnah, cekcok, pengrusakan dan bahkan pembunuhan.

Beberapa hal ini yang dibiarkan hidfup dalam tubuh bangsa ini. Kerusuhan-kerusuhan berbau SARA di tahun-tahun belakangan sesungguhnya adalah buah dari pembiaran dimaksud. “Asumsi-asumsi tersebut terkait amat erat dengan paham beragama yang salah yang harus diformat ulang kalau kerukunan sejati mau dicapai,” kata Mgr Sensi.

Dikatakan, orang membangun kerukunan pasti karena ada makna di balik kerukunan dan makna itu dibutuhkan. Kerukunan, kata Mgr. Sensi merupakan sebuah nilai yang bersifat universal yang artinya berlaku untuk semua dimana dan kapan saja. Sebagai suatu nilai, kerukunan tidak pantas dikebiri oleh pemahaman atau anggapan bahwa itu hanya suatu prasyarat untuk mencapai tujuan lain. Karena, kerukunan adalah nilai itu sendiri yang mesti dikejar dan diraih. Nilai kerukunan bersama nilai-nilai lainnya turut menentukan mutu atau kualitas kesejatian manusia bermartabat, ciptaan tuhan.

Mgr Sensi mengatakan, NKRI adalah harga mati dan slogan ini mengandaikan secara logis dan substansial pengakuan dan penegasan tentang segala hal yang merupakan identitas nyata dari NKRI. Pluralitas, keberagaman dan kebhinekaan adalah realitas NKRI maka semetinya pengakuan akan kebhinekaan adalah juga harga mati. Pengakuan dan penghargaan terhadap realitas keberagaman yang tahan uji dan konstruktif haruslah merupakan buah atau hasil dari proses pendidikan tentang nilai-nilai yang ebrharga dari pluralitas.

Pemicu problem yang paling berdaya destruktif terhadap upaya-upaya membangun kerukunan ialah sentimen agama. Agama merupakan wilayah yang amat sensitif. Sentimen agama akan semakin berbahaya ketika didasari pada paham beragama yang salah. Membangun kerukunan dalam konteks pluralitas NKRI mensyaratkan paham yang cerdas tentang hidup beragama dari setiap warganya. Peristiwa kerusuhan bernuansa agama dengan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang terkesan dibiarkan adalah bukti kerapuhan landasan paham hidup beragama kita sendiri.

Karena itu, kata Mgr Sensi perlu ada penerahan baru dengan cara-cara yang dibarui yang melibatkan semua pemangku kepentingan minus kepentingan politik dan kepentingan yang tidak agamawi.

Tidak ada komentar: